• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan pembahasan di atas menjelaskan bahwa ikan kerapu memiliki struktur mata dan lensa seperti umumnya ikan bertulang sejati (teleostei). Tipe sel kon (kerucut) yang dominan pada ikan kerapu adalah sel kon ganda dan berpola mosaik bujur sangkar. Sumbu penglihatan lurus ke arah depan naik pada sudut sekitar 30 derajat, dengan indeks ketajaman penglihatan berkisar 0,0548-0,1465. Ketajaman penglihatan tersebut tidak jauh berbeda dengan ketajaman penglihatan pada ikan karang lainnya dari famili Chaetodontidae yang berkisar 0,058-0,145; genus Sebastes schlegeli yang berkisar 0,093-0,106; famili Siganidae berkisar 0,058-0,059 dan famili Lutjanidae berkisar 0,055-0,077. Jarak pandang maksimum ikan kerapu berukuran 150-350 mm berkisar 4,72 –12,59 m untuk objek penglihatan dengan diameter 25 mm.

Informasi yang menarik dari hasil penelitian ini adalah dengan susunan sel kon yang lebih teratur dan diameter lensa mata yang besar berpengaruh pada ketajaman penglihatan dan jarak pandang maksimum yang tinggi. Ikan kerapu sunu memiliki ketajaman penglihatan dan jarak pandang maksimum lebih tinggi dibandingkan dengan kerapu macan dan kerapu karet karena memiliki diameter lensa yang lebih besar dan susunan sel kon yang lebih teratur. Besarnya ukuran diameter lensa mata pada ikan kerapu sunu salah satunya dipengaruhi oleh ukuran panjang tubuh. Sel kerucut yang tersusun teratur berpengaruh pada ketajaman penglihatan (Blaxter 1980). Hampir sebagian besar ikan sama, perlu pembuktian lainnya untuk color vision.

Sumbu penglihatan (arah pandang) ikan kerapu ke arah depan atas, memberikan informasi dasar pada proses penangkapan dengan menggunakan atraktor umpan. Peletakkan posisi umpan seharusnya diletakkan pada daerah sumbu penglihatannya sehingga umpan dapat dilihat secara jelas oleh ikan, disamping itu kebiasaan makan ikan kerapu yang tidak akan merespons umpan jika posisi umpan telah sampai dasar perairan.

Struktur bagian otak ikan kerapu yang berukuran paling besar merupakan cerminan indera apa yang paling berkembang sebagai fungsi organ sensoris. Pada famili Serranidae, struktur otak menunjukkan struktur atau bentuk telencephalon,

158

olfactory bulb, optic tectum, cerebellum dan medulla oblongata. Perbandingan bobot otak dan bobot tubuh relatif sama yaitu berkisar 0,04-0,4%. Struktur otak ikan kerapu pada area otak depan, otak tengah, dan otak belakang menunjukkan pertumbuhan ke arah lateral. Perkembangan otak ke arah lateral juga ditemukan pada ikan African cichlid yang hidup pada habitat yang kompleks di danau Victoria sebagaimana ikan-ikan famili Serranidae yang hidup di terumbu karang (Schumway 2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan kerapu (famili Serranidae) memiliki persentase bobot rata-rata telencephalon 20,00%. Persentase tersebut lebih besar dibandingkan dengan persentase ikan karang lainnya seperti pada famili Chaetodontidae berkisar 19,00-19,50% (Razak 2005) dan ikan pelagis besar (Katsuwonus pelamis) sebesar 17,32% (Lisney dan Collin 2006). Menurut Schumway (2005), bahwa ikan yang hidup pada habitat yang kompleks seperti di perairan terumbu karang memiliki struktur telencephalon yang lebih besar, penglihatan yang lebih baik dan home range yang lebih luas.

Analisis umpan alami dan buatan sebagai atraktan ikan kerapu diperlukan untuk mengetahui ketahanan tekstur umpan selama perendaman dan kandungan kimia pada umpan yang dapat merangsang organ sensor penciuman. Analisis ketahanan umpan alami (ikan dan udang) dalam penelitian ini menunjukkan bahwa umpan ikan dan udang memiliki ketahanan perendaman yang sama yaitu selama 36 jam. Umpan gonad bulu babi dengan tekstur yang cepat memudar ketika dimasukkan kedalam air tidak diujikan dalam penelitian ini. Hasil analisis ketahanan umpan dapat dijadikan dasar bahwa perendaman umpan ikan dan udang untuk penangkapan akan lebih efektif apabila dilakukan kurang dari 36 jam karena selain akan berpengaruh pada tekstur umpan itu sendiri, juga akan berpengaruh pula pada kandungan kimianya. Lokkeborg (1990), mengemukakan bahwa potensi laju pelarutan atau pelepasan kandungan asam amino umpan akan mengalami penurunan seiring dengan lamanya waktu perendaman, yaitu dari 2 hingga 24 jam.

Hasil analisis proksimat pada masing-masing umpan alami menunjukkan bahwa kandungan air tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu 777,9 mg/g; kandungan lemak tertinggi terdapat pada umpan gonad bulu babi yaitu 67,6 mg/g,

159 sedangkan kandungan protein tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu 171,4 mg/g. Air dapat berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam suatu bahan, dan sebagai pelarut pada beberapa bahan lainnya (Winarno 1992). Pada umpan, kandungan air akan berpengaruh pada distribusi bau dalam air. Asam amino dan asam lemak merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan. Kandungan asam amino yang direspons oleh penciuman ikan sekaligus sebagai perangsang nafsu makan antara lain alanina, arginina, glutamina, metionina, leusina dan prolina. Kandungan alanina tertinggi terdapat pada umpan ikan, yaitu 15,34 mg/g, kandungan arginina, glutamina, metionina, dan prolina tertinggi juga terdapat pada umpan ikan, yaitu berturut-turut sebanyak 2,18 mg/g; 28,04 mg/g; 2,8 mg/g; dan 3,58 mg/g. Kandungan leusina tertinggi terdapat pada umpan udang, yaitu 9,87 mg/g. Pada umpan buatan, kandungan asam amino yang direspons oleh organ penciuman ikan terdapat pada arginina, leusina, dan lisina terdapat pada umpan buatan D, yaitu berturut-turut 0,45 mg/g; 1,21 mg/g; dan 0,53 mg/g. Kandungan asam lemak yang mampu merangsang organ penciuman kerapu adalah jenis asam lemak jenuh miristat dan palmitat dan jenis asam lemak tidak jenuh oleat. Kandungan miristat, dan palmitat pada umpan alami tertinggi pada gonad bulu babi yaitu 34,51 mg/g dan 22,48 mg/g, sedangkan kandungan oleat tertinggi terdapat pada umpan ikan yaitu 6,27 mg/g. Kandungan palmitat pada umpan buatan tertinggi pada formulasi umpan buatan D yaitu 141,54 mg/g, sedangkan kandungan oleat tertinggi juga terdapat pada formulasi umpan buatan D yaitu 60,32 mg/g.

Perbandingan lemak dan protein antara umpan alami dan umpan buatan menunjukkan bahwa umpan buatan memiliki kandungan lemak dan protein lebih banyak. Perbedaan ini dimungkinkan karena umpan buatan merupakan hasil pengolahan ikan dengan tingkat konsentrasi kandungan lemak dan protein yang tinggi. Namun perbedaan yang cukup besar terjadi pada kandungan asam amino (alanina dan lisina), dimana umpan alami memiliki jumlah kandungan alanina dan lisina yang lebih banyak. Kandungan asam lemak palmitat umpan buatan D memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan umpan alami, sedangkan

160 kandungan miristat tertinggi terdapat pada umpan alami. Hal ini mengindikasikan bahwa miristat dan palmitat sebagai atraktan respons ikan kerapu.

Informasi menarik yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah pola perilaku berbagai jenis ikan kerapu. Tingkah laku kerapu sunu yang berbeda (selalu melakukan aktivitas renang pada kolom perairan) dibandingkan dengan kerapu macan dan karet yang kebanyakan selalu diam di dasar kolam pemeliharaan. Hal ini disebabkan karena kerapu sunu termasuk genus

Plectropomus, sedangkan kerapu macan dan kerapu karet termasuk genus

Epinephleus, meskipun ketiga jenis kerapu tersebut termasuk famili yang sama, yaitu Serranidae (grouper). Respons kerapu sunu terhadap pendeteksian umpan berbeda dengan kerapu macan dan kerapu karet. Pada kondisi lapar setelah

starvasi, kerapu sunu selalu melakukan aktivitas berenang di kolom air untuk mencari umpan/makanan, baik pada kondisi siang hari (kondisi cahaya dengan intensitas yang tinggi) maupun malam hari (kondisi cahaya dengan intensitas yang rendah). Hal tersebut berbeda dari kerapu macan dan kerapu karet, yang akan tetap diam di dasar perairan sebelum umpan dimasukkan dalam perairan, baik pada kondisi siang maupun malam hari. Akan tetapi, ketika umpan dimasukkan kedalam perairan maka kerapu macan dan karet akan melakukan suatu respons terhadap umpan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa masing-masing spesies kerapu memiliki tingkah laku yang berbeda ketika merespons adanya umpan.

Pendeteksian ikan terhadap umpan/makanan menggunakan dua organ reseptor, yaitu organ penglihatannya sebagai reseptor bentuk dan ukuran objek serta organ penciuman sebagai reseptor kimia (Lokkeborg et al. 1994; Baskoro dan Effendy 2005). Pada kelompok ikan predator (famili Serranidae, Lutjanidae dan Carangidae), penggunaan organ penglihatan lebih dominan meskipun organ reseptor lain yaitu organ penciuman juga ikut berperan dalam mendeteksi keberadaan makanan (Liang et al. 1998). Pada kondisi terang (light condition), respons ikan kerapu pada kondisi umpan (dibuka dan dibungkus) hampir sama. Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut organ penglihatan yang lebih dominan berperan dalam mendeteksi keberadaan umpan. Pada kondisi gelap (dark condition), dengan kondisi umpan dibungkus, kerapu tidak memberikan respons.

161 Hal ini menunjukkan bahwa baik organ penglihatan dan penciuman tidak berperan pada kondisi tersebut. Pada kondisi umpan yang dibuka, kerapu memberikan respons dalam mencari keberadaan umpan. Pada kondisi ini, organ penciuman yang lebih berperan. Hal ini mengindikasikan bahwa organ penciuman dan penglihatan pada kerapu saling berperan dalam merespons umpan baik kondisi lingkungan yang gelap gulita (malam hari) dan lingkungan dengan kondisi cahaya dengan intensitas yang tinggi (siang hari). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Lokkeborg et al. (1994); Baskoro dan Effendy (2005) bahwa pada prinsipnya empat fase tingkah laku ikan terhadap umpan tidak terlepas dari peran sensor organ penglihatan dan organ penciuman, yaitu fase arousal, fase searching, fase

up take, dan fase food ingestion.

Pada dark condition,respons antara kerapu sunu, kerapu macan, dan kerapu karet dalam mendeteksi umpan buatan pada fase arousal, dan fase searching

adalah sama. Pada fase finding berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian, yaitu fase finding waktu rata-rata tercepat kerapu macan dan kerapu karet dalam mendeteksi umpan D yaitu 5,21±0,81 menit, umpan C yaitu 9,36±1,29 menit, umpan B yaitu 9,94±1,81 menit dan waktu rata-rata ikan yang paling lama adalah umpan A yaitu 10,20±0,75 menit. Umpan buatan D (komposisi minyak ikan (35%) memiliki kandungan lemak tertinggi yaitu 331,8 mg/g dibandingkan umpan buatan lain. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin banyak kandungan minyak ikan, maka semakin tinggi jumlah lemak yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kandungan lemak pada umpan buatan telah mampu memberikan respons tercepat pada kerapu dalam mendeteksi keberadaan umpan. Hasil ini sesuai dengan pendapat Djarijah (1998) dimana lemak merupakan kandungan kimia umpan yang dapat merangsang organ penciuman ikan. Selain itu, kandungan air juga dapat mempercepat proses dispersi zat kimia dan distribusi bau dalam air, sehingga ikan akan dapat dengan cepat memberikan respons terhadap umpan. Asam amino yang terkandung dalam umpan buatan juga merupakan komponen perangsang utama dalam proses penciuman ikan.

Tertangkapnya kerapu pada bubu yang dioperasikan siang dan malam hari mengindikasikan bahwa kerapu melakukan aktivitas mencari makanan baik pada siang hari maupun malam hari, artinya bahwa famili Serranidae dapat diklarifikasi

162 sebagai ikan crepuscular. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Indonesian Coral Reef Foundation (2004) dan Potts (1990), bahwa aktivitas makan famili Serranidae dikelompokkan sebagai ikan crepuscular. Hasil tangkapan terbanyak terdapat pada setting malam hari. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kerapu termasuk kelompok ikan nocturnal (aktivitas malam hari) akan tetapi memiliki puncak aktivitas makan pada saat menjelang senja dan menjelang fajar (twilight

atau crepuscular) (Herring et al 1990; Potts 1990). Dengan demikian, waktu malam hari pada kondisi cahaya dengan intensitas rendah, organ penciuman yang berperan lebih dominan dalam mendeteksi dan menentukan keberadaan umpan. Siang hari pada kondisi cahaya dengan intensitas tinggi, keberadaan umpan dalam bubu dapat direspons kerapu lebih dahulu melalui organ penglihatan. Namun ketika pencarian keberadaan umpan, organ penciuman juga ikut berperan dalam mendekati target/umpan melalui aroma atau difusi dan dispersi kimia umpan.

Hasil perhitungan nilai efektivitas penangkapan kerapu untuk masing- masing umpan menunjukkan bahwa hasil tangkapan siang hari, umpan yang memiliki efektivitas terbaik adalah umpan ikan (23,33%), diikuti berturut-turut oleh umpan udang (22,29%), umpan buatan D (20,83%), umpan gonad bulu babi (18,75%), dan umpan buatan B (6,25%). Pada penangkapan malam hari, umpan yang memiliki efektivitas terbaik adalah umpan udang (49,17%), diikuti berturut- turut oleh umpan ikan (44,58%), gonad bulu babi (43,75%), umpan buatan D (41,67%), dan umpan buatan B (39,58%). Perbandingan nilai efektivitas hasil tangkapan antara umpan alami dan umpan buatan mengindikasikan bahwa umpan buatan (umpan D) telah memiliki efektivitas yang sama dengan umpan alami (gonad bulu babi), artinya bahwa formulasi umpan buatan telah memiliki karakteristik fungsi untuk dapat menggantikan peran umpan alami (gonad bulu babi) dalam usaha penangkapan ikan kerapu.

Efektivitas penangkapan tertinggi kerapu siang hari terdapat pada umpan ikan. Hal ini disebabkan karena kandungan asam amino (alanina, arginina, dan metionina) pada ikan lebih tinggi dibandingkan udang. Kandungan asam amino yang tinggi berperan lebih efektif sebagai atraktan organ penciuman ikan. Selain faktor tersebut, tekstur fisik umpan ikan yang lebih mengkilat dan cerah dibandingkan umpan udang juga dapat menstimulasi organ penglihatan kerapu

163 dalam melihat target/makanan. Demikian halnya dengan umpan buatan D memiliki nilai efektivitas penangkapan ikan kerapu yang lebih tinggi dibandingkan umpan gonad bulu babi. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena tekstur fisik umpan buatan D memiliki tekstur yang tetap dibandingkan gonad bulu babi yang tekstur fisiknya lebih cepat larut dalam air laut selama pengoperasian bubu. Akibatnya kerapu mempunyai waktu yang cukup untuk mendekati makanan/umpan dalam bubu dibandingkan dengan gonad bulu babi yang sudah larut dalam air.

Pada malam hari, efektivitas penangkapan tertinggi ikan kerapu diperoleh dengan umpan udang dibandingkan umpan ikan. Hal ini disebabkan karena organ penciuman berperan lebih dominan dibandingkan organ penglihatan dimana kandungan air pada umpan udang lebih tinggi dibandingkan umpan ikan. Kandungan air yang tinggi menyebabkan proses difusi dan dispersi kimia umpan ke dalam air lebih cepat sehingga organ penciuman kerapu lebih cepat terstimulasi.

Dokumen terkait