• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.4.1 Hubungan diameter lensa dan panjang tubuh

Pertambahan diameter lensa pada ketiga jenis ikan kerapu sesuai dengan bertambahnya umur. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Purbayanto (1999) yang menyatakan bahwa diameter lensa mata ikan meningkat seiring dengan bertambahnya panjang tubuh. Diameter lensa mata yang meningkat berakibat pada bertambah baiknya ketajaman mata ikan (Guma’a 1981).

3.4.2 Tipe fotoreseptor ikan kerapu

Berdasarkan gambar preparat histologi ikan kerapu, pada retina mata diketahui bahwa tipe sel kon yang merupakan fotoreseptor utama bagi ikan kerapu adalah sel kon ganda (twin cone) yang terbanyak ditemukan pada bagian ventro-

R2 = 0,609 R2 = 0,6159 R2 = 0,6666 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 50 100 150 200 250 300 350 400 Panjang total (mm) MSD (m ) P. maculatus E. fuscoguttatus E. heniochus kerapu sunu kerapu macan kerapu karet Panjang total (TL) (mm)

51

temporal retina. Sel kon tunggal (single cone) juga ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Menurut pendapat Matsuoka (1999), pada ikan bertulang sejati ditemukan sel kon ganda dan sel kon tunggal.

Ada hubungan antara kedalaman dan kepadatan relatif sel kon ganda dan sel kon tunggal (Tamura 1957). Kebanyakan ikan-ikan yang telah diteliti yang hidupnya relatif dekat dengan permukaan perairan memiliki separuh jumlah sel kon ganda dan separuh jumlah sel kon tunggal. Pada ikan-ikan yang hidup pada kedalaman 100-300 m seperti Helicolenus, Malakichtys, Zenion, Argentina dan

Chloropthalmus tidak memiliki sel kon tunggal. Pada ikan layang (Decapterus macrosoma) yang mendapatkan sel kon ganda yang membentuk mosaik yang menyebar merata (Fitri 2002). Ikan yang hanya memiliki sel kon ganda saja yang ditemukan pada retina mata merupakan petunjuk bahwa ikan tersebut merupakan ikan predator.

Ikan yang memiliki fotoreseptor sel kon, baik tunggal maupun ganda/kembar dan membentuk susunan mosaik ataupun tidak mengindikasikan bahwa ikan tersebut mampu untuk membedakan warna. Pada ikan cucut Leoprad (Triakis semifasciata), fotoreseptor dominan yang dimiliki adalah sel rod dengan 1 per 9,3 1,2 m2 sedangkan sel kon sangat jarang ditemukan (Sillman et al.

1996). Selanjutnya dijelaskan pula rasio sel rod dan sel kon pada cucut bervariasi, pada Squalus acanthias 50:1, ikan cucut Putih 4:1 dan ikan cucut Sandbark 13:1. Hal tersebut mengindikasikan bahwa ikan cucut tidak mampu membedakan warna dan memiliki kemampuan hanya untuk membedakan kondisi terang dan gelap.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Razak (2005) pada kelompok ikan karang Chaetodontidae memiliki fotoreseptor yang terdiri atas sel kon ganda dominan yang tersusun membentuk mosaik bujur sangkar. Kondisi ini menunjukkan ketajaman mata yang kuat sehingga mampu menangkap invertebrata kecil yang menjadi makanannya di samping polip koral. Hal tersebut menunjukkan bahwa Chaetodontidae sangat intensif menggunakan penglihatannya dan hidup pada kedalaman kurang dari 100 m.

Berdasarkan uraian di atas, jika dihubungkan antara tipe sel kon ikan kerapu dan kedalaman tempat hidupnya maka dapat dikatakan bahwa ikan kerapu hidup pada kedalaman kurang dari 100 m. Selain itu dominannya sel kon ganda

52 berhubungan dengan kebisaan makan. Ikan kerapu memiliki sel kon ganda yang dominan yang tersusun membentuk mosaik memiliki ketajaman mata yang kuat agar mampu menangkap makanan dan menandakan ikan ini sangat intensif menggunakan penglihatannya dan mampu membedakan warna. Susunan mosaik dapat berubah pada satu individu bergantung habitatnya (Fujaya 2002; Herring et al. 1990).

3.4.3 Densitas fotoreseptor

Data mengenai densitas sel kon dihubungkan dengan panjang tubuh (BL) secara regresi (Gambar 10) menunjukkan bahwa semakin panjang ukuran tubuh maka densitas sel kon cenderung menurun. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Tamura (1957) yang menyatakan bahwa densitas sel kon akan tetap sama sepanjang hidupnya dan yang berubah adalah diameter lensa mata yang mengikuti pertumbuhan tubuh. Sel kon menurun jumlahnya karena volume sel kon membesar seiring dengan proses pertumbuhan dan perkembangan.

Apabila dibandingkan dengan ikan karang lain yang hidup pada kedalaman 100 m, seperti ikan kakap merah (Lutjanus sebae) yang memiliki densitas sel kon berkisar antara 80-112 per luasan 0,01 mm2, ikan beronang (Siganus javus) yang memiliki densitas sel kon berkisar 99-125 per luasan 0,01 mm2 (Salma 2008), ikan kepe-kepe yang memiliki densitas sel kon berkisar 200-541 per luasan 0,12 mm2 (Razak 2005) dan Sebastes schlegeli yang memiliki densitas sel kon berkisar 92-172 per luasan 0,1 mm2 (Torisawa et al. 2002), maka ikan kerapu merupakan ikan karang yang memiliki densitas sel kon yang berada pada kisaran ikan kakap merah, beronang, kepe-kepe, dan Sebastes schlegeli.

Berdasarkan hasil penelitian Tamura (1957), kelompok Serranidae (E. septemfasciatus, E. chlorostigma, Lateniabrax japonicus dan Malakichthys wakiyae) memiliki kisaran nilai densitas sel kon 242-1050 per luasan 0,1 mm2 untuk panjang tubuh 90-180 mm. Kisaran nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kisaran densitas sel kon pada ikan kerapu macan dan kerapu karet.

Densitas sel kon pada ikan karang menggambarkan kondisi adaptasi ekologi mata. Ikan karang diurnal memiliki kisaran densitas sel kon yang lebih besar dibandingkan ikan karang nokturnal. Sebagai contoh pada ikan karang diurnal ,

53 ikan kepe-kepe dan beronang memiliki kisaran nilai densitas sel kon 200-541 per luasan 0,12 mm2 dan 99-125 per luasan 0,01 mm2, ikan karang nocturnal ikan kakap merah dan Sebastes schlegeli memiliki kisaran densitas 80-112 per luasan 0,01 mm2 dan 92-172 per luasan 0,1 mm2. Ikan kerapu termasuk kelompok

crepuscular memiliki kisaran densitas paling kecil dibandingkan kelompok ikan diurnal dan nokturnal. Kelompok ikan crepuscular mempunyai kebiasaan makan pada siang hari dan malam hari, namun lebih aktif lagi pada waktu fajar dan senja hari atau ikan yang aktif di antara waktu siang dan malam hari (Indonesian Coral Reef Foundation 2004 dan Herring et al. 1990).

3.4.4 Sumbu penglihatan (visual axis)

Berkaitan dengan kebiasaan makan, ikan kerapu sunu, macan, dan karet adalah ikan yang bersifat karnivora. Sebagai ikan karnivora, kerapu cenderung menangkap mangsa yang aktif bergerak di kolom air (Nybakken 1988). Ikan kerapu biasanya mencari makan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya (Sale 2002). Menurut Gufran dan Kordi (2005), bahwa ikan kerapu yang dipelihara pada kolam pemeliharaan akan mempunyai kebiasaan makan dengan menyergap pakan yang diberikan satu per satu sebelum pakan itu sampai ke dasar. Kerapu dalam keadaan lapar di keramba terlihat siaga dan selalu menghadap ke permukaan air dengan mata bergerak-gerak siap memangsa pakan. Kerapu tidak pernah mau mengambil atau mencaplok pakan yang diberikan apabila sudah jatuh sampai ke dasar, meskipun kerapu dalam keadaan lapar.

Berdasarkan kebiasaan makan dan posisi densitas sel kon tertinggi ikan kerapu di atas maka sumbu penglihatannya adalah mengahadap arah depan ke atas. Menurut Blaxter (1980) jika kepadatan tertinggi sel kon di bagian ventro-temporal, maka perubahan arah pada diopter ke arah depan-naik (upper-fore) dan sumbu penglihatan juga akan ke arah depan-naik (upper-fore) pada sudut 300. Analisis sumbu penglihatan ikan kerapu menjadi dasar untuk melakukan penangkapan dengan menggunakan umpan dengan meletakkan umpan pada posisi sesuai dengan kisaran arah pandang ikan kerapu (sumbu penglihatan).

54 3.4.5 Ketajaman mata ikan (visual acuity)

Ketajaman penglihatan dipengaruhi oleh diameter lensa, sebagaimana dijelaskan oleh He (1989) bahwa ketajaman penglihatan meningkat karena sudut pembeda terkecil (MSA) semakin kecil karena diameterater lensa semakin besar.

Diameter lensa yang besar akan berpengaruh pada jarak fokus yang semakin jauh sehingga berpengaruh pada semakin kecilnya nilai MSA. Hal tersebut dijelaskan pula oleh Shiobara et al. (1998) bahwa ketajaman penglihatan meningkat disebabkan oleh hubungan panjang fokus lensa. Pada ketiga jenis ikan kerapu memiliki diameter lensa yang semakin besar dengan semakin panjang ukuran tubuh, hal tersebut berpengaruh pula terhadap jarak fokus lensa yang semakin jauh. Jarak fokus yang semakin jauh berpengaruh terhadap semakin kecilnya sudut pembeda terkecil, yang artinya bahwa kemampuan ketajaman penglihatan ketiga jenis ikan kerapu semakin tinggi.

3.4.6 Jarak pandang maksimum (maximum sighting distance/ MSD)

Ada kecenderungan pertambahan panjang total meningkatkan angka jarak pandang maksimum (MSD), namun pada E. heniochus adanya kecenderungan pada panjang total 200-260 mm kemampuan jarak pandang maksimum relatif sama, yaitu 4,72-4,99 m. Susunan sel kon ganda/kembar yang teratur dengan susunan berbentuk bujur sangkar pada P. maculatus dan E. heniochus

menyebabkan meningkatnya ketajaman penglihatan yang akhirnya berpengaruh pada semakin jauhnya jarak pandang maksimum terhadap suatu objek benda.

Dokumen terkait