• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Praktik atau Tindakan

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudkannya tindakan perlu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana (Notoatmodjo 2010). Selanjutnya dikatakannya bahwa praktik dibedakan menjadi 3 tingkatan yakni: (a). Praktik terpimpin (guide response). Apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan. Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya tetapi masih menunggu diingatkan oleh bidan atau tetangganya. Demikian juga seperti seorang anak kecil menggosok gigi namun masih selalu diingatkan oleh ibunya. Hal ini disebut sebagai praktik atau tindakan yang terpimpin. (b). Praktik secara mekanisme (mechanism). Jika seseorang atau subyek telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanisme. Sebagai contoh misalnya seorang ibu selalu membawa anaknya ke Posyandu untuk ditimbang, tanpa harus menunggu perintah dari kader atau petugas kesehatan. Demikian juga contoh lainnya seorang anak secara otomatis menggosok giginya setelah makan tanpa disuruh oleh ibunya. (c). Adopsi (adoption). Adopsi merupakan suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas. Misalnya menggosok gigi, bukan sekedar gosok gigi, melainkan dengan teknik-teknik yang benar. Seorang ibu memasak, memilih bahan masakan bergizi tinggi meskipun bahan makanan tersebut mahal harganya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Konsumsi Makanan

Menurut Contento (2007) bahwa ada tiga hal yang mempengaruhi perilaku makan seseorang yaitu makanan (food), orang itu sendiri (person) dan lingkungan

17

(enviroment). Sebelumnya Krondl (1990) dalam Worobey (2006) mengatakan bahwa banyak sekali faktor-faktor yang membuat seseorang itu memilih makanan hal ini terangkum dalam tiga faktor yaitu who, where dan why. (a). Faktor ”who” menggambarkan tentang karakteristik mengenai individu (seperti umur, jenis kelamin), biologi (seperti kesehatan dan keturunan) atau keadaan seseorang (depresi, tingkat aktivitas). (b). Faktor ”where” dihubungkan dengan lingkungan fisik (seperti waktu dan tempat memilih makanan) dan sosial budaya yang berpengaruh saat membuat keputusan memilih makanan. (c). Faktor ”why” yang mengacu pada persepsi individu terhadap makanan seperti keyakinan dan sensori dasar dalam memilih makanan. Selanjutnya menurut Pieniak et al. (2009) bahwa berbagai motif orang dalam bersikap memilih makanan yaitu menyangkut tentang berat badan, harga, kelayakan, kenyamanan, kealamian makanan, kesehatan, sensorik daya tarik dan kefamilieran makanan itu sendiri.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi makanan pada masyarakat dapat dikelompokkan ke dalam faktor: Individu meliputi keluarga, peer group; faktor makanan meliputi: keragaan makanan dan citra makanan; dan faktor lingkungan meliputi: sekolah, iklan dan pasar.

1. Keluarga

Pengertian keluarga berdasarkan UU No 52 tahun 2009 tentang perkem- bangan kependudukan dan pembangunan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Megawangi (1994) dalam Puspitawati (2012) menjelaskan bahwa keluarga dijabarkan sebagai suatu sistem yang diartikan sebagai suatu unit sosial dengan keadaan yang menggambarkan individu secara intim terlibat untuk saling berhubungan timbal balik dan saling mempengaruhi satu dengan lainnya setiap saat dengan dibatasi oleh aturan-aturan di dalam keluarga. Pengertian ini menunjukkan bahwa cukup banyak interaksi yang terjadi dalam keluarga diantaranya tentang konsumsi makanan keluarga setiap hari.

Menurut Hunt et al. (2011) bahwa dalam rumah tangga pembelian makanan dan aktivitas konsumsi makanan bervariasi, dan dalam banyak kasus bergantung pada anggota keluarganya. Ini juga erat kaitannya dengan pendapatan dalam rumah tangga terhadap konsumsi makan mereka setiap hari. Selanjutnya dikatakannya bahwa banyak dari perempuan muda memainkan peran penting dalam pembelian dan persiapan makanan untuk anggota keluarga. Makan bersama dengan orang lain dalam keluarga merupakan hal yang penting karena banyak nilai-nilai yang terdapat dalam proses makan bersama tersebut walaupun ada kendala yang signifikan untuk makan secara teratur dengan seluruh keluarga inti. Hal ini mencerminkan begitu pentingnya dalam hidup ini makanan yang dimasak di rumah.

Makin tinggi pendidikan ibu, akan meningkatkan wawasan ibu termasuk tentang gizi/makanan, kesehatan dan pengasuhan (Madanijah 2003). Lebih lanjut dikatakannya bahwa ibu dengan pendidikan tinggi maka pendidikan ayahnya juga tinggi yang memungkinkan memperoleh pandapatan yang tinggi sehingga akan lebih menunjang pengetahuan dan wawasan ibu karena tersedia sarana bacaan atau visual lainnya yang mendukung. Ini dapat menunjukkan bahwa tingkat

18

pendidikan ibu dalam keluarga memang sangat berarti dan memungkinkan dalam mentransformasi pengetahuannya tersebut pada anak yang setiap saat berinteraksi dengannya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Harker et al. (2010) menunjukkan bahwa siswa yang tinggal di rumah keluarga, mengonsumsi lebih baik buah dan sayuran setiap hari dibandingkan dengan orang dewasa muda yang hidup secara mandiri. Juga menemukan antara lain adanya perbedaan yang nyata pada sikap antara siswa yang beusia di bawah 21 tahun dan orang orang-orang di atas 21 tahun terhadap makanan yang sehat. Studi ini menunjukkan implikasi yang jelas untuk sejumlah orang yang berkepentingan dalam mengembangkan keterampilan pada pilihan makanan dan manajemen makanan termasuk tentang anggaran dalam keluarga.

Hasil penelitian Laska (2010) menunjukkan bahwa orang dewasa muda yang hidup dengan orang tua mereka atau di apartemen yang disewa/rumah sering konsumsi makanannya kurang, asupan makanan sedikit dan kurang sehat dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kampus sehingga dibutuhkan strategi yang efektif dan sehat untuk orang dewasa tersebut. Namun menurut Dammann et al. (2010) bahwa di keluarga, pemilihan makanan pada anak-anak sering tidak sehat karena terbatasnya ketersediaan makanan terhadap anak tersebut dan beberapa keadaan yang dilaporkan bahwa terjadi penurunan perilaku makan.

Pola konsumsi makanan tradisional menjadi pelengkap makanan pokok selain beras yang pada sisi lain dapat memberikan kemudahan ekonomis terhadap kecukupan pangan dan dengan harga rendah sehingga pendapatan ril rumah tangga bisa meningkat. Makanan Tradisional dapat berperan sebagai suatu survival strategi untuk orang miskin dengan pendapatan terbatas sehingga mampu membangun kapasitas membangkitkan kemandirian untuk menolong diri sendiri dan keluarganya dalam memenuhi kebutuhan pokok yang termurah (Lestari et al. 2007)

Pranadji (1988) mengatakan bahwa pengetahuan, sikap dan keterampilan gizi cenderung berhubungan dengan perilaku konsumsi makanan keluarga yang dipengaruhi oleh jenis dan tingkat pendidikan formal, besar keluarga, tingkat pendapatan keluarga, pengeluaran absolut untuk pangan, mobilitas dan nilai-nilai tentang makanan yang dianut oleh masyarakat setempat. Selanjutnya menurut Minarto (2010) bahwa kualitas konsumsi pangan dalam keluarga tersebut dipengaruhi juga oleh ketersediaan bahan pangan dan daya beli sehingga penting memanfaatkan bahan pangan lokal untuk kebutuhan sehari-hari.

2. Sekolah

Hasil penelitian Ritchie et al. (2010) tentang dampak pendidikan gizi di California menyatakan bahwa pendidikan gizi yang terkoordinasi secara signifikan dapat mempengaruhi konsumsi makanan ke arah yang lebih baik pada pilihan makanan sehat. Sementara menurut Rovner et al. (2011) menemukan bahwa sekolah berada dalam posisi yang kuat untuk mempengaruhi pola makan siswa sehingga perhatian pada makanan yang dijual di sekolah perlu untuk meningkatkan diet mereka. Selanjutnya Fredman dan Connors (2011) menyatakan bahwa memberikan informasi gizi di toko atau kedai lokasi pendidikan dapat mempromosikan pilihan makanan sehat.

19

Yeung (2010) menyatakan bahwa pendidikan gizi di sekolah di Hongkong dirancang harus menarik untuk anak laki-laki maupun perempuan dan program pelaksanaan pendidikan gizi yang efektif harus menanamkan kebiasaan makan yang sehat dan keterampilan memasak yang sehat serta memenuhi kebutuhan siswa yang mengacu pada perbedaan jenis kelamin. Pendekatan yang lebih beragam dapat digunakan melalui kurikulum formal dan informal, memprioritas- kan keterampilan memasak dan keragaan makanan di kurikulum. Pendidikan dapat memperbaiki keadaan konsumsi makanan dengan merancang kurikulum yang menarik dalam pendidikan formal dan memprioritaskan memasak. Sungkowo (2009) menyatakan bahwa intervensi pengayaan pengetahuan pangan dan gizi di Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Lampung Barat memberikan dampak lebih baik dilihat dari kebiasaan, frekuensi dan tatacara makan.

Sebagai bukti positif bahwa pengaruh pendidikan orang dewasa tentang gizi anak berdampak pada tinggi badan dan berat badan. Temuan ini mendukung untuk memperluas fokus kebijakan program gizi dari pasangan ibu dan anak terhadap konteks yang lebih luas dari keluarga dan masyarakat karena banyak ibu di India dan Vietnam bekerja di luar rumah (Moestue et al. 2008). Selanjutnya hasil penelitian Shim et al. (2011) menunjukkan keprihatinannya (tidak sesuai anjuran) dalam penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan pemanis buatan dalam makanan dimana lebih dari dua pertiga contoh menyatakan bahwa informasi mengenai bahan aditif cukup. Hal ini terkait dengan kurangnya informasi sehingga subyek sulit memahami bahan tambahan makanan dan juga pendidikan yang tidak cukup.

Devi (1996) melalui hasil penelitiannya menyatakan bahwa adanya hubungan makanan jajanan tradisional dengan lingkungan keluarga terutama pada tingkat pendidikan ibu dan frekuensi makanan di luar rumah. Adanya hubungan perilaku konsumsi makanan jajanan tradisional murid terutama pada pengetahuan gizi guru dan kegiatan makan bersama. Sementara itu hasil penelitian Napitu (1994) bahwa rata-rata frekuensi siswa jajan di perkotaan lebih tinggi dibanding di pinggiran kota karena sebagian besar tidak sarapan pagi di rumahnya masing- masing. Siswa cenderung lebih banyak konsumsi jajanan tradisional dibandingkan dengan makanan asing.