• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN Pola Keberagamaan

Dalam dokumen Komunikasi Pariwisata Budaya dan Pengemb (Halaman 178-187)

Provinsi Maluku, Indonesia)

PEMBAHASAN Pola Keberagamaan

Berdasarkan hasil temuan dilapangan, Masyarakat adat Kampung Dukuh menjadikan “agama” sebagai the ultimate concern (menurut istilah Cliford Greitz :1973). Yakni menjadikan “agama” sebagai sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan mereka. Agama membentuk dan mewarnai budaya mereka. Agama menyatu dengan nilai-nilai budaya (darigama) yang berkembang pada kehidupan mereka, sehingga terbentuk pola keberagamaan yang khas yang secara subjektif mereka sebut “Adat Islami.”

Tradisi keberagamaan (Islam) mereka dibentuk berdasarkan hasil konstruksi sosial para elit lokal (para leluhur). Mereka meyakini dan melaksanakan ibadah berdasarkan ajaran Islam (mengikuti faham ahlussunnah wal jamaa’ah), mereka juga menerima dan melakukan ritual adat (menurut mereka) yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Bahkan mereka berpendapat bahwa ritual adat itu dilakukan sebagai siasat dalam upaya penyebaran dakwah Islam. Dengan demikian, pola keberagamaan Masyarakat Adat Kampung Dukuh dapat dikatakan bersifat akomodatif antara konsep agama (Islam) dengan konsep darigama (adat). Obyektiitas keberagamaan mereka diwujudkan dalam berbagai bentuk ekspressi.yaitu:

Dalam Bentuk Pikiran. Masyarakat Adat Kampung Dukuh mengekspre- sikan keberagamaan dalam bentuk pikiran melalui doktrin “agama” dan “adat” yang diajarkan oleh para leluhur mereka (menurut pengakuannya) oleh Syaikh Abdul Djalil. Ekspressi keberagamaan dalam bentuk ini, secara vertical meyakini Kemahakuasaan Allah, mereka menjadikan Syari’at Islam sebagai dasar bagi semua aktivitas, menghormati dan meyakini Kasuaran Karuhun. Sedangkan secara horizontal mereka memiliki prinsip kemandirian, meme- lihara harmonisasi kehidupan (baik dengan sesama manusia maupun dengan alam lingkungan), menjaga perilaku jujur, dan anti penjajahan. Ekspressi ini didasarkan pada kepercayaan bahwa “jika aturan-aturan para leluhur itu di- pegang dengan kuat, maka Kampung Dukuh akan tetap lestari, dan jika di- langgar maka Kampung Dukuh akan terkena bencana.”

Dalam Bentuk Perbuatan. Masyarakat Adat Kampung Dukuh mengekspresikan keberagamaan melalui upacara-upacara (ritual) sesuai dengan keyakinan terhadap ajaran agama yang diyakini sebagai ajaran yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Djalil (Pembawa ajaran Islam pertama kali di Kampung Dukuh). Disamping itu mereka juga melakukan ritual adat seperti: (1) Ngahaturan Tuang; (2) Tilu Waktos; (3) Manuja; (4) Perayaan

Moros; (5) Cebor Opat Puluh; (6) Zaroh (ziarah) ke makam Syekh Abdul Jalil; (7) Shalawatan; (8) Terbang Gembrung; (9) Terbang Sejak; (10) peringatan hari-hari besar (=1 Syawal, 10 Rayagung, 12 Maulid, dan 10 Muharam; dan (11) penentuan hari-hari penting (=hari Sabtu yaitu hari pelaksanaan ziarah); Rebo Wekasan (hari terakhir bulan Sapar; tanggal 14 Maulud

Dalam bentuk Persekutuan. Diwujudkan dalam suatu ikatan yang diatur berdasakan aturan adat. Ritual (agama/adat) sebagai salah satu wujud dari ekspressi keberagamaan, dilakukan secara bersama-sama.

Interdependensi antara Nilai-Nilai Agama (Islam) dan Budaya (Adat)

Dalam keberagamaan masyarakat adat Kampung Dukuh terjadi

interdependensi (=saling memengaruhi) antara agama (Islam) dengan (bahasa mereka) darigama (Adat).” Aturan adat terutama yang berkaitan dengan ritual, baik ritual agama maupun ritual darigama diterapkan secara ketat. Jika ada anggota komunitas adat yang tidak siap melaksanakan aturan adat dipersilakan untuk keluar dari komunitas adat (Dukuh Dalam). Mereka juga sangat ketat menyaring informasi dan pengaruh dari luar. Mereka menanamkan prisip: “tamu saha bae oge anu nyemah ka kampung Dukuh pasti ditarima kalayan gumbira, ngan ulah ngajak jeung ulah ngaganggu = siapa saja yang bertamu ke kampung Dukuh diterima dengan baik, hanya jangan mengajak dan jangan mengganggu.

Pengakuan adat sebagai Adat Islami yang secara subjektif diakui oleh masyarakat Adat Kampung Dukuh menunjukkan adanya saling memengaruhi antara nilai-nilai Agama (Islam) dan nilai-nilai Budaya. Nilai- nilai budaya mereka terima selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sebagai akibat logis adanya saling memengaruhi antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya maka terbentuklah pola dan karakteristik keberagamaan mereka secara khas. Agama (Islam) menjadi inti/ruh bagi budaya, sedangkan budaya merupakan realitas yang telah dibentuk oleh agama.

Jika digambarkan i n t e r d e p e n d e n c e (=saling memengaruhi) antara nilai agama dan nilai budaya pada Masyarakat Adat Kampung Dukuh adalah sebagai berikut:

Gambar: Pola Keberagamaan Konservasi Hutan

Tradisi agama yang terinternalisasi dalam benak mereka direleksikan dalam bentuk kecintaan terhadap alam (hutan). Konservasi hutan yang telah dilakukan beratus-ratus tahun lamanya (hingga kini) didasarkan pada kesadaran teologis. Hal ini terungkap dari pernyataan mereka bahwa: “Alam teh mangrupakeun tanda kakawasaan Allah=Alamitu merupakan tanda Keagungan Allah Swt; Alam teh ni’mat/anugrah ti Allah= Alam itu adalah nikmat/anugrah dari Allah Swt; Alam teh kaendahan dunya=Alam itu merupakan hiasan/keindahan dunia.” Kusabab kitu (oleh sebab itu) ”urang kudu syukuran ka Allah=kita harus bersyukur kepada Allah” ku cara ngarumati anu geus dipepelingkeun ku karuhun urang=dengan cara merawat sesuai dengan ajaran dari para leluhur kita.”

Berdasarkan kesadaran tersebut mereka melakukan konservsi hutan ala mereka, yakni dengan cara memadukan aspek teologis dan nasehat karuhun. Mereka membagi wilayah hutan (bahasa mereka ”leuweung”) menjadi lima wilayah, yaitu:

1) Leuweung (hutan) tutupan; yakni hutan ditutup dari berbagai usaha penebangan, karena dijadikan sebagai sumber mata air khususnya untuk kepentingan penduduk Kampung Dukuh. Siapapun tidak diperbolehkan melakukan penebangan pohon apapun yang ada di wilayah hutan tutupan ini. Ternyata mereka berhasil, sehingga tidak

ada yang berani melakukan perusakan terhadap hutan (hutan tetap utuh) dan airnya terus mengalir tidak pernah kering sekalipun kemarau panjang. Yang unik dalam memelihara hutan tutupan ini tidak pernah menerapkan sangsi pelanggaran, tapi semua orang tidak ada yang berani mengganggu terhadap hutan tutupan yang ada di sebelah utara Kampung Dukuh.

2) Leuweung (hutan) titipan; yakni titipan dari para leluhur yang harus terus dipelihara, dijaga dan diurus. Hutan titipan ini merupakan persediaan bagi orang Arab mereka menyebutnya ”Habib” karena Syaikh Abdul Djalil pernah menuntut ilmu di Mekkah; Persediaan untuk orang Sumedang karena Syaikh Abdul Djalil pernah menjadi Pemimpin Agama di Sumedang; Dan persediaan untuk orang Sukapura, karena Syaikh Abdul Djalil berasal dari keturunan Sukapura.

3) Leuweung (hutan) awisan (cadangan); yaitu merupakan wilayah hutan yang berada di sekitar Kampung Dukuh yang di disiapkan untuk kebutuhan generasi yang akan datang dan cadangan jika masyarakat terkena bencana atau musim paceklik/kemarau panjang.

4) Leuweung (hutan) larangan. Yakni tanah yang difungsikan sebagai tanah mati atau tanah larangan seperti tanah untuk kuburan/makam. Dengan pemikiran bahwa manusia berasal dari tanah, maka akan kembali lagi ke tanah.

5) Leuweung (hutan) Garapan. Yakni dijadikan lahan tanaman bahan pokok sebagai sumber kehidupan mereka, seperti Pertanian, Kehutanan, dan Perkebunan.

Bagi Masyarakat Adat Kampung Dukuh pelestarian hutan menjadi pilihan dasar untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan. (tutur Kuncen Kampung Dukuh) “Kita harus belajar dari alam, sebab alam bisa memberikan pelajaran berharga kepada manusia.” Pelestarian alam bagaikan sumur tanpa dasar, airnya tidak akan habis walaupun ditimba terus.”

Mereka juga menyadari bahwa sumber keseimbangan yang menjadi kekuatan itu meliputi: Sumber Daya Alam (=Bumi, Air, Udara); Sumber Kehidupan (=Semua makhluk Allah yang ada dibumi); Sumber Pendidikan (=Aturan-aturan / agama). Ketiga sumber harus dijaga, dipelihara, dan dilestarikan secara sungguh-sungguh. Dalam prakteknya mereka berpegang pada 10 (sepuluh) nasehat para leluhur mereka yaitu: (1) Gunung-Kaian=

Gunung tanami kayu; (2) Gawir–Awian: Lereng tanami bambu; (3)

Cinyusu–Rumateun: Mata air harus dirawat; (4) Sempalan–Kebonan:

Lahan tidur jadikan kebun; (5) Pasir–Talunan: Bukit tanami pepohonan (keras); (6) Dataran–Sawahan : Tanah darat jadikan sawah; (7) Lebak– Caian: Tanah bawah airi; (8) Legok-Balongan: Tanah berlombang jadikan kolam; (9) Situ–pulasaraeun: Danau harus lihara; (10) Lembur–Uruseun:

Kampung harus diurus. Kesepuluh nasehat tersebut, dipegang benar-benar dalam melakukan konservasi hutan.

Implikasi Teoretik

Jika mengacu pada konsep yang disodorkan oleh Mudhoir Abdullah dalam bukunya yang berjudul: Al-Qur’an & Konservasi Lingkungan (Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari’ah), maka kesadaran teologis yang tertanam dalam diri masyarakat adat Kampung Dukuh memunculkan sekurang-kurangnya tiga proposisi teoritik: (a) Eko- Teologi.; (b) Eko-Ushul Fiqh; dan (c) Eko-Soi (Tasawwuf).

Eko-teologi. dipahami sebagai bentuk teologi konstruktif yang membahas tentang interelasi antara agama dan alam sebagai amanat dari Allah. Dalam hal ini, Tauhid menjadi sebagai dasar perbuatan setiap manusia baik itu atas nama kebaikan, keterbukaan, ataupun kepasrahan. Allah, alam dan manusia mempunyai keterkaitan yang sangat erat di mana di dalamnya terdapat relasi antara sang pencipta dengan ciptaannya. Allah sebagai pusat alam semesta mempunyai wakil di dunia ( khalifatullah il ardhi). Manusia sebagai

khalifatullah il ardhi harus berbuat mengurus, menjaga, memelihara, dan memanfaatkan alam berdasarkan tauhid bukan atas kehendak nafsu pribadi;

Eko-Ushul Fiqih, model ini merupakan pertimbangandalam upaya mengeksplorasikan konsep maslahat dan maqasidus syari’ah dalam konservasi hutan;

Eko-soi/Tasawwuf, memandang bahwa antara Allah, kosmos, dan manusia mempunyai relasi yang kuat. Relasi tersebut diwujudkan dengan saling menjaga dan memelihara tatanan yang sudah digariskan oleh Tuhan semesta alam. Cinta dan bersahabat dengan alam.

Kesadaran teologis dalam pelestarian alam yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Kampung Dukuh menumbuhkan harmonisasi relasi antara Allah, manusia, dan alam sebagaimana gambar berikut:

Gambar: Model Kesadaran Ekologis

Harmonisasi relasi antara Tuhan, Kosmos, dan Manusia merupakan kunci untuk menjaga lingkungan. Pandangan ini oleh Sachiko Murata disebut relasi model tauhid. Dalam perspektif Yusuf Qardhawi, bahwa tiga sudut segitiga itu dapat dipaparkan dalam tujuan hidup manusia, yaitu: untuk mengabdi kepada Allah (sebagai khalifatullah il ardhi); dan untuk membangun peradaban yang etis di muka bumi.

Masyarakat Adat Kampung Dukuh meyakini bahwa alam bisa memberikan pelajaran berharga kepada manusia“kita harus belajar dari alam.” Pelestarian alam bagaikan sumur tanpa dasar, dimana airnya tidak akan habis-habisnya walaupun ditimba terus menerus (dalam bahasa sunda mereka “siuk dengdeng siuk langgeng, disiuk caina teu beak-beak”).

KESIMPULAN

POLA KEBERAGAMAAN MASYARAKAT ADAT KAMPUNG DUKUH cenderung bersifat dialogis, kompromis, dan akomodatif. Pola keberagamaan ini, memunculkan proposisi teoritik. Pertama, antara agama Islam dan tradisi lokal saling memengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi), sehingga dapat bertahan dan lestari (survival). Kedua, tradisi keberagamaan (Islam) masyarakat adat Kampung Dukuh adalah hasil konstruksi sosial para elit lokal yang memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri. Pola keberagamaan inilah yang secara subjektif mereka akui sebagai Adat Islami.

Dalam menjaga keseimbangan, mereka melakukan pelestarian alam didasari oleh kesadaran teologis di atas prinsip-prinsip tauhid, ibadah, ilmu,

khilafah, keadilan, keindahan, dan kemaslahatan. Sehingga memunculkan model pelestarian yang disebut Eko-Teologi, Eko-Ushul Fiqih; dan Eko-soi Tasawwuf.

Fenomena keberagamaan masyarakat adat Kampung Dukuh merupakan realitas penelitian yang sangat kaya, menarik dan kompleks. Sehingga dapat memberikan kontribusi bagi disiplin ilmu lain khususnya dalam pengembangan keilmuan yang berkaitan dengan Fiqih lingkungan (Fiqh al-Bi-ah).

Dalam rangka memperluas khazanah Ilmu Agama yang berkaitan dengan pelestarian alam perlu adanya penelitian yang bersifat kolaboratif dan interdisiplin agar menghasilkan penelitian yang lebih komprehensif. Mengingat fenomena sosial yang berkembang di era global cenderung hanya mementingkan keinginan berdasarkan ego masing-masing.

Penelitian ini seyogyanya dapat mendorang para Ulama dan cendekiawan muslim untuk mewujudkan Fiqh Al-Bi’ah sebagai solusi alternatif terhadap kerusakan lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Satori, dan Subhan Agung (2011), Kepemimpinan Poltik Masyarakat Adat (Studi Model Pembagian Peran dan Relasi Kuasa Pemimpin Adat di kampung Naga, Neglasari, Salawu, Tasikmalaya, LPPM Universitas Siliwangi, Tasikmalaya.

Alim, Yusmin, 2007, Artikel: Lingkungan dan Aksioma Kerakusan, http:// agamadanekologi.blogspot.com.

AMAN,1996, Masyarakat Adat Indonesia, diunduh 11 Oktober 2010, <http://aman.or.id/index.php?option=com_docman&Itemid=96>. Amsyah, Budi Rahayu, 1996, Kamus Lengkap: Sunda-Indonesia; Indonesia-

Sunda; Sunda-Sunda, Bandung, Pustaka Setia

Annemarie de Waal Maleijt, 1968, RELIGION AND CULTURE An introduction to Anthropology of Religion, he Macmillan Company, New York

Bambang Hudayana, 2005, Masyarakat Adat di Indonesia : Meniti Jalan Keluar dari Jebakan Ketidakberdayaan, IRE Press, Yogyakarta Budi Rahayu Tamsyah (2010), Kamus Lengkap, Sunda – Indonesia; Indonesia

– Sunda; Sunda-Sunda, Pustaka Setia, Bandung.

Departemen Pendidilcan dan Kebudayaan, 1997, Kamus Besar Bahasa indonesia, (Jakana: Balai Pustaka)

Djamil, Fathurahman, 1997, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Gazali, Hatim (2005). Mempertimbangkan Gagasan Eco-heology. http:// islamlib.com. Diakses pada 28 April 2008.

Harahap, Adnan, 1997, Islam dan Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Suara Bhumy,

Hudayana, Bambang, 2005, Masyarakat Adat di Indonesia : Meniti Jalan Keluar dari Jebakan Ketidakberdayaan, IRE Press, Yogyakarta. Khalid, Fazlun M., 2007. Islam dan Lingkungan Hidup: Umat Islam Indonesia

Kabar Gembira Bagi Bumi. http://greenpressnetwork.blogspot.com. Didownload tanggal 29 April 2008 pk. 09.45.

Mangunwijaya, Fachruddin M., 2008). Dunia Islam dan Perubahan Iklim. Tropika/Conservation International Indonesia

M. Rahmat Efendi, Dkk, (2012), Perilaku Kepemimpinan Kuncen (Studi Etnograi Pada Masyarakat Adat Kampung Dukuh Desa Ciroyom Kecamatan Cikelet Kabupaten Garut Jawa Barat), LPPM Unisba. Nasution, Harun, 1992, Ensiklopedi Islam Indonesia Jakarta: Djambatan,. Rasjidi, M, 1976, Hukum Islam dan Pelaksanaannya dalam sejarah, Jakarta:

Bulan Bintang,

Qardhawi, Yusuf , 2002.. Islam Agama Ramah Lingkungan. Abdullah Hakam Shah, dkk. (terj.)., Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,

Satori, Akhmad dan Subhan Agung,, 2011, Budaya Politik Kampung Adat Naga, LPPM Universitas Siliwangi, Tasikmalaya

Sakho Muhammad, Ahsin, dkk., 2004, Fiqih Lingkungan, Jakarta: INFORM, Yaie, Ali, Merintis Fiqh Lingkungan Hidup, Jakarta: Yayasan Amanah, 2006

Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Zainal. Kelestarian Lingkungan dalam Perspektif Islam. http:// www. bangrusli.net. Diakses pada 29 April 2008.

PENDAHULUAN

Setiap tahun, kita selalu dihadapkan pada kenyataan bahwa “Indonesia ketika musim hujan kebanjiran dan ketika musim kemarau kekeringan dan kebakaran”. Masalah lingkungan hidup di Indonesia tidak pernah beranjak dari permasalahan diatas. Kebiasaan kita, hanya menanggapinya sebagai suatu rutinitas belaka. Lantas, kapan kita sadar bahwa lingkungan hidup kita sedang berada di ujung tanduk? Kita harus lebih serius menangani persoalan lingkungan hidup di negara ini, yang menyimpan sebuah bahaya kemanusiaan yang sangat besar.

Lingkungan hidup mulai menghentak dunia pada akhir dasawarsa 1960- an. Awalnya wakil Swedia di PBB pada 28 Mei 1968 meluncurkan usul agar PBB menjajaki kemungkinan menyelenggarakan konferensi internasional tentang lingkungan. Langkah lebih jauh PBB membentuk panitia persiapan konferensi internasional tentang lingkungan. Konferensi yang dihadiri oleh 112 negara (termasuk Indonesia) berlangsung 6-16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia, dan membuahkan Stockholm Declaration memuat 62 asas yang bertemakan satu bumi. Yaitu, pembangunan tanpa merusak lingkungan dan memuat 5 deklarasi; tentang pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikan, dan pembangunan (LPDS, 1996). Konferensi itu dikenal sebagai Konferensi Stockholm, dan hari pembukaan tersebut yaitu tanggal 5 Juni telah disepakati sebagai hari lingkungan hidup sedunia (Darsono, 1995).

Dalam kaitannya dengan masalah lingkungan hidup, komunikasi pembangunan menjadi sebuah elemen penting dalam sebuah negara, namun keberadaannya terabaikan karena fungsinya yang dianggap tidak

DALAM KOMUNIKASI PEMBANGUNAN BERBASIS

Dalam dokumen Komunikasi Pariwisata Budaya dan Pengemb (Halaman 178-187)