Dalam rangka pengelolaan perikanan pantai maka komponen sumberdaya ikan dan lingkungan perairan menjadi komponen yang paling penting dan harus diprioritaskan kelestarian dan dijaga keberlanjutannya. Usaha perikanan tidak akan ada tanpa adanya sumberdaya ikan yang terkelola dengan baik (The Rockefeller Foundation 2013). Kesehatan ekosistem perairan di lokasi penelitian dalam jangka panjang perlu terus dijaga agar tetap lestari dalam menopang usaha perikanan skala kecil di wilayah tersebut. Sumberdaya perikanan di lokasi penelitian (di Kota Tegal) masih cukup stabil. Hasil diskusi dengan kelompok nelayan skala kecil menunjukkan bahwa potensi ikan yang ditangkap di lingkungan perairan wilayah Kota Tegal cenderung tetap tidak mengalami penurunan. Nelayan skala kecil dapat melaut dan mendapatkan ikan hasil tangkapan yang kemudian dijual di tempat pelelangan ikan. Muallil et al. (2014) menyatakan tangkapan yang relatif lebih stabil dari perkiraan "kuantitatif" dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam strategi menangkap ikan yang digunakan oleh nelayan untuk menjaga hasil tangkapan tinggi, padahal ada kemungkinan bahwa stok ikan terus menurun.
Dalam konteks perikanan tangkap yang ada di Kota Tegal maka dapat dikategorikan kepada perikanan pantai /pesisir. Menurut lokasi kegiatannya, perikanan tangkap di Indonesia dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu: 1) perikanan lepas pantai (offshore fisheries), 2) perikanan pantai / pesisir (coastal fisheries), dan 3) perikanan darat (inland fisheries). Kegiatan perikanan pesisir dan perikanan darat sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lingkungan pesisir (Dahuri et al. 1996 dalam Anas 2011). Kondisi ini dapat dipahami karena fishing ground nelayan skala kecil ini tidak begitu jauh dari pantai (< 4 mil) dan kemampuan daya jelajah perahu yang digunakan adalah berukuran kurang dari 5 GT.
Keberlanjutan sumberdaya perikanan tangkap dapat dipertahankan dengan upaya (Sondita 2010) antara lain: tersedianya perangkat peraturan yang menjamin kelangsungan perkembangbiakan siklus hidup ikan, menetapkan kawasan konservasi demi terwujudnya kelestarian sumberdaya ikan, pelaksanaan sistem monitoring dan evaluasi terhadap sumberdaya perikanan. Pada kenyataannya belum ada peraturan yang mengatur tentang pengelolaan wilayah pesisir di Kota Tegal. Pemerintah Kota Tegal dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal (RTRW) No. 4/Tahun 2012 pasal 59 ayat 2 yang dikeluarkan oleh Walikota Tegal menyatakan bahwa pengaturan peruntukkan perairan pesisir akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah (Perda) tersendiri mengenai rencana zonasi wilayah pesisir Kota Tegal - Peraturan Daerah Kota Tegal No. 4/Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Tegal 2011-2031.
Hasil analisis ukuran penilaian dalam pengelolaan pengembangan perikanan pantai di Kota Tegal menunjukkan bahwa keberlanjutan sumberdaya ikan dan lingkungan dan lingkungan perairan mempunyai nilai tertinggi, diikuti dengan alat tangkap dan alat pendukung penangkapan ikan, kapal perikanan, dan perbekalan penangkapan ikan. Sumberdaya ikan dan lingkungan perairan (SDIL) menjadi komponen yang paling penting dan paling diperhatikan dalam kegiatan
100
pengembangan perikanan pantai di Kota Tegal, yang ditunjukkan oleh nilai rasio kepentingan (RK) 0.418. Hal ini dapat dipercaya karena mempunyai inconsistency ratio (IR) <0.10, yaitu 0.03. Tanpa adanya sumber daya ikan dan lingkungan perairan yang terkelola dengan baik, mustahil nelayan mendapatkan hasil tangkapan yang baik. Usaha perikanan pantai yang melibatkan banyak nelayan skala kecil di Kota Tegal telah menggerakkan roda perekonomian dan mata pencaharian di wilayah itu. Keberadaan perikanan pesisir sangat penting di dalam konteks penyediaan lapangan pekerjaan maupun keamanan pangan (Stobutzki et al. 2006). Komponen lain yang penting dalam pengembangan perikanan adalah alat tangkap dan alat pendukung penangkapan ikan (ATP), yang ditunjukkan oleh nilai RK 0.271 dengan inconsistency ratio (IR) 0.03. Komponen prioritas lainnya yang perlu diperhatikan setelah alat tangkap dan alat pendukung penangkapan ikan adalah kapal dan perbekalan sebagai bagian komponen pengembangan perikanan pantai lainnya dengan RK 0.191 dan RK 0.120.
Dalam kaitannya dengan status pengelolaan perikanan pantai saat ini berada pada tingkat yang moderat. Artinya adalah nelayan berpandangan bahwa tidak ada kebijakan secara khusus dari pemerintah terkait pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal. Pemerintah Kota Tegal dalam hal ini juga tidak mengeluarkan kebijakan secara khusus mengenai pengelolaan perikanan pantai. Walaupun dengan adanya undang-undang otonomi daerah, pemerintah Kota Tegal dapat mengeluarkan kebijakan yang mengatur pengelolaan perikanan pantai. Hal ini juga tersirat dalam Perda nomor 4 tahun 2012 tentang RTRW Kota Tegal tahun 2011-2031 mengenai zonasi wilayah pesisir yang akan diatur dalam Perda tersendiri dan sampai saat ini belum terbit Perdanya.
Sistem pengelolaan perikanan adalah suatu sistem yang mengawasi atau menyesuaikan operasi-operasi penangkapan (jumlah penangkapan, tipe alat yang dipakai, ukuran ikan-ikan yang tertangkap) untuk mengoptimasikan pemanfaatan dari suatu sumberdaya ikan, namun untuk kegiatan perikanan skala kecil sistem pengawasan dan penyesuaian tersebut lebih ditolerir (Louise et. al 2011). Oleh karenanya, pengelolaan perikanan meliputi tidak saja cara-cara pengaturan yang bersifat pembatasan, tetapi juga rencana-rencana pengembangan yang didasarkan kepada pengetahuan mengenai sumberdaya ikan yang tersedia.
Sementara itu, Charles (2001) berpendapat bahwa tujuan akhir dari pengelolaan perikanan tangkap adalah untuk mewujudkan sosok perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable fisheries). Selanjutnya, Charles (2001) menjelaskan bahwa ada empat kelompok indikator yang menggambarkan sebuah sistem pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, yakni: keberlanjutan dari aspek ekologis, keberlanjutan dari aspek sosial ekonomis, keberlanjutan aspek komunitas, dan keberlanjutan aspek kelembagaan.
Amanat UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan memberi tanggung jawab yang jelas bahwa pelaksanaan pengelolaan perikanan dilakukan oleh pemerintah. Dari beberapa butir pernyataan tersebut diantaranya adalah meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, meningkatkan penerimaan dan devisa negara, meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein, meningkatkan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal dan menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Dalam rangka mencapai beberapa tujuan di atas, penerapan menajemen perikanan tangkap
101 secara terarah dan terpadu sangat diperlukan agar pemanfatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Praktek kepemilikan daerah penangkapan ikan pribadi dan batas daerah penangkapan ikan tidak dikenal di kawasan perairan pesisir Kota Tegal. Sumberdaya ikan di kawasan perairan Tegal merupakan sumberdaya milik bersama yang pemanfaatan dapat diakses oleh nelayan kecil yang bermukim di Kota Tegal. Ada aturan tidak tertulis, nelayan luar (nelayan dari wilayah lain) tidak akan memasuki batas teritorial sepanjang perairan pantai Kota Tegal sejauh 4 mil. Para nelayan tersebut sudah mengetahui batasan sampai sejauh mana mereka boleh masuk untuk menangkap ikan dan mereka sangat menghormati aturan tidak tertulis tersebut. Para nelayan daerah lain (nelayan luar tidak akan masuk ke wilayah yang bukan wilayah teritorialnya, karena kalau hal itu terjadi akibatnya adalah terjadinya konflik antara sesama nelayan memperebutkan lokasi penangkapan ikan. Selama ini, di kawasan perairan Tegal tidak pernah terjadi konflik antara sesama nelayan Tegal maupun nelayan di luar Tegal dalam memperebutkan lokasi fishing ground (daerah penangkapan ikan). Nelayan kecil di Kota Tegal telah mempraktekkan kearifan lokal dalam hal pemanfaatan sumberdaya ikan dan perairan lingkungan.
Masyarakat nelayan lokal dan suku-suku tradisional yang berdiam di pulau- pulau wilayah Indonesia memanfaatkan sumberdaya perikanan berdasarkan tradisi (Bawole 2015). Di mana sistem kepemilikan dan penguasaan sumberdaya alam tersebut diatur menurut aturan yang berlaku di kelompok atau komunitas tersebut. Komunitas tersebut mempunyai hak eksklusif atas sumberdaya yang tidak dimiliki orang luar komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat nelayan lokal atau suku-suku di Indoneisa telah mempraktekkan hak kepemilikan daerah penangkapan dan batas daerah penangkapan ikan antar desa dan kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi pengkavlingan laut oleh masyarakat adat setempat.
Keadaan ini juga terjadi di dunia maritim global dewasa ini. Menurut Satria (2009) bahwa perairan laut di dunia/internasional telah di kavling dan dikuasai oleh organisasi internasional. Di mana mereka menetapkan aturan dan batasan tertentu seperti ukuran ikan yang ditangkap, kapan boleh ditangkap, jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis alat tangkap, maupun jenis spesiesnya. Aturan-aturan yang dibuat ini pada dasarnya dibuat untuk melindungi dan menjaga kelestarian sumberdaya perikanan global, sehingga ikan-ikan yang ada di perairan tersebut mempunyai kesempatan waktu untuk meregenerasi dan memulihkan dirinya.
Nelayan dalam konteks yang dikenal dalam kehidupan sehari-hari adalah orang yang mata pencahariannya melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Sedangkan nelayan skala kecil adalah kelompak nelayan yang melakukan kegiatan penagkapan dengan peralatan sederhana dan mempunyai kemampuan sangat terbatas dalam operasi penangkapan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.49/Tahun 2011 menyebutkan bahwa nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
Nelayan skala kecil umumnya menangkap ikan di sekitar pantai (perikanan pantai kurang dari 4 mil) menggunakan peralatan tangkap dan kapal yang sederhana. Mereka umumnya hidup di kawasan pesisir pantai dan sangat
102
dipengaruhi oleh kondisi alam terutama angin, gelombang, dan arus laut. Penghidupan sebagai nelayan sangat keras dan mempunyai resiko yang tinggi, karena kondisi sumberdaya ikannya tidak dapat dikontrol dan terbuka. Ikan hasil tangkapan bervariasi tergantung pada kondisi laut, dan untuk mendapatkan hasil maksimal mereka harus berpindah-pindah lokasi daerah penangkapan ikan dan ini menyebabkan nelayan memiliki karakteristik yang keras dan tegas (Satria 2002).
Karakteristik sosial ekonomi yang dipunyai nelayan skala kecil masih menjadi kendala yang membuat mereka tidak maju dan berperan memajukan sektor perikanan. Analisis kondisi sosial ekonomi memetakan sampai sejauh mana tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan. Menurut Kusnadi (2002) dan Yafiz (2011) stereotipe umumnya tentang nelayan terutama nelayan kecil adalah tingkat/taraf kehidupan dan kesejahteraan para nelayan tersebut rendah.
Kehidupan nelayan kecil di kawasan pesisir pantai Kota Tegal dari hasil penelitian menunjukkan tingkat kesejahteraan yang tinggi. Seperti yang ditunjukkan dalam analisis kondisi ekonomi, sebagian besar responden menerima pendapatan yang lebih tinggi dari upah minimum regional yang telah ditetapkan pemerintah Kota Tegal. Nelayan bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka (sandang, pangan, papan). Sebagian besar dari mereka mempunyai tempat tinggal (rumah) yang berada dalam kategori bangunan permanen,
Berkaitan dengan kondisi sosial, mayoritas responden merasa aman, dan nyaman tinggal di daerah ini, karena tidak ada gangguan yang mungkin menyebabkan gejolak dimasyarakat, serta toleransi beragama yang tinggi di antara para nelayan. Analisis kondisi kesehatan menunjukkan bahwa nelayan dan keluarga mereka, berada dalam kondisi kesehatan yang baik Mereka juga mudah untuk mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang terjangkau. Dari status pendidikan, mayoritas responden menunjukkan bahwa mereka bisa mengirim anak-anak mereka untuk mendapatkan pendidikan di semua tingkatan pendidikan. Selanjutnya, sebagian besar nelayan memiliki setidaknya dua jenis keterampilan yang dibutuhkan dalam kegiatan sehari-hari sebagai nelayan. Ketrampilan lain yang dipunyai nelayan ini sangat berguna pada saat nelayan tidak pergi melaut (Stanford et al. 2014).
Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya kajian aspek sosial ekonomi pada nelayan skala kecil dan keluarga mereka sebagai bagian dari warga masyarakat. Secara umum berdasarkan klasifikasi ini maka nelayan skala kecil di Kota Tegal termasuk dalam kategori tingkat kesejahteraan tinggi karena mempunyai total skor indikator 29.43 yang berada pada range 27-33. Analisis membuktikan bahwa nelayan skala kecil di Kota Tegal berada pada status keadaaan ekonomi, sosial, kesehatan, status pendidikan di tingkat kesejahteraan yang tinggi. Capaian kehidupan nelayan dapat dikatakan makmur terlihat pada kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan serta kondisi kesehatan yang terjaga (Imron dan Manan 2009).
Etos kerja nelayan Tegal sangatlah membanggakan, hal yang sama juga ditunjukkan oleh nelayan di desa Bendar Jawa Tengah (Imron dan Manan 2009) dan nelayan di Sumatera Barat (Stanford et al. 2014) yaitu faktor manusianya dalam hal ini keinginan untuk maju dan sikap bekerja keras. Jika bekerja keras mereka dapat merebut impian yang lebih baik, dan merupakan hal positif yang menjadi motivasi mereka bekerja giat dan lebih baik lagi. Contoh keberhasilan nelayan desa Bendar mencapai tingkat kesejahteraan tinggi dipengaruhi oleh
103 beberapa faktor (Imron dan Manan 2009) selain etos kerja produktif, juga kombinasi dari menjalankan usaha perikanan dengan kesabaran, keuletan, daya inovasi, kesetiaan tinggi pada pekerjaan juga dengan dukungan keuangan dan pemodalan dari bank dan koperasi nelayan. Prinsip kearifan lokal (local wisdom) yang telah ada dalam struktur sosial masyarakat setempat menjadikan pengelolaan sumberdaya perikanan dan aktivitas perikanan tangkap dapat dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan kebersamaan berdasarkan ekonomi kerakyatan.
Faktor produksi merupakan permasalahan krusial dalam operasi penangkapan termasuk di perairan sekitar pantai. Keadaan ekonomi nelayan skala kecil umumnya hanya mengandalkan modal sendiri yang terbatas, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan kebutuhan perbekalan di laut. Dari beberapa faktor produksi yang diteliti, faktor-faktor produksi yang berpengaruh seperti ukuran alat tangkap, musim penangkapan ikan, ketersediaan bahan bakar, es balok, air bersih, anak buah kapal, dan perbekalan secara keseluruhan memiliki korelasi yang sangat kuat dalam perikanan jaring arad skala kecil di Kota Tegal. Dari tujuh faktor produksi yang dianalisis, empat (4) faktor-faktor produksi seperti musim penangkapan ikan, penggunaan bahan bakar, ketersediaan es balok, dan perbekalan secara signifikan mempengaruhi pengembangan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan jaring arad di Kota Tegal. Sementara faktor-faktor produksi lainnya seperti ukuran alat tangkap, penggunaan air bersih, dan anak buah kapal tidak secara signifikan mempengaruhi perkembangan operasi penangkapan ikan menggunakan jaring arad di Kota Tegal.
Prabowo (2012) dalam penelitiannya menyatakan bahwa diantara faktor produksi tersebut, penyiapan BBM dan bahan perbekalan menjadi fokus utama nelayan, namun secara spesifik bisa berbeda tergantung jenis kegiatan perikanan yang dijalankan dan kondisi sosial ekonomi nelayan. Mereka mempunyai persepsi tersendiri terhadap penyediaan faktor produksi tersebut, dan ini juga sangat dipengaruhi oleh kondisi produksi yang didapat sebelumnya. Faktor perbekalan harus terpenuhi, hal ini untuk memastikan bahwa ABK sudah memperoleh bayaran yang menjadi haknya setelah penjualan ikan selesai sehingga kapal dapat beroperasi kembali pada trip selanjutnya (Imron dan Manan 2009).
Kondisi sosial ekonomi berkaitan langsung dengan kehidupan nelayan sehari-hari. Keterlibatan nelayan dalam berbagai kegiatan sosial yang ada di masyarakat ada hubungannya dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Pola-pola interaksi tersebut antara lain seperti penyediaan kebutuhan melaut, pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, pemenuhan kebutuhan pendidikan anak, kesehatan keluarga, ataupun pemasaran produk. Cinner dan Pollnac (2004) menyatakan status sosial seseorang di masyarakat akan menentukan cara pandang seseorang dalam memberi penilaian terhadap status pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Sikap dan perilaku nelayan akan mempengaruhi bagaimana sumberdaya tersebut dikelola dan pada akhirnya hal ini akan menentukan kunci kesuksesan dalam manajemen perikanan (Alexander et al. 2013, Pita et al. 2013 dan Wiyono 2009).
Persepsi yang berkembang di masyarakat adalah masyarakat nelayan skala kecil dicirikan sebagai masyarakat yang hidupnya dalam kemiskinan, tertinggal dan hidup dalam berbagai keterbatasan seperti keterbatasan ekonomi, sosial, politik dan pendidikan. Ketimpangan dari segi ekonomi dapat di lihat pada
104
tingkat pendapatan nelayan skala kecil yang pada umumnya masih rendah. Ketimpangan aspek sosial tergambarkan pada ketidakmampuan masyarakat nelayan berperan serta aktif dan mengambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar dan mempunyai posisi tawar tinggi dalam situasi yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Pola ketimpangan lainnya adalah hubungan patron-client antara nelayan buruh dan juragan yang membuat nelayan terbelenggu dalam hubungan emosional yang tidak setara dan tidak menguntungkan bagi nelayan. Keterbatasan dalam bidang pendidikan dapat dilihat dari jenjang pendidikan yang rendah, di mana mayoritas nelayan kecil berpendidikan sekolah dasar. Aspek politik dapat dilihat dari ketidakmampuan nelayan mengambil keputusan yang terkait dengan kepentingan kehidupan mereka. Imron dan Manan (2009) menyatakan bahwa rendahnya pendidikan masyarakat nelayan menjadikan mereka terkendala pada ditegakkannya perlindungan hukum dan perlakuan adil yang menjamin hak-hak politik, hak sosial, hak ekonomi terpenuhi.
Persepsi nelayan skala kecil dengan karakteristik sosial ekonomi pendidikan berkorelasi terhadap komponen ukuran alat tangkap, jumlah ABK (Tabel 5.1). Pendidikan nelayan skala kecil di Kota Tegal berpengaruh terhadap penyiapan alat tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan nelayan, mereka menganggap/mempersepsikan ukuran alat tangkap semakin penting untuk memajukan kegiatan perikanan pantai. Ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan responden, maka semakin perhitungan nelayan dalam melibatkan ABK yang ikutserta melaut. Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel alat tangkap nilai significancy probability (p) > 0.05, atau tidak signifikan terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal. Persepsi responden terkait dengan aspek umur dan tingkat pendidikan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal tidak persis sama dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel alat tangkap tidak memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal.
Persepsi nelayan skala kecil dengan karakteristik sosial ekonomi umur berkorelasi terhadap komponen ukuran alat tangkap, dan musim penangkapan (Tabel 5.1). Nelayan yang umurnya relatif berusia muda, cenderung tidak mempedulikan ukuran alat tangkap didalam kegiatan perikanan pantai. Hasil analisis faktor produksi di mana ukuran alat tangkap tidak signifikan dalam hubungannya dengan jumlah hasil tangkapan. Persepsi responden terkait dengan tingkat pendidikan dalam upaya pengembangan perikanan pantai dengan variabel musim penangkapan pada kenyataanya tidak memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan. Semakin berumur nelayan, maka semakin berpengalaman dalam memperhatikan kondisi musim tangkap yang tepat. Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel musim tangkap signifikan berpengaruh dalam hal penyiapan faktor produksi di mana nilai significancy probability (p) <0.05, signifikan terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal. Artinya adalah persepsi nelayan terhadap pengelolaan perikanan pantai kaitannya dengan umur responden berpengaruh dengan penyiapan faktor produksi. Sehingga dapat dikatakan apa yang dipersepsikan responden terkait dengan aspek umur dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal persis sama dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel musim tangkap memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal.
105 Persepsi mereka sangat moderat dalam hal kepuasan kerja. Responden berpendapat bahwa mereka setuju sangat senang dan merasa puas bekerja sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan dapat memberi penghasilan. dan hal ini jika dihubungkan dengan tingkat kesejahteraan nelayan Kota Tegal yang tinggi hal ini memperkuat bahwa pendapatan sebagai nelayan dapat memberi penghidupan yang layak bagi nelayan dan keluarganya. Hampir keseluruhan responden tidak ada yang berkeinginan untuk berpindah pekerjaan.
Mengacu kepada hasil analisis faktor internal dan eksternal pengelolaan perikanan pantai, dapat diketahui posisi pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal, Jawa Tengah. Hasil matriks IFAS dan matriks EFAS merupakan gambaran dari kegiatan pengelolaan perikanan pantai yang melibatkan nelayan skala kecil jika dilihat dari dalam dan luar sistem perikanan pantai yang ada di Kota Tegal. Hasil plotting atau pemetaan total skor IFAS dan total skor EFAS menggambarkan posisi pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal pada saat ini berada pada kondisi pertumbuhan / stabilitas sedang (kuadran 2).
Pada Gambar 6.2 memperlihatkan kondisi pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal, Jawa Tengah berada pada kuadran II (pertumbuhan/stabilitas). Kriteria penilaian SWOT, suatu kegiatan dapat terus dilanjutkan bila dengan kondisi minimal pada fase pertumbuhan (total skor IFAS > 2) dan total skor EFAS > 1). Total skor IFAS dan total skor EFAS pada penelitian ini (kondisi pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal berada pada rentang nilai 2 - 3, yaitu masing-masing 2.53 dan 3.09 (kategori cukup baik). Hasil akhir analisis ini menyimpulkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal dapat diteruskan dan dikembangkan dengan menerapkan pola-pola/strategi prinsip berkelanjutkan. Nelayan skala kecil di Kota Tegal mempunyai persepsi yang positif tentang pengelolaan perikanan pantai berjalan dengan baik. Analisis SWOT menunjukkan hasil tangkapan ikan relatif stabil yang berada di posisi kekuatan (strength) dan peluang pasar ikan tersedia cukup baik dan cenderung naik di posisi peluang (opportunities).
Dari ke empat komponen pengembangan perikanan pantai tersebut maka faktor pembatas migrasi menjadi faktor penting di dalam pengembangan perikanan pantai di Kota Tegal. Faktor yang menjadi pembatas penting dalam menjaga kelestarian Sumberdaya Ikan dan Lingkungan Perairan (SDIL) adalah migrasi nelayan skala kecil (RK = 0.294). Hal ini dapat dipercaya karena mempunyai IR 0.07.
Hasil analisis kondisi sosial, hampir sebagian besar nelayan skala kecil di Kota Tegal tidak pernah ke luar / pindah dari kota Tegal. Hal ini juga menunjukkan bahwa lingkungan perairan dan sumber daya ikan yang ada di perairan Tegal masih dapat memberikan hasil tangkapan yang cukup bagi para nelayan skala kecil tersebut. Atau dengan kata lain tanpa bermigrasi pun, tempat tinggal nelayan saat ini dapat memberikan penghidupan yang layak bagi mereka. Faktor pembatas migrasi menjadi faktor prioritas pertama dari komponen pengembangan perikanan pantai (Tabel 7.1). Mereka tidak perlu pindah ke tempat lain karena tempat di mana mereka tinggal dapat memberi penghasilan / nafkah