• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persepsi Nelayan Skala Kecil Terhadap Pinjaman Untuk Menangkap Ikan Berdasarkan Umur

PENGELOLAAN PERIKANAN PANTAI DI KOTA TEGAL

5.5 Persepsi Nelayan Skala Kecil Terhadap Anak Buah Kapal

5.6.2 Persepsi Nelayan Skala Kecil Terhadap Pinjaman Untuk Menangkap Ikan Berdasarkan Umur

Persepsi responden mengenai keperluan mengambil pinjaman untuk menangkap ikan difokuskan untuk mengetahui sampai sejauh mana para responden setuju memerlukan pinjaman yang digunakan untuk keperluan operasional di laut. Berikut data persepsi nelayan mengenai keperluan pinjaman untuk menangkap ikan berdasarkan umur.

Gambar 5.12 Persepsi nelayan skala kecil terkait dengan perlu mengambil pinjaman untuk menangkap ikan berdasarkan umur

Persepsi nelayan menurut umur terhadap jumlah perbekalan adalah nelayan dari kelompok umut 31-50 tahun sebesar 42.20% (Gambar 5.22). Kelompok ini yang paling banyak setuju mengambil pinjaman untuk menangkap ikan diikuti kelompok usia di atas 50 tahun sebanyak 20.30%. Hal ini menunjukkan usia nelayan di atas 50 tahun atau pun kelompok usia dibawah 30 tahun akan mempertimbangkan dengan seksama perlu atau tidaknya mengambil pinjaman.

Kelompok nelayan berumur 31-50 tahun sebanyak 42.20% setuju bahwa kemudahan mendapat pinjaman merupakan salah satu daya tarik tersendiri dalam hal meminjam. Kelompok usia di atas 50 tahun hanya 21.90% yang setuju menyatakan kemudahan mendapat pinjaman merupakan suatu daya tarik meminjam. Artinya adalah baik kelompok usia dibawah 30 tahun maupun kelompok usia di atas 50 tahun tidak melihat faktor kemudahan dalam mendapat pinjaman sebagai salah satu faktor penarik, tentu ada faktor lainnya yang menjadi dasar pertimbangan untuk meminjam uang, Jika mengambil pinjaman mereka tidak ingin dipersulit dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi untuk mengambil pinjaman tersebut.

69 Nelayan skala kecil di Kota Tegal mempersepsikan bahwa variabel pendidikan, dan umur tidak berkorelasi terhadap pemenuhan perbekalan yang digunakan oleh nelayan.

Selanjutnya analisis tingkat pendidikan berkorelasi negatif lemah terhadap pemenuhan perbekalan yang ditunjukkan oleh nilai PC yaitu -0.027 (Lampiran 20). Ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan maka sulit nelayan mengalokasikan uang untuk menyiapkan perbekalan. Namun hal ini tidak banyak terlihat di kalangan nelayan, yang ditunjukkan oleh nilai p > 0.05, yaitu 0.831. Jika persepsi nelayan dikaitkan dengan aspek tingkat pendidikan tidak ada hubungan antara persepsi nelayan dengan aspek tingkat pendidikan terhadap pemenuhan perbekalan. Artinya adalah apa yang dipersepsikan nelayan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai yang berkaitan dengan perbekalan dengan tingkat pendidikan responden yang sebagian besar berpendidikan sekolah dasar, mempersepsikan tidak setuju bahwa pinjaman dan prosedur kemudahan mendapat pinjaman diperlukan dalam memenuhi perbekalan.

Umur berkorelasi negatif lemah dalam pemenuhan perbekalan dengan nilai PC yaitu -0.073 (Lampiran 21) artinya semakin berumur nelayan mereka akan memperhatikan alokasi uang dalam pemenuhan perbekalan. Hal ini tidak terlihat secara nyata di kalangan nelayan dengan nilai p>0.05 yaitu 0.566. Jika persepsi nelayan dikaitkan dengan aspek umur tidak ada hubungan antara persepsi nelayan dengan aspek umur terhadap pemenuhan perbekalan. Artinya adalah apa yang dipersepsikan nelayan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai yang berkaitan dengan perbekalan dan umur responden mempersepsikan tidak setuju bahwa pinjaman dan prosedur kemudahan mendapat pinjaman diperlukan dalam memenuhi perbekalan.

Pembahasan

Secara umum capaian tingkat pendidikan formal nelayan skala kecil di Kota Tegal mayoritas berpendidikan sekolah dasar (SD). Hampir sebagian besar nelayan yang berpendidikan sekolah dasar sebanyak 93.8%. Kondisi ini merupakan potret tingkat pendidikan umumnya yang ada dikalangan nelayan (Ahmed et al. 2013, Pana dan Sia Su 2012, Yafiz 2011, Yuerlita dan Perret 2010, Wiyono 2009). Tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya ketrampilan yang dimiliki oleh nelayan skala kecil dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia di lingkungan menyebabkan nelayan tetap mempertahankan profesinya. Dalam hal kasus nelayan skala kecil di Kota Tegal, tingkat pendidikan mereka rendah, tetapi karena letak Kota Tegal sangat strategis yaitu berada di persimpangan jalur utara dan selatan perekonomian nasional menjadikan para nelayan bersinggungan secara langsung dalam paparan sumber-sumber pendapatan dan sumberdaya ekonomi lain yang menjadikan akses / peluang penjualan ikan hasil tangkapan kepada pembeli menjadi semakin besar. Gambaran ini tentu bertolak belakang dengan gambaran umumnya nelayan tradisional yang tidak terhubungkan dengan kemudahan akses untuk bekerja di sektor perikanan, tuntutan masalah ekonomi keluarga, dan kesulitan mencari peluang kerja lainnya merupakan gambaran nelayan tradisional dengan tingkat kualitas sumberdaya manusia yang rendah (Kusnadi 2003).

70

Semakin dewasa responden maka mereka semakin pintar memprediksi jenis-jenis ikan yang akan muncul pada musim tertentu dan mengenali kelimpahan (panen) ikan pada musim tertentu. Umur berkorelasi dengan pengalaman bergelut dengan pekerjaan sebagai nelayan. Semakin lama seorang nelayan dalam pekerjaannya semakin dia berpengalaman dan mahir memprediksikan kondisi di lapangan. Nelayan yang berpengalaman dengan intuisinya dapat membaca tanda-tanda alam di laut yang berhubungan misalnya kondisi cuaca, kapan musim yang tepat untuk menangkap ikan, kelimpahan sumberdaya ikan, lokasi penangkapan yang banyak ikan. Johannes et al. (2000) menyatakan semakin berumur nelayan maka pengalaman yang dipunyainya menjadi terakumulasi menjadi suatu aset pengetahuan tradisional ekologi yang sangat berharga atau dikenal dengan istilah fishers' ecological knowledge. Pengetahuan lokal atau tradisional ini didapatkan oleh nelayan yang hidup dan telah lama menangkap ikan di suatu wilayah tertentu. Pengetahuannya itu didapatkan berdasarkan pengalaman dan hasil interaksinya dengan lingkungan sekitar dan menjadi bagian yang sudah menyatu dengan kehidupan mereka sebagai nelayan.

Nelayan skala kecil sangat memperhatikan kondisi cuaca yang sedang terjadi pada saat melaut untuk menangkap ikan. Kendala cuaca merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dan merupakan resiko yang harus dihadapi nelayan. Mereka juga harus memperhitungkan faktor keselamatan diri mereka sendiri. Contohnya adalah kondisi cuaca yang tidak menentu pada bulan Desember 2013 sampai dengan Februari 2014 diperairan Tegal akibat angin musim barat di mana nelayan tidak dapat melaut karena cuaca buruk dengan ketinggian ombak 3-5 meter (Bantuan tak jua datang, nelayan Tegal nekat melaut 2014). Masa itu disebut sebagai masa paceklik, di mana mereka tidak dapat melaut dan hanya beraktivitas di sekitar pangkalan pendaratan ikan (PPI).

Karakteristik perikanan skala kecil di perairan tropis Kota Tegal bersifat multi spesies dan multi gear (Wiyono 2006). Hal tersebut dapat terlihat di lokasi penelitian dari beragamnya jenis ikan spesies sasaran yang ditangkap dan alat tangkap yang digunakan. Perikanan skala kecil di perairan tropis adalah bersifat multispesies dengan beragam macam alat tangkap yang digunakan, menjadikan manajemen atau pengelolaannya lebih bersifat kompleks dan sulit dalam penanganannya (Pauly 1979, Jones et al. 2011). Di sini terlihat bahwa semakin berumur nelayan, mereka akan semakin terasah dan tajam dalam hal kepekaan, intuisi, pengalaman dan pengetahuan mereka terhadap kondisi di laut. Nelayan skala kecil di Kota Tegal pada saat musim paceklik akan memilih akan mencari pekerjaan lain yang masih berhubungan dengan sektor perikanan seperti membetulkan perahu, membetulkan jaring, menjadi montir mesin kapal, membantu mengolah ikan menjadi ikan pindang atau ikan teri.

Musim penangkapan ada hubungan dengan tingkat pendapatan nelayan. Dalam hal ini musim penangkapan dikaitkan dengan keadaaan/kondisi cuaca pada saat nelayan melakukan operasi penangkapan ikan. Artinya jika pendapatan nelayan turun hal ini dipengaruhi oleh musim penangkapan. Jika musim banyak ikan dan cuaca bagus maka pendapatan nelayan cenderung banyak dibandingkan musim paceklik. Jika nelayan tidak melaut karena kondisi cuaca yang kurang bagus, maka akan berakibat turunnya penghasilan untuk keluarga. Nelayan akan mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

71 Hampir sebagian besar responden berpendidikan sekolah dasar ini menyatakan setuju bahwa mereka mempunyai pekerjaan lain pada musim paceklik untuk menghidupi keluarganya

Musim penangkapan ikan sangat dipengaruhi oleh perubahan pola arah angin. Di mana pola arah angin tersebut sangat erat kaitannya dengan iklim muson di Indonesia. Perubahan pola angin tersebut akan berpengaruh pada perubahan suhu, arah arus, kecepatan arus dan salinitas. Musim penangkapan ikan di perairan Laut Jawa sama dengan musim penangkapan di perairan Kota Tegal yang berada di pesisir pantai utara pulau Jawa. Gaol dan Sadhotomo (2007) menyatakan bahwa variasi parameter oseanografi (suhu, salinitas, konsentrasi klorofil-a) di Laut Jawa dipengaruhi angin muson dan iklim global ENSO dan variasi ini mempengaruhi distribusi ikan. Iklim muson dibagi menjadi 3 kurun waktu yaitu musim barat (Desember – Maret), musim Timur (Juni – Agustus) dan musim peralihan (April – Mei dan September – Nopember).

Pada musim barat gelombang yang terjadi lebih besar dan tinggi dibandingkan pada musim timur, sehingga puncak upaya penangkapan ikan terbesar terjadi pada musim timur. Pada saat itu banyak armada penangkapan yang beroperasi di wilayah perairan Kota Tegal, hal ini disebabkan karena armada penangkapan terutama nelayan kecil sebagian besar menggunakan perahu berukuran kecil (< 5 GT). Nelayan skala kecil di Kota Tegal beroperasi sepanjang tahun, namun intensitas operasinya tetap dipengaruhi oleh musim penangkapan. Hal ini karena nelayan kecil Kota Tegal tidak mempunyai pilihan lain dalam mencukupi kebutuhan ekonominya selain melaut. Nelayan yang menggunakan armada motor tempel sebagian besar menggunakan alat tangkap jaring arad yang dioperasikan di perairan pantai dengan tipe dasar perairan lumpur berpasir dan topografi datar, kedalaman perairan berkisar 5 – 10 m (Suseno 2004). Keadaan yang sama juga dialami oleh nelayan skala kecil di Thailand, Vietnam, Bangladesh yang iklimnya di pengaruhi iklim muson. Musim penangkapan ikannya terbagi dua yaitu musim angin barat dan musim angin timur, di mana nelayan tetap harus mencari ikan walaupun kondisi cuaca yang buruk (angin barat) (Jones et al. 2010). Para nelayan tersebut menyatakan bahwa mereka harus mencari ikan selama hal itu memungkinkan untuk menghasilkan pendapatan bagi keluarganya.

Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel musim tangkap signifikan berpengaruh dalam hal penyiapan faktor produksi di mana nilai significancy probability (p) < 0.05, signifikan terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal (Lampiran 13). Umur responden berkorelasi dengan musim tangkap. Artinya adalah apa yang dipersepsikan responden terkait dengan aspek umur dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal persis sama dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel musim tangkap memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal.

Semakin berumur nelayan, responden akan makin berpengalaman dengan hal-hal yang berkaitan dengan profesinya sebagai nelayan di laut dan dia akan semakin piawai, trampil, berpengalaman dan semakin mengetahui lokasi menangkap ikan, karakteristik alam maupun sifat daerah penangkapan ikannya. Dengan insting (intuisi) dan pengalamannya nelayan dapat melakukan pendugaan mengenai adanya gerombolan ikan. Selain itu dengan melakukan pendugaaan

72

lokasi fishing ground yang tepat maka diharapkan hasil tangkapan yang diperoleh lebih banyak dari nelayan yang tidak berpengalaman. Nelayan yang sudah berumur dengan pengalaman yang dipunyainya akan menjadi sumber informasi penting dalam menjelaskan riwayat / sejarah perubahan yang terjadi dengan kondisi sumberdaya alam di daerahnya (Johannes et al. 2000),

Umur produktif adalah usia di mana seseorang masih mampu bekerja dan menghasilkan sesuatu. Seperti diketahui pekerjaan sebagai nelayan menangkap ikan di laut merupakan pekerjaan fisik yang mengandalkan kekuatan, stamina yang tinggi dan cukup menguras tenaga, sehingga dibutuhkan orang-orang yang mempunyai kekuatan tenaga dan kesehatan yang prima. Umumnya makin bertambah usia seseorang, maka ketahanan fisik dan tenaga seseorang juga tidak sekuat pada masa mudanya. Responden yang mempunyai kisaran umur 31-50 tahun ada 42 nelayan (65.63%), di mana kisaran umur ini dapat dikatakan seseorang masih dalam kondisi kesehatan yang prima.

Dilihat dari lamanya bekerja sebagai nelayan ada sekitar 45.31% responden yang mempunyai pengalaman bekerja sebagai nelayan dengan masa kerja di atas 20 tahun. Sehingga hal ini dapat di katakan hampir separuh responden telah lama menekuni profesinya sebagai nelayan dan mengenal dengan baik daerah penangkapan ikan di perairan pesisir Kota Tegal. Keadaan yang sama juga terlihat di komunitas nelayan skala kecil di Thailand yang masa kerjanya sebagai nelayan lebih dari 20 tahun sebanyak 35% (Jones et al. 2010) dan nelayan skala kecil di Vietnam rata-rata masa kerjanya 12.7 sampai dengan 14.1 tahun (Sinh dan Long 2011).

Persepsi nelayan terhadap alat tangkap ternyata mereka mempersepsikan hasil tangkapan meningkat. Disini tingkat pendidikan nelayan yang rendah tidak menghalangi nelayan dalam menerapkan strategi penangkapan, di mana ada korelasi yang kuat dan signifikan antara tingkat pendidikan responden dan penyiapan alat tangkap. Karena hal ini dibarengi dengan pemahaman yang memadai dan mencukupi terhadap kondisi fishing ground tempat mereka menangkap ikan. Pendidikan nelayan skala kecil di Kota Tegal berpengaruh terhadap penyiapan alat tangkap. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan nelayan, mereka menganggap/mempersepsikan ukuran alat tangkap semakin penting untuk memajukan kegiatan perikanan pantai. Hasil tangkapan berkorelasi lurus dengan pendapatan yang diterima oleh nelayan. Idealnya jika hasil tangkapan meningkat maka pendapatan yang diperoleh dari hasil melaut juga bertambah. Dari hasil analisis responden mempersepsikan bahwa hasil tangkapan ikan meningkat, sehingga dapat diasumsikan bahwa penghasilan yang didapat nelayan juga meningkat. Ada sebagian responden dalam menggunakan alat tidak memilih jenis ikan tertentu untuk ditangkap tetapi ada sebagian responden lainnya yang memilih jenis ikan tertentu untuk alasan komersial. Seperti misalnya penggunaan alat tangkap bubu yang spesifik digunakan untuk menangkap rajungan yang harga jualnya dipasaran cukup mahal.

Semakin berumur responden, mereka juga mempersepsikan setuju bahwa hasil tangkapan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini juga ditandai dengan peningkatan nilai produksi hasil perikanan laut dari tahun ke tahun (BPS Kota Tegal 2013). Selain itu berdasarkan umur tidak ada preferensi umur dalam hal para nelayan tidak harus menangkap ikan jenis tertentu yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

73 Ada dua pola sikap dan tindakan nelayan dalam memandang kelangkaan sumberdaya ikan yaitu yang pertama pola eksploitatif dengan menggunakan alat tangkap canggih dan yang kedua pola menjaga keberlanjutan sumberdaya dengan alat tangkap ramah lingkungan (Kusnadi 2003). Wiyono et al. (2006) menyatakan bahwa komposisi dan kelimpahan sasaran spesies ikan target menunjukkan dinamika musiman. Walaupun kelimpahan ikan berubah setiap musimnya, nelayan tidak mengganti alat tangkapnya, perubahan dalam komposisi hasil tangkapan karena adanya perubahan pola strategi penangkapan. Menggunakan dinamika musiman dari pola kesamaan komposisi hasil tangkapan, hasilnya menunjukkan bahwa ada beberapa perbedaan dalam strategi memancing target spesies antara musim. Nababan et al. (2008) menyatakan sifat kepemilikan sarana penangkapan akan berhubungan dengan penerimaan keuntungan usaha perikanan. Pada penelitian ini kepemilikan sarana penangkapan dimiliki oleh pemilik lokal, di mana hal ini juga menunjukkan bahwa pemilik lokal mempunyai tingkat kemandirian yang tinggi dalam hal kepunyaan modal dan kepemilikan aset yang tidak tergantung pada pihak luar.

Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel alat tangkap nilai significancy probability (p) > 0.05 (Lampiran 13), atau tidak signifikan terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal. Sehingga dapat dikatakan apa yang dipersepsikan responden terkait dengan aspek umur dan tingkat pendidikan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal tidak persis sama dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel alat tangkap tidak memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal. Jumlah ikan hasil tangkapan bergantung pada kapasitas kapal, lama trip penangkapan, target ikan saasaran, fishing ground dan juga musim penangkapan (Sinh dan Long 2011). Para nelayan di Thailand dan Vietnam juga mengeluhkan berkurangya hasil tangkapan mereka yang disebabkan oleh bertambah banyaknya kapal yang beroperasi, over fishing, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, polusi, perubahan iklim dan kerusakan sumberdaya perairan di lokasi penangkapan ikan. Semua faktor-faktor itu menyebabkan penurunan hasil tangkapan dibandingkan masa-masa lalu (Sinh and Long 2011, Jones et al. 2010).

Kenaikan harga BBM sangat berfluktuatif menjadikan kondisi ini sangat merisaukan dan merupakan beban bagi nelayan. Wiyono (2009) menyatakan tingginya biaya operasi penangkapan ikan akibat kenaikan harga BBM yang tidak seimbang dengan pendapatan usaha, mendorong nahkoda dan ABK menekan kensenjangan biaya pengeluaran usaha dan pendapatan dengan melakukan penangkapan yang lebih bersifat non selektif. Hal ini dilakukan agar aktivitas usaha pengangkapan dapat terus dilakukan guna mempertahankan hidup. Hal senada dinyatakan Nababan et al. (2008) faktor BBM merupakan faktor terbesar dari biaya produksi. Kenaikan harga BBM akan menurunkan penerimaan dan keuntungan para nelayan. Nababan et al. (2008) meyatakan bahwa alternatif yang harus dilakukan agar nelayan tetap mendapat keuntungan adalah efisiensi biaya produksi dan perbaikan sistem lelang ikan sehingga didapatkan harga jual ikan yang lebih menguntungkan nelayan.

Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel BBM mempunyai nilai significancy probability (p) < 0.05 (Lampiran 13), atau signifikan berpengaruh terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal. Sehingga dapat

74

dikatakan apa yang dipersepsikan responden terkait dengan aspek umur dan tingkat pendidikan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal tidak persis sama, dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel BBM memberi pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal. Hasil analisis variabel BBM siginifikan dalam hal penyiapan faktor produksi. Sedangkan persepsi nelayan kaitannya dengan variabel sosial ekonomi seperti pendidikan dan umur tidak berkorelasi terhadap BBM. Maka dapat dikatakan tingkat pendidikan dan umur seseorang tidak menentukan dalam hal perlu atau tidaknya melakukan pemenuhan BBM. Jadi nelayan mempersepsikan tidak berdasarkan variabel sosek tesebut. Jika memang dibutuhkan maka responden akan membeli BBM karena diperlukan untuk kegiatan operasi penangkapan ikan tersebut.

Orientasi pemilik kapal biasanya lebih kepada profit yaitu hasil tangkapan dalam jumlah banyak dan memberi pendapatan yang besar. Keadaan ini bertolak belakang dengan orientasi nahkoda dan ABK yaitu pada jumlah hasil tangkapan saja. Nelayan merupakan pelaku utama yang langsung melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Nelayan akan melakukan berbagai strategi penangkapan terkait situasi dan kondisi di laut baik yang terkait dengan waktu, tempat, target penangkapan guna memaksimalkan hasil tangkapan (Wiyono 2009, Salas dan Gaertner 2004).

Kenyataan ini didasari kondisi di lapangan bahwa beberapa waktu terakhir harga BBM sangat fluktuatif dan pasokannya terbatas sehingga hal ini membuat nelayan sangat berhati-hati dalam membuat keputusan untuk menangkap ikan. Di mana dalam satu tahun terakhir (tahun 2014) Pemerintah menaikkan dan menurunkan BBM beberapa kali sehingga menyulitkan nelayan dalam hal pemenuhannya sehingga penting bagi nelayan BBM terjamin pasokannya (Ketersediaan BBM untuk nelayan lebih penting daripada subsidi 2014). Biaya BBM menempati setengah dari biaya operasional untuk melaut (Nurani 2010) sehingga nelayan harus mendapatkan hasil tangkapan yang cukup untuk menutupi biaya operasional tersebut.

Terkait degan kebutuhan es balok sangat diperlukan nelayan sebagai salah satu kebutuhan yang harus ada dalam kegiatan operasional penangkapan ikan. Selain itu hampir sebagian besar nelayan yang berlatar belakang pendidikan sekolah dasar menyatakan setuju bahwa kondisi stok ikan sekarang lebih baik daripada dulu. Ini menginsyaratkan bahwa jika kondisi stok ikan baik maka ada kemungkinan hasil tangkapan akan meningkat produksinya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebutuhan es balok akan bertambah. Es balok ini digunakan untuk menjaga kesegaran ikan hasil tamgkapan.

Hasil analisis faktor produksi ternyata variabel pemenuhan es balok dengan nilai significancy probability (p) < 0.05 (Lampiran 13), atau signifikan terhadap jumlah produksi perikanan laut di Kota Tegal. Hasil analisis variabel es balok siginifikan dalam hal penyiapan faktor produksi. Sedangkan persepsi nelayan kaitannya dengan variabel sosial ekonomi seperti pendidikan, umur, tidak berkorelasi terhadap pemenuhan es balok. Maka dapat dikatakan persepsi nelayan terkait dengan tingkat pendidikan dan umur seseorang tidak menentukan dalam hal perlu atau tidaknya melakukan pemenuhan es balok. Di sini es balok diperlukan agar hasil tangkapan tetap baik, segar dan terjaga kualitasnya. Sehingga dapat dikatakan apa yang dipersepsikan responden terkait dengan aspek

75 umur dan tingkat pendidikan dalam upaya pengembangan pengelolaan perikanan pantai di Kota Tegal tidak persis sama dengan kenyataan di lapangan yaitu variabel pemenuhan es balok berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan ikan / produksi perikanan laut di Kota Tegal.

Tingkat pendidikan berkorelasi terhadap penambahan ABK yang ikut serta dalam melaut (ikut serta pada kegiatan perikanan pantai). Ada kecenderungan semakin tinggi pendidikan maka semakin perhitungan nelayan dalam melibatkan ABK yang ikut serta melaut. Karena semakin banyak ABK yang direkrut akan mempengaruhi juga jumlah pendapatan yang akan diterima dari hasil melaut. Perekrutan ABK didasari oleh ikatan rasa kekeluargaan dan sosial yang tinggi. Umumnya pemilik kapal di Kota Tegal mengenal dengan baik orang-orang yang diperkerjakan sebagai ABK, mereka akan memilih orang-orang tersebut dengan dasar saling percaya. Trimble and Johnson (2013) menyatakan adannya tradisi melaut yang kuat yang sudah berakar dalam dan ikatan kekeluargaan menyebabkan mereka tidak akan mengambil resiko di mana mereka tidak akan memperkerjakan orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Relasi patron-klien masih mendasari pemilihan ABK ini. Sampai saat ini para ABK tersebut merasa senang dengan pilihan hidupnya bekerja sebagai nelayan. Modal dasar yang dipunyai ABK tersebut adalah etos kerja yang tinggi dan atas dasar saling percaya satu dengan yang lainnya. Subade dan Abdullah (1993) menyatakan opportunity cost nelayan rendah yang menyebabnya mereka akan tetap bertahan di industri