• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Penggunaan Bahasa Jawa dalam Perayaan Ekaristi untuk membantu

1. Perayaan Ekaristi Menurut Konsili Vatikan II

Istilah Ekaristi yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan II terdapat dalam dokumen Sacrosanctum Concilium, Lumen Gentium, Presbyterorum Ordinis. Konsili Vatikan II tidak secara sistematis menyampaikan tema Ekaristi. SC 47 secara singkat merumuskan mengenai Ekaristi, sebagai berikut:

Pada perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, Penyelamat kita mengadakan Kurban Ekaristi Tubuh dan Darah-Nya. Dengan demikian, Ia mengabdikan Kurban Salib untuk selamanya, dan mempercayakan kepada Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, kenangan wafat dan kebangkitan-Nya: sakramen cinta kasih, lambang

kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah. Dalam perjamuan itu Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dipenuhi jaminan kemuliaan akan datang.

Berdasarkan artikel dari SC dapat diperoleh beberapa kesimpulan pokok dari Ekaristi yang dihasilkan oleh Konsili Vatikan II.

a. Ekaristi sebagai Sumber dan Puncak Kehidupan Gereja

Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja, Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai ”sumber dan puncak” seluruh kegiatan Gereja, walaupun liturgi tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja. Liturgi sebagai puncak seluruh kegiatan Gereja dan sebagai sumber daya- kekuatan (SC 10). Liturgi mendorong umat beriman supaya setelah mereka dipuaskan dengan sakramen-sakramen dipersatukan dalam persekutuan, mereka mampu mengamalkan apa yang mereka peroleh kedalam hidup sehari-hari. Liturgi Ekaristi sebagai sumber yang mengalirkan rahmat kepada umatnya. Kerena hidup ialah suatu ibadah maka istilah Perayaan Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja menunjuk perhatian Konsili Vatikan II yang menghubungkan Ekaristi dengan seluruh spiritualitas hidup Gereja.

Dalam Lumen Gentium (LG), Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Gereja, art. 11 menyatakan beberapa hal mengenai Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja.

Dengan ikut serta dalam korban Ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba Ilahi dan diri sendiri bersama dengan-Nya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur,

melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dalam perjamuan suci, mereka secara konkrit menampilkan kesatuan umat Allah yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengangumkan.

Dari artikel diatas terdapat tidak poin pokok mengenai makna Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja. Pertama, melalui Perayaan Ekaristi umat beriman mempersembahkan Kristus dan diri sendiri sebagai Gereja kepada Allah. Kedua, dalam Ekaristi diharapkan umat beriman berpartisipasi menurut cara dan perannya masing-masing. Ketiga, dalam Perayaan Ekaristi umat beriman memperoleh kekuatan untuk mewujudkan kesatuan umat melalui perutusan (Martasudjita, 2012:16).

b. Ekaristi sebagai Perayaan Gereja

”Melalui liturgi, terutama dalam kuban Ilahi Ekaristi terlaksanalah karya penebusan kita” (SC 2). Ekaristi sebagai karya penebusan (SC 47). Melalui Ekaristi maka Gereja memperoleh misteri penyelamatan Allah dalam nama Kristus. Ekaristi pula yang menjadi anugerah kebersamaan dan kesatuan dengan Allah dan dengan sesama manusia. Merayakan Ekaristi Gereja senantiasa mengungkapkan dirinya sebagai karya keselamatan Allah. Liturgi Ekaristi membantu umat beriman dalam menghayati misteri Kristus, maka dari liturgi Ekaristi maka terbentunya suatu Gereja. LG 26 menegaskan bagaimana Gereja lahir dari Ekaristi “Di setiap himpunan di sekitar altar, dengan pelayanan suci Uskup, tampillah lambang cinta kasih dan kesatuan Tubuh Mistik ini, syarat mutlak untuk keselamatan. Dan jemaat-jemaat itu,

meskipun sering hanya kecil dan miskin, atau tinggal tersebar, hiduplah Kristus dan berkat kekuatan-Nya terhimpunlah Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik”. Dengan demikian Gereja lahir dari Ekaristi. SC 26 menyebutkan bahwa Ekaristi bukan suatu perayaan perorangan melainkan perayaan bersama yang dirayakan oleh seluruh Gereja (Martasudjita, 2009:298-300).

c. Ekaristi sebagai Pusat Liturgi

Ekaristi sebagai pusat seluruh liturgi memiliki kedudukan khusus dalam beberapa tempat. Karya penebusan terlaksana dalam liturgi terutama dalam kurban Ekaristi (SC 2). Dalam liturgi terutama bagian Ekaristi umat beriman memperoleh rahmat dari Allah (SC 10). Kesatuan umat sebagai Gereja menuntut adanya keikutsertaan penuh dan aktif dalam perayaan liturgi terutama dalam bagian Ekaristi (SC 41). Ekaristi sebagai pusat liturgi menunjukan pemahaman SC yang melihat dari dua sudut pandang antara lain Ekaristi sebagai perwujudan tertinggi dan memandang liturgi lain dari sudut Ekaristi. Selain memberikan Ekaristi sebagai pusat liturgi juga memberikan kedudukan tertinggi pada perayaan Sabda dimana Kitab Suci menjadi pusat, perayaan sakramen lain, dan ibadat harian (Martasudjita, 2009:301).

d. Ekaristi sebagai Kurban

Sacrosanctum Concilium menyebutkan Ekaristi sebagai kurban (SC 2,7,47). Kurban disini berhubungan dengan tradisi Trente. “Kristus hadir

dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan” (SC 7). Bapa Konsili mengutip kata kurban dalam Trente. SC menghubungkan kurban Ekaristi dengan perjamuan malam terakhir yang dilakukan oleh Yesus dan juga kurban salib. Pada perjamuan malam terakhir Yesus sudah mengorbankan Tubuh dan Darah-Nya. Namun hal ini tidak juga berarti bahwa perjamuan malam terakhir ialah perjamuan Ekaristi. Perayaan Ekaristi yang pertama baru terlaksana sesudah Yesus Kristus wafat dan bangkit. Kata kurban Ekaristi yang diadakan oleh Yesus pada perjamuan malam terakhir menunjukkan pada penyerahan diri Yesus kepada Bapa bagi keselamatan dunia. Peristiwa salib Kristus itulah yang dirasakan dan dihadirkan di setiap Perayaan Ekaristi. Maka kesatuan kurban Ekaristi dan kurban salib Kristus. Dalam hal ini maka Ekaristi juga sebagai perayaan kenangan dimana perjamuan malam terakhir dikenang dan diabadikan dalam Perayan Ekaristi (Martasudjita, 2009: 293-295).

e. Ekaristi sebagai Perjamuan

SC 47 menyebutkan Ekaristi sebagai perjamuan Paskah. Istilah perjamuan Paskah menunjukan perjamuan Ekaristi yang berasal dari perjamuan malam terakhir yang diadakan oleh Yesus Kristus, yang disebut perjamuan Paksah (Yahudi). Perayaan Paskah ini dimengerti secara keseluruhan Perayaan Ekaristi, artinya Ekaristi sebagai perayaan kenangan. Istilah Paskah mendapat penolakan oleh beberapa Bapa Konsili Vatikan II karena bagi orang beriman istilah Paskah berarti kebangkitan Tuhan, tetapi

yang dimaksudkan ialah kurban salib. Namun menurut maknanya, perjamuan Paskah disebut sebagai keseluruhan karya penyelamatan Allah yang wafat dan kebangkitan-Nya sebagai puncaknya (Martasudjita, 2009:297-298).

f. Ekaristi sebagai Sakramen

Kristus “mempercayakan Gereja, mempelai-Nya: sakramen cinta

kasih, lambang kesatuan ikatan cinta kasih” (SC 47). Konsili Vatikan II tidak memisahkan sakramen dan kurban dalam Ekaristi dengan menyatakan bahwa Ekaristi menghadirkan kurban salib Kristus disebut juga sebagai sakramen. Hal ini menjadi suatu pembaharuan, karena sesudah Trente hingga pra- Vatikan II, makna kurban dan sakramen dari Ekaristi dipisahkan. Sejak abad pertengahan, gagasan sakramen dipersempit. Istilah sakramen menunjukkan kehadiran Kristus dalam Sakramen Mahakudus atau hosti yang sudah diberkati. Dalam SC menampilkan pembaharuan akan pendangan mengenai Ekaristi, baik dari isi maupun caranya. Dengan demikian Ekaristi disebut sebagai sakramen cinta kasih, lambang kasatuan dengan Allah dan dengan sesama anggota Gereja (Martasudjita, 2009:297).

2. Memaknai dan Menghayati Perayaan Ekaristi melalui Bahasa Jawa