• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan mencakup tiga gagasan yaitu perbedaan, pada waktu yang berbeda, dan diantara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 1993). Perubahan ini dapat terjadi dalam berbagai hal diantaranya adalah perubahan perilaku. Menurut Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2010) bahwa ada 3 tingkat ranah perilaku yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan praktik atau tindakan (practice).

Perubahan perilaku dapat merupakan perbedaan yang terjadi pada masyarakat yang menyangkut tentang pengetahuan, sikap dan praktik, pada waktu yang berbedan dan dalam sistem sosial yang sama. Salah satu perubahan yang terjadi dalam sistem sosial yang sama tersebut adalah perilaku konsumsi makanan tradisional.

Untuk mengetahui perubahan perilaku konsumsi makanan tradisional yang terjadi dapat dilakukan secara sistematis, termasuk dalam mengkaji sejauh mana kejadiannya. Pengkajian perubahan tersebut melalui pendekatan perbedaan pengetahuan, sikap dan praktik MTG pada tiga generasi yaitu pada remaja, ibu remaja dan nenek remaja itu sendiri. Tiga generasi ini yang menunjukkan penggambaran waktu yang berbeda dalam hal ini terimplikasi pada umur mereka. Sementara untuk keadaan sistem sosial yang sama dapat ditunjukkan oleh adanya kesamaan suku yaitu suku Gorontalo dengan latar budaya yang sama. Adapun tiga generasi yang dijadikan contoh tersebut adalah siswa mulok dan tidak mulok, mempunyai ibu yang tinggal serumah dan mempunyai nenek serta merupakan suku Gorontalo.

Pengetahuan MTG merupakan segala sesuatu yang diketahui tentang MTG meliputi nama makanan, jenis makanan, bahan utama yang digunakan, kandungan gizi, cara pembuatan, dan penggunaannya. Pengetahuan MTG pada contoh siswa yang belajar mulok ilmu gizi berbasis MTG adalah lebih tinggi dibandingkan dengan tidak mulok serta berbeda secara nyata (p<0,05). Jadi, pengetahuan MTG siswa mulok lebih baik dibandingkan dengan siswa tidak mulok. Selanjutnya perbedaan tersebut menunjukkan bahwa hasil pembelajaran mulok ilmu gizi berbasis MTG adalah nyata apalagi perbedaan pengetahuan MTG tentang kandungan gizi, siswa mulok mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu siswa maupun nenek siswa. Perbedaan ini merupakan efektifitas pembelajaran mulok yaitu dapat meningkatkan pengetahuan MTG siswa.

Harapan pembelajaran mulok ilmu gizi berbasis MTG bukan saja tahu dan memahami namun diharapkan dapat sampai pada tahap mampu mengaplikasikan, menganalisis, serta mampu menformulasikan MTG menjadi makanan yang bergizi, sehat, beragam, dan seimbang. Shariff at al. (2008) menemukan bahwa intervensi pendidikan gizi selain meningkatkan pengetahuan gizi juga dapat berdampak positif pada sikap dan praktek konsumsi siswa.

Pengetahuan MTG ini berbeda secara nyata antara siswa, ibu siswa dan nenek siswa baik mulok dan tidak mulok. Antara ibu siswa dan nenek siswa mulok dan tidak mulok menunjukkan tidak berbeda secara nyata. Artinya bahwa pengetahuan yang dimiliki nenek siswa terlihat masih tertransformasi kepada ibu siswa sekalipun ada kecenderungannya menurun. Akan tetapi pada ibu siswa ini

173

terdapat kesenjangan transformasinya ke siswa atau anaknya sehingga terjadi perbedaan pengetahuan ibu siswa dan siswa secara nyata. Perbedaan pengetahuan MTG yang terjadi dari nenek siswa, ibu siswa sampai pada siswa merupakan sebuah keadaan perubahan bahwa telah terjadi perubahan pengetahuan MTG pada masyarakat Gorontalo.

Menurut Notoatmodjo (2010) bahwa sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan seperti rasa suka-tidak suka. Sikap tentang MTG adalah keyakinan terhadap MTG berdasarkan rasa suka dengan alasan karena penampilan, tekstur, aroma, cita rasa, menyehatkan dan mudah memperolehnya.

Perbedaan sikap tentang MTG terjadi pada siswa mulok dan tidak mulok secara nyata. Nilai sikap siswa mulok lebih tinggi dibandingkan dengan tidak mulok. Perbedaan ini dapat sebagai implikasi dari proses pembelajaran yang meningkatkan pengetahuan MTG, akibatnya dengan pengetahuan tersebut telah meningkatkan sikap rasa suka pada MTG itu sendiri.

Nilai sikap tentang MTG pada ibu siswa dan nenek siswa baik mulok dan tidak mulok tidak terdapat perbedaan yang nyata. Alasan suka yang tertinggi pada ibu siswa dan nenek siswa adalah sama dengan alasan suka pada siswa yaitu karena cita rasa. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Winarno (1993) bahwa kesukaan masyarakat untuk mengonsumsi makanan tradisional karena cita rasa yang enak yang sesuai dengan masyarakat daerah; Galindo et al. (2012) menyatakan bahwa rasa memiliki masukan penting dalam kesukaan terhadap makanan, hal ini ditinjau dari faktor fisiologis yang mempengaruhi keputusan apa yang harus dimakan.

Terdapat perbedaan yang nyata sikap nenek siswa yang lebih tinggi dibandingkan dengan sikap ibu siswa dan siswa itu sendiri. Keadaan sikap ini dapat merupakan bukti bahwa pada sikap ini telah terjadi pula perubahan yang nyata. Ini terjadi karena siswa sebagian besar sudah tidak mendapat pengajaran lagi tentang MTG dari ibu siswa sehingga di sini terjadi pemotongan pemahaman tentang MTG, akibatnya sikap siswa lebih rendah.

Setelah seseorang bersikap dengan berbagai alasannya maka ada kecenderungan untuk melakukan praktik atau tindakan (Notoatmodjo 2010). Praktik MTG yang diukur berdasarkan frekuensi konsumsi MTG yaitu seberapa sering contoh mengonsumsi MTG dalam satuan hari, minggu, bulan dan tahun. Frekuensi konsumsi ini terlihat bahwa siswa yang mendapat mulok lebih tinggi frekuensinya dibandingkan dengan tidak mulok. Keadaan frekuensi pada siswa mulok ini selain dipengaruhi oleh proses pembelajaran mulok, dapat pula karena ketersediaan MTG di kantin. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Khomsan et al. (2009) bahwa prasyarat terjadinya perubahan perilaku gizi adalah pengetahuan tentang gizi atau makanan.

Frekuensi konsumsi MTG baik pada siswa, ibu siswa dan nenek siswa sesungguhnya tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam frekuensi setahunnya. Akan tetapi terlihat nyata pada frekwensi perminggu, bulan dan tahun. Keadaan perbedaan ini dapat menggambarkan perbedaan aktivitas yang dilakukan pada waktu tertentu. Terlihat bahwa frekuensi perminggu yang lebih tinggi adalah ibu siswa. Sangat dimungkinkan ini terjadi karena ibu tersebut setiap minggu melakukan belanja di pasar dan ada juga kebiasaan yang nampak yaitu pada saat ke pasar tersebut sang ibu membeli dan mengonsumsi MTG. Sementara pada

174

frekuensi perbulan terlihat bahwa nenek siswa yang mempunyai frekuensi praktik tertinggi. Ini dimungkinkan terjadi karena MTG erat kaitannya dengan prosesi adat istiadat yang ada di Gorontalo dan menjadi sebuah kebanggaan jika prosesi adat tersebut dihadiri oleh orang yang sudah sepuh. Dalam prosesi adat tersebut disediakan MTG, dan menjadi kebiasaan bahwa orang yang sepuh akan didahulukan untuk mengonsumsi makanan serta memperoleh bagian yang sudah ditetapkan.

Sekalipun frekuensi konsumsi MTG termasuk tinggi pada kategori sering dan selalu pada setiap hari, namun variasi MTG yang dikonsumsi siswa baru berkisar 32,50% dari 80 MTG yang terinventaris (Tabel 42). Akan tetapi berbeda dengan konsumsi perminggu, terlihat bahwa ibu dan nenek siswa adalah lebih tinggi variasi MTGnya yang dikonsumsi dibandingkan dengan siswa. Artinya bahwa, MTG yang dipraktikkan semakin menurun jumlahnya namun frekuensi konsumsi MTG meningkat. Ini juga dapat menandakan ketersediaan MTG yang tidak variatif di tempat-tempat penjualan atau bahkan pemasakan di rumah tangga hanya pada beberapa MTG saja. Namun ada juga MTG yang dibuat tetapi berhubungan dengan musim ketersediaan bahan seperti musim duo/nike (ikan kecil-kecil) yang biasanya tersedia nanti pada bulan-bulan tertentu.

Berdasarkan temuan pada praktik konsumsi MTG yakni siswa SMP mulok mempunyai perilaku konsumsi makanan tradisional yang lebih tinggi dari pada tidak mulok. Selanjutnya tidak terdapat perbedaan yang nyata konsumsi MTG siswa, ibu siswa dan nenek siswa. Namun terlihat bahwa MTG yang dikonsumsi ibu siswa dan nenek siswa cenderung lebih banyak dibandingkan dengan siswa, maka hal ini adalah menandakan sebagai perubahan yang terjadi dalam praktik itu sendiri. Keadaan ini penting menjadi perhatian semua kalangan yang berwenang, sehingga upaya untuk melestarikan dan mengembangkan MTG sudah saatnya untuk dilakukan secara berkesinambungan.

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya (Worobey 2006; Contento 2007) sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi makanan meliputi tujuh faktor yakni keluarga, sekolah, peer group, keragaan MTG, citra MTG, iklan dan pasar. Selanjutnya terdapat 3 faktor yang berbeda secara nyata (p<0,05) antara siswa mulok dan tidak mulok yaitu faktor sekolah, keragaan MTG dan citra MTG. Perbedaan ini disebabkan karena adanya proses pembelajaran mulok itu sendiri. Pembelajaran di sekolah dalam bentuk teori dan praktik menjadi stimulus terhadap pengetahuan MTG yang difahami dari sisi keragaan dan citra MTG. Sementara pada siswa tidak mulok karena tidak ada pembelajaran tersebut maka pemahaman mereka tentang keragaan dan citra MTG lebih rendah.

Melalui uji regresi linier berganda guna melihat faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi MTG yang mencakup pengetahuan, sikap dan praktik maka terlihat bahwa pemberian mata pelajaran mulok ilmu gizi berbasis MTG mempengaruhi peningkatan perilaku tersebut. Selanjutnya dibuktikan bahwa dengan mata pelajaran mulok ini sebagai stimulus dalam meningkatkan pengetahuan siswa yang ditunjang pula oleh pendidikan ibu siswa. Makin tinggi pendidikan ibu, akan meningkatkan wawasan ibu termasuk tentang gizi/makanan, kesehatan dan pengasuhan (Madanijah 2003), sehingga ini juga dapat berdampak pada peningkatan pengetahuan anak yang setiap saat berinteraksi dengannya.

175

Hasil uji regresi ini juga menunjukkan bahwa hanya faktor pembelajaran mulok dapat meningkatkan sikap tentang MTG siswa. Peningkatan sikap ini dapat mempengaruhi reaksi untuk melakukan praktik MTG. Pembuktian ini seiring dengan pernyataan Notoatmodjo (2010) bahwa proses stimulus dapat mempengaruhi pengetahuan dan sikap seseorang. Kemudian pengetahuan yang dimiliki ini dapat mempengaruhi sikap. Selanjutnya dengan sikap tersebut maka dapat mempengaruhi terjadinya reaksi terbuka yaitu berupa praktik atau tindakan. Penelitian ini tidak menemukan bahwa praktik konsumsi makanan dipengaruhi oleh pendapatan keluarga. Hal ini seiring dengan hasil penelitian Koesmardini (1999) menemukan bahwa faktor pengetahuan ibu dan pendapatan keluarga tidak berpengaruh dengan pola konsumsi makan siswa di salah satu SMEA di Bogor. Namun ini berbeda dengan yang dinyatakan oleh Pranadji (1988) bahwa konsumsi makanan keluarga dipengaruhi oleh faktor pendapatan.

Konsumsi makanan dan status gizi diukur pada contoh siswa mulok dan tidak mulok. Konsumsi makanan contoh siswa mulok dan tidak mulok bervariasi dengan 6 klasifikasi jenis makanan yang dikonsumsi (Tabel 54). Paling banyak adalah makanan pokok, lauk pauk, sayur, dan buah pada siswa mulok dan pada siswa tidak mulok adalah makanan pokok, lauk pauk, dan sayur. Tidak ditemukan pola konsumsi makanan pokok dan sayuran, ini dimungkinkan karena kebiasaan yang terjadi dalam masyarakat Gorontalo bahwa selamanya pendamping makanan pokok apakah dari beras, jagung, umbi-umbian, sagu, adalah lauk berupa ikan, udang. Temuan ini hampir sama dengan hasil penelitian Sudiarti (1997) yaitu pola konsumsi di Kota Depok Jawa Barat terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayur (lalapan) dan buah. Lalapan yang di konsumsi ini menjadi salah satu pembeda jenis sayuran yang dikonsumsi, karena di Gorontalo tidak terdapat lalapan tersebut.

Tingkat kecukupan gizi yang diukur berdasarkan kelompok umur dan berat badan contoh siswa yang dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2004 bagi orang Indonesia kecuali lemak dan karbohidrat. Penelitian ini menemukan bahwa asupan gizi siswa mulok dengan tidak mulok tidak berbeda secara nyata. Rata-rata asupan energi siswa mulok dan tidak mulok masing- masing adalah 2307 kkal dan 2277 kkal atau lebih dari 95% dibandingkan dengan AKG. Temuan ini adalah lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Dwiriani et al. (2011) yaitu hanya 1557 kkal.

Rata-rata kontribusi protein adalah sebesar 13,51% pada mulok dan 13,42% tidak mulok; lemak 35,67% pada mulok dan 35,78% pada tidak mulok; serta karbohidrat 50,82% pada mulok dan 50,80% tidak mulok. Oenzil (1993) yang melakukan penelitian tentang gaya hidup kebiasaan makan masyarakat pedesaan dan perkotaan di Sumatra Barat ditemukan bahwa kontribusi protein dan lemak di daerah perkotaan adalah 11,3% dari total energi dan 9,8% di daerah pedesaan, lemak sebesar 20,4% dan 15%.

Asupan protein adalah di atas dari AKG oleh karena kebiasaan masyarakat Gorontalo dalam mengonsumsi ikan sebagai sumber lauk pauk. Sumber protein ini dikenal sebagai bahan makanan yang banyak mengandung asam lemak tak jenuh termasuk omega 3 yang berperan dalam mencegah terjadinya penyumbatan lemak pada dinding pembuluh darah (Soekirman et al. 2003). Protein ini sangat penting untuk anak usia sekolah karena sebagai zat pembangun dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya

176

Tingginya kontribusi lemak karena sebagian besar proses pemasakan dengan cara digoreng, ditumis, diliwet/kukus dengan santan. Ini terjadi baik pada: jenis makanan pokok yaitu nasi kuning sebanyak 42,86%; bilenthango pada jenis lauk pauk sebanyak 85,71%, kando tilumiti jenis sayuran 70,97% dan sanggala jenis snack/kue sebanyak 31,95% (Tabel 47). Selanjutnya temuan rata-rata asupan karbohidrat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2010 (umur 13-15 tahun) yang hanya 257±115 g/hari, sementara pada kedua kelompok siswa tersebut rata-ratanya adalah 319,88±202,50 g/hari pada siswa mulok dan 303,96±131,46 g/hari siswa tidak mulok. Lihat Tabel 56. . Sementara hasil penelitian Oktaviani et al. (2012) adalah lebih rendah yang menunjukan sebagian besar (65%) siswa SMA di Semarang menunjukkan tingkat kecukupan lemak

≥120%.

Tingkat kecukupan rata-rata vitamin A berdasarkan AKG 2004 adalah pada siswa mulok sebesar 127,06±106,88% dan 109,69±94,04% siswa tidak mulok dengan asupan rata-ratanya masing-masing adalah 762,34±641,31RE dan 658,14±564,23 RE. Temuan ini lebih tinggi dari hasil penelitian Dwiriani (2012) yaitu rata-rata 484,80 RE pada kelompok kontrol. Asupan vitamin A sebagian besar diperoleh dari jagung kuning, minyak goreng, kangkung, dan daun singkong, serta ditambah dari sumber lainnya seperti dari ikan yang digoreng. Menurut Menurut Gibson (2005) bahwa sumber vitamin A yang berasal dari tumbuhan yang disebut karoten diantaranya sayuran yang berwarna hijau tua (seperti yang dikonsumsi oleh contoh siswa), selain itu terdapat pula pada minyak kelapa, jagung kuning, juga dari ikan untuk vitamin A.

Asupan vitamin C tidak terdapat perbedaan namun masih lebih rendah dari AKG dengan rata-rata 55,39±36,87 mg pada siswa mulok dan 59,55±45,57 mg pada tidak mulok. Ini lebih tinggi dengan hasil penelitian Dwiriani et al. (2011) yaitu 33,80 mg, juga pada Briawan (2008) pada remaja mahasiswi kelompok kontrol dengan rata-rata 51 mg. Kemungkinan ini terjadi karena konsumsi buah- buahan yang rendah terjadi pada contoh siswa tersebut. Menurut Gibson (2005) bahwa sumber vitamin C adalah buah-buahan (terutama jeruk) dan sayuran. Demikian pula asupan serat yang masih di bawah dari rekomendasi WNPG (2004) yaitu baru mencapai hampir 53%. Lihat Tabel 58.

Dalam penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang nyata asupan mineral siswa mulok dan siswa tidak mulok. Rata-rata asupan Ca, Fe dan Zn masih dibawah dari AKG yaitu kurang dari 54%. Namun menunjukkan bahwa kategori cukup (≥ 70%) yaitu ada lebih dari 70%. Menurut Gibson (2005) bahwa sumber kalsium yang tinggi adalah ikan terutama ikan kecil-kecil yang dapat dimakan dengan tulangnya juga susu dan produk susu lainnya. Dalam penelitian ini sebagian besar contoh mengonsumsi jenis ikan kecil-kecil namun konsumsi susu dan produk susu masih rendah karena belum merupakan kebutuhan yang dimungkinkan berhubungan dengan faktor ekonomi. Lihat Tabel 61. Menurut Park et al. (2013) bahwa konjugasi asam linoleik dengan kalsium memiliki potensi besar digunakan untuk mencegah keropos tulang dan penurunan berat badan.

Selanjutnya untuk kecukupan zat besi pada contoh siswa mulok diperoleh bahwa yang berkategori cukup sebanyak 89,54% dan 86,84% pada tidak mulok. Jadi ada 10,46% contoh siswa mulok kecukupan zat besinya berkategori kurang dan ada 13,36% pada tidak mulok. Kwong et al. (2004) dalam hasil penelitiannya

177

tentang interaksi zat besi dengan keracunan timah pada manusia ditemukan bahwa asupan zat besi yang tinggi dan zat besi yang cukup dapat mengurangi risiko keracunan timah. Selain itu secara klinis bahwa Fe merupakan mineral terpenting dalam tubuh dengan banyak fungsinya terutama diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, sehingga manifestasi dari kekurangan zat besi berkaitan dengan konsekuensi fungsional yang merugikan (Jain dan Sharma 2012), sementara kecukupan zat besi yang memadai dapat juga merupakan salah satu penentu utama kebugaran pada siswa (Basan dan Tanziha 2012).

Menurut Kartono dan Soekatri (2004) bahwa ikan merupakan sumber zat besi dan seng. Sumber ini sebagian besar selalu dikonsumsi oleh contoh siswa. Sementara susu dan produk susu lainnya masih terbatas yang kemungkinan disebabkan oleh faktor ekonomi ataupun karena tidak ada kebiasaan minum susu pada masyarakat Gorontalo yang bukan merupakan produk lokalnya. Lihat Tabel 61.

Tingkat kecukupan mineral seng pada penelitian ini berkategori cukup adalah melebihi 95% baik pada contoh siswa mulok dan tidak mulok. Seng merupakan mineral mikro (trace element) yang sangat penting setelah besi, berperan dalam banyak enzim untuk metabolisme tubuh, produksi hormon pertumbuhan, sebagai antioksidan dan diperlukan dalam fungsi imunitas yang dapat mencegah infeksi seperti infeksi saluran nafas, malaria dan diare (Agustian et al. 2009). Sebelumnya temuan Bhandari et al. (2007) bahwa suplementasi seng menunjukan penurunan morbiditas diare dan pneumonia.

Kontribusi rata-rata energi dari MTG pada siswa mulok sebesar 757±279 kkal atau 32,84±55,45% dari total energi dan 679±185 kkal atau 29,45±32,31% pada tidak mulok. Kontribusi protein dari MTG ini adalah lebih dari setengah kecukupan protein berdasarkan AKG yaitu dengan asupan 32,18±11,17 gram pada siswa mulok dan 32,56±10,76 gram tidak mulok. Untuk kontribusi energi dari lemak adalah tertinggi, yaitu pada mulok sebesar 45,61±59,53% dari asupan energi dan 41,07±37,18% tidak mulok. Kontribusi energi dari karbohidrat merupakan yang terendah yaitu sebesar 19,58±20,21% pada mulok dan 18,40±20,25% tidak mulok. Ditemukan perbedaan yang nyata (p<0,05) asupan serat pada siswa mulok dan tidak mulok. Hal ini dibuktikan oleh jenis MTG sayuran yang dikonsumsi berbahan kangkung, terong, daun pepaya serta dari snack/kue yang terbuat dari pisang (Lampiran 36, 37). Rata-rata kontribusi serat dari MTG pada siswa mulok yakni 59,34±71,43% dan 45,12±43,14% tidak mulok. Ini membuktikan bahwa konsumsi MTG jenis sayuran dapat memberikan kontribusi yang berarti terhadap kebutuhan serat. Kontribusi zat gizi lainnya seperti Ca, Fe, dan Zn dibawah dari 50% dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Lihat Tabel 62.

Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara BB dan TB siswa mulok dan tidak mulok. Rata-rata BB contoh siswa mulok yaitu 43,70±8,14 kg dan 44,62±9,32 kg tidak mulok. Sementara rata-rata TB siswa mulok adalah 151,36±7,63 cm dan 152,90±6,60 cm pada tidak mulok. Rata-rata berat badan dan TB yang ditemukan tidak jauh berbeda dibandingkan dengan review data BB dan TB pada kelompok umur 13-15 tahun penduduk Indonesia yang dilakukan oleh

Jahari dan Jus’at (2004) yaitu 44,7±6,73 kg dan 152,3±4,63 cm.

Status gizi ditentukan menurut IMT berdasarkan umur. Tidak terdapat perbedaan yang nyata (p<0,05) IMT siswa mulok dan tidak mulok. Rata-rata IMT

178

contoh siswa mulok 19,03±2,94 kg/m2 dan 19,02±3,26 kg/m2 pada contoh siswa tidak mulok. Ini tergolong dalam kategori normal. Kemungkinan keadaan status gizi ini berhubungan dengan keseimbangan makanan yang dikonsumsi dengan aktivitas contoh siswa karena terlihat bahwa total energi dari makanan yang dikonsumsi adalah lebih dari 95% AKG. Ini pun teraktualisasi dalam status gizi normal yang mencapai 90,85% pada siswa mulok dan 81,58% pada tidak mulok. Akan tetapi terdapat penggambaran ganda yaitu masih terdapatnya status gizi kurus dan sangat kurus, sementara terdapat pula status gizi gemuk dan obesitas yang cenderung lebih banyak. Lihat Tabel 63, 64. Berbeda dengan temuan Sungkowo et al. (2008) bahwa tidak berbeda nyata IMT antara kelompok yang diintervensi pendidikan gizi dan yang tidak dengan masing-masingnya adalah 25,6 kg/m2 dan 24,8 kg/m2 (status gizi ini cenderung dalam kategori gemuk); penelitian Budi (2012) di SMP Tegalrejo Kabupaten Magelang ditemukan bahwa status gizi siswa sebagian (86,5%) besar adalah normal.

Rata-rata Hb contoh siswi berada dalam kategori normal yaitu ≥12 g/dl dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p=0,760). Terdapat 62,5% siswi dengan kadar Hb ≥12 g/dl, sementara yang lainnya adalah <12 g/dl ada 37,5% (Tabel 65). Temuan ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Briawan (2008) yaitu sebesar 25,1% yang Hbnya <12 g/dl. Hal ini jika ditinjau hasil recall dari Fe yang menunjukkan hampir 90% berkategori cukup (89,54% siswi mulok dan 86,84% tidak mulok), sementara tingkat kecukupan vitamin C dengan kategori kurang hampir 50% (49,67% mulok dan 49,34% tidak mulok). Artinya ada faktor yang kurang mendukung yang menyebabkan penggunaan (absorbsi) Fe di dalam tubuh menjadi tidak optimal. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kemungkinan faktor yang kurang mendukung ini yang menyebabkan penggunaan (absorbsi) Fe di dalam tubuh menjadi tidak optimal. Selain itu rendahnya asupan vitamin C juga yang menyebabkan Hb siswi dalam kategori rendah karena diketahui bahwa vitamin tersebut sangat berperan dalam absorbsi dan metabolisme Fe. Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero di dalam usus sehingga mudah dan meningkatkan absorbsi Fe (Johnston et al. 2001).

Menurut Dunn (2003) bahwa analisis kebijakan dilaksanakan dalam 5 kegiatan yaitu merumuskan masalah, peramalan masa depan kebijakan, merekomendasikan, pemantauan dan evaluasi kebijakan.

Masalah kebijakan adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi yang dapat diidentifikasikan untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik (Dunn 203). Terdapat 4 masalah yang diidentifikasi dan menjadi masalah kebijakan yaitu pertama kecenderungan upaya pelestarian dan