• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan

FUSI PROTOPLAS

ANTARA PAMELO (Citrus maxima (Burm.) Merr.)

‘NAMBANGAN’ DAN KEPROK ‘GARUT’ (Citrus reticulata L.)

Abstrak

Salah satu teknik untuk mendapatkan tanaman tetraploid adalah dengan metode fusi protoplas. Fusi protoplas menghasilkan sel yang memiliki sitoplasma gabungan maupun inti sel dari protoplas yang sama maupun yang berbeda. Fusi dapat dilakukan dengan beberapa teknik antara lain dengan induksi kimiawi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi isolasi, fusi dan kultur protoplas pada pamelo Indonesia ‘Nambangan’. Pada penelitian ini, isolasi protoplas dilakukan secara enzimatik terhadap daun kecambah biji in vitro pamelo ‘Nambangan’ dan kalus embriogenik jeruk keprok ‘Garut’. Fusi dilakukan dengan larutan 40% PEG yang diteteskan pada suspensi protoplas dalam petri plastik, kemudian diinkubasi selama 8-10 menit, selanjutnya ditambahkan larutan A+B lalu inkubasi dilanjutkan selama 12-15 menit. Pencucian protoplas hasil fusi dan kultur dilakukan dengan media BH3 cair. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi enzim yang optimal untuk mendegradasi dinding sel mesofil daun pamelo adalah 0.5% Selulase Onozuka RS10 ditambah 0.5% Maserozim R10 dan 0.1% Pektoliase Y23 dengan yield 5.02 × 106 protoplas mL-1 dan enzim untuk mendegradasi dinding sel kalus embriogenik keprok adalah 1% Selulase Onozuka RS10 ditambah dengan 1% Maserozim R10 dengan yield 2.08 × 106 protoplas mL-1. Protoplas dari mesofil daun pamelo dan kalus embriogenik keprok yang dihasilkan berbeda karakteristiknya dari warna, sedangkan diameter sel tidak berbeda. Inkubasi dengan 40% PEG selama 8-10 menit, menghasilkan 40.6% protoplas yang tidak berfusi, terjadi 4.6% homofusi protoplas dari sel mesofil daun, terjadi 28.2% homofusi dari protoplas sel kalus, terjadi 7.8% heterofusi dan terjadi 9.6% multifusi antara protoplas sel mesofil daun dan kalus. Hasil penggabungan protoplas yang berbeda dicirikan dengan adanya kloroplas dan butir pati dalam satu sel. Pada media 0.6M BH3 cair, protoplas hasil fusi mengalami pembentukan dinding sel dan pembelahan pada minggu pertama kultur dan koloni sel mulai terbentuk. Pada minggu ke 4,kepadatan koloni sel hasil fusi adalah 0.20 sel (mm2)-1 dengan rata-rata diameter 0.60 mm pada media BH3 0.4M cair, dan kepadatan koloni sel dari protoplas kalus keprok ‘Garut’ adalah 0.21 sel (mm2)-1 dengan diameter 0.69 mm. Koloni sel yang dihasilkan memerlukan optimasi media dan lingkungan tumbuhnya agar dapat diregenerasikan lebih lanjut.

Kata kunci: pamelo ‘Nambangan’, keprok ‘Garut’, protoplas, fusi protoplas,

PEG 40%

Abstract

Protoplast fusion is a technique to obtain tetraploid plants. By protoplast fusion, cytoplasmic hybrid cells and heterokaryon or homokaryon cells can be created. Fusion may occur by chemical induction. Protoplast fusion between pummelo ‘Nambangan’ and keprok ‘Garut’ was induced by PEG (Polyethylene Glycol). Protoplasts were isolated from leaves of in vitro seedlings of pummelo

24

‘Nambangan’ and embryogenic callus of keprok ‘Garut’. The aim of this research was to establish protoplasts isolation, protoplast fusion and protoplast culture technology for Indonesian pummel ‘Nambangan’. Fusion was induced by addition of 40% PEG into protoplast suspension on plastic petri dishes. Suspension was incubated for 8-10 min, then they were added with A+B solution, followed by incubation for 12-15 min. Protoplasts were washed with BH3 liquid medium. The results showed that optimal enzymes composition for cells mesophyl wall degradation were 0.5% Onozuka cellulase RS10, 0.5% Macerozyme R10 and 0.1% Pectolyase Y23 yielded 5.02 × 106 of protoplast mL-1. Enzymes composition for callus embryogenic cells wall degradation were 1% Onozuka cellulase RS10 added with 1% Macerozyme R10 yielded 2.08 × 106 of protoplast mL-1. Protoplast of pummelo leaves mesophyl and keprok embryogenic callus had different characteristics in color, but cell diameter was not significantly different. Incubation with 40% PEG for 8-10 min, resulted in 40.6% of unfused protoplast, 4.6% of homofused protoplast of mesophyl, 28.2% of homofused of callus protoplast, 7.8% of heterofused and 9.6% of multifused of protoplast from mesophyl and callus. Fusion from different type of protoplast was characterized by chloroplast and starch granules found in the same cell. In 0.6M of BH3 liquid medium, cells produced by protoplast fusion regenerated wall. Cells were divided at the first week and began to form cell colonies. Fourth weeks of cultures colonies cell formed from protoplast fusion reached 0.20 cell (mm2)-1 density on BH3 0.4M liquid medium having 0.60 mm in diameter. Colonies cells from embryogenic callus of keprok ‘Garut’ was 0.21 cell (mm2)-1 in cells density with 0.69 mm in diameter. Colonies of cells need further investigation to find the best medium for regeneration.

Keywords: pummelo ‘Nambangan’, keprok ‘Garut’, protoplast, fusion, PEG

Pendahuluan

Fusi protoplas adalah teknologi alternatif untuk menghasilkan tanaman tetraploid sekaligus menggabungkan sel somatik dari kultivar, spesies atau genus yang berbeda untuk menghasilkan kombinasi genetik baru. Fusi protoplas memungkinkan terjadi kombinasi material genetik dari sitoplasma maupun inti sel dari kedua tetua. Tipe penggabungan protoplas pada proses fusi yang mungkin terjadi adalah homofusi antar protoplas daun maupun antar protoplas kalus,

heterofusi antara protoplas daun dengan kalus serta multifusi antara beberapa protoplas daun dan kalus (Husni 2010). Penggabungan sitoplasma yang disertai penggabungan inti akan menghasilkan sel yang bersifat autotetraploid pada tipe

homofusi dan allotetraploid pada tipe heterofusi.

Teknik ini digunakan untuk mendukung pemuliaan konvensional, salah satunya adalah menyediakan tetua tetraploid pada persilangan antar ploidi dengan tetua diploid untuk menghasilkan tanaman triploid yang buahnya seedless. Fusi protoplas dapat digunakan juga untuk transfer gen dalam pengembangan kultivar baru guna mengatasi beberapa masalah diantaranya inkompatibilitas seksual, adanya embrio nuselar (poliembrioni), dan sterilitas jantan atau betina (Grosser dan Gmitter 1990).

Pemuliaan pamelo ‘Nambangan’ untuk menghasilkan buah seedless

25

‘Garut’ penting untuk dilakukan. Sifat unggul keprok ‘Garut’ antara lain buahnya banyak air, berkulit tipis, aroma khas, warna daging oranye, rasa manis segar dan ukuran diameter buah berkisar 7-9 cm (berdasarkan SK menteri pertanian No. 760/Kpts/ TP.240/6/99). Penggabungan sifat unggul tersebut diharapkan dapat menghasilkan buah pamelo yang berukuran tidak lebih dari 20 cm, kulitnya lebih tipis dari 2 cm, persentase bagian buah yang dapat dimakan lebih tinggi dari 60%, tahan terhadap CTV dan merupakan tanaman tetraploid. Sifat tersebut mengacu pada deskripsi buah pamelo ‘Nambangan’ sesuai SK menteri pertanian No. 496/Kpts/TP.240/10/2000. Fusi protoplas antara pamelo dan jeruk bertipe mandarin telah dilakukan dengan tujuan menghasilkan alternatif batang bawah tahan terhadap serangan CTV (Grosser et al. 2004), dan tahan terhadap Nematoda (Grosser et al. 2007).

Pemuliaan pamelo untuk mencapai tujuan tersebut diatas, dapat dilakukan dengan persilangan konvensional dengan keprok maupun fusi protoplas. Pamelo bersifat monoembrionik sehingga ideal digunakan sebagai tetua betina dalam persilangan. Tanaman monoembrionik hanya menghasilkan embrio zigotik dalam setiap biji (Grosser et al. 2007). Kendala persilangan keprok dan pamelo secara konvensional belum dilaporkan, namun dari hasil persilangan siam ‘Pekanbaru’ sebagai tetua jantan dan pamelo ‘Nambangan’ sebagai tetua betina menunjukkan persentase keberhasilan yang paling rendah diantara kombinasi persilangan lainnya yaitu 7.1% (Sukarmin dan Ihsan 2008). Oleh karena itu fusi protoplas dapat menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan keberhasilan penggabungan sifat dari spesies jeruk yang berbeda melalui hibridisasi somatik interspesies.

Teknologi fusi protoplas pada tanaman jeruk di Indonesia belum berkembang. Husni (2010) berhasil melakukan fusi protoplas antara jeruk siam ‘Si madu’ (jeruk Medan) dengan mandarin ‘Satsuma’ untuk memindahkan sifat

Cytoplasmic Male Sterility (CMS) pada mandarin ‘Satsuma’ sehingga dihasilkan siam ‘Si madu’ seedless. Fusi protoplas antara pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ yang mempunyai buah bertipe mandarin dilakukan untuk mengembangkan teknologi fusi protoplas antara C. maxima (pamelo) dan C. reticulata (keprok) di Indonesia.

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah didapatkannya komposisi enzim untuk isolasi, metode fusi dan kultur protoplas pada pamelo. Kualitas buah dan perakaran yang baik menjadi dasar utama dalam pemilihan kedua jenis jeruk tersebut sebagai tetua fusi. Selain itu kemampuan keprok dalam membentuk kalus embriogenik mempermudah proses regenerasi protoplas hasil fusi. Seleksi awal terhadap beberapa sifat yang diinginkan, dapat dilakukan pada pamelo sebelum dilakukan fusi protoplas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk medapatkan teknologi isolasi secara enzimatik, fusi dengan PEG dan kultur protoplas pada tanaman pamelo.

Bahan dan Metode

Isolasi Protoplas secara Enzimatik

Isolasi protoplas dilakukan pada daun kecambah in vitro pamelo dan kalus embriogenik keprok ‘Garut’. Larutan enzim pendegradasi yang digunakan terdiri atas dua macam komposisi. Komposisi pertama terdiri atas 0.5% Selulase Onozuka RS ditambah dengan 0.5% Maserozim R10 dan 0.1% Pektoliase Y23 sedangkan komposisi kedua terdiri atas 0.5% Selulase Onozuka RS ditambah

26

dengan 0.5% Maserozim R10. Komponen larutan enzim pendegradasi dilengkapi dengan 0.7 M manitol, 24.5 mM CaCl2, 0.92 mM NaH2PO4 dan 6.15 mM MES.

Konsentrasi larutan baku enzim adalah 2% Selulase dan Maserozim ditambah atau tanpa 0.4% Pektoliase. Larutan enzim tersebut kemudian ditambahkan dengan media BH3 dengan perbandingan 1 bagian enzim ditambah 3 bagian media BH3 (Lampiran 1) dengan volume total 12 ml hingga mencapai konsentrasi final (Grosser dan Gmitter 1990).

Isolasi protoplas diawali dengan mengiris tipis daun kecambah in vitro

pamelo dengan ketebalan 1-2 mm arah horizontal di sepanjang tulang tengah daun, sedangkan pada kalus keprok dilakukan pencacahan terlebih dahulu. Tahap selanjutnya adalah inkubasi irisan daun dan cacahan kalus dalam larutan enzim pendegradasi dan media kultur protoplas dengan perbandingan tertentu (v:v). Pendegradasian dinding sel dilakukan pada suhu 28°C, tanpa cahaya dan digoyang dengan shaker pada kecepatan 50 rpm selama 16 jam.

Setelah inkubasi 16 jam, campuran tersebut disaring menggunakan saringan nilon berukuran pori 50-100 µm. Filtrat hasil penyaringan, diendapkan dengan cara sentrifugasi pada kecepatan 800 rpm selama 8 menit menggunakan sentrifus (Hitachi seri Himac 6EL). Endapan protoplas dan debris sel diresuspensi dengan metode ’bubling’ dengan penambahan larutan Cell and Protoplast Washing (CPW) 25% sukrosa sebanyak 5 ml. Suspensi tersebut dimurnikan dengan gradien sentrifugasi dengan menambahkan 2 ml larutan CPW 13% Manitol setetes demi setetes untuk menghindari percampuran, sentrifugasi dilakukan kembali selama 8 menit dengan kecepatan 800 rpm. Protoplas pada interfase dikumpulkan dengan pipet Pasteur. Protoplas dikumpulkan dengan pipet Pasteur disentrifugasi dengan 5 ml media BH3 pada 800 rpm selama 5 menit. Endapan protoplas yang diperoleh diresuspensi dalam media BH3 dan siap untuk percobaan berikutnya. Pengamatan dilakukan pada lapisan protoplas yang terbentuk pada interfase pada proses sentrifugasi gradien. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop inverted (Leica seri DMIL LED) dengan perbesaran 400 kali, untuk menghitung rata-rata dan kisaran diameter protoplas dari tiga bidang pandang dan 10 protoplas per bidang pandang, pada setiap perlakuan. Pengujian statistik dilakukan pada hasil pengukuran diameter menggunakan Analisis of Variance (ANOVA).

Haemositometer digunakan untuk menghitung jumlah protoplas dan menetapkan nilai produksi (yield) protoplas yang merupakan hasil rerata dari 10 kotak yang luasnya 1/16 mm2 dengan kedalaman 0.1 mm. Yield dideskripsikan sebagai jumlah protoplas per ml dari 1 g kalus keprok ’Garut’ dan dari 500 mg daun in vitro pamelo ’Nambangan’.

Fusi Protoplas dengan PEG

Larutan untuk fusi adalah 40% PEG (BM = 6000), ditambah 0.3M glukosa, 66 mM CaCl2 dengan pH larutan adalah 6. Larutan A terdiri atas 0.4 M

Glukosa, 66 mM CaCl2, 10% DMSO dengan pH 6, dan larutan B adalah 0.3 M

Glisin dengan pH 10.5. Untuk menghindari pengendapan, larutan A dan B harus dicampur sesaat sebelum diteteskan. Larutan A dicampur larutan B dengan perbandingan volume 9:1.

Fusi protoplas dilakukan menurut metode fusi yang dikembangkan oleh Grosser dan Gmitter (1990). Protoplas yang berasal dari kalus embriogenik dan

27

mesofil daun, dicampur dengan perbandingan volume yang sama (1:1) sehingga membentuk suspensi. Petri plastik berukuran 55 × 15 mm disiapkan untuk melakukan fusi protoplas dengan bantuan larutan PEG. Teknik fusi diawali dengan meletakkan 2 tetes suspensi protoplas ditengah-tengah petri fusi dengan pipet Pasteur (bulb berkemampuan menyedot 2 ml cairan). Dua tetes 40% PEG diteteskan di sekitar suspensi protoplas, lalu diinkubasi selama 8-10 menit. Setelah inkubasi, 2 tetes larutan A+B ditambahkan pada setiap petri fusi lalu diinkubasi selama 12-15 menit. Setelah inkubasi dengan larutan A+B, 12 tetes media BH3 ditambahkan kembali di sekitar protoplas yang berfusi kemudian diinkubasi selama 5 menit. Setelah inkubasi dengan BH3, secara perlahan semua cairan yang terdapat di petri fusi dihisap menggunakan pipet Pasteur dan diganti segera dengan media BH3 baru sebanyak 12-15 tetes. Proses pencucian ini dapat diulang sebanyak 2 kali. Protoplas siap dikulturkan pada petri plastik 55 × 15 mm.

Pengamatan dengan mikroskop inverted (Leica seri DMIL LED) pada perbesaran 400 kali dilakukan setelah penambahan 40% PEG selama 8-10 menit, untuk mengamati tipe fusi yang terjadi (homofusi, heterofusi dan multifusi). Persentase terjadinya tipe fusi dihitung dari 10 bidang pandang dalam 1 petri fusi. Protoplas hasil penggabungan diidentifikasi dengan adanya butir-butir pati dari protoplas kalus keprok ‘Garut’ dan kloroplas dari protoplas daun pamelo ‘Nambangan’ dalam satu sel yang sama.

Kultur Protoplas Hasil Fusi

Media yang digunakan dalam kultur protoplas adalah media BH3 cair. Media BH3 yang dibutuhkan terdiri atas 2 konsentrasi yaitu 0.6M dan 0.4M. Media padat untuk pertumbuhan koloni sel menggunakan vitamin MW dengan penambahan 3 mgL-1 BAP (Merigo 2011, Karyanti 2012).

Protoplas hasil fusi dan protoplas dari kalus keprok ‘Garut’ dikulturkan dalam cawan petri (55 × 15 mm), dengan media awal adalah media BH3cair sebanyak 8-12 tetes. Setiap minggu media cair ditambahkan untuk menjaga kelembaban. Petri plastik disimpan ditempat gelap di dalam ruang bersuhu 25- 28°C selama 4-6 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap tahap-tahap perkembangan protoplas secara mikroskopis dengan mikroskop inverted (Leica DMIL LED).

Koloni sel yang terbentuk sampai minggu keempat kultur, dipacu pertumbuhannya menjadi mikro kalus dengan diturunkannya tingkat osmolaritas media. Penurunan tingkat osmolaritas kultur dilakukan dengan menambahkan 10- 12 tetes BH3 0.4 M ke dalam media dan diinkubasi selama 4 minggu pada kondisi cahaya rendah. Sebagai parameter awal keberhasilan kultur, dihitung jumlah dan diukur diameter koloni sel yang terbentuk pada 10 petri dengan menggunakan mikroskop stereo (Leica EZ4HD) dengan perbesaran 8 kali, pada minggu keempat. Masing-masing petri diwakili oleh satu bidang pandang dengan luas bidang 142.45 mm2. Uji t dilakukan pada jumlah dan diameter koloni sel.

Koloni kalus yang mencapai ukuran diameter 0.5 – 1.0 mm, dipindahkan ke media dasar MW dengan penambahan 3 mg L-1 BAP padat untuk regenerasi menjadi kalus embriogenik. Koloni sel pada media padat diamati dengan mikroskop stereo (Leica EZ4HD) dengan perbesaran 35 kali.

28

Hasil dan Pembahasan

Isolasi Protoplas secara Enzimatik

Dua komposisi enzim yang digunakan dalam peneltian ini berhasil melepaskan sel dari jaringan daun dan kalus kemudian mendegradasi dinding sel untuk melepaskan protoplas pada proses inkubasi selama 16 jam.

Proses sentrifugasi gradien pada isolasi protoplas menghasilkan lapisan protoplas pada interfase (Gambar 9). Lapisan berwarna hijau adalah kumpulan protoplas dari sel mesofil daun pamelo ’Nambangan’ (Gambar 9A) dan lapisan berwarna krem adalah kumpulan protoplas dari sel kalus keprok ’Garut’ (Gambar 9B). Protoplas yang berkumpul pada interfase adalah protoplas yang dalam kondisi utuh (tidak pecah) dan bentuknya normal, sedangkan debris sel terkumpul pada bagian dasar tabung. Hasil ini menunjukkan bahwa metode sentrifugasi protoplas pada larutan dengan gradien yang berbeda, yaitu manitol dan sukrosa berhasil memisahkan protoplas dari debris sel. Metode pemisahan dengan sentrifugasi gradien ini berhasil diterapkan pula pada isolasi protoplas pamelo lainnya (Grosser et al. 1992, Grosser et al. 1998, Grosser et al. 2004, Grosser dan Gmitter 2005, Ananthakrishnan et al. 2006, Grosser 2007, Grosser dan Gmitter 2011).

Gambar 9. Lapisan protoplas pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ yang dihasilkan dari proses gradien sentrifugasi. (A= protoplas dari sel mesofil daun pamelo, B= protoplas dari jaringan kalus keprok, tanda panah= protoplas hasil isolasi).

Karakter protoplas yang dihasilkan oleh sel mesofil daun pamelo dan kalus keprok disajikan pada Gambar 10. Warna protoplas dari sel mesofil daun adalah hijau karena sitoplasma berisi kloroplas berwarna hijau sedangkan protoplas dari sel kalus berwarna putih/krem karena sitoplasma hanya berisi butir-butir pati dan vakuola. Bentuk kedua jenis protoplas tersebut adalah bulat seperti bola dengan rata-rata diameter yang berbeda nyata (Tabel 4).

29

Gambar 10. Protoplas daun pamelo ‘Nambangan’ dan kalus keprok ‘Garut’ hasil isolasi enzimatik diamati dengan mikroskop perbesaran 40 kali, A. protoplas sel mesofil daun, B. protoplas sel kalus embriogenik (bar = 50µm).

Tabel 4. Diameter protoplas dan yield hasil degradasi jaringan daun pamelo ‘Nambangan’ dan kalus keprok ‘Garut’ dengan perlakuan enzimatik

Eksplan Selulase RS (%) Masero- zim R10 (%) Pekto- liase Y23 (%) Rataan diameter protoplas (µm) Kisaran diameter protoplas (µm) Yield (protoplas mL-1) Daun pamelo 0.5 0.5 0.1 21.00a 13.99-27.07 5.02 x 106 Daun pamelo 0.5 0.5 0 18.24ab 11.85-33.77 3.31 x 106 Kalus keprok 0.5 0.5 0.1 16.68b 9.95-31.56 1.10 x 106 Kalus keprok 0.5 0.5 0 16.96b 12.56-20.95 2.08 x 106

Untuk setiap kolom, rataan diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata menurut DMRT (P=0.05).

Komposisi enzim yang berbeda menghasilkan jumlah protoplas yang berbeda. Dari Tabel 5 terlihat bahwa komposisi enzim yang mengandung 0.1% pektoliase Y23 menghasilkan yield lebih tinggi pada daun pamelo namun terjadi sebaliknya pada kalus keprok. Hal tersebut menunjukkan bahwa penambahan 0.1% pektoliase Y23 tidak diperlukan untuk mendegradasi dinding sel kalus keprok. Kedua komposisi enzim tersebut dapat digunakan karena menghasilkan

yield yang mencukupi untuk proses fusi dan kultur protoplas. Yield yang menjadi syarat minimal untuk fusi dan kultur adalah 1x105 protoplas mL-1 (Vardi dan Gallun 1999). Protoplas yang dihasilkan dari kalus keprok dan daun pamelo dalam penelitian ini mencapai jumlah yang cukup, yaitu berkisar 1.10 x 106 – 5.02 x 106. Enzim Selulase berfungsi untuk melepaskan sel dari jaringan daun, sedangkan Maserozim dan Pektiolase berfungsi untuk mendegradasi dinding sel sehingga diperoleh protoplas.

Fusi Protoplas dengan PEG

Penambahan larutan 40% PEG dan inkubasi selama 8-10 menit menyebabkan membran plasma protoplas saling tarik-menarik, akhirnya membentuk jembatan penghubung dan penggabungan sitoplasma. Protoplas

B A

30

saling menempel satu sama lain secara acak dan menyebabkan terbentuknya beberapa tipe fusi. Penempelan antar protoplas dengan bantuan PEG terjadi karena molekul PEG mampu membentuk ikatan hidrogen dengan air, protein, karbohidrat dan senyawa lain yang bermuatan positif temasuk Ca2+ dari CaCl2

2H2O yang ditambahkan dalam larutan tersebut (Bhojwani dan Razdan 1983).

Tipe fusi yang diamati pada penelitian ini ditampilkan pada Gambar 11 dan rataan jumlah kejadian pada Tabel 5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa homofusi antar protoplas daun jarang terjadi, homofusi antar protoplas kalus sering terjadi dan 40.69% protoplas tidak berfusi. Hal ini disebabkan oleh kerapatan protoplas daun pamelo lebih tinggi dibandingkan dengan protoplas kalus keprok sesuai nilai yield. Menurut Grosser (1994), kerapatan yang tinggi mengurangi frekuensi terjadinya fusi. Oleh karena itu diperlukan proses pengenceran kerapatan protoplas dengan menambahkan media BH3 0.6 M cair, sehingga PEG mampu menyisip di antara protoplas dan meningkatkan terjadinya penempelan membran protoplas.

Tabel 5. Persentase jenis fusi yang terjadi pada kombinasi protoplas pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ pada saat inkubasi selama 8-10 menit, dengan penambahan 40% PEG dalam 1 petri dari 10 bidang pandang.

Tipe fusi Rata-rata kejadian (%) ±SD

Protoplas tunggal (tidak berfusi) 40.69 ±14.74 Homofusi sel mesofil daun pamelo 4.58 ± 4.23

Homofusi sel kalus keprok 28.23 ± 9.44

Heterofusi 7.85 ± 3.70

Multifusi 9.69 ± 4.40

Homofusi memungkinkan terbentuknya regeneran yang bersifat

autotetraploid dan heterofusi memungkinkan terbentuknya regeneran

allotetraploid. Regeneran autotetraploid mendapat tambahan kromosom dari protoplas sejenis sedangkan allotetraploid mendapat tambahan kromosom dari protoplas yang tidak sejenis (Grosser et al. 1992).

Gambar 11. Tipe fusi protoplas pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ dengan PEG yang terbentuk setelah inkubasi dengan 40% PEG selama 8-10 menit (A. Homofusi antara 2 protoplas kalus keprok ’Garut’, B. Homofusi antara 2 protoplas mesofil daun pamelo ‘Nambangan’, C. Heterofusi antara protoplas mesofil daun dan kalus, D Multifusi antara beberapa protoplas mesofil daun dan kalus). Pengamatan dilakukan dengan mikroskop inverted menggunakan perbesaran 40 kali (bar = 50µm).

31

Kultur Protoplas Hasil Fusi

Pengamatan dilakukan terhadap tahap-tahap perkembangan protoplas hasil fusi secara mikroskopis. Protoplas hasil fusi berkembang melalui beberapa tahap dalam media kultur, yaitu terbentuknya dinding sel, pembelahan sel dan pembentukan koloni sel. Tahap-tahap perkembangan pada minggu pertama setelah fusi protoplas ditampilkan pada Gambar 12, sel sibrid (hibrida sitoplasmik) dicirikan dengan adanya kloroplas dan butir-butir pati dalam satu sel. Sel tersebut diharapkan bersifat heterokarion yaitu terjadi peleburan inti sel sehingga diperoleh penggabungan sifat kedua tetua.

Gambar 12. Kultur protoplas hasil fusi pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ yang berumur 1-5 hari, A. Satu hari setelah fusi (masih terjadi penempelan dan terbentuk sel sibrid (tanda panah), B. sel sibrid hasil fusi (tanda panah), C. Lima hari setelah fusi, mulai terbentuk dinding sel dan bersiap membelah (tanda panah). Pengamatan dilakukan dengan mikroskop inverted menggunakan perbesaran 40 kali (bar = 50µm).

Perkembangan koloni pada media cair sampai minggu ketiga setelah fusi, ditampilkan pada Gambar 13 yang menunjukkan ukuran koloni sel terus bertambah besar dan dapat diamati tanda-tanda terbentuknya dinding sel dan proses pembelahan sel yang semakin jelas. Terdapat hubungan langsung antara pembentukan dinding sel dan pembelahan sel. Pembelahan inti sel dilanjutkan dengan pembelahan sel dan pembelahan sel terjadi ketika dinding sel telah terbentuk dengan baik (Bhojwani dan Razdan 1983). Dapat diamatinya sel sibrid yang terus berkembang membentuk koloni sel memberi harapan dihasilkannya regeneran yang bersifat allotetraploid. Koloni sel yang tampak merupakan hasil homofusi kalus keprok, diharapkan bersifat autotetraploid.

32

Gambar 13. Kultur protoplas hasil fusi pamelo ‘Nambangan’ dan keprok ‘Garut’ yang berumur 2-3 minggu: A. Dua minggu setelah fusi, sebuah koloni sel tampak ± 400µm panjangnya; B. Dua minggu setelah fusi, sel sibrid siap membelah (tanda panah), C. Tiga minggu setelah fusi, sel sibrid siap membelah D. Tiga minggu setelah fusi, sel hasil homofusi kalus siap membelah (tanda panah). Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 20 kali (bar=100µm) untuk A, dan perbesaran 40 kali (bar= 50 µm) untuk B, C, dan D.

Pengamatan terhadap jumlah koloni sel yang terbentuk dan diameter koloni disajikan pada Tabel 6. Kultur protoplas kalus menjadi kontrol bahwa fusi dengan 40% PEG tidak bersifat racun karena kedua jenis kultur protoplas tersebut

Dokumen terkait