• Tidak ada hasil yang ditemukan

Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) isolat Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida pengendali ulatgrayak bawang (UGB) yang ramah lingkungan. Isolat SeNPV lokal ini memiliki patogenisitas tinggi dan terbukti dapat mengendalikan UGB di lapangan (Clemson Univ. IPM Palawija Project 1995; Shepard et al. 1997; Israwan 1998; Samsudin 1999; Shanti 2004). Untuk dapat dikembangkan sebagai bioinsektisida, diperlukan teknologi produksi massal yang efesien. Menurut Elvira et al. (2010) efesiensi dalam perbanyakan massal di laboratorium ini merupakan kunci utama produksi virus secara komersial.

SeNPV merupakan parasit obligat yang spesifik spesies, hanya dapat menginfeksi dan berkembang dalam sel hidup inangnya saja. Di samping itu SeNPV ini tidak menghasilkan antibiotik yang dapat menghambat tumbuhnya mikroba lain. Oleh karena itu masalah utama yang sering terjadi dalam perbanyakan secara in vivo

adalah adanya kontaminasi mikroba saprofit (Young 1989; Hunter-Fujitaet al.1998; Lasaet al. 2008).

Gejala infeksi SeNPV pada fisiologi dan tanda infeksi pada morfologi UGB sangat berbeda dengan gejala dan tanda infeksi mikroba kontaminan. Hasil penelitian terhadap gejala dan tanda infeksi SeNPV pada UGB S. exigua instar 3 (BAB III) diketahui bahwa infeksiSeNPV menghambat proses ganti kulit (molting), karena gen ecdysteroidglucosyl-transferase (egt) yang dimiliki olehSeNPV dapat menonaktifkan hormon ecdysteroid UGB, sehingga stadia pradewasa dari UGB yang terinfeksi

SeNPV akan semakin panjang. Tanda UGB yang terinfeksi SeNPV mengalami perubahan warna tubuh UGB secara gradual dari cenderung semakin cerah dan mengkilap (glossiness) pada awal infeksi, kemudian pada akhir infeksi berubah menjadi gelap (darkness). Tanda akhir yang sangat khas dari infeksi SeNPV adalah UGB mati dengan integumen rapuh dan hancur dengan mengeluarkan cairan. Di lapangan tanda infeksiSeNPV yang sering dijumpai adalah tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai semu menempel pada daun atau ranting tanaman membentuk

huruf ā€œVā€ terbalik atau terkulai pada helaian daun. Oleh karena itu Hoffmann & Frodsham (1993) menyatakan bahwa penyakit yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau penyakit ulat ujung pohon (tree top).

SeNPV isolat lokal memiliki tingkat virulensi yang sangat tinggi terhadap UGB di laboratorium. Hal itu ditunjukan dengan nilai LC50yang sangat rendah yaitu pada konsentrasi 6,65 x 105POB/ml, yang berarti bahwa dengan pengenceran 1 juta kali dari suspensi hasil pemurnian,SeNPV isolat lokal efektif mematikan UGB instar 3 lebih dari 50% populasi.

Sementara itu untuk keperluan perbanyakan massal di Laboratorium, dari hasil penelitian ini dapat disimulasikan sebagai berikut:

(1) Konsentrasi polihedra yang optimal digunakan adalah 5,88 x 106 POB/ml, setiap ml suspensi digunakan untuk rata-rata 20 ekor UGB instar 3, maka kebutuhan inokulum untuk 100 ekor larva hanya 5 ml suspensi.

(2) Konsentrasi rekomendasi tersebut mampu mematikan 64,26% UGB instar 3 dengan proporsi kematian pada hari ke-4, ke-5 dan ke-6 berturut-turut: 13,70%, 47,22% dan 3,33%, dengan produktifitas polihedra per larva yang dipanen per hari masing-masing sebesar 5,50 x 107, 2,28 x 108dan 2,45 x 107 POB, maka dengan 5 ml inokulum dan 100 ekor UGB instar 3 akan dihasilkan 1,08 x 1010POB.

(3) Waktu pemanenan yang direkomendasikan adalah 5 hari setelah inokulasi, sebab pada saat itu sebagian besar serangga yang terinfeksi telah mati dan belum hancur. Maka dalam satu bulan dapat dilakukan 5 sampai 6 kali siklus produksi.

Pada Gambar 6.1. ditunjukkan siklus infeksi SeNPV pada UGB instar 3, dengan waktu pemanenan dilakukan pada saat kematian awal terinfeksi, sebelum larva hancur.

Terinfeksi

Larva sehat

Polihedra Terinfeksi lanjut

al. 2009). Sedangkan untuk mempertahankan virulensinya dilakukan dengan menambahkan bahan yang mampu melindungiSeNPV terhadap ultraviolet matahari.

Hasil pengujian terhadap beberapa bahan perangsang makan (phagostimulant) (BAB IV) menunjukkan bahwa kecap 5% dapat meningkatkan konsumsi UGB pada pakan buatan sekaligus meningkatkan virulensi SeNPV terhadap UGB instar 3. Sementara itu sukrosa 5% dan molase 5%, meskipun pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi UGB tidak berbeda nyata dengan kontrol, akan tetapi mampu meningkatkan virulensiSeNPV. Hasil penelitian lanjutan diketahui bahwakonsentrasi sukrosa yang direkomendasikan untuk ditambahkan pada pakan buatan sebagai

phagostimulant hanya berkisar antara 1 sampai 5%. Sementara itu hasil pengujian terhadap asam borat sebagai enhancer untuk meningkatkan virulensi SeNPV diketahui bahwa penambahan asam borat 1%, 5% dan 10% pada suspensi SeNPV mempercepat kematian UGB. Semakin tinggi konsentrasi asam borat yang digunakan, semakin tinggi nilai aktifitas relatifnya (AR). Akan tetapi untuk menghindari dampak negatif dari penggunaan asam borat, maka konsentrasi asam borat yang dianjurkan adalah antara 1 sampai 5%.

Hasil pengujian beberapa bahan pelindung alami terhadap UV matahari (BAB V) menunjukkan bahwa bahan berbentuk tepung, yaitu: arang tempurung kelapa, jelaga, arang sekam dan tepung bengkuang dan berbentuk cair yaitu: molase, filtrat bengkuang, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau, masing-masing 1% mampu melindungi partikelSeNPV terhadap paparan sinar UV matahari. Arang tempurung kelapa, jelaga dan arang sekam merupakan karbon aktif yang mampu menyerap sinar UV. Filtrat bengkuang mengandung saponin dan mampu melindungi partikel SeNPV sebagai reflektan. Sedangkan molase, filtrat kunyit dan filtrat teh hijau mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai pelindung partikel virus dan penyerap sinar UV. Dari hasil penelitian lanjutan terhadap filtrat bengkuang, diketahui bahwa filtrat bengkuang sangat baik untuk dijadikan bahan pelindung alami terhadap UV matahari. Bahan aktif yang berfungsi sebagai pelindung terhadap UV pada tanaman bengkuang adalah saponin yang memiliki ciri khas yaitu menjadi busa jika bercampur air sehingga dapat berfungsi sebagai bahan penurun tegangan permukaan. Cara kerja bahan dari

bengkuang ini diduga mirip dengan deterjen dan pencerah optik yang telah dikaji secara intensif sebagai pelindung terhadap UV.

Dari serangkaian penelitian untuk meningkatkan kinerja SeNPV ini dapat dirancang kandidat formulasi bioinsektisida SeNPV dalam bentuk tepung dengan komposisi sebagai berikut:

(1) SeNPV pengenceran 1.000 kali dari larutan murni, atau setara dengan konsentrasi 108POB/ml (BAB III).

(2) Talk dijadikan sebagai bahan pembawa, sebab bahan tersebut sudah umum dijadikan sebagai bahan pembawa pestisida dan tidak berpengaruh terhadap virulensiSeNPV dan perilaku makan UGB (BAB V).

(3) Molase 5% dijadikan sebagai bahan tambahan yang berfungsi sebagai UV protektan alami dan phagostimulan alami (BAB V dan BAB IV).

(4) Filtrat bengkuang 5% dijadikan bahan campuran air sebagai pelarut SeNPV dan menjadi UV protektan alami (BAB V).

(5) Filtrat kunyit 1%digunakan sebagai bahan perekat alami, UV protektan alami dan pelindung formula dari kontaminasi mikroba saprofit (BAB V).

(6) Sukrosa 5%digunakan sebagai phagostimulan alami (BAB IV)

Hasil penelitian Koster (1990), Buurma & Nurmalinda (1994), Basuki (1996), dan Rauf & Sastrosiswojo (1996) menunjukkan bahwa untuk mengendalikan UGBS. exiguapada bawang merah, umumnya petani menggunakan insektisida kimia secara campuran, dengan konsentrasi yang tinggi dan interval penyemprotan 2 sampai 3 x / minggu (2-3 hari sekali). Pengendalian hama dengan mengandalkan insektisida kimia sintetik dengan sistem pertanian intensif telah menimbulkan permasalahan besar, yaitu pencemaran lingkungan, resistensi hama, resurgensi, dan hancurnya habitat bagi banyak spesies (DeBach & Rose 1977; Clarkeet al.1992).

Didasarkan pada besarnya ancaman penggunaan pestisida dalam usaha budidaya tanaman secara intensif, sementara itu ancaman organisme pengganggu tanaman (OPT) terhadap kualitas dan kuantitas produksi pertanian semakin tinggi, maka harus dicari cara pengendalian alternatif yang ramah lingkungan. PHT merupakan sistem yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih

dan menggunakan taktik pengendalian hama, satu cara atau lebih yang dikoordinasi secara harmonis dalam satu strategi manajemen, dengan dasar analisis biaya dan keuntungan yang berpatokan pada kepentingan produsen, masyarakat dan lingkungan (Kogan 1998).

Engler & Rogoff (1976) menyatakan bahwa dalam upaya pengendalian hama terpadu (PHT) penggunaan patogen serangga sangat dianjurkan untuk menanggulangi resistensi hama terhadap insektisida kimia. Dalam kontek PHT UGB pada tanaman bawang merah dan bawang daun tersebut, maka penggunaan bioinsektisida SeNPV merupakan pilihan yang paling tepat. Beberapa keuntungan dari penggunaan bioinsektisida SeNPV, antara lain: tidak mengganggu organisme bukan sasaran, memperbanyak diri dalam tubuh inang dan menyebar melalui transmisi sekunder sehingga dapat mengendalikan hama sasaran berikutnya, tidak mengakibatkan resistensi hama sasaran, mengurangi residu pestisida kimia pada makanan, pelestarian musuh alami, meningkatkan biodiversitas (Young 1989; Lacey et al. 2001; Armenta

et al. 2003), dan dapat dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lainnya (Gothamaet al. 1996; Dodinet al.2001; Castillejos et al. 2001).

Kelemahan SeNPV untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida selama ini adalah 1) membutuhkan waktu relatif lama untuk membunuh inangnya, sehingga serangga yang terinfeksi masih makan dan menimbulkan kerugian (Bonning & Hammock 1996; Dushoff & Greg 2001), 2) memiliki inang yang spesifik, sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan dalam skala industri (McCutchenet. al. 1991) dan kurang efektif jika tanaman terserang oleh beberapa jenis hama (CAB, 2000) dan 3) cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar ultra violet (UV)(Monobrullah 2003). Hasil dari serangkaian penelitian ini diharapkan akan mampu mengatasi atau mengurangi kelemahan-kelemahan dari aplikasiSeNPV tersebut.

PenggunaanSeNPV dalam implementasi PHT UGB pada pertanaman bawang di lapangan dianjurkan untuk dikombinasikan dengan teknologi pengendalian lain, seperti penggunaan pestisida nabati, pemanfaatan musuh alami dan penggunaan nematoda patogen serangga. Dodin et al. (2001) melaporkan bahwa SlNPV bersifat sinergis dengan ekstrak biji mimba (Azadirachta indica) dalam mengendalikan

ulatgrayak kedelaiS. litura. Sedangkan Gothamaet al. (1996) mengemukakan bahwa kombinasi dari nematoda Steinernema carpocapsaedan SeNPV dapat meningkatkan efikasi secara nyata terhadap larva S. exigua pada tanaman kedelai, dibandingkan dengan aplikasi sendiri-sendiri. Bahkan Castillejos et al. (2001) menyatakan bahwa musuh alami lain seperti predator dan parasitoid berpotensi menjadi agen penyebaran NPV di lapangan.

Rauf (1999) menyatakan bahwa komponen utama pengendalian UGB dalam sistem PHT bawang merah bagi petani yang rata-rata memiliki lahan sempit selama ini adalah pengumpulan kelompok telur dan larva. Teknologi sederhana tersebut akan lebih efektif apabila dipadukan dengan penggunaan SeNPV, sebab larva yang dikumpulkan dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk perbanyakan SeNPV secara

in vivo.

Secara praktis pada tingkat petani, konsentrasi anjuran hasil penelitian ini perlu disetarakan dengan jumlah larva mati. Apabila konsentrasi anjuran hasil penelitian (BAB III) sebesar 5,88 x 106 POB/ml atau 5,88 x 109 POB/liter dengan produksi polihedra per larva rata-rata 1,08 x 108POB, maka untuk 1 liter suspensi dibutuhkan 54 ekor larva instar 3. Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 40 ā€“45 tangki semprot dengan volume 17 liter, maka volume semprot yang dibutuhkan sebanyak 680 - 765 liter. Dengan menggunakan dasar perhitungan di atas, maka kebutuhan larva instar 3 untuk 1 hektar lahan sebanyak 36.720 - 41.310 ekor.

BAB VII

Dokumen terkait