BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
Dari tabel 5.3 dapat dilihat bahwa hasil uji Independent T-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit haji Makassar, dimana total mutu pelayanan kesehatan (p=0.376).selanjutnya, dimensi efektif (p=0.306), dimensi (p=0.457), dimensi akses (p=0.431), dimensi Patient-Centered (p=0.436), dimensi adil (p=0.366) dan dimensi aman (p=0.066).
kesehatan. Konsekuensi dari pola pikir yang demikian adalah dimensi kepuasan pasien menjadi salah satu dimensi mutu pelayanan kesehatan yang penting Pohan (2003) dalam Andriani (2017). Menurut Revans dalam Izzah, Sriatmi, & Wigati (2014). pasien yang masuk pada pelayanan rawat inap akan mendapatkan beberapa pelayanan yaitu pelayanan dokter, pelayanan perawat, pelayanan fasilitas penunjang medik, lingkungan langsung pasien serta pelayanan administrasi
1. Kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan a. Dimensi efektif
Pada penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data sebagian besar reponden puas akan pelayanan kesehatan dimensi efektif. Dalam penelitian ini, responden puas dalam pelayanan penerimaan pasien dan pelayanan ruang rawat. keefektifitasan pelayanan diukur dengan kehandalan petugas dengan parameter diantaranya pelayanan yang tepat, kemudahan prosedur pendaftaran, ketepatan jadwal dalam memberikan pelayanan. Menurut beberapa responden saat masuk ke rumah sakit proses administrasi sangat mudah. Selain itu petugas rumah sakit memahami kebutuhan dan keinginan responden. Hal ini sejalan dengan penelitian Nurba (2012) dalam Tikasari (2016) kepastian jadwal pelayanan merupakan hal yang sangat penting dalam menilai pelayanan yang diberikan di rumah sakit.
Dalam penelitian ini ada responden yang tidak puas pada pelayanan pemeriksaan dan pengobatan, menurutnya petugas yang tidak tepat dalam pemberian obat karena responden merasa setelah diberi
pengobatan tersebut responden merasa sesak napas. Hali ini menyebabkan pasien tidak puas dalam pelayanan tersebut.
b. Dimensi efisien
Penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data bahwa sebagian besar responden puas terhadap pelayanan kesehatan dimensi efisien. Dimana, responden sebagian besar puas dalam pelayanan ruang rawat dan pelayanan perawat, menurut beberapa responden mereka puas karena pelayanan yang diberikan tidak berbelit-belit, pasien yang dinyatakan untuk rawat inap langsung diantarkan ke ruang rawat tanpa harus menunggu lama pada pelayanan adminstrasi. Selain itu, beberapa responden menyatakan perawat senantiasa bertindak cepat jika cairan infus habis. Ada responden yang tidak puas pada pelayanan pemeriksaan dan pengobatan menurutnya pelayanan yang diberikan tidak cepat karena responden lama menunggu. Menutut, Peter F. Drucker, seorang pakar dalam manajemen modern bahwa efisien, yakni mengerjakan pekerjaan dengan benar (doing things right). Sistem pelayanan kesehatan dituntut untuk lebih efisien.
Pelayanan yang efisien berarti seperti menghindari segala pemborosan dalam penyediaan alat, mengurangi masa rawat inap, serta mengurangi pemeriksaan diagnostik dan terapi yang tidak perlu (Cahyono, 2008).
Menurut Santoso (2012) dalam Nurhaida & Sudirman, (2015) pada penelitiannya daya tanggap petugas menekankan pada perhatian dan kecepatan dalam menghadapi permintaan, pernyataan, keluhan serta kesulitan pelanggan. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Azwar
dikutip dari Sulistyo (2016) bahwa pengaturan sistem layanan kesehatan atau prosedur hendaknya tidak berbelit-belit, dan memberikan kemudahan pasien dalam mengakses pelayanan kesehatan.
c. Dimensi akses,
Penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data bahwa sebagian besar responden puas terhadap pelayanan kesehatan dimensi.
diamana, dimensi akses (Acces), meliputi kemudahan/ keterjangkauan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan. Menurut, Whitehead dalam Idris (2016), Akses berarti setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengakses pelayanan kesehatan. Beberapa faktor penghambat seperti letak geografis, budaya, keuangan (tingkat pendapatan rendah, mahalnya biaya transportasi dan tidak tersedianya asuransi kesehatan). Dalam penelitian ini ada beberapa responden yang mengeluh karena keterlambatan dokter dalam pemeriksaan sehingga banyak dari responden yang menunggu tanpa konfirmasi atau kejelasan dari dokter.
d. Dimensi Patient-Centered
Penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data bahwa sebagian besar responden puas terhadap pelayanan kesehatan dimensi patient-centered. Menurut Satrinegara (2014) dalam Pertiwi (2016), pasien memasuki rumah sakit dengan serangkaian harapan dan keinginan dan pada kenyataannya pengalamannya selama mendapatkan pelayanan di rumah sakit lebih baik seperti apa yang
diharapkannya maka dia akan puas. Kondisi ini rumah sakit harus mengutamakan pihak yang dilayani (client oriented), karena pasien adalah klien yang terbanyak, maka banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh suatu rumah sakit bila mengutamakan kepuasan pasien.
Perawatan yang berfokus pada pasien merupakan harapan di lingkungan pelayanan pada saat ini. Pasien yang ditempatkan sebagai kelompok pertama dalam sistem kesehatan untuk mengoptimalkan kualitas dan keamanan pelayanan. Prinsip-prinsip pelayanan yang berpusat pada pasien memberikan rasa aman, efektif, efisien, tepat waktu, dan perawatan yang adil (Ricards & Adam, 2015 dalam Pertiwi, 2016). Dimensi Patient-Centered atau pelayanan yang berfokus pada pasien bertujuan untuk menciptakan hubungan dokter-pasien lebih seimbang (Cahyono, 2008). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Naomi (2013) yang dikutip dalam Sulistyo (2016) menyatakan bahwa keterampilan perawat dan kemampuan dokter dalam bekerja dan meneyelesaikan keluhan pasien dianggap penting oleh pasien dan dapat memuaskan pasien.
e. Dimensi adil
Penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data bahwa sebagian besar responden puas terhadap pelayanan kesehatan dimensi adil. Hasil penelitian Nepe et al (2017) responden merasa diterima dan dilayani dengan baik tanpa melihat dan membedakan latar belakang ekonomi pasien, responden merasa diperhatikan dan diberi dukungan terhadap keadaan pasien. Menurut John Rawls dalam Fattah
(2013) bahwa keadilan merupakan fungsi struktur masyarakat adalah untuk membagi-bagikan hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang (primary goods). Primary goods ini merupakan kebutuhan dasar manusia, yang diinginkan oleh setiap manusia normal dalam mencapai kebutuhan yang layak, hak-hak, kebebasan, pendapatan, dan kesehatan. Selain itu, prinsip keadilan dalam pelayanan kesehatan memiliki 2 dimensi yakni, keadilan horizontal (horizontal equity) merupakan perlakuan yang sama terhadap kondisi yang sama, yang terdiri dari sumber daya/input/pengeluaran yang sama untuk kebutuhan yang sama, penerimaan yang sama untuk kebutuhan yang sama. Kedua keadilan vertical (vertical equity) menekankan prinsip perlakuan berbeda untuk keadaan yang berbeda meliputi; perlakuan tidak sama untuk kebutuhan yang berbeda dan pembiayaan kesehatan yang progresif berdasarkan kemampuan membaayar (Murti, 2001 dalam Idris, 2016).
f. Dimensi aman
Penelitian ini telah dilakukan analisis dan diperoleh data bahwa sebagian besar responden puas terhadap pelayanan kesehatan dimensi adil. Menurut Permenkes No.1691 tentang keselamatan pasien rumah sakit menyebutkan bahwa keselamatan pasien merupakan suatu sistem di mana rumah sakit membuat asuhan pasien dengan aman yang meliputi identifikasi, assasment risiko, dan pengelolaan segala sesuatu yang berhubungan dengan pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampan belajar dari insiden, dan implementasi untuk
meminimalkan terjadinya risiko dan mencegah cidera yang disebabkan oleh suatu tindakan. Keselamatan pasien adalah bagian dari mutu.
Fokus perbaikan pelayanan manajemen penanganan pengurangan rasa sakit pada pasien merupakan suatu implikasi tindakan guna memperbaiki kualitas pelayanan dan meningkatkan kepuasan pasien (Glowacki, 2015 dalam Pertiwi, 2016). Keselamatan pasien memiliki dampak yang langsung dapat dirasakan oleh pasien akibat dari pelayanan rumah sakit. Pelayanan yang bermutu sudah pasti tidak akan mencederai pasien dan sudah pasti aman. Sebaliknya layanan yang aman belum tentu bermutu, belum tentu bebas dari kesalahan (Pertiwi, 2016).
Menurut Zeithaml dan Bitner (2000) dikutip dari Pertiwi (2016), pelayanan yang bermutu sudah pasti tidak akan mencederai pasien dan sudah pasti aman. Sebaliknya layanan yang aman belum tentu bermutu, belum tentu bebas dari kesalahan. Menurut IOM, keselamatan pasien didefinisikan sebagai layanan yang tidak menciderai atau merugikan pasien (safety is defined as freedom from accidental injury). Pendekatan keselamatan pasien bertumpu pada tiga hal, yaitu mengurangi dampak cidera (mitigasi), memunculkan kesalahan atau keajdian tidak diduga (agar ada pembelajaran), dan mencegah kesalahan, selain itu harus efektif dan harus efisien dalam member pelayanan pada pasien (Cahyono, 2008).
2. Perbedaan Kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan ruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.
Kualitas mutu pelayanan rumah sakit adalah derajat kesempurnaan pelayanan rumah sakit untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumen akan pelayanan kesehatan yang sesuai standar pelayanan profesi dan standar pelayanan dengan menggunakan potensi sumber daya yang tersedia secara wajar, efisien, efektif, serta diberikan secara aman dan memuaskan sesuai dengan norma, etika hukum dan sosial budya dengan memperhatikan keterbatasan serta kemampuan pemerintah dan masyarakat konsumen (Depkes RI, 2001 dalam Astuti & Kustiyah, 2014). Menurut Azwar (2005) dalam Astuti & Kustiyah (2014), kualitas mutu pelayanan kesehatan yang menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Agar tercapainya kepuasan pasien diperlukan peningkatan standar dalam menjaga mutu pelayanan rumah sakit yang mengacu pada kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan agar dapat memenuhi kepuasan pasien atau masyarakat.
Pelayanan rawat inap yaitu pelayanan kepada pasien yang memerlukan observasi, diagnosis, terapi atau rehabilitasi yang perlu menginap dan menggunakan tempat tidur serta mendapatkan makanan dan pelayanan perawat terus menerus. Untuk dapat memberikan pelayanan dengan kualitas yang baik maka perlu adanya peningkatan pelayanan di semua bidang secara terpadu, terencana, serta baik, sehingga diperlukan konsep manajemen mutu terpadu. Konsep Total Quality Management (TQM) merupakan pendekatan berorientasi pelanggan yang
memperkenalkan perubahan manajemen yang sistematis dan perbaikan terus menerus, yang cocok untuk memenuhi kebutuhan mutu pelanggan, yang sederhananya produk yang bermutu kalau dapat memuaskan pelanggannya. Pelayanan rawat inap di Rumah Sakit Haji Makassar memiliki beberapa tingkatan diantaranya kelas 3, kelas 2, kelas 1 dan kelas Very Important Person (VIP). Pelayanan rawat inap seharusnya sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah sama kelengkapannya hanya berbeda fasilitas, namun kenyataannya bisa terjadi perbedaan pelayanannya (Ardiana, 2012).
Pada penelitian ini menunjukkan ada perbedaan signifikan kepuasan pasien terhadap dimensi efektif berdasarkan ruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Perbedaan ini dapat terjadi karena ketepatan petugas dalam memberikan pelayanan pada sesuai dengan kebutuhan pasien, memberikan rujukan sesuai dengan kebutuhan pasien serta konsistensi petugas dalam memberikan pelayanan pada pasien.
Selanjutnya, ada perbedaan signifikan kepuasan pasien terhadap dimensi akses berdasarkan kelas ruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Hal ini dapat disebabkan keterjangkauan pasien terhadap pelayanan yang di dapatkan di rumah sakit, serta kemudahan menemui petugas rumah sakit.
Selanjutnya, terdapat perbedaan signifikan kepuasan pasien terhadap dimensi Patient-Centered berdasarkan ruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 hal ini dapat disebabkan oleh peran petugasrumah sakit dalam memberikan perhatian dan sikap terbuka patugas
pada pasien. Serta peran petugas rumah sakit dalam mendengarkan keluhan pasien. Dan terdapat perbedaan yang signifikan kepuasan pasien terhadap dimensi adil diruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 menunjukkan adanya perbedaan kepuasan pasien hal ini dapat disebabkan kelayakan saat proses penerimaan hingga pasien berada dalam perawatan, dan dapat dikatakan terjadi perbedaan dalam memberikan pelayanan di masing-masing ruang perawatan, yang seharusnya perawatan tidak membeda-bedakan.
Beda halnya pada kepuasan pasien terhadap dimensi efisien di ruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 menunjukkan tidak adanya perbedaan kepuasan pasien terhadap ruang perawatan dengan kata lain pelayanan yang diberikan oleh petugas di rumah sakit merata seperti ketepatan waktu petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien, prosedur dari pelayanan rumah sakit yang tidak berbelit-belit, serta kelancaran komunikasi antara pasien dan petugas baik seperti informasi yang jelas dan mudah di mengerti pasien. Selanjutnya, kepuasan pasien terhadap dimensi aman diruang perawatan VVIP, VIP, kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 juga menunjukkan tidak adanya perbedaan kepuasan pasien dengan kata lain pelayanan yang diberikan oleh petugas di rumah sakit dalam dimensi aman sudah merata untuk masing-masing ruang perawatan meliputi pelayanan petugas seperti pemberian obat pada pasien sesuai dengan resep dokter sehingga pasien merasa aman dalam prosedur pemberian obat, keamanan alat yang digunakan untuk pasien, sajian makanan yang bersih, kebersihan dari rumah sakit.
3. Perbedaan Kepuasan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan berdasarkan lama hari rawat.
Hasil penelitian menujukkan keenam dimensi mutu pelayanan kesehatan yakni dimensi efektif, dimensi efisien, dimensi akses, dimensi Patient-Centered, dimensi adil, dimensi aman menunjukkan tidak adanya perbedaan kepuasan pasien berdasarkan lama hari rawat. Dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan di Rumah Sakit haji Makassar telah memenuhi konsep adil dimana lama hari rawat tidak berpengaruh terhadap kepuasan pasien. Hal ini dapat disebabkan karena lama perawatan ditentukan oleh tim medis tidak hanya perawat, tetapi dokter dan perawat, dengan melihat kondisi fisik pasien, jenis penyakit, dan kestabilan pasien dalam menerima pengobatan dan perawatan dari rumah sakit. Lama perawatan bukan hanya berdasarkan jenis penyakitnya tapi juga ada faktor lainnya. Pasien dengan jenis penyakit yang sama, sangat dimungkinkan mempunyai lama perawatan yang berbeda, hal tersebut dipengaruhi secara emosional bagaimana penerimaan diri pasien terhadap penyakit yang dideritanya (Oroh, 2014). Penelitaian yang dilakukan oleh Ekawati & Afridah (2015), berdasarkan 10 kasus penyakit kronis terbanyak rata – rata didapatkan lama hari rawat 2,3-14,0, berdasarkan data tersebut didapatkan kesimpulan bahwa lama hari rawat masih panjang termasuk pasien BPJS, walaupun pasien BPJS menggunakan sistem Indonesia Case Base Group`s (INA CBG`S) yang berarti pembayaran biaya seorang peserta mengacu pada diagnose pennyakit. Semakin lama pasien dirawat tidak menambah paket
biaya pasien BPJS walaupun diagnosa sesuai INA CBG`s hal ini akan menimbulkan kerugian bagi rumah sakit.
Dalam penelitian Anjaryani (2009), disebutkan bahwa lama tidaknya pasien dirawat dipandang dari 2 pendekatan, yaitu penyakit yang diderita pasien memang membutuhkan waktu lama (bisa satu minggu lebih) dan pasien merasa betah dalam menjalani perawatan. Hal ini muncul karena hal yang bersifat psikologis maupun administratif sesuai dengan harapan pasien. Dua hal di atas, dalam hal ini Rumah Sakit merupakan institusi kesehatan melalui tenaga medisnya yang memberikan produk berupa jasa kesehatan, maka lama tidaknya pasien di rumah sakit merupakan tolok ukur tersendiri untuk mengukur sisi keberhasilan dari segi pemasaran bahwa ternyata pasien merasa puas sehingga memilih berada di rumah sakit untuk pemulihan kesehatannya daripada di rumah (Oroh, 2014). Pada penelitian ini lama hari rawat dikategorikan berdasarkan data rekam medik ALOS Rumah Sakit Haji Makassar dimana rata-rata pasien pulang pada hari ke-4 dan menurut panduan praktis BPJS dimana peserta BPJS harus melengkapi persyaratan administrasi sebelum pasien pulang maksimal 3x24 jam (BPJS Kesehatan, 2014).