• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan kualitas dan perbanyakan bibit unggul merupakan dua masalah penting dalam pengembangan pamelo di Indonesia untuk dapat memasuki pasar domestik dan ekspor. Penelitian ini difokuskan pada pengembangan metode bioteknologi untuk menghasilkan pamelo berkualitas dan perbanyakannya. Sifat unggul yang diinginkan antara lain buah pamelo berukuran sedang (diameter tidak lebih dari 20 cm dengan berat tidak lebih dari 2 kg), warna kulit menarik dan bersih, warna bulir buah menarik, rasa manis asam tanpa getir dan seedless (Pangestuti dan Supriyanto 2009).

Buah seedless umum terjadi pada tanaman triploid yang secara spontan jarang terjadi (Kainth dan Grosser 2010). Tanaman triploid dapat dihasilkan dari persilangan tanaman tetraploid dan diploid. Pamelo tetraploid sebagai tetua juga jarang terjadi di alam sehingga harus dilakukan induksi buatan. Selain sifat seedless, ingin juga dilakukan peningkatan keragaman dengan menggabungkan sifat unggul pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ untuk menghasilkan jeruk batang atas varietas baru yang memiliki sifat intermediat dan atau jeruk batang bawah yang tahan CTV dan nematoda.

Pemuliaan pamelo melalui bioteknologi ingin dikembangkan untuk mendukung pemuliaan konvensional. Maka dalam penelitian ini dilakukan induksi tunas autotetraploid dengan perlakuan kolkisin, induksi kalus allotetraploid dengan fusi protoplas dengan keprok ‘Garut’, dan mempersiapkan teknik perbanyakan tunas tetraploid melalui organogenesis dan regenerasi kalus hasil fusi melalui embriogenesis somatik.

Tanaman autotetraploid, kromosomnya berasal dari penggandaan genom yang sama, sedangkan tanaman allotetraploid kromosomnya berasal dari genom yang berbeda yang bergabung melalui hibridisasi. Dengan demikian, tanaman autotetraploid adalah sama dengan tumbuhan diploid asalnya, hanya saja jumlah kromosomnya telah dilipatgandakan. Sedangkan tanaman allotetraploid adalah tanaman baru yang secara genetik dapat berbeda dengan tetuanya dan diharapkan membawa sifat unggul dari kedua tetuanya (Suryo 2007, Grosser dan Gmitter 2011).

Induksi pamelo autotetraploid dilakukan dengan perendaman eksplan kecambah biji in vitro, tunas pucuk dan buku kotiledon pamelo dalam 0.1% kolkisin selama 1, 3 dan 5 jam. Kecambah in vitro yang direndam dalam 0.1% kolkisin selama 3 jam menghasilkan 44% tunas tetraploid dan yang direndam dalam 0.1% kolkisin selama 5 jam menghasilkan 30% tunas tetraploid. Buku kotiledon pamelo menghasilkan 40% tunas tetraploid pada perendaman selama 1 jam. Tunas pucuk menghasilkan tunas tetraploid pada perendaman 1 jam sebesar 44% dan pada perendaman 3 jam dihasilkan 60% tunas tetraploid. Eksplan tunas pucuk yang direndam 0.1% kolkisin selama 3 jam inilah yang menghasilkan tunas tetraploid terbanyak. Hal ini menunjukkan bahwa eksplan dan perlakuan tersebut cukup efektif digunakan untuk induksi tunas tetraploid.

Konfirmasi tingkat ploidi tunas tetraploid yang dihasilkan, dilakukan dengan alat flow sitometer serta pengamatan kerapatan stomata dan ukuran sel penjaga. Tunas tetraploid memiliki kerapatan stomata 318.42 stomata/mm2 daun dan tunas diploid memiliki kerapatan stomata 888.59 stomata/mm2 daun. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan genetik yang terjadi (jumlah kromosom yang

62

mengganda) telah merubah fenotipe. Sehingga pengamatan stomata dapat dijadikan metode pendukung untuk mengkonfirmasi perubahan ploidi dengan lebih sederhana dan akurasi cukup tinggi. Konfirmasi kestabilan ploidi perlu dilakukan secara periodik dengan flow sitometer dan dilengkapi dengan analisis jumlah kromosom.

Tunas tetraploid yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat diperbanyak secara in vitro dan diregenerasikan menjadi planlet melalui induksi perakaran terlebih dahulu sebelum proses aklimatisasi. Selain itu, untuk mempercepat pertumbuhan tunas tetraploid dan tanpa perlu induksi akar secara in vitro maka teknik sambung mikro dapat dilakukan dengan batang bawah yang telah dikonfirmasi kesesuaiannya. Pamelo tetraploid siap ditanam di lapangan dan dimanfaatkan sebagai tetua persilangan antar ploidi untuk menghasilkan pamelo triploid seedless.

Induksi tanaman tetraploid dapat pula dilakukan melalui fusi protoplas. Fusi protoplas memungkinkan dihasilkannya tanaman autotetraploid dan allotetraploid. Tanaman allotetraploid dihasilkan dari tipe fusi heterofusi. Kelebihan teknik fusi protoplas dibandingkan dengan induksi tetraploid adalah dihasilkannya regeneran yang lebih tinggi keragaman tingkat ploidinya dan dapat pula terjadi kombinasi genetik antara tetua yang berbeda jenis. Dengan demikian peluang untuk memperoleh sifat unggul dari kombinasi kedua tetuanya lebih besar.

Fusi antara protoplas daun pamelo ‘Nambangan’ dan protoplas kalus embriogenik keprok ‘Garut’ berpeluang menghasilkan pamelo ‘Nambangan’ tetraploid, keprok ‘Garut’ tetraploid dan hibrida allotetraploid. Jika yang bergabung adalah kedua jenis sitoplasma dengan salah satu inti yang bertahan maka akan dihasilkan tanaman sibrida diploid. Pamelo ‘Nambangan’ diploid dan keprok ‘Garut’ diploid juga mungkin beregenerasi dari protoplas-protoplas tunggal yang tidak berfusi.

Pada penelitian ini, isolasi protoplas dilakukan secara enzimatik dengan komposisi enzim yang optimal untuk mendegradasi dinding sel mesofil daun pamelo adalah 0.5% Selulase Onozuka RS10 ditambah 0.5% Maserozim R10 dan 0.1% Pektoliase Y23 dengan yield 5.02 × 106 protoplas mL-1 dan jika enzim Pektoliase Y23 tidak ditambahkan maka yield adalah 3.31 x 106 protoplas mL-1. Enzim untuk mendegradasi dinding sel kalus embriogenik keprok adalah 1% Selulase Onozuka RS10 ditambah dengan 1% Maserozim R10 dengan yield 2.08 × 106 protoplas mL-1. Dari hasil tersebut, dapat pula dilakukan efisiensi penggunaan enzim dengan tidak menggunakan Pektoliase Y23 untuk isolasi protoplas dari daun maupun kalus embriogenik karena harganya cukup mahal.

Fusi dilakukan dengan larutan 40% PEG yang diteteskan pada suspensi protoplas dalam petri plastik, kemudian diinkubasi selama 8-10 menit, selanjutnya ditambahkan larutan A+B lalu inkubasi dilanjutkan selama 12-15 menit. Pencucian protoplas hasil fusi dan kultur dilakukan dengan media BH3 cair. Prosedur fusi tersebut telah berhasil baik pada pamelo dan telah diterapkan pada jeruk mandarin, pamelo, manis dan grapefruit (Grosser dan Gmitter 2011).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa inkubasi dengan 40% PEG selama 8- 10 menit, menghasilkan 40.6% protoplas yang tidak berfusi, terjadi 4.6% homofusi protoplas dari sel mesofil daun, terjadi 28.2% homofusi dari protoplas sel kalus, terjadi 7.8% heterofusi dan terjadi 9.6% multifusi antara protoplas sel

63

mesofil daun dan kalus. Sehingga dapat diprediksi regenerannya akan berupa tanaman pamelo ‘Nambangan’ diploid, keprok ‘Garut’ diploid, pamelo ‘Nambangan’ tetraploid, keprok ‘Garut’ tetraploid, hibrida pamelo + keprok diploid dan hibrida pamelo + keprok allotetraploid. Tanaman-tanaman tersebut di atas akan diperoleh melalui regenerasi koloni sel hasil fusi protoplas yang membentuk mikrokalus dan terus beregenerasi menjadi planlet.

Dalam penelitian ini regenerasi koloni sel hasil fusi menjadi mikrokalus masih belum berlangsung optimal. Usaha yang dapat dilakukan adalah optimasi konsentrasi larutan PEG yang digunakan dalam proses fusi, dan berapa lama waktu inkubasi yang dapat menghasilkan tipe heterofusi yang tinggi. Optimasi tersebut berhasil dilakukan untuk meningkatkan kemampuan koloni sel beregenerasi membentuk mikrokalus dan berlanjut hingga dihasilkan planlet pada fusi Mandarin ‘Satsuma’ dan siam ‘Si madu’ (Husni 2010).

Bila koloni sel hasil fusi dapat berkembang menjadi mikrokalus maka sistem regenerasi embriogenesis somatik yang telah diperoleh siap digunakan untuk menghasilkan berbagai macam regeneran yang mungkin diperoleh dengan teknik fusi protoplas. Deteksi keragaman regeneran yang diperoleh dapat dilakukan dengan flow sitometer untuk konfirmasi tingkat ploidi. Sedangkan untuk mendeteksi regeneran yang merupakan hibrida genom sitoplasmik maupun hibrida genom inti sel diperlukan kombinasi penggunaan beberapa marka molekular dari seperti RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), RFLP (Restriction Fragment Length polymorphism), marka Mikrosatelit untuk kloroplas dan marka SSCP ( Single-Strand Conformation Polymorpism) untuk mitokondria (Ollitrault et al. 2007).

Perbanyakan in vitro melalui organogenesis harus dipersiapkan untuk produksi tunas regeneran yang tumbuh dari eksplan pamelo yang direndam kolkisin dan embriogenesis somatik dipersiapkan untuk meregenerasikan mikrokalus yang dihasilkan dari fusi protoplas pamelo dan keprok. Dalam penelitian ini kegiatan optimasi perbanyakan tunas dan regenerasi kalus dilakukan pararel dengan induksi tetraploid dengan kolkisin dan fusi protoplas.

Perbanyakan in vitro dengan metode embriogenesis somatik diawali dengan induksi embriogenesis somatik tidak langsung dan embriogenesis somatik langsung. Eksplan yang digunakan untuk induksi embriogenesis somatik tidak langsung adalah bulir daging buah dan biji muda, tunas pucuk dan potongan daun dari kecambah in vitro. Eksplan untuk induksi embriogenesis somatik langsung adalah biji muda yang dikupas. Induksi embriogenesis tidak langsung dilakukan pada media MS (Murashige dan Skoog 1962) yang ditambah dengan 0.5 mg L-1 2,4-D atau 1.0 mg L-1 NAA. Induksi embriogenesis langsung dilakukan pada media MS yang mengandung 3 mg L-1 BAP, 1 mg L-1 2,4-D dan 300 mg L-1 Casein hidrolisat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi embriogenesis tidak langsung pada media dengan penambahan 2,4-D menghasilkan kalus yang tidak embriogenik pada semua jenis eksplan. Biji muda yang dikupas dengan diameter 4-6 mm dapat langsung membentuk embrio setelah 4 minggu dikultur pada media induksi embriogenesis langsung dengan BAP dan 2,4-D dan beregenerasi menjadi planlet. Analisis dengan flow sitometer menunjukkan bahwa planlet hasil regenerasi adalah tetap diploid sama dengan induknya. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa sistem regenerasi yang dikembangkan tidak mengakibatkan variasi somaklonal. Sistem regenerasi yang berhasil

64

dikembangkan akan siap diterapkan untuk menghasilkan planlet pamelo dari mikrokalus hasil fusi protoplas teutama pada fase pendewasaan hingga perkecambahan embrio somatik.

Perbanyakan in vitro dengan metode organogenesis dilakukan dengan eksplan tunas pucuk, buku dan buku kotiledon dari kecambah in vitro biji matang, pamelo. Media multiplikasi tunas terdiri atas media dasar MS dengan atau tanpa penambahan 0.5 mg L-1 BAP atau 0.5 mg L-1 Kinetin yang dipadatkan dengan gellan gum dan media cair. Induksi perakaran in vitro dilakukan pada media ½ MS tanpa atau dengan penambahan 0.5 mg L-1 IBA atau 0.5 mg L-1 NAA. Sambung mikro dengan batang bawah JC dilakukan pada media RMAN dengan penambahan sukrosa sebanyak 25 dan 30 gL-1.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbanyakan tunas terbaik diperoleh pada media padat dengan eksplan buku kotiledon, menghasilkan 2.5 tunas, jumlah daun mencapai 4.4 dan tinggi tanaman mencapai 3.8 cm. Jenis media perlakuan tidak berpengaruh terhadap parameter pertumbuhan tunas. Media cair tidak berhasil meningkatkan multiplikasi tunas dengan ketiga jenis eksplan yang digunakan dan semua jenis media perlakuan. Oleh karena itu diperlukan metode modifikasi perbanyakan tunas dalam media cair. Cabbason et al. (1997) menggunakan metode TIS (Temporary Immersion System) atau perendaman sesaat dalam media cair untuk meningkatkan laju multiplikasi tunas tanpa mengakibatkan keabnormalan (hyperhydricity) pada eksplan.

Media induksi perakaran in vitro terbaik adalah ½ MS, 75% tanaman dapat bertahan hidup sampai umur 4 minggu dalam proses aklimatisasi. Tunas pamelo berhasil disambungkan dengan batang bawah JC menggunakan teknik sambung mikro. Konfirmasi bahwa teknik sambung mikro dapat diterapkan dengan baik untuk perbanyakan bibit pamelo tetraploid dilakukan dengan pembuatan irisan melintang sederhana pada daerah persambungan.

65

Dokumen terkait