• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

C. Pembahasan Hasil Penelitian tenang Pengunaan Bahasa Jawa dalam

2. Pembahasan Penelitian

Pada bagian ini penulis akan menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan di stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen. Tujuan dari penelitian yang lakukan ialah mengetahui pandangan umat mengenai penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, mengetahui sejauh mana penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu umat dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen, Mengetahui usulan atau harapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

a. Pandangan umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen tentang penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi.

Berdasarkan tabel 1 umat Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen memandang penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi dimulai sejak adanya Agama Katolik masuk dalam wilayah Kemranggen. Kemudian pada tabel 4, kaum muda menyebutkan bahwa dari sejak awal mengikuti Perayaan Ekaristi sudah menggunakan Bahasa Jawa. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa para misionaris dari Paroki Kutoarjo telah mengikuti perkembangan ajaran Gereja, sepuluh tahun kemudian setelah Konsili Vatikan II barulah Agama Katolik mulai masuk ke dalam wilayah Kemranggen pada tahun 1980. Hal ini ditegaskan oleh jawaban dari responden 4 yang menyataka:

Pada awal mula ada seorang pastor yang datang kewilayah Kemranggen, beliau senantiasa menggunakan Bahasa Jawa, mulai dari mengenalkan doa-doa sampai kepada tataperayaan Ekaristi

menggunakan bahasa Jawa. Hal ini sesuai dengan keadaan umat, walaupun awalnya Misa dilakukan keliling dari rumah kerumah yang lain dan masih sangat jarang dilaksanakan. (R4)

Kemudian dipertegas dengan responden 8 sebagai orang Katolik generasi pertama, mengemukakan bahwa Bahasa Jawa digunakan sejak masuknya Agama Katolik ke wilayah Kemranggen pada waktu itu. Seorang pastor membawa dan mengajarkan agama Katolik dengan menggunakan Bahasa Jawa termasuk dalam Tata Perayaan Ekaristi. Responden 1, 2, 5, 6, 7, 9, dan 10 menyampaikan bahwa menjadi orang Katolik sejak menikah pada tahun 1988 dan pilihan pribadi pada tahun 1990, mulai mengikuti Perayaan Ekaristi sudah menggunakan Bahasa Jawa. Responden 11, 12, dan FGD sebagai orang katolik sejak lahir dan mengingat saat mulai mengikuti Perayaan Ekaristi kira-kira pada saat berusia 7 tahun sudah menggunakan Bahasa Jawa.

Menurut responden yang menjadi alasan awal mula Bahasa Jawa digunakan dalam Perayaan Ekaristi ialah, responden 1 mengungkapkan bahwa:

Stasi Kemranggen merupakan stasi didesa yang telaknya paling jauh dari Paroki dan masih memegang teguh budaya Jawa khususnya Bahasa Jawa, sehingga Bahasa Jawa digunakan dalam menyampaikan dan sebagai sarana pengungkapan iman umat, hal ini diniai sangat cocok dengan keadaan dan situasi yang dialami oleh para misioner pada waktu itu. R1

Pernyataan dari responden 1 ditegaskan kembali oleh sebagian responden yaitu responden 2, 3, 5, 8, 9, 10 dan FGD yang menyatakan bahwa Bahasa Jawa bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari umat,

sehingga mempermudahkan umat dalam menanggapai Sabda Tuhan serta melihat umat yang dihadapi sebagian besar ialah orang tua. Alasan penggunaan Bahasa Jawa diperkuat lagi dengan jawaban dari responden 4, 6, 7, 11, dan 12 yaitu urut serta dalam melestarikan budaya Jawa, supaya tidak kehilangan identitas sebagai orang jawa. Dengan demikian maka tercapainyalah apa yang terdapat dalam SC 36 dimana dikatakan bahwa “bahasa pribumi akan jauh bermanfaat bagi umat setempat”.

Pernyataan bahwa Bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari dipertegas dengan jawaban umat mengenai Bahasa Jawa yang senantiasa digunakan dalam setiap Perayaan Ekaristi. Responden 3 menjawab bahwa:

Bahasa Jawa selalu digunakan dalam setiap Perayaan Ekariti di Stasi Kemranggen, namun pada saat ada seorang Romo yang dari Manado, Stasi Kemranggen mendapat jadwal Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, pada saat itulah umat diperkenalkan dengan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia. Hal ini bertujuan agar umat juga bisa mengikuti Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia pada saat mengikuti Ekaristi di Paroki. Namun setelah romo pindah, Perayaan Ekariti kembali lagi dengan menggunakan Bahasa Jawa. (R3)

Semua responden menjawab sama bahwa Bahasa Jawa senantiasa digunakan dalam setiap Perayaan Ekaristi, namun pada saat ada seorang Romo dari Manado yang kurang paham dengan Bahasa Jawa mulai memperkenalkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam Misa dengan tujuan supaya umat dapat mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Indonesia saat mengikuti Misa di Paroki pada setiap Hari Raya pada saat itu. Namun setelah Romo tersebut pindah tugas, Stasi Kemranggen kembali menggunakan Bahasa Jawa.

Menurut responden bagaimana tanggapan umat tentang penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Responden 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8 dan FGD mengungkapkan bahwa umat merasa lebih khidmat dan dapat mengikuti dengan baik Perayaan Ekaristi. Sedangkan resonden 9, 10, 11 dan 12 mengungkapkan karena terbiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi yang menjadikan umat dapat memahami dibandingkan dengan Perayaan Ekarisi dengan Bahasa Indonesia yang dirasa kurang menyentuh hati umat karena tidak terbiasa. Hal ini berdasarkan dengan “asal usul suku Jawa yang juga berkaitan dengan bahasa yang digunakan, yaitu Bahasa Jawa” (Endraswara, 2015:169).

Pernyataan tanggapan masing-masing umat terhadap Perayaan Ekaristi Bahasa Jawa dipertegas lagi dengan jawaban mengenai tanggapan umat pribadi terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi. Responden 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 11 menyatakan bahwa dengan Bahasa Jawa dapat lebih membantu dalam menghayati, lebih khusuk serta lebih mantab mengikuti Perayaan Ekaristi. Diperkuat dengan pernyataan responden 2 yang menyatakan bahwa:

Akan jauh lebih menyentuh hati apabila mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Jawa, bahkan pada saat melihat Perayaan Ekaristi pada hari besar melalui siaran televisi apabila ada yang menggunakan Bahasa Jawa, maka hatipun lebih tersentuh dan lebih mantab walaupun itu hanya melihat melalui televisi. (R2)

Pertanyaan dari responden 2 dilengkapi kembali dengan responden 5, dan 9 yang mengungkapkan bahawa Bahasa Jawa yang digunakan dirasa jauh lebih sopan dengan tingkatan dalam Bahasa Jawa dalam menyampaikan

kepada setiap golongan yang berbeda. Secara resmi ada dua jenis Bahasa Jawa yang diguanakan oleh masyarakat suku Jawa, yaitu Bahasa Jawa Ngoko dan Bahasa Jawa Krama, dalam Perayaan Ekaristi digunakan Bahasa Jawa Krama yang digunakan kepada orang yang status sosialnya lebih tinggi (Endraswara, 2015:169). Namun lain halnya dengan responden 10, 12, dan FGD yang berbeda dalam menanggapi Bahasa Jawa yang digunakan, mereka cenderung lebih memilih dan mudah memahami dengan pengguanaan Bahasa Indonesia. Mereka beranggapan bahwa untuk sekarang ini Bahasa Indonesia umum digunakan dan lebih akrab didengar khususnya dalam kalangan anak muda dan anak-anak pada waktu disekolah maupun dalam lingkungan. Dalam lingkungan sekolah guru bahasa mengajarkan agar para muridnya terampil menggunakan bahasa Indonesia, karena dengan terampil berbahasa maka murid maka dapat diharapkan akan bisa berkomunikasi dengan ornag lain dengan baik dan lancar (Taringan, 2009).

Bertolak dari tanggapan umat terhadap penggunaa Bahasa Jawa, kemudian apakah penggunaan bahasa berpengaruh terhadap kehadiran umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi. “Bahasa bukanlah menjadi kendala kehadiran umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi, pada umumnya cuaca yang menjadi kendala utama” (R11). Berdasarkan keaktifan “umat yang beriman yang secara sadar dan aktif dalam seluruh Perayaan Ekaristi, sejak persiapan, saat pelaksanaan” (Martasudjita, 2009:108). Pernyataan responden 11 dipertegas dengan penyataan seluruh responden yang menyatakan bahwa bahasa tidak berpengaruh terhadap kehadiran umat, karena untuk saat ini

setiap Perayaan Ekaristi selalu menggunakan Bahasa Jawa maka mau tidak mau umat senantiasa mengikuti bahwa mereka yang lebih memilih bahasa Indonesiapun aktif mengikuti Perayaan Ekaristi. Responden 11 dan FGD menambahkan jawaban yang menyatakan cuaca menjadi penguruh utama dalam kehadiran umat karena jarak rumah umat dengan Gereja yang cukup jauh. Sedangkan yang dihasilkan FGD oleh para remaja menyatakan kadang kala lebih mementingkan acara pribadi ataupun bersama teman-teman lain yang menjadi kendala untuk tidak hadir dalam Perayaan Ekaristi.

Menurut responden apakah penggunaan Bahasa Jawa yang sebagian umat menjawab bahwa Bahasa Jawa ialah Bahasa yang digunakan setiap hari dan karena terbiasa, apakah hal tersebut mendorong partisipasi umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi serta bagaimanakah bentuk partisipasinya. Semua responden menjawab dapat mengikuti aktif dalam lagu, menanggapi mazmur, doa maupun dialog dengan romo. Hal ini berkaitan dengan “partisipati umat beriman dalam liturgi berdasarkan tugas dan tanggungjawab di dalam Perayaan Ekaristi. Selain petugas tertasbih, diantara umat beriman juga dipilih petugas liturgi dan ambil bagian dalam pelayan liturgi, seperti mazmur, lektor, pemandu lagu, koster” (Martasudjita, 2009:109). Partisipasi umat tersebut juga mencerminkan pembaharuan dalam Konsili Vatikan II bahwa Perayaan Ekaristi bukan hanya urusan pastor dan koster saja (Mariyanto, 1997: 227). Namun hasil dari FGD menyatakan bahwa kadang kala ketinggalan dengan doa yang didaraskan karena sebagian umat

cenderung lebih fasih dan cepat dalam mengucapkannya. Adapun bentuk partisipasinya ialah sebagai berikut. Responden 2 menjawab bahwa ”

Dengan bahasa yang digunakan akan turut mendorong partisipasi dalam Perayaan Ekaristi terutama dalam mazmur walaupun masih terus belajar namun tetap berusaha untuk tampil sejauh bisa dilaksanakan, terkadang meminta bantuan kepada saudara yang bukan Katolik yang bisa membaca not balok, hal ini tidak membuat malu justru memotivasi untuk lebih berusaha lagi. (R2)

Pernyataan dari responden 2 mendapat dukungan dari responden 9 yang juga kadang kala menggantikan menjadi mazmur. Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen memang belum lama mengggunakan mazmur yang dinyanyikan, namun beberapa tahun belakangan mendapat dukungan dari paroki untuk menyanyikan mazmur. Partisipasi yang paling banyak yaitu lektor serta doa umat yang dijawab oleh responden 3, 5, 6, 9, 11 dan 12. Sedangkan responden 10 dan FGD mengemukakan bahwa merasa kurang yakin apabila ingin bertugas karena sudah ada petugasnya, namun apabila Misa dengan Bahasa Indonesia tidak menutup kemungkinan untuk dapat bertugas sebagai lektor. Responden 4 dan 8 keran sudah sepuh maka merasa sudah tidak sanggup lagi untuk ikut berpartisipasi mengingat banyak yang lebih muda untuk dapat bertugas.

b. Penggunaan Bahasa Jawa dan Penghayatan Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

Berdasarkan tabel 2 tentang penggunaan Bahasa Jawa dan penghayatan Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen

dapat ditemukan bahwa penggunaan Bahasa Jawa dapat membantu umat dalam mengerti dan menghayati pada saat pembacaan Kitab Suci dan homili. Hal ini berkaitan dengan apa yang telah disampaikan oleh Ernes Mariyanto dalam bukunya “Gereja Katolik Pasca Konsili II” “bahasa setempat yang akan lebih muda diikuti dan dimengerti”. Namun berbeda dengan tabel 5, kaum muda apa yang dikemukanan oleh kaum remaja, mereka cenderung lebih memilih Bahasa Indonesia dalam Perayaan Ekaristi.

Sebagai orang Jawa tulen saya merasa bahwa Kitab Suci dengan Bahasa Jawa akan sanat mudah dipahami, berbeda dengan bacaan Kitab Suci dengan Bahasa Indonesia, walaupun sekarang ini bahasa Indonesia lumrah digunakan dalam setiapkalangan namun apabila mendengarkan ataupun membaca Kitab Suci dengan bahasa Jawa akan sangat menyentu hati. (R 3)

Pernyataan dari responden 3 mendapat dukungan dari sebagian besar responden yakni responden 1, 2, 4, 5, 6 dan 11 yang senantiasa menyatakan bahwa bacaan dan homili dengan menggunakan Bahasa Jawa dapat dengan mudah diterima dan dipahami karena sudah terbiasa, walaupun kadangkala ada beberapa istilah yang kurang dipahami dalam namun dengan homili yang disampaikan romo dapat memperjelas maksud yang ingin disampaikan dalam Kitab Suci. Responden 7, 8, dan 9 memperkuat lagi dengan pernyataan bahwa Bahasa Jawa bukanlah menjadi kendala karena sejak dulu akrab didengarkan, namun apabila romonya kurang paham Bahasa Jawa maka penyampaianya kurang tepat dan terkesan menjadi lucu sehingga mengurangi konsentrasi. Berbeda dengan renponden yang lain, responden 10, 12, dan FGD berpendapat bahwa mengerti namun lebih mudah dipahami apabila

menggunakan Bahasa Indonesia. Umat tersebut menyatakan bahwa mendengarkan Kitab Suci cenderung hanya pada saat di Gereja pada setiap hari minggu sehingga haruslah sungguh-sungguh dihayati dengan baik.

Pengaruh Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi dipertegas lagi melalui jawaban mengenai apakah penggunaan Bahasa Jawa membantu umat dalam menghayati Perayaan Ekaristi dalam Liturgi Ekaristi. Sebagian besar responden dari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 11 menyatakan bahwa Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi sangat membantu dalam menghayati dan lebih menyentuh hati umat pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi dengan demikian maka tercapailah apa yang dikemukakan dalam SC 36 yang menyatakan bahwa dalam Misa maupun dalam bagian-bagian liturgi, bahasa pribumi akan jauh lebih bermanfaat dan sudah sewajarnya apabila mendapat keleluasaan. Hal ini ditekankan kembali oleh responden 11 menyatakan bahwa “setiap mengikuti Perayaan Ekaristi selalu menggunakan Bahasa Jawa sehingga sudah akrab apabila berdoa kepada Tuhan dalam doa pribadi selalu menggunakan Bahasa Jawa”. Responden 12, dan FGD kembali menyatakan dan tetap berpegang bahwa mereka lebih memilih Bahasa Indonesia walaupun sudah terbiasa dengan Bahasa Jawa.

Menurut responden apakah penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi berpengaruh dalam mendaraskan doa pribadi maupun doa bersama. Dalam bukunya Ernes Mariyanto kembali mengungkapkan bahwa “Doa-doa dan bacaan yang didengar langsung dapat ditangkap maksudnya. Bahasa setempat juga memungkinkan jemaat untuk menyusun doa sendiri dan

memanjatkannya dengan lebih ekspresif”. Berkaitan dengan hal tersebut responden 2 menjawab bahwa kebiasaan dengan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi juga berpengaruh pada saat mendaraskan doa pribadi dan doa bersama, kecuali dalam doa Malaikat Tuhan yang lebih mudah dihafal dan merasa lebih singkat dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Reponden 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan 11 juga menyatakan hal yang demikian, karena keterbiasaan menggunakan Bahasa Jawa dalam Misa menjadikan lebih mudah mengucapkan doa pribadi muapun doa bersama dengan Bahasa Jawa. Lain halnya dengan responden 10,12 dan FGD yang masih pada jawaban bahwa menggunakan Bahasa Indonesia dirasa lebih mudah diucapkan karena akrab mendengarkan Bahasa Indonesia.

Menurut hasil wawancara dengan umat, apakah Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Jawa dalam membantu umat untuk memaknai Ekaristi dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran secara bebas dan aktif dalam mengikuti Perayaan Ekaristi diharapkan akan sampai kepada pengalaman misteri iman dalam kehidupan sehari-hari (Martasudjita, 2009:108).

Umat Katolik di Stasi Kemranggen mendapatkan tempat di kalangan masyarakat setempat dengan turut terlibat menjadi dalam perangkat desa maupun pemerintahan, hal ini membuktikan bahwa umat Katolik dapat senantiasa menyesuaikan diri dalam masyarakat yang memunculkan rasa saling menghargai dan menghormati satu sama lain antar umat beragama. (R1)

Pernyataan dari responden 1 mendapat dukungan dari responden 10 yang merupakan sekretaris desa yang hampir 90% warganya ialah Muslim. Namun dalam bertugas senantiasa mengutamakan nilai-nilai Kristiani yang

sudah lama dianutnya. Kemudian responden 3 menambahkan lagi bahwa dalam lingkungan kerjanya hanya seorang diri yang beragama Katolik, tidak ada yang merasa keberatan bahkan dalam lingkungan menjadi ketua RT, hal ini tentu saja suatu penghargaan sebagai kaum minoritas. Responden 2, 4, 5, 7, 8, 9, 11, dan 12 senantiasa berusaha untuk dapat menerapkan nilai-nilai Kristiani kedalam hidup bermasyarakat tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain, namun sebagai manusia yang lemah dan banyak kekurangan maka hal itu tidak dapat sepenuhnya dilaksanakan. Ditambah dengan jawaban dari respoden 6 yang menyatakan bahwa umat Katolik di Stasi Kemranggen merupakan umat yang sangat minoritas sehingga tidak dengan mudah dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Hasil dari FGD yang diungkapkan oleh kaum muda juga menyatakan bahwa menerapkan nilai Kristiani tidak mudah dengan berhadapan dengan kaum yang mayoritas terutama dalam lingkungan sekolah bagi yang sekolah di sekolah Negeri, namun lain halnya bagi yang sekolah di sekolah Katolik yang selalu diajarkan untuk hidup berdasarkan nilai-nilai Kristiani setiap saat dan lingkungan sekolahpun dapat mendukung.

c. Usulan atau Harapan Umat terhadap Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverius Kemranggen.

Berdasarkan tabel 3 harapan umat terhadap penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Xaverus Kemranggen, penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi sangat membantu umat

dalam segi penghayatan. Dengan demikian umat tetap berharap supaya Bahasa Jawa akan tetap digunakan. Namun tidak menutup kemungkinan dengan penggunaan bahasa Indonesia. Hal tersebut juga diperoleh dari tabel 6 yang menyebutkan bahwa kaum muda juga mengharapkan adanya selingan, tidak hanya menggunakan Bahasa Jawa saja namun tidak meninggalkannya.

Sebagai orang tua tentu saja mengerti kebutuhan yang dirasakan oleh anak-anak dan remaja yang pada umumnya keluar dari daerah Kemranggen. Berdasarkan pengalaman mereka, tentu saja tidak atau pernah sesekali mengikuti Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia sehingga pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi Bahasa Indonesia sedikit kesulitan padahal mereka akan jauh lebih mengerti apabila menggunakan Bahasa Indonesia, sehingga akan lebih baik jika kembali dijadwalkan Ekaristi Bahasa Indonesia, namun hal itu butuh proses, karena sebagian besar umat sudah terbiasa dan lebih membantu menghayati, sehingga tidak semua umat setuju menggunakan Bahasa Indonesia. (R 6)

Pernyataan dari R6 tersebut mendapat dukungan dari hampir semua responden yang menyatakan bahwa tetap mempertahankan Bahasa Jawa karena memang dirasa sangat membantu dalam segi penghayatan. Responden 1, 2, 3, 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan FGD menghendaki Bahasa Jawa harus tetap dipakai dalam Perayaan Ekaristi, namun ada kalanya juga adanya Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Indonesia walaupun tidak harus setiap bulan. Demi terbuka dengan bahasa lain dan supaya umat juga senantiasa dapat mengikuti Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia pada saat mengikuti Perayaan Ekaristi di Gereja manapun, namun tidak serta merta meninggalkan Bahasa Jawa yang sudah ditetapkan di stasi Kemranggen. Hal ini juga memerlukan waktu yang tepat supaya umat juga siap menggunakan Bahasa Indonesia karena tidak semua umat akan setuju.

Dari kaum muda sangat mengharapkan adanya Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. walaupun tidak rutin namun tetap memberikan kesempatan kepada kaum muda untuk bisa lebih menghayati dengan menggunakan Bahasa Indonesia serta dapat ikut berperan didalamnya seperti misalnya menjadi lektor. (FGD)

Pernyataan tersebut dinyatakan oleh salah satu peserta FGD yang sebagian besar dari mereka sangat menghendaki adanya Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Sedangkan responden 3, 4, dan 8 tidak menyebutkan bahwa adanya selingan dengan Bahasa Indonesia namun lebih menyatakan supaya tidak meninggalkan Bahasa Jawa dan tetap menggunakan Bahasa Jawa, supaya tidak kehilangan identitas sebagai orang Jawa.

D. Kesimpulan Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis menyimpulkan bahwa penggunaan Bahasa Jawa membantu umat dalam menghayati Perayaan Ekaristi. Hal ini dapat diperoleh dari jawaban responden yang menyatakan bahwa penggunaan Bahasa Jawa membantu umat dalam menanggapai Sabda Tuhan serta memperdalam iman Kristiani. Stasi St. Fransiskus Xaverius menggunakan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi sejak masuknya Agama Katolik ke dalam wilayah Kemranggen dan mulai diadakan kelompok Misa sejak tahun 1980. Para misionaris datang mewartakan Kerajaan Allah dengan menggunakan Bahasa Jawa sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II yang dilaksanakan sepuluh tahun sebelum Agama Katolik masuk dalam wilayah Kemranggen. Hal ini dinilai sangat

sesuai dengan keadaan dan kondisi umat setempat yang senantiasa menggunakan Bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa Jawa dianggap lebih sopan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Tuhan, namun hal ini berbeda dengan apa yang dirasakan oleh kaum muda. Melihat tujuan awal penggunaan bahasa daerah supaya membantu umat ternyata tidak sepenuhnya terlaksana dan dirasakan oleh kaum muda.

Sampai saat ini Perayaan Ekaristi di Stasi St. Fransiskus Kemranggen selalu menggunakan Bahasa Jawa, hal tersebut menjadikan umat sulit untuk mengikuti Perayaan Ekaristi dengan menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun pernah diperkenal Perayaan Ekaristi dengan Bahasa Indonesia pada saat ada seorang romo dari Manado. Romo tersebut selain kurang pandai Bahasa Jawa, juga bertujuan supaya pada saat umat Stasi St. Fransiskus Xaverius mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari besar di Paroki ataupun pada saat mengikuti dengan menggunakan Bahasa Indonesia, umat senantiasa aktif dalam mengikuti dan dapat memahaminya. Namun, setelah romo tersebut pindah tugas, umat Stasi Kemranggen tidak lagi menggunakan Bahasa Indonesia dalam Perayaan Ekaristi.

Penggunaan Bahasa Jawa tidak hanya dalam Perayaan Ekaristi melainkan dalam mendaraskan doa pribadi maupun doa bersama oleh umat. Bahasa Jawa yang digunakan tidak berpenggaruh terhadap kehadiran umat dalam mengikuti Perayaan Ekaristi, bagi umat yang lebih memilih Bahasa Indonesia pun akan tetap mengikuti Perayaan Ekaristi pada hari minggu. Kendala yang paling utama ialah cuaca, mengingat jarak rumah umat dengan

Gereja yang cukup jauh. Kaum muda mengungkapkan kendalanya ialah karena lebih mengutamakan acara pribadi maupun acara sekolah. Meskipun kaum muda lebih memilih dengan menggunakan Bahasa Indonesia namun mereka senantiasa datang dan tidak menjadikan bahasa sebagai alasan untuk tidak hadir. Sebagai orang Jawa maka penggunaan Bahasa Jawa dirasa sangat efektif sebagai sarana berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Hal ini dibuktikan dengan masih eksisnya Bahasa Jawa dihati umat Stasi St. Fransikus Xaverius Kemranggen. Bahasa Jawa yang mampu menggerakkan hati umat untuk berusaha ikut ambil bagian dalam Perayaan Ekaristi, selain aktif dalam mengikuti langkah demi langkah juga dalam tugas seperti