• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daya tarik kehidupan perkotaan dan tuntutan kehidupan yang semakin tinggi menyebabkan semakin banyak penduduk Indonesia yang beralih untuk tinggal dan beraktifitas di kawasan perkotaan. Sejumlah kajian memperkirakan jumlah penduduk perkotaan pada akhir 2025 akan mencapai 60% dari total penduduk Indonesia (LSI, 2011). Hal ini juga terjadi di Pulau Tarakan. Walaupun termasuk salah satu pulau kecil di Indonesia, Pulau Tarakan tumbuh berkembang dengan pesat sebagai pintu gerbang Provinsi Kalimantan Timur, dan sudah beralih konsep pengembangannya dari konsep pengembangan skala pedesaan menjadi pengembangan skala perkotaan.

Peningkatan jumlah penduduk perkotaan akan memacu kebutuhan air bersih dan infrastruktur pelayanan perkotaan lainnya, sehingga kota akan tumbuh dengan segala potensi dan tantangan yang dimilikinya. Keadaan tersebut harus dihadapi melalui penyiapan perencanaan penyediaan air bersih berdasarkan tata ruang kota yang mempertimbangkan kondisi, potensi dan tantangan yang dimiliki oleh kota tersebut. Keadaan yang terjadi saat ini adalah masih lemahnya sinergitas perencanaan sektor air bersih, terutama dalam penyediaan air bersih perpipaan yang merupakan tuntutan dari pesatnya pertambahan penduduk perkotaan.

Pembangunan infrastruktur air bersih perkotaan yang kurang atau belum mengantisipasi dan mengakomodir fenomena pengembangan kawasan perkotaan akan menimbulkan beberapa persoalan seperti : (1) tidak meratanya penyediaan layanan air bersih, (2) tidak tersedianya kecukupan air baku untuk air bersih, (3) eksploitasi air tanah secara tidak terkendali, (4) terjadinya krisis air bersih. Apabila berbagai persoalan tersebut berbenturan dengan persoalan pembangunan lainnya maka akan semakin mengaburkan arah pembangunan kota yang akhirnya memperburuk citra kota dan kawasannya.

Penyediaan air bersih pulau kecil di Kota Tarakan sudah beralih dari skala pedesaan menjadi skala kota pada pulau besar. Hal ini menyebabkan kebutuhan air baku menjadi sangat besar. Bila melihat potensi air baku di 24 sungai Pulau Tarakan, tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut, karena kondisi sungai yang kecil (lebar 1 m sampai 7 m) dan kedalaman air 0,5 m - 1 m. Penyebaran penduduk yang tidak merata, menyulitkan pelayanan air bersih perpipaan skala kota. Untuk itu perlu suatu inovasi dalam penyediaan air bersih

di pulau kecil namun tetap mengacu kepada pelayanan perpipaan skala kota. Penyediaan air bersih skala kota dicirikan dengan tingginya kebutuhan air bersih (150-200 liter/org/hari) dan cakupan layanan perpipaan (80% terlayani) merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah Kota Tarakan.

Kondisi saat ini PDAM Kota Tarakan memiliki 4 buah IPA dengan total kapasitas terpasang sebesar 400 liter/detik. Namun kapasitas efektif dari seluruh IPA hanya sebesar 269 liter/detik. Hasil simulasi model ketersediaan air, pelayanan air bersih perpipaan Kecamatan Tarakan Barat hanya terlayani sebesar 57,84% (2012) dari kebutuhan air bersih penduduk dan terus menurun menjadi 12,26% pada tahun 2030. Tarakan Timur terlayani sebesar 57,05% (2012) dan 6,32% pada tahun 2030. Tarakan Tengah terlayani sebesar 50,4% (2012) dan 24,7% pada tahun 2030. Sedangkan Tarakan Utara terlayani sebesar 40,71% (2012) dan 3,85% pada tahun 2030.

Menghadapi MDG’s, dimana komitmen pemerintah untuk dapat

menyediakan air bersih perpipaan untuk perkotaan sebesar 80%, menyebabkan PDAM sebagai pengelola air bersih menghadapi kesulitan baru. Rendahnya keragaan dan kinerja sektor air bersih dan PDAM tidak terlepas dari keadaan kelembagaan dan kelemahan sistem insentif di dalamnya. Payung kelembagaan PDAM bersumber dari Surat Keputusan Bersama (SKB) Mendagri dan Menteri PU No 4 tahun 1984 atau 27/KPTS/1984 tentang pembinaan PDAM. Hal tersebut berimplikasi bahwa Depdagri melalui Pemda berhak menetapkan direksi dan mempengaruhi manajemen. Pemda juga berkepentingan menetapkan harga air (regulated price) dalam rangka melindungi kepentingan konsumen. Kebijakan harga tersebut terbukti tidak memuat insentif bagi pengambilan keputusan berproduksi oleh PDAM atau konsumsi air bersih oleh rumah tangga. Dengan tarif air bersih Rp1.350 per m3, sangat sulit bagi PDAM Kota Tarakan untuk dapat meningkatkan pelayanan air bersih, karena biaya operasional saja sudah mencapai Rp1.200 per m3. Sebagai sebuah perusahaan, PDAM juga dituntut untuk dapat mengembalikan biaya investasi yang diberikan pemerintah daerah.

Model penyediaan air bersih di pulau kecil harus disesuaikan dengan potensi sumber daya alam dan lingkungan di pulau tersebut, sehingga harus melibatkan/memperhatikan aspek lingkungan, ekonomi, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Beberapa faktor keberlanjutan penyediaan air bersih diuraikan dalam analisis keberlanjutan penyediaan air bersih Kota Tarakan menggunakan metode MDS. Berdasarkan analisis metode MDS, didapatkan bahwa kondisi saat ini,

dimensi ekonomi, hukum dan kelembagaan berkelanjutan. Sedangkan dimensi sosial kurang berkelanjutan, dimensi lingkungan dan teknologi tidak berkelanjutan. Dari analisis ini terlihat jelas bahwa permasalahan teknologi instalasi pengolahan air bersih menjadi salah satu faktor kunci keberlanjutan. Tingginya tingkat kebocoran (losses), karena faktor umur instalasi, menyebabkan produksi menjadi tidak efisien. Selain itu, instalasi yang ada membutuhkan energi listrik yang sangat besar sehingga ketersediaan energi listrik menjadi faktor kunci utama dalam penyediaan air bersih skala kota. Untuk itu dibutuhkan suatu model baru dalam penyediaan air bersih di pulau kecil.

Penyediaan air bersih yang melibatkan aspek lingkungan dapat dilakukan

dengan cara “menaikan imbuhan air tanah melalui konservasi lingkungan”

dengan cara pembuatan sumur resapan di lahan permukiman, reboisasi lahan hutan, pembuatan terasering dan pembangunan tambak intensif. Jumlah atau besaran kegiatan konservasi dalam masing-masing wilayah tentunya tidak sama, tergantung kebutuhan atau kondisi dari wilayah tersebut. Misalnya, Kecamatan Tarakan Barat membutuhkan jumlah reboisasi yang lebih tinggi yaitu 10% lahan permukiman dibuat sumur resapan setiap tahun bila dibandingkan dengan Kecamatan Tarakan Utara yang hanya membutuhkan 1%. Begitu pula halnya untuk terasering dan reboisasi. Dengan diberlakukannya kebijakan konservasi lingkungan mulai tahun 2013, Pulau Tarakan dapat terhindar dari ancaman krisis air bersih sampai tahun 2030, hal ini ditunjukkan oleh hasil simulasi model ketersediaan air dimana neraca air menjadi meningkat.

Aspek teknologi yang perlu diperhatikan dalam penyediaan air bersih supaya berkelanjutan adalah faktor instalasi pengolahan air bersih, ketersediaan listrik dan tingkat pelayanan PDAM. Hal ini berkaitan erat dengan infrastruktur Kota Tarakan. Oleh karena itu, upaya penyediaan air bersih dapat dilakukan

dengan cara “meningkatkan pelayanan air bersih melalui uprating IPA dan

peningkatan pelayanan”. Saat ini, konsep penyediaan air bersih Kota Tarakan sudah terintegrasi dengan perencanaan tata ruang wilayah Kota Tarakan, sehingga pembagian pelayanan diatur berdasarkan wilayah pelayanan. Walaupun demikian, instalasi yang dibutuhkan tetap berskala besar yang membutuhkan air baku yang banyak dan konsumsi listrik yang tinggi. Sebagai alternatif peningkatan kapasitas layanan perpipaan, diusulkan teknologi penyediaan air bersih menggunakan instalasi pengolahan air bersih (IPAB) mikro. Teknologi ini memiliki sistem pengolahan yang sama dengan IPA PDAM

yaitu koagulasi, flokulasi, sedimentasi dan filtrasi, namun dalam skala yang lebih kecil. Pemilihan teknologi ini atas dasar : (1) penyebaran penduduk yang tidak merata menyulitkan dalam distribusi perpipan skala kota, (2) sumber air baku permukaan yang sedikit, (3) pemakaian listrik yang tidak besar, dan (4) adanya unsur pelibatan partisipasi masyarakat sehingga membuka lapangan kerja dalam sektor air bersih. IPAB Mikro dapat dibangun dekat dengan pemukiman, hotel atau industri, memanfaatkan air permukaan yang ada dan dikelola oleh masyarakat pengguna air bersih di wilayah tersebut.

9 REKOMENDASI KEBIJAKAN PENYEDIAAN AIR BERSIH

Dokumen terkait