• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) dan bawang daun (A. fistulosum) merupakan komoditas sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan termasuk dalam komoditas penting di Indonesia (Limbongan & Maskar 2003; Badan Litbang Pertanian 2005). Salah satu faktor yang dapat menurunkan produktifitas tanaman bawang adalah serangan ulatgrayak bawang (UGB) Spodoptera exigua (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) (Kalshoven 1981; Sastrosiswojo 1994; Shepardet al.1997; Rauf 1999). Pada tanaman bawang merah kerusakan yang diakibatkan serangan hama ini mencapai 32% - 54% (Sutarya 1996), sedangkan pada tanaman bawang daun mencapai rata-rata 57% (Satrosiswojo 1994). Bahkan serangan yang terjadi pada musim kemarau pada tanaman bawang merah dapat mengakibatkan gagal panen (Shepardet al.1997).

Pengendalian hama UGB umumnya menggunakan insektisida kimia sintetik secara intensif dengan frekuensi dan konsentrasi tinggi. Di daerah sentra produksi bawang merah, Brebes, Jawa Tengah, biasanya petani menyemprot tanamannya dengan 32 - 45 liter/ha dengan frekuensi 20–30 kali dalam semusim (Untung 1989). Dampak negatif penggunaan insektisida kimia sintetik, antara lain: resistensi hama sasaran (Endo et al. 1988; Oka 2005), resurjensi hama (Armes et al. 1995), terbunuhnya musuh alami (Tengkano et al. 1992), meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna (Schumutterer 1995; Oka 2005), dan memerlukan biaya yang mahal (Bedjo 2003). Oleh karena itu dibutuhkan cara pengendalian alternatif yang lebih ramah lingkungan, baik dengan menggunakan agens hayati seperti predator, parasitoid dan patogen serangga ataupun dengan insektisida botani.

Menurut Lacey et al. (2001) patogen serangga merupakan salah satu faktor penting yang dapat mengatur populasi serangga di alam. Di antara patogen UGB yang

berpotensi besar untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida ramah lingkungan adalah NPV. Smits (1987), Bianchi et al. (2000), Lasa et al. (2007b, 2007c) melaporkan bahwa virus UGB Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus (SeNPV) efektif mengendalikan hamaS. exiguakhususnya di rumah kaca.

NPV secara umum berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens hayati karena sifatnya yang spesifik inang, efektif untuk hama-hama yang sudah resisten terhadap insektisida, persisten pada tanaman dan tanah serta umumnya dapat dipadukan dengan teknologi pengendalian yang lainnya (Adams & Bonami 1991; Barrett et al. 2002; Takatsuka & Kunimi 2002; Williams 2009). NPV dapat diperbanyak secarain vivodan diformulasikan sebagai bioinsektisida seperti yang disampaikan oleh Okada (1977), Cough & Ignoffo (1981), Tanada & Kaya (1993), dan FedericidalamHall & Julius (1999). Saat ini SeNPV telah dikembangkan sebagai biopestisida di beberapa negara, antara lain: Belanda (Smits & Vlak 1988), Cina (Kao et al.1991), Thailand (Joneset al.1994) dan Amerika Serikat (Kolodny-Hirschet al. 1997). Bioinsektisida

SeNPV secara komersial pertama kali diproduksi di Amerika Serikat dengan merk Spod-X®(Kolodny-Hirschet al. 1993; Bianchiet al.2000).

Pemanfaatan SeNPV untuk mengendalikan UGB di Indonesia masih sangat terbatas (Israwan 1998). Saat ini telah ditemukan isolatSeNPV lokal yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida (Shepard et al. 1996). Samsudin (1999) menyatakan bahwa isolat SeNPV lokal tersebut sangat patogenik terhadap larva S. exigua di laboratorium. Hasil pengujian di lapangan yang diaplikasikan satu kali dalam seminggu pada pertanaman bawang daun, mampu menurunkan populasi S. exiguasampai 90% (Clemson Univ. IPM Palawija Project 1995), sedangkan aplikasi pada bawang merah dengan frekuensi dua kali seminggu dapat meningkatkan hasil yang sangat nyata dibandingkan dengan penggunaan insektisida kimia (Shepardet al. 1997). Israwan (1998) menyatakan bahwa SeNPV isolat lokal ini mampu persisten pada pertanaman bawang merah selama 72 jam (3 hari) setelah aplikasi, sementara itu Shanti (2004) melaporkan bahwa isolat SeNPV ini mampu persisten di lahan pertanaman bawang daun sampai 7 hari setelah aplikasi.

Sebagaimana agens hayati lainnya, untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida,

SeNPV memiliki beberapa kelemahan yang harus diatasi. Lasa et al. (2008) menyatakan bahwa hampir semua bioinsektisida baculovirus yang diperdagangkan merupakan hasil produksi secarain vivo menggunakan larva serangga inang aslinya. Masalah teknis yang sering muncul dalam produksi NPV secara in vivo adalah adanya kontaminasi mikrob saprofit (Young 1989; Hunter-Fujita et al.1998; Lasa et al. 2008) dan keterlambatan waktu panen (Grzywacz et al. 1998). Kontaminasi mikrob saprofit akan menurunkan kerja NPV (Lasa et al. 2008) dan menimbulkan bau busuk (Grzywacz et al. 2000). Sedangkan keterlambatan waktu panen menurut Grzywaczet al.(1998) akan menyulitkan dalam proses pemanenannya karena tubuh larva yang terinfeksi hancur.

KeefektifanSeNPV di lapangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: konsentrasi polihedra yang digunakan, kerentanan serangga inang dan residu virus pada permukaan tanaman (Lasa et al. 2007b). Berkurangnya keefektifan SeNPV kemungkinan disebabkan oleg jumlah polihedra yang termakan serangga inang sedikit, sehingga kinerjanya lambat (Arifin 1988; Bonning & Hammock 1996; Williams et al. 1999; Dushoff & Greg 2001; Armenta et al. 2003) atau polihedra terdegradasi akibat sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo et al. 1991; Koul & Dhaliwal 2002; Monobrullah 2003; McIntosh et al. 2004; Mondragon et al. 2007; Mehrvar et al. 2008). Upaya memperbaiki kinerja SeNPV dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menambahkan perangsang makan (phagostimulant) untuk meningkat- kan jumlah inokulum yang dimakan UGB atau menggunakan bahan yang mampu meningkatkan kerja (enhancer)SeNPV (Suhas et al.2009). Untuk mempertahankan virulensinya dilakukan dengan menambahkan bahan yang mampu melindungi partikelSeNPV terhadap ultraviolet matahari (FedericidalamHall & Julius 1999).

Hasil uji patologi SeNPV pada UGB di laboratorium akan menjadi landasan ilmiah untuk merakit teknologi perbanyakan massalSeNPV yang efesien. Sementara itu penemuan bahan yang berfungsi sebagai perangsang makan (phagostimulant), pemicu kerja (enhancer) dan pelindung terhadap sinar ultraviolet matahari diharapkan dapat mengatasi atau mengurangi kelemahan kinerjaSeNPV di lapangan.

Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui karakteristik gejala (symptom) dan tanda (sign) infeksi SeNPV pada ulatgrayak bawang (UGB), 2) memperoleh konsentrasi inokulum dan waktu pemanenanSeNPV yang optimal untuk perbanyakan massal, 3) mendapatkan bahan perangsang makan (phagostimulant) yang mampu meningkatkan virulensi SeNPV di laboratorium, 4) memperoleh konsentrasi asam borat sebagai pemicu kerja (enhancer) yang efektif meningkatkan virulensi SeNPV dan aman terhadap lingkungan, dan 5) mendapatkan bahan pelindung alami terhadap sinar ultraviolet matahari yang dapat mempertahankan virulensiSeNPV.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini digunakan sabagai acuan dalam perbanyakan massal

SeNPV di laboratorium dan dasar pembuatan formulasi bioinsektisida SeNPV yang efektif mengendalikan hama ulat bawangS.exigua.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Ulatgrayak BawangSpodoptera exigua(Hübner) (Lepidoptera: Noctuidae)

S. exigua merupakan hama polifag yang menyerang berbagai jenis tanaman budidaya di Eropa, Asia, Afrika, Australia dan Amerika Utara terutama di wilayah yang beriklim hangat (CAB 2000; Jakubowskaet al. 2005; Lasaet al. 2007a). Inang utama dari hama ini adalah bawang merah (Allium ascalonicum), jagung (Zea mays), jutes (Corchorussp.), kapas (Gossypiumsp.), kubis-kubisan (Brassica), bawang daun (Allium fistulosum), kacang (Pisum sativum), padi (Oryza sativa), kentang (Solanum tuberosum), bit gula (Beta vulgaris var. saccharifera) dan tomat (Lycopersicon esculentum) (Amaldoss & Hsue 1989; CAB 2000; Jakubowskaet al.2005; Lasaet al. 2007a). Hama ini dikenal dengan beberapa sebutan, antara lain: beet armyworm, lesser armyworm, asparagus fern caterpillar, lesser cottonworm, pigweed caterpillar, berseem armyworm, lucerne armyworm, onion armyworm, onion caterpillar, cottonworm, lesser sugarbeet armyworm, small mottled willow moth dan inchworm

(CAB 2000). Di Indonesia hama ini lebih dikenal sebagai ulat bawang (onion caterpillar) (Kalshoven 1981) atau ulatgrayak bawang (UGB) (Rauf 1999), karena memiliki inang utama terbatas pada jenis bawang-bawangan terutama bawang merah dan bawang daun.

ImagoS. exiguaberupa ngengat berwarna putih gelap atau kelabu dengan titik kuning pada sayap depan. Telurnya berwarna hijau atau kuning terang diletakkan pada malam hari pada daun bawah dalam bentuk kluster yang masing-masing terdiri dari 50-150 butir telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna putih atau putih kekuning-kuningan (Capinera 1999; Samsudin 1999; CAB 2000; Sparkset al.2008). Telur menetas dalam waktu 2-5 hari. Instar pertama dan kedua biasanya makan secara berkelompok (gregariously) pada bagian dalam daun muda dengan membentuk gejala khas berupa membran putih transparan atau lubang masuk (windowing) (Kalshoven 1981; CAB 2000). Larva terdiri atas 5 instar, dengan stadium larva berlangsung

antara 9–14 hari, dengan rata-rata 12 hari (Rauf 1999; Capinera 1999). Larva berbentuk bulat panjang dengan ukuran instar akhir antara 2.5-3.0 cm, memiliki variasi warna yang sangat banyak (polymorfisme) dari berwarna hijau sampai hitam pekat, dengan ciri khas berupa garis memanjang (longitudinal stripes). Menurut Sparks et al. (2008) dalam kondisi alami, larva berwarna hijau sampai kuning pada instar 1 dan 2, kemudian cenderung hijau terang sampai hijau gelap. Terjadinya

polimorfisme menurut Rauf (1999) dipengaruhi oleh tingkat populasi di lapangan, pada saat populasi rendah, larva umumnya berwarna hijau terang, sedangkan pada saat terjadi ledakan populasi kebanyakan larva berwarna gelap.

Pupa berwarna coklat terang atau coklat gelap berada di dalam tanah di bawah tanaman yang terserang (Sastrosiswojo et al. 1995; Capinera 1999), dengan lama stadium pupa rata-rata 8-12 hari (Amaldoss & Hsue 1989; Rauf 1999).

Satu ekor imago betina dalam kondisi laboratorium dengan pakan alami bawang daun di Bogor mampu meletakkan telur kurang lebih 1000 butir (Kalshoven 1981) dan pada pakan buatan rata-rata 1062 butir (Samsudin 1999). Sedangkan di Lembang dengan pakan daun bawang daun rata-rata 500-600 butir (Sastrosiswojoet al.1995). Waktu yang dibutuhkan untuk siklus hidup satu generasi dari telur sampai imago bertelur lagi di laboratorium rata-rata 23 hari (Gambar 2.1) (Kalshoven 1981; Amaldoss & Hsue 1989; Sparkset al.2008).

Biologi Nucleopolyhedrovirus (NPV) Morfotipe NPV

NPV merupakan salah satu anggota genus Baculovirus, famili Baculoviridae. Berdasarkan tipe morfologi luar baculoviridae terdiri atas 3 subgroup yaitu: nuclear polyhedrosis virus atau nucleopolyhedrovirus (NPV), granulosis virus atau granulo- virus (GV) dan non-occluded baculovirus (NOB) yang tidak memiliki kristal protein (Matthew 1982; Adam & McClintockdalamAdam & Bonami 1991; Tanada & Kaya 1993; Shepard 1994; Murphyet al. 1995; FedericidalamHall & Julius 1999; Koul & Dhaliwal 2002; Narayanan 2004). Kristal protein dari NPV berbentuk segi banyak

Telur Larva Pupa Imago (2-5 hari) (9-14 hari) (8-12 hari) (2-4 hari) 2.5 - 3 cm

(polyhedral) dengan diameter 0.2 – 20.0 μm yang biasanya dapat dilihat di bawah mikroskop cahaya biasa, dan umumnya mengandung lebih dari satu virion (Pionar & Thomas 1984).

Gambar 2.1. Siklus hidup UGBSpodoptera exigua(Gambar: koleksi pribadi)

Menurut Tinsley & Kelly (1985) ciri khas NPV adalah adanya nukleokapsid berbentuk batang yang mengandung untaian ganda asam deoksiribonukleat (DNA) yang panjangnya 250 – 400 nm dan lebar 40 – 70 nm. Berdasarkan jumlah nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan multi nucleokapsid (MNPV) (Washburn et al. 2003; Inceoglu et al. 2006). Pada SNPV tiap envelope berisi satu nuckleokapsid, sedangkan pada MNPV berisi lebih dari satu sampai 39 nukleokapsid (Tanada & Kaya 1993; Kalmakoff & Ward 2003). Pada umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih spesifik dibandingkan dengan MNPV (Ignoffo & Couch 1981). Beberapa ciri khas lainnya dari NPV partikel virus atau virionnya terbungkus dalam protein kristalin berupa

0.4 um

badan oklusi (occlusion bodies) yang disebut dengan polihedra dan replikasi virus terjadi hanya pada inti sel (nucleus) sel serangga inang yang terinfeksi (Tanada & Kaya 1993). Gambar 2.2 menunjukkan bentuk badan oklusi dari NPV.

Gambar 2.2. Badan oklusiSpodoptera lituraNPV (Sumber: Adams & McClintock

dalamAdam & Bonami 1991)

Siklus Hidup NPV

NPV dilaporkan telah ditemukan pada lebih dari 600 spesies serangga (Beard

et al.1989; Woo et al. 2007), terutama pada ordo Lepidoptera sebanyak 150 spesies (Tanada & HessdalamAdam & Bonami 1991). Umumnya NPV menginfeksi stadia larva Lepidoptera, sedikit sekali laporan yang menyebutkan bahwa NPV dapat menginfeksi pupa dan imago (Barrettet al. dalamKoul & Dhaliwal 2002). Sebagian besar NPV bersifat spesifik inang, oleh sebab itu maka penamaan NPV disesuaikan dengan nama inang dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi (CAB 2000).

NPV memperbanyak diri di dalam inti sel (nucleus) serangga inangnya. Agar NPV dapat menginfeksi sel serangga inang, maka polihedra harus tertelan bersama dengan pakan yang dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian pada saluran pencernaan bagian tengah (mesenteron) NPV mulai menginfeksi inti sel inang (Adams & McClintock dalam Adam & Bonami 1991). Proses infeksi NPV pada sel

inang melalui dua tahap. Pada tahap pertama (primer) NPV menyerang saluran pencernaan tengah (mesenteron), kemudian pada tahap selanjutnya (sekunder) akan menyerang sel-sel dari organ tubuh yang lain (Ignoffo & Couch 1981; Deacon 1983). Proses infeksi primer terjadi karena pada kondisi alkalin pada mesenteron badan oklusi akan terdegradasi dan virion lepas dari selubung protein (Koul & Dhaliwal (2002); Etebari et al.2007). Virion-virion tersebut kemudian akan menembus matrik peritrofik dan akan menginfeksi sel-sel kolumnar dan goblet. Kemudian pada infeksi sekunder, virion-virion yang baru terbentuk akan menginfeksi seluruh sel jaringan serangga. Larva akan mati setelah sebagian besar jaringan tubuhnya terinfeksi NPV (Smits 1987; Bonning & Hammock 1996). Pembentukan badan oklusi (polihedra) terjadi sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel hemolimf, trakea, hypodermis, dan badan lemak. Sangat jarang terjadi pembentukan badan oklusi pada sel saluran pencernaan (Kalmakoff & Ward 2003).

Menurut Li & Blissard (2009) gengp64yang terdapat pada badan oklusi NPV memegang peranan penting sebagai reseptor pengikat sel serangga inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH rendah dan masuk ke dalam sel inang melalui proses endositosis. Kalmakoff & Ward (2003) menyatakan bahwa, NPV umumnya menginfeksi semua tipe jaringan utama dari serangga inangnya, mulai dari sel saluran pencernaan (midgut) kemudian keluar menginfeksi hemolimfa, badan lemak, epidermis dan matrik trakea.

Pada Gambar 2.3 diilustrasikan mekanisme infeksi NPV pada sel-sel serangga inang dan proses penyebaran di alam.

Infeksi primer ODV BV Infeksi sekunder Infeksi sekunder BV POB

Gambar 2.3. Siklus hidup NPV; A) polyhedra occlusion bodies (POB) termakan inang, occluded derived virion (ODV) menginfeksi sel epitelium, B)

buded virion(BV) keluar sel dan menginfeksi sel baru, C) awal infeksi menghasilkan BV, D) akhir infeksi membentuk POB yang dilepas ke lingkungan. (Sumber: Rohrmann 2011).

Tanda dan Gejala Infeksi NPV

Larva serangga inang yang terinfeksi NPV akan mengalami abnormalitas secara morfologi, fisiologi dan perilakunya (Pionar & Thomas 1984). Hoffmann & Frodsham (1993) menyatakan bahwa virus yang berbeda akan menimbulkan tanda dan gejala yang berbeda pula. Menurut Adam & McClintockdalamAdam & Bonami (1991) di lapang kematian larva akibat terinfeksi NPV sering ditemukan dengan tanda tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai semu bagian abdomen menempel pada daun atau ranting tanamanmembentuk huruf “V” terbalik.Akan tetapi ada juga

Pemanfaatan Nucleopolyhedrovirus (NPV) Sebagai Bioinsektisida

Pemanfaatan virus patogen serangga untuk mengendalikan hama tanaman pertama kali diketahui pada awal tahun 1900-an. Pada saat itu beberapa jenis baculovirus telah mulai digunakan untuk mengendalikan beberapa hama kelompok hymenoptera, lepidoptera dan coleoptera pada tanaman kelapa, kapas dan kubis (Bonning & Hammock 1996). Pada tahun 1943 populasi sawfly(Gilpinia hercyniae) hama tumbuhan hutan berkurang sampai 90% dikendalikan dengan NPV (Cunning- ham & Entwistle 1981). Pada pertengahan tahun 1960an ditemukan nonoccluded baculovirus yang merupakan patogen kumbang badak Oryctes rhinoceros dari Malaysia (Huger 1966). Virus tersebut telah digunakan untuk mengendalikan kumbang kelapa di Kepulauan Fiji, dan berhasil mengurangi populasi antara 40 - 90%, sehingga 4 - 6 tahun kemudian kerusakan tanaman kelapa di seluruh kepulauan tersebut selalu dibawah 20% (Bedford 1981).

Beberapa keunggulan penggunaan virus patogen serangga NPV untuk mengendalikan hama tanaman dibandingkan dengan insektisida kimia, antara lain: efektif mengendalikan hama sasaran, spesifik inang sehingga tidak berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup musuh alami dan serangga berguna lainnya dan dihasilkan inokulum yang dapat mengendalikan populasi hama selanjutnya (Young 1989; Lacey et al. 2001). Sebaliknya pengendalian hama dengan insektisida kimia yang memiliki spektrum inang luas (broad spectrum) dapat mengakibatkan terjadinya gejala resurjensi hama (Armes et al. 1995), terbunuhnya musuh alami (Tengkano et al. 1992), meningkatnya residu pada hasil, mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan bagi pengguna (Schumutterer 1995; Oka 2005).

NPV di beberapa negara telah berhasil diproduksi secara massal dengan menggunakan teknologi tinggi, akan tetapi harga produk biopestisida NPV sangat mahal karena tingginya biaya produksi dan registrasinya (Stair & Fraser 1981; Bull et al. 1979; Federicidalam Hall & Julius 1999). Bukti-bukti kesuksesan NPV sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama tanaman ini belum diikuti dengan upaya komersialisasi besar-besaran. Young (1989) dan FedericidalamHall & Julius (1999) mengemukakan beberapa masalah yang berkaitan dengan produksi dan pemanfaatan

biopestisida berbahan virus, antara lain: permintaan pasar yang masih kecil, regulasi dari pemerintah belum ada, biaya produksi mahal, belum ada standarisasi produk dan teknologi aplikasinya yang masih terbatas.

Dalam upaya kemersialisasi NPV menjadi bioinsektisida dalam skala industri, Williamet al.(1999) menyarankan untuk mengurangi biaya produksinya dengan cara mencari bahan mentah pakan serangga yang murah dan melakukan efesiensi dalam biaya tenaga kerja. Oleh karena itu FedericidalamHall & Julius (1999) dan Barrettet al.dalamKoul & Dhaliwal (2002) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV ini sangat ideal untuk dikembangkan dalam skala kecil di negara-negara berkembang, mengingat banyak dan murahnya tenaga kerja.

Upaya untuk Meningkatkan Kinerja NPV Sebagai Bioinsektisida

Kelemahan NPV untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida adalah 1) membutuhkan waktu relatif lama untuk membunuh inangnya, sehingga serangga yang terinfeksi masih makan dan menimbulkan kerugian (Bonning & Hammock 1996; Dushoff & Dwyer 2001), 2) memiliki inang yang spesifik, sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan dalam skala industri (McCutchen et. al. 1991) dan kurang efektif jika tanaman terserang oleh beberapa jenis hama (CAB, 2000) dan 3) cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo

et al. 1991; Koul & Dhaliwal 2002; Monobrullah 2003; McIntosh et al. 2004; Mondragonet al.2007; Mehrvaret al.2008).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja NPV sebagai bioinsektisida antara lain dengan menambahkan bahan perekat (sticker), perangsang makan (phagostimulant), pemicu kinerja (enhancer), pelindung dari sinar ultraviolet dan perata (Federici dalam Hall & Julius 1999; CAB 2000). Sejalan dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan tentang biologi molekuler NPV, maka upaya peningkatan kinerja NPV saat ini sudah ditekankan pada upaya rekayasa genetik.

Upaya untuk Meningkatkan Virulensi NPV

Perkembangan bioteknologi pada NPV dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologi biologi molekuler telah berkembang pesat. Treacy (1999) menyatakan bahwa untuk mengatasi kelemahan kinerja NPV secara bioteknologi telah dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu dengan menghilangkan gen (gene deletion) tertentu dari genom virus dan menyisipkan gen (gene insertion) yang mengekspresikan protein yang bersifat racun pada genom virus.

Rekayasa genetik pada Autographa californica nucleopolyhedrovirus (AcNPV) dengan membuang gen EGT ternyata dapat mengurangi aktifitas makan dari S. frugiperdayang terinfeksi virus rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih cepat dari larva yang terinfeksi wild-type AcNPV (O’Reilly & Miller 1991), sedangkan

Lymantria disparNPV (LdNPV) yang dibuang gen EGT dilaporkan mematikan larva

L. dispar rata-rata 20% lebih cepat dibandingkan yang terinfeksi LdNPV asalnya (Treacy 1999). Carbonellet. al. (1988) melaporkan keberhasilan mereka menyisipkan gen A 112-bp (BeIt) yang mengkode toksin serangga (insectotoxin-1) kalajengking

Buthus eupeus pada genom AcNPV. Virus rekombinan (rAcNPV) tersebut mampu mengekspresikan toksin kalajengking di dalam sel inang yang terinfeksi, akan tetapi kecepatan membunuhnya masih sama denganAcNPV asalnya. RekombinanAcNPV yang mengandung gen pengkode racun syaraf (neurotoxin) kalajengkingAndroctonus australis (AaIT) (rAcNPV-AaIT) dapat membunuh serangga lepidoptera kurang dari setengah waktu yang dibutuhkan oleh AcNPV asalnya (McCutchen et. al. 1991; Treacy & All 1996) dan mampu menghentikan makan 8-10 jam sebelum mati (McCutchen et. al. 1991). Virus rekombinan Bombyx mori NPV (rBmNPV) yang mengekspresikan hormon diuretik Manduca sexta dapat mematikan ulat sutera rata- rata 20% lebih cepat daripada yang terinfeksi BmNPV asalnya (Maeda 1989). Gen yang mengkodekan enzim juvenil hormone esterase (JHE) telah berhasil disisipkan pada genom AcNPV dan rekombinan AcNPV-JHE ini mampu menurunkan makan sampai 66% dan mematikan larvaT. ni20% - 30% lebih cepat dibandingkan dengan

Beberapa gen yang menentukan kisaran inang saat ini telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi. Salah satunya adalah genhost range factor 1(hrf-1) yang bertanggung jawab dalam menentukan kisaran inang diisolasi dari LdNPV. Rekombinan AcNPV-hrf-1 mampu menormalkan sintesis protein dan meningkatkan keberhasilan replikasi virus pada kultur sel line Ld652Y dan pada larva L. dispar. Hasil ini menunjukan bahwa hrf-1 berperan dalam keberhasilan replikasi dalam kultur sel dan dapat memperluas kisaran inang AcNPV (Ishikawa et al. 2004). Spenger et. al. (2002) melaporkan bahwa protein pembungkus GP64 pada AcNPV menentukan aktifitas permukaan partikel virus terikat pada sel inang dan sangat penting dalam proses masuknya virus pada sel inang. Upaya rekayasa genetik pada gen gp64 pada AcNPV ini ternyata dapat meningkatkan kemampuan aktifitas permukaan partikelAcNPV terhadap sel inangnya. Penyisipan gengp64 rekombinan ini pada beberapa baculovirus diharapkan akan memperluas kisaran inangnya dan meningkatkan daya tahan partikel baculovirus terhadap sinar ultra violet di lapang.

Upaya Mempertahankan Persistensi NPV

Salah satu kelemahan NPV sebagai biopestisida adalah mudah terdegradasi oleh sinar ultra violet (UV) matahari (Ignoffo et al. 1991; Koul & Dhaliwal 2002; McIntosh et al. 2004; Mondragonet al. 2007; Mehrvar et al. 2008), sehingga upaya untuk menambahkan pelindung terhadap UV ke dalam formulasi biopestisida NPV menjadi objek penelitian yang menarik (Shapiroet al.2008).

Beberapa bahan telah diuji untuk mempertahankan persistensi NPV terhadap paparan sinar ultraviolet (UV), antara lain: penambahan pencerah fluorescen

(fluorescent brightener)pada Spodoptera frugiperda nucleopolyhedrovirus (SfNPV) (Hamm et al.1994; Martinezet al. 2003; Mondragonet al. 2007),Lymantria dispar

NPV (LdNPV) (Dougherty et al. 2006), S. exigua NPV (SeNPV) (Kao et al. 1991; Murillo et al. 2003; Lasa et al. 2007b), penambahan Titanium dioksida (TiO2) pada

Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) (Farrar et al. 2004), penambahan oksida besi pada Homona magnanima granulovirus (HomaGV) (Asano 2005), penambahan Congo reddan Tinopal LPW pada L. disparNPV (LdMNPV) (Shapiro

& Shepard 2008), penambahan adjuvan padaH. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar

et al.2008), penambahan ekstrak teh hijau padaS. exigua NPV (SeNPV) (Shapiro et al. 2008) dan penambahan ekstrak teh hitam dan lignin padaSeNPV (El Salamouny

et al.2009).

Martinez et al. (2003) melaporkan bahwa dari 10 pencerah optik (optical brightener) yang diuji diperoleh 5 jenis yaitu: Blankophor BBH, Calcoflour M2R, Leucophor AP, Leucophor SAC dan Leucophor UO yang dapat meningkatkan kematian larva antara 87.7–100%. Sedangkan Lasaet al.(2007b) melaporkan bahwa penambahan 0.1% Leucophor AP pada formulasiSeNPV yang diaplikasikan di dalam rumah kaca, secara nyata meningkatkan mortalitas larvaS. exiguapada 2 hari setelah aplikasi. Hasil penelitian Asano (2005) menunjukkan bahwa penambahan oksida besi (iron oxide) 1-4 mg/ml pada produk granulovirus (GV) dapat mengurangi inaktivasi GV akibat penyinaran UV dengan perbandingan 1/6 sampai 1/18 dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Farrar et al. (2004) menyatakan bahwa Titanium dioksida

(TiO2) dapat memantulkan cahaya UV dan dapat meningkatkan persistensi polihedra

Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) di lapangan. Shapiro & Shepard (2008) melaporkan bahwa penambahan Congo red dan Tinopal LPW dapat mengurangi nilai LC50dariLymantria disparNPV (LdMNPV) masing-masing 26 dan 360 kali lipat daripada kontrol.

Penambahan bahan-bahan pelindung UV kimia seperti pencerah optik pada konsentrasi rendah (< 0,1%) umumnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, akan tetapi pada konsentrasi tinggi (> 0,1%) diketahui dapat menurunkan

Dokumen terkait