• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama di berbagai negara baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Penyakit kardiovaskular disebabkan oleh beberapa faktor risiko yang dapat diubah seperti hipertensi, dislipidemia, diabetes, obesitas, dan pola hidup santai. Dislipidemia merupakan kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan kadar fraksi lipid dalam darah. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kenaikan kolesterol LDL, peningkatan trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Dislipidemia sebagai faktor risiko utama penyakit kardiovaskular (O'Meara et al. 2004).

Di Indonesia, penderita hipertensi jumlahnya terus meningkat. Hasil penapisan awal menunjukkan bahwa lebih dari separuh calon subjek (64.6%) wanita usia subur yang diukur mengalami hipertensi lebih tinggi dibanding angka nasional (31.7%). Calon subjek mengalami obesitas sebesar 32.6% dan prevalensi ini jauh di atas prevalensi nasional obesitas pada dewasa wanita yaitu 23.8%. Hasil Riskesdas 2007 ini juga menemukan 19.1% kasus kelebihan berat badan menurut IMT pada penduduk usia di atas 15 tahun merupakan faktor risiko utama terjadi hipertensi (Balitbangkes 2007). Obesitas mempunyai risiko 3.9 kali lipat lebih tinggi menjadi hipertensi dibandingkan dengan IMT kurang dari 25 kg/m2 (Liu et al. 2004).

Status gizi yang tidak normal (overweight dan obesitas) pada subjek menunjukkan bahwa masalah gizi lebih tidak hanya terjadi pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi tinggi tetapi juga dijumpai pada kelompok masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah seperti pada subjek penelitian ini. Obesitas sering disertai dengan meningkatnya kolesterol total dan menurunnya HDL. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa 19.4% subjek memiliki kadar kolesterol di atas 200 mg/dL dan 16.7% subjek memiliki kadar kolesterol LDL di atas 130 mg/dL. Keadaan ini dapat mengakibatkan peningkatan indeks massa tubuh seseorang (Hull 1996). Berat badan sebagai salah satu variabel penentuan IMT mempunyai hubungan dengan kadar kolesterol LDL. Penurunan berat badan akan menurunkan kadar kolesterol LDL. Kelebihan berat badan mempunyai hubungan dengan kadar lipid dalam darah. Setiap kenaikan 1 unit IMT akan meningkatkan 1.65 mg/dL K-LDL. Kejadian penyakit jantung koroner meningkat 1% untuk setiap peningkatan 1 mg/dL K-LDL (Yuniarti 2000; Wiyono et al. 2004).

Untuk menilai status vitamin D seseorang digunakan konsentrasi kalsidiol (serum 25(OH)D). Alasan digunakan kalsidiol karena konsentrasi kalsidiol di dalam darah seratus kali lebih banyak meskipun kerja kalsitriol (1,25 (OH)D) sebagai bentuk aktif vitamin D seratus kali lebih poten dibandingkan kalsidiol. Hal ini dikarenakan 99% kalsitriol terikat dengan DBP dan albumin serta mempunyai paruh sangat pendek yaitu 4-6 jam (Gropper dan Smith 2012). Konsentrasi kalsitriol juga bukan merupakan indikator yang baik dalam mengukur status vitamin D, karena (1) penurunan mendadak konsentrasi kalsium akibat defisiensi vitamin D menyebabkan peningkatan hormon paratiroid (PTH) yang menginduksi peningkatan aktifitas 1α-hidroksilase, sehingga kadar konsentrasi 1,25(OH)2D3 tersebut akan menjadi normal atau bahkan akan meningkat. Jadi walaupun terjadi

defisiensi vitamin D, konsentrasi 1,25(OH)2D3 bisa tetap normal atau bahkan meningkat, dan (2) konsentrasi 1,25(OH)2D3 yang bersirkulasi dalam darah 100- 1000 kali lebih rendah dibandingkan 25(OH)D (Grant dan Holick 2005).

Menurut Tsiaras dan Weinstock (2011) kemungkian kegagalan studi intervensi paparan sinar matahari dan suplementasi diantaranya disebabkan oleh 1) rendahnya tingkat kepatuhan, 2) rendahnya dosis yang diberikan, 3) status gizi (obesitas), 4) serum 25(OH)D awal, 5) aktivitas enzim 25 hydrosilase dan 1-α-

hidroksilase, 6) bentuk vitamin D yang diberikan, dan 7) jangka waktu intervensi. Beberapa faktor tersebut di atas digunakan oleh peneliti di dalam pembahasan hasil studi ini.

Penyebab utama defisiensi vitamin D adalah kurang pajanan sinar matahari, sehingga sintesis vitamin D di kulit menurun. Selain itu kebutuhan tubuh akan vitamin D tidak dapat seluruhnya dipenuhi dari asupan sumber bahan makanan, karena jumlah bahan makanan yang mengandung vitamin D sangat sedikit, disamping itu makanan yang telah difortifikasi vitamin D belum cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Holick dan Chen 2008).

Indonesia adalah negara yang kaya sinar matahari sepanjang tahun. Data prevalensi defisiensi vitamin D pada WUS di berbagai negara negara Eropa, Amerika, dan Asia (Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, India, Jepang dan Hongkong) bervariasi dari 42%-90%. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata serum 25(OH)D lebih rendah dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Green et al. (2008) di Jakarta yang menemukan rata-rata konsentrasi serum 25(OH)D sebesar 48 nmol/L (19.2 ng/mL) dan prevalensi defisiensi vitamin D sebesar 63% pada WUS 18-40 tahun. Rata-rata serum 25(OH)D di dua tempat penelitian adalah 15.79 ng/mL, dengan rata-rata serum vitamin D 15.75 ng/mL pada wanita yang bekerja di Setda Kabupaten Bogor dan 15.83 ng/mL pada pekerja pabrik garmen. Hal ini juga sejalan dengan penelitian Hasil penelitian Islam et al.

(2010) yang menemukan bahwa 87% subjek memiliki serum 25(OH)D <20 nmol/L. Islam et al. (2008) menunjukkan bahwa wanita yang bekerja 14-16 jam setiap hari di pabrik garmen mempunyai rata-rata serum 25(OH)D rendah yaitu 14.68 ng/mL. WUS yang bekerja di kantor Sekda Kabupaten Bogor sebanyak 42.9% subjek mengalami obesitas dan 54.2% pekerja WUS di pabrik garmen mengalami obesitas. Keadaan tersebut nampaknya mempengaruhi kejadian defisiensi vitamin D akibat penurunan bioavaibilitas vitamin D3 dari kulit dan adanya deposisi di lemak tubuh. Obesitas berkaitan dengan defisiensi vitamin D. Hal ini dikarenakan vitamin D terperangkap di dalam lemak dan tidak dapat dengan mudah keluar. Untuk mempertahankan serum 25(OH)D, individu yang memiliki kelebihan berat badan dan obesitas harus mengkonsumsi vitamin D dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan subjek dengan berat badan normal. Seseorang yang mengalami obesitas memerlukan setidaknya dua kali lebih banyak vitamin D dibanding dengan individu tidak obesitas untuk mempertahankan status vitamin D yang normal dengan 25(OH)D antara 30-60 ng/mL (Wortsman et al. 2000; Arunabh et al. 2003). Sebuah studi di Philadelphia menunjukkan bahwa konsentrasi 25(OH)D lebih rendah (<30 ng/mL) cenderung pada kelompok BMI yang lebih besar dan terdapat hubungan terbalik antara serum 25(OH)D dengan kejadian obesitas. Hal ini dikaitkan dengan penyimpanan atau degradasi vitamin D dalam jaringan adiposa (Lenders et al. 2009).

Dalam rangkaian penelitian yang telah dilakukan, juga dikaji pengaruh paparan sinar matahari terhadap peningkatan serum 25(OH)D, tekanan darah dan profil lipid. Setelah mendapat paparan sinar matahari 30 menit pada pukul 09.00 sampai dengan 09.30 selama 12 minggu serum 25(OH)D meningkat sebesar 15.9% dan peningkatan serum vitamin ini berdampak mengurangi kolesterol total sebesar 10.3% dan K-LDL sebesar 17.1%, tekanan darah sistolik sebesar 9.1% dan diastolik sebesar 7.5% yang membantu mengurangi timbulnya penyakit degeneratif pada wanita usia subur. Mengacu kepada Setiati et al. (2007), waktu pemberian paparan sinar matahari yang paling tepat pada pukul 09.00, karena untuk menjaga kenyamanan dan kepatuhan subjek. Intensitas sinar matahari rendah pada pukul 07.00 pagi, meningkat pada jam-jam berikutnya sampai dengan pukul 11.00. Setelah pukul 11.00 intensitas relatif stabil dan tinggi sampai dengan pukul 14.00 kemudian menurun dan pada pukul 16.00 mencapai intensitas yang sama dengan pada pukul 07.00. Temuan ini sejalan dengan studi yang dilakukan Setiati et al.

(2007) pada kelompok umur 60-75 tahun dengan memajankan wajah dan kedua lengan selama 30 menit pada pukul 09.00-09.30 selama 6 minggu dapat meningkatkan konsentrasi serum 25(OH)D.

Paparan sinar matahari 30 menit tiga kali seminggu pada pukul 09.00 sampai dengan 09.30 selama 12 minggu dapat memperbaiki tekanan darah sistolik dan diastolik. Hal ini disebabkan pengaruh positif sinar matahari terhadap serum vitamin D dan memperbaiki tekanan darah karena terjadi pembentukan vitamin D pada erythemal dan pra-erythaemal. Efek ini terjadi karena penurunan pada keseluruhan resistensi pembuluh darah ketika kulit mengalami vasodilatasi, sehingga terjadi peningkatan pelepasan oksida nitrat (nitric oxide) dalam pembuluh darah kulit (Al Mheid et al. 2013). Peningkatan kadar vitamin D ke dalam darah secara langsung atau tidak langsung telah terbukti mengurangi tekanan darah pada beberapa studi. Studi cross sectional yang dilakukan oleh Jorde et al. (2010) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara serum 25(OH)D dan tekanan darah baik sistolik maupun diastolik. Sebuah studi metaanalisis juga menyimpulkan bahwa konsentrasi 25(OH)D dalam darah berbanding terbalik dengan hipertensi (Burgaz et al. 2011). Review pada delapan studi intervensi yang dilakukan oleh Witham et al. (2009) menyimpulkan terjadinya penurunan yang signifikan tekanan darah diastolik sebesar 3.1 mmHg dan penurunan pada tekanan darah sistolik sebesar 3.6 mmHg pada subyek yang diberikan vitamin D oral dibandingkan dengan kelompok plasebo yang tidak mengalami penurunan signifikan. Keterlibatan serum 25(OH)D dalam pengaturan tekanan darah, dan yang terpenting adalah 1,25-dihidroxivitamin D menghambat ekspresi mRNA renin (Li et al. 2002).

Fungsi vitamin D sebagai regulator endokrin dari sistem renin-angiotensin. Keadaan serum 1,25 (OH)2D3 dalam tingkat normal adalah penting, tidak hanya untuk homeostasis kalsium, tetapi juga untuk homeostasis elektrolit, volume, dan tekanan darah. Metabolit aktif vitamin D (1,25(OH)2D3) bertindak sebagai regulator positif melalui mengikat VDR (vitamin D reseptor) dan mengikat urutan DNA tertentu (VDRE) di target gen tertentu untuk mengatur ekspresi gen. Di sisi lain, 1,25(OH)2D3 dapat bertindak sebagai regulator negatif, misalnya penghambatan kompleks transkripsi lain dengan VDR-RXR heterodimer dan mengikat dari VDR ke VDRE negatif untuk VDR-dimediasi represi transkripsi melalui 1,25(OH)2D3 menekan ekspresi gen renin (Burgess et al. 1990; Li et al. 2002).

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian suplementasi vitamin D dengan dosis 400 IU/hari ditambah kalsium maupun tanpa tambahan kalsium mampu meningkatkan serum 25(OH)D pekerja WUS di garmen PT SUI. Terlihat bahwa sesudah suplementasi 12 minggu terjadi kenaikan serum 25(OH)D pada kedua kelompok. Pada kelompok VDK, terjadi peningkatan sebesar 21.6% sementara pada kelompok VD saja terjadi peningkatan hampir dua kali lebih tinggi (42.3%) dari kelompok VDK. Gambaran kepatuhan konsumsi suplemen memperlihatkan kelompok VD lebih tinggi kepatuhannya dibandingkan kelompok VDK. Konsumsi oral vitamin D tidak secara langsung berhubungan dengan peningkatan kadar 1,25-vitamin D karena secara fisiologis bentuk aktif vitamin D ini perlu mengaktifkan enzim 25-hidroksilase dan 1-α-hidroksilase.

Sebuah intervensi dilakukan pada wanita berpenghasilan rendah di Bangladesh yang, asupan makanan rendah Ca dan vitamin D, tidak memiliki kegiatan di luar ruangan meskipun tinggal di negara yang disinari matahari diberikan suplementasi 1000 IU vitamin D ditambah 600 mg kalsium/hari yang diberikan selama 12 bulan dapat mempertahankan dan memperbaiki serum 25(OH)D sebesar 12.96 ng/mL tidak berbeda dengan kelompok yang hanya mendapatkan 1000 IU vitamin D saja per hari yang memperbaiki serum 25(OH)D sebesar 12.88 ng/mL (Islam et al. 2010).

Pada studi ini terjadi penurunan prevalensi defisiensi vitamin D baik pada kelompok VDK maupun kelompok VD. Distribusi prevalensi vitamin D sebelum suplementasi pada masing-masing kelompok adalah 75% dan 89.5%. Demikian pula setelah suplementasi, prevalensi defisiensi vitamin D turun menjadi 50% pada kelompok VDK dan 36.8% pada kelompok VD. Status serum 25(OH)D awal pada kelompok VD lebih rendah dibanding kelompok VDK sehingga respon perbaikan serum 25(OH)D lebih baik dibanding subjek yang tidak defisiensi.

Peningkatan serum 25(OH)D tidak diikuti dengan perubahan tekanan darah dan profil lipid. Hal ini disebabkan karena respon biokimia darah setelah diberikan dosis vitamin D bervariasi, perbedaan penyebab kekurangan serta tingkat keparahannya. Sebelum suplementasi, ditemukan serum 25(OH)D yang sangat rendah (3.5 ng/dL) pada kelompok garmen yang mungkin karena jarang terpapar sinar matahari mengingat jam bekerja dimulai dari pukul 07.00 hingga 18.00. Keadaan tersebut nampaknya yang menyebabkan pemberian dosis vitamin D dua kali AKG (400 IU) masih terlalu rendah sehingga belum mampu memperbaiki serum 25(OH)D, tekanan darah dan profil lipid. Semakin rendah konsentrasi 25(OH)D awal maka dosis suplementasi yang akan diberikan semakin tinggi sehingga dapat meningkatkan konsentrasi serum di atas 75 nmol/L (Vieth et al.

2004). Kondisi konsentrasi serum 25(OH)D awal < 50 nmol/L diperkirakan dapat meningkatkan 1.2 nmol/L untuk pemberian setiap 40 IU suplemen vitamin D yang dikonsumsi harian. Ketika serum 25(OH)D <10 nmol/L, terjadi percepatan peningkatan serum 25(OH)D mencapai 3.45 nmol/L untuk pemberian setiap 40 IU suplemen vitamin D. Kondisi awal serum 25(OH)D >70 nmol/L penyerapan menurun hingga 0.7 nmol/L untuk pemberian setiap 40 IU suplemen vitamin D (Tsiaras dan Weinstock 2011)

Bahan makanan sumber vitamin D sangat terbatas. Sumber utama vitamin D adalah salmon, mackerel, ikan tuna, jamur, kuning telur dan jus jeruk. Vitamin D juga dapat diperoleh dari makanan yang diperkaya dengan vitamin D, diantaranya produk sereal, produk roti, susu, mentega, keju, margarin (Holick 2007). Asupan

vitamin D subjek tidak mempengaruhi keadaan serum 25(OH)D dikarenakan makanan sumber vitamin D ini relatif mahal. Bahan makanan yang sering dikonsumsi sebagai sumber vitamin D adalah telur ayam, serelia, dan yogurt.

Jaringan adipositas juga memberikan kontribusi terhadap variabilitas respon 25(OH)D terhadap suplemen yang diberikan. Vitamin D larut dalam lemak memiliki sifat tersimpan dalam jaringan adiposa sehingga konsentrasi 25(OH)D yang beredar lebih rendah dibanding subjek dengan berat badan normal. Dengan demikian, diperlukan vitamin D yang lebih besar pada individu yang memiliki kelebihan berat badan dan obesitas (Wortsman et al. 2000; Maki et al. 2009).

Selain itu bila dikaitkan dengan asupan makanan terlihat bahwa asupan energi, lemak dan karbohidrat terjadi pada kedua kelompok setelah mendapat intervensi. Pada akhir suplementasi terjadi peningkatan rata-rata asupan lemak. Asupan lemak subjek kelompok VDK meningkat menjadi 49.4 g yang memenuhi sekitar 102.9% AKG lemak, sementara rata-rata asupan lemak subjek kelompok VD meningkat menjadi 56.5 g lemak memenuhi sekitar 117.7% AKG lemak. Frekuensi asupan sumber lemak dari gorengan pada sebagian besar subjek tergolong tinggi, dimana lebih dari separuh subjek mengonsumsi gorengan setiap kali makan. Umumnya gorengan yang dikonsumsi antara lain bakwan, pisang goreng, tahu goreng. Yang dikhawatirkan adalah minyak goreng yang telah digunakan berulang kali sehingga mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap peningkatan kolesterol total dan LDL. Selain itu dapat menurunkan kadar kolesterol HDL subjek. Asam lemak tidak jenuh pada minyak goreng saat pemanasan berulang dapat berubah menjadi minyak jenuh dan lemak trans. Hal ini didukung hasil analisis rasio K-total/K-HDL terjadi peningkatan dari 3.9 menjadi 4.6 pada kelompok VD sedangkan rasio K-LDL/K- HDL meningkat dari 2.4 menjadi 3.0 pada akhir intervensi. Sementara kelompok VDK rasio K-total/K-HDL terjadi peningkatan dari 4.2 menjadi 4.4 sedangkan rasio K-LDL/K-HDL meningkat dari 2.4 menjadi 2.8 di akhir intervensi.

Selain itu, suplementasi kolekalsiferol atau ergokalsiferol dapat meningkatkan serum 25(OH)D tidak seefektif paparan sinar matahari. Namun untuk sintesis vitamin D di kulit memerlukan prekursor kolesterol yang sudah diubah menjadi 7-dehidrokolesterol dan dapat menghasilkan photoproduk lain yang dapat mempengaruhi tingkat lipid. Seringnya kulit terpapar dengan sinar matahari mengakibatkan kolesterol endogen di dalam tubuh berfungsi untuk pembentukan hormon antara lain hormon sekosterol yang merupakan derivate 7- dehidrokolesterol lebih banyak. Derivate 7-dehidrokolesterol (previtamin D) merupakan prekursor langsung kolesterol yang dibentuk dari kolesterol endogen tubuh (Marks et al. 2000; Almatsier 2004). Dengan kata lain kolesterol dibutuhkan untuk pembentukan previtamin D yang akan dikonversikan menjadi vitamin D3 bila terpapar dengan sinar matahari. Hal inilah yang menyebabkan terjadi penurunan K- total dan K-LDL setelah mendapatkan paparan sinar matahari.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa rata-rata kalsium serum pada subjek yang bekerja di Sekda Kabupaten Bogor justru menurun setelah mendapat paparan sinar matahari. Rata-rata kalsium serum sebelum mendapat paparan matahari sebesar 13.0 mg/dL menurun menjadi 9.8 mg/dL setelah mendapat paparan sinar matahari. Sementara rata-rata kalsium serum pada subjek di pabrik garmen tidak mengalami perubahan pada kedua perlakuan. Hal ini dapat dikarenakan metabolisme kalsium dalam tubuh tidak lepas dari peran vitamin D3 (kalsitriol) pada saluran cerna dan sintesis vitamin D3 endogen (Passeri et al. 2008). Peningkatan

serum 25(OH)D dapat mempertahankan konsentrasi kalsium serum dalam kisaran normal (9-11 mg/dL) dengan meningkatkan efisiensi usus halus menyerap kalsium (Bushinsky dan Monk 1998; Murray et al. 2003). Namun bila tubuh mengalami penurunan vitamin D juga merusak homeostasis kalsium dan fosfor dalam tubuh. Defisiensi vitamin D menurunkan penyerapan kalsium dari usus kecil. Hal ini menyebabkan peningkatan produksi dan pelepasan PTH ke dalam sirkulasi, sehingga mengembalikan homeostasis kalsium melalui peningkatan reabsorpsi tubular kalsium di dalam ginjal, meningkatkan mobilisasi kalsium tulang dari tulang, dan meningkatkan produksi 1,25(OH)2D (Ullah et al. 2009).

Keterbatasan penelitian

Penelitian ini hanya menggunakan dua perlakuan dengan dosis vitamin D sama (400 IU) hanya saja dikombinasikan dengan 500 mg kalsium pada salah satu perlakuan, dengan ukuran subjek penelitian yang relatif kecil. Hal ini dikarenakan alasan secara teknis sulit mendapat izin dari pihak garmen untuk menggunakan subjek yang lebih banyak. Pertimbangan waktu yang semakin lama jika lebih dari dua perlakuan serta kekhawatiran drop out yang tinggi mengingat intervensi yang diberikan adalah dalam bentuk obat yang berisiko pada kebosanan.

Faktor risiko yang mempengaruhi peningkatan serum 25(OH)D antara lain rendahnya tingkat kepatuhan dan penerimaan baik pada kelompok WUS di Sekda maupun WUS yang bekerja di pabrik garmen. Hal ini disebabkan karena kurangnya kesadaran dan pengetahuan subjek yang berdampak tidak termotivasi untuk mengikuti intervensi.

Perhitungan asupan zat gizi secara kuantitatif menggunakan food recall yang dilakukan 2 hari (satu hari kerja dan satu hari libur) sebanyak 2 kali (sebelum dan setelah) intervensi dan secara kualitatif dengan FFQ satu bulan terakhir. Kelemahan metode ini adalah subjek lupa makanan yang dikonsumsi baik jumlah maupun jenis. Subjek pada penelitian ini adalah pekerja wanita usia subur yang bekerja di pabrik garmen sehingga interpretasi mungkin lebih menggambarkan keadaan pekerja wanita di pabrik garmen. Sebagian besar subjek berasal dari ekonomi golongan menengah ke bawah sehingga kemungkinan kurang dapat menggambarkan keadaan pola konsumsi pekerja dengan ekonomi golongan menengah ke atas.

Implikasi hasil penelitian

Masalah kekurangan vitamin D tidak hanya mengincar negara yang memiliki empat musim saja (sub tropis) namun juga meningkat di negara tropis seperti Indonesia terutama pada pekerja yang mengabdikan dirinya bekerja dari mulai pagi hari hingga sore hari di ruangan tertutup. Oleh sebab itu penerima manfaat studi ini adalah wanita usia subur yang bekerja di ruangan tertutup, namun juga dapat dimanfaatkan pada pekerja laki-laki yang berisiko untuk jarang terpapar matahari antara lain pekerja bank, rumah sakit, para narapidana, dan lainnya.

Sinar matahari yang sangat mudah didapat serta tidak mengeluarkan biaya sebagai alternatif terbaik untuk meningkatkan konsentrasi vitamin D. Namun bila hal ini sangat tidak mungkin untuk dilakukan, suplementasi vitamin D dapat digunakan sebagai salah satu upaya penanggulangan kekurangan vitamin D.

Paparan sinar matahari pada wajah dan lengan selama 20-30 menit diperkirakan setara dengan 2000 IU vitamin D per kali pemajanan. Dalam penelitian ini dipajankan tiga kali seminggu, vitamin D yang diperoleh melalui paparan sinar matahari sekitar 6000 IU/ minggu. Bila dibandingkan dengan suplemen yang diberikan dengan dosis 400 IU/hari maka suplemen memberikan kontribusi terhadap vitamin D sekitar 2800 IU/minggu. Paparan matahari dilakukan 36 X 2000 IU = 72.000 IU, sementara suplementasi yang diberikan setara dengan 2800 IU X 12 minggu = 33.600 IU. Hal ini berarti suplemen memberikan vitamin D lebih rendah (hampir separuh) dari paparan sinar matahari.

Paparan sinar matahari adalah salah salah satu pendekatan yang efektif dan tidak mahal untuk memperbaiki dan mempertahankan status vitamin D. Perkiraan biaya produksi suplementasi vitamin ini sebesar Rp 1500/kapsul. Biaya yang dikeluarkan untuk 12 minggu adalah Rp 1500 x 7 kapsul x 12 minggu = Rp 126.000. Hal ini berati dengan paparan sinar matahari dapat menghemat sekitar Rp 84.000 per bulan untuk biaya suplementasi vitamin D.

8

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait