Penelitian introgresi segmen Pup1 ke dalam tetua Situ Bagendit dan Batur ini memiliki keunikan tersendiri. Kasalath dan NIL-C443 yang sebagai tetua sumber segmen Pup1 memiliki karakteristik yang berbeda. Kasalath sebagai tetua asli sumber Pup1 merupakan genotipe yang sangat sensitif terhadap keracunan aluminium, bahkan melebihi ITA131 sebagai cek sensitif yang digunakan dalam penelitian larutan hara Yoshida. Kasalath termasuk padi subspecies indica. NIL- C443 adalah padi subspecies japonica, dimana ketika ditanam di tempat dengan intensitas penyinaran yang tinggi dengan suhu yang tinggi akan mengalami percepatan pembungaan, dimana dengan adanya percepatan pembungaan ini akan menyebabkan penurunan hasil (kehampaan tinggi). Segmen Kasalath dan NIL- C443 selain segmen Pup1 yang akan tertinggal melalui proses persilangan konvensional tentu saja akan memberi pengaruh juga pada turunan Situ Bagendit dan Batur. Kasalath yang sangat sensitif terhadap Al akan menyebabkan terhambatnya penyerapan unsure-unsur hara termasuk P sehingga akan mengurangi jumlah bulir isi. NIL-C443 yang sensitif terhadap panjang penyinaran biasanya memberi sumbangan yang besar terhadap kehampaan bulir padi. Oleh karena itulah turunan dari masing-masing persilangan harus dilihat efek segmen tetua donor pula terhadap penampilan mereka. Perbedaan tetua donor
indica dan japonica ini mempengaruhi dalam seleksi menggunakan marka molekuler.
Pada turunan yang menggunakan tetua donor NIL-C443 ternyata lebih mudah mendapatkan lokus homozigot dibandingkan dengan turunan yang menggunakan tetua donor dari Kasalath (9-12). Hal ini diduga berkaitan dengan kesesuaian antar pasangan kromosom tersebut, dimana segmen DNA yang berasal dari tetua japonica (NIL-C443) ketika bertemu dengan segmen DNA tetua indica
(Situ Bagendit atau Batur) akan lebih mudah digantikan/dihilangkan ketika terjadi proses persilangan silang balik dengan tetua pemulih. Turunan yang berasal dari tetua Kasalath (indica/aus) ketika disilangbalikkan dengan tetua indica (Situ Bagendit atau Batur) kromosomnya telah mengalami kesesuaian karena sama- sama indica, sehinga sulit dihilangkan. Hal ini menyebabkan lokus-lokus
homozigot lebih banyak didapatkan pada tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 dan Batur x NIL-C443 dibandingkan dengan Situ Bagendit x Kasalath dan Batur x Kasalath.
Percobaan pengujian defisiensi P ini termasuk sulit dilakukan karena P selalu terikat oleh unsur-unsur lain. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam pengujian galur-galur Pup1, terutama pada pengujian galur-galur sebelum disilangkan. Idealnya, pemilihan tanaman yang akan disilangbalikkan dengan tetua pemulih harus melalui seleksi secara molekuler dan seleksi berdasarkan uji fenotipik. Namun, untuk P ini seleksi fenotipik sulit dilakukan karena memerlukan dua set tanaman yang sama (kurang P dan cukup P). Selain itu, unsur P ini bermuatan negatif sehingga selalu berusaha berikatan dengan unsur lain yang bermuatan positif, misalnya : Na+, Fe2+, Al3+. Ketiga unsur ini membentuk senyawa dengan P sehingga P tidak tersedia bagi tanaman. Walaupun bisa dilakukan percobaan menggunakan larutan hara dengan dua level konsentrasi P (0,5 dan 10 ppm), tetapi umumnya hasil yang didapat sama sekali akan berbeda dengan kondisi di lapangan. Berbeda dengan percobaan larutan hara pada keracunan Al, galur yang toleran Al pada larutan hara kemungkinan besar akan toleran Al pula di lapangan. Wissuwa et al. (1998) dan Wissuwa dan Ae (2000) selalu menggunakan media tanah dalam bak untuk pengujian P, sementara pengujian buatan (artificial) dan cepat belum didapatkan yang bisa mencerminkan kondisi pengujian P di tanah. Pengujian untuk unsur-unsur bermuatan positif (+) memang lebih mudah dilakukan, seperti pengujian keracunan Al yang menggunakan Hemotoxcylin atau larutan hara, keracunan Fe yang menggunakan larutan hara, dan keracunan Na yang menggunakan larutan hara.
Sifat Pup1 ini hanya membantu dalam perbanyakan permukaan akar dalam menangkap P dengan cara memperbanyak tumbuhnya akar-akar yang secara otomatis akan memiliki permukaan serapan yang lebih banyak dalam menangkap P. Proses ini tentu saja membutuhkan banyak kerjasama berbagai macam gen yang mengatur penyerapan P, penggunaan P secara efisien, dan pembelahan sel yang lebih agresif pada jaringan akar sehingga akar menjadi lebih banyak. Akar yang lebih banyak ini akan memperluas permukaan penyerapan P.
menangkap Al3+ atau Fe2+ dalam upaya mengurangi keracunan Al atau besi, walaupun Kasalath itu sendiri sebagai sumber Pup1 mengeluarkan asam organik dalam jumlah yang sangat kecil (Ma et al. 2002). Oleh karena itulah apabila akan ditanam di daerah yang tingkat keracunan Alnya tinggi perlu dipilih varietas yang memang toleran terhadap Al. Oleh karena itu sebetulnya diperlukan varietas unggul yang sangat toleran terhadap Al tapi sensitif terhadap defisiensi P. Pada penelitian ini Situ Bagendit dan Batur termasuk varietas yang bereaksi sedang terhadap keracunan Al. Oleh karena itulah penelitian ini perlu dilanjutkan dengan memasukkan gen-gen yang toleran terhadap keracunan Al dari galur-galur lokal pada galur-galur terbaik masing-masing persilangan. Dengan tambahan gen yang toleran terhadap keracunan Al diharapkan P yang terlepas dari Al menjadi lebih banyak sehingga Pup1 bisa bekerja lebih efektif lagi.
Dasar utama pemilihan tetua Kasalath sebagai tetua donor adalah penangkapan P (P uptake) (Wissuwa et al. 1998, 2001) yang digunakan dalam kegiatan pemetaan Pup1 dan evaluasi plasma nutfah. Tanah yang dipakai adalah tanah Andosol, yang kondisinya jauh lebih baik daripada tanah Ultisol. Hal ini terbukti beberapa peubah seperti bobot kering akar, bobot bulir isi/tanaman, dan nilai total serapan P yang diamati pada percobaan di tanah Kentrong nilainya selalu jauh di bawah hasil yang diperoleh oleh Wissuwa. Namun, kalau melihat hasil penelitian Wissuwa dan Ae (2001), sebetulnya nilai relatif untuk peubah- peubah penting tersebut semuanya dibawah 50%, yang mengindikasikan Kasalath dan NIL-C443 adalah galur yang peka terhadap defisiensi P. Namun, Kasalath dan NIL-C443 memang memiliki keunggulan nilai untuk perubah TSP, EPP, bobot kering total jauh lebih tinggi dibandingkan Nipponbare yang tidak memiliki
Pup1. Oleh karena itulah evaluasi galur-galur yang dihasilkan melalui persilangan dalam kegiatan ini tidak bisa hanya berdasarkan nilai relatif seperti yang dideskripsikan dalam buku standar system evaluasi untuk padi (IRRI 1995), namun harus dengan membandingkan antara galur-galur yang mengandung Pup1
dengan tetua-tetuanya (Situ Bagendit dan Batur) dan diuji secara statistik (uji Dunnet 5% atau uji t-Student 5%). Galur-galur yang memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan tetuanya untuk peubah yang berkaitan dengan dengan hasil, baik pada kondisi kurang P ataupun cukup P, bisa dianggap Pup1 telah memberikan
pengaruh positif pada turunannya, dan galur-galur tersebut bisa dipilih untuk pengujian berikutnya.
Analisis molekuler menggunakan primer-primer spesifik untuk Pup1 telah mempermudah seleksi individu tanaman hasil persilangan. Berdasarkan analisis molekuler terlihat masih ada, segmen DNA tetua donor di sekitar Pup1 pada tanaman BC2F2 terbaik masing-masing persilangan terlihat masih panjang. Sebetulnya untuk mengurangi panjang segmen tambahan di sekitar segmen Pup1
ini masih bisa dilakukan persilangan sekali lagi menjadi BC3, seperti yang dilakukan oleh Septiningsih et al. (2009) dalam membuat galur-galur yang toleran terhadap genangan air. Dalam kegiatan tersebut persilangan dilakukan sampai generasi BC2F2 dan kemudian dilanjutkan pada persilangan sampai generasi BC3F2. Kegiatan persilangan Pup1 ini mestinya bisa dilanjutkan kepada generasi berikutnya (BC3) dengan menggunakan materi galur-galur BC2 yang terbaik berdasarkan uji fenotipik.
Segmen DNA yang tertinggal dari hasil analisis molekuler menggunakan primer-primer mikrosatelit ternyata hanya sekitar 1-3%, namun masih banyak kondisi genom pada daerah-daerah tertentu, karena memang tidak ada marka yang polimorfis di antara tetua yang dipakai atau memang tidak ada marka mikrosatelit di daerah tersebut. Keterbatasan marka molekuler yang dimiliki juga menjadi kendala penelitian marka molekuler ini. Sampai saat ini sudah berhasil dibuat ribuan marka mikrosatelit untuk menutupi daerah-daerah yang belum terpetakan pada saat pemetaan primer mikrosatelit pertama kali. Marka-marka baru mikrosatelit ini dapat dengan mudah diunduh dari website http://gramene.org. Namun, hal ini membutuhkan modal yang sangat besar. Oleh karena itulah pada kegiatan Marker Assisted Backcrossing ini kita tidak boleh semata-mata mengandalkan seleksi hanya berdasarkan marka saja, namun harus dikombinasikan dengan uji fenotipik.
Pemanfaatan marka molekuler di dalam membantu pemuliaan konvensional adalah mempermudah pemilihan individu tanaman mana yang akan disilangkan. Apabila tidak menggunakan marka molekuler (marka QTL/marka pengapit) maka dibutuhkan seleksi fenotipik dengan jumlah tanaman yang banyak. Apabila gen yang ditransfer adalah gen yang dikendalikan oleh alel-alel
resesif, sehingga tidak tampak terekspresi pada pengujian secara fenotipik, dibutuhkan lagi persilangan test cross untuk mengetahui status genotipe tanaman yang akan disilangkan. Hal ini membutuhkan waktu yang lebih panjang. Berdasarkan perhitungan pengembalian genom tetua pemulih, apabila hanya persilangan konvensional saja yang diterapkan, untuk mencapai tingkat 95% diperlukan sampai BC6, sedangkan apabila menggunakan marka molekuler (flanking marker) pada generasi BC3 atau BC4 sudah didapatkan proporsi genom mencapai 95%. Pada tahap ini peran marka molekuler sangat bermanfaat untuk mempercepat pengembalian genom. Apabila diharapkan pengembalian genom tetua pemulih mencapai 99,2% (hampir 100%), maka diperlukan persilangan silang balik sampai enam kali (BC6) (Collard et al. 2005). Jadi, marka pengapit sebagai alat seleksi bisa lebih mempercepat tingkat pengembalian genom dibandingkan dengan persilangan konvensional, dan juga mengurangi populasi tanaman yang diuji.
Apabila flanking marker (sekarang disebut marka foreground dan atau
recombinant) digabungkan dengan analisis background, tingkat pengembalian genom ini tentu saja akan lebih cepat lagi. Namun, sampai sekarang belum didapatkan perhitungan secara matematis berapa persen tingkat pengembalian genom tetua pemulih apabila menggunakan marka foreground/recombinant dan
background, hanya sudah terbukti pada perakitan padi yang mengandung gen
Sub1, persilangan cukup dilakukan hanya sampai BC3 saja (Septiningsih et al. 2009), dan sudah dilepas di beberapa negara (di Indonesia dilepas dengan nama INPARA 3). Perbedaan antara seleksi yang hanya menggunakan marka pengapit saja dan marka pengapit disertai seleksi background adalah pada jumlah individu yang disilangkan dan dipakai pada generasi berikutnya. Pada seleksi yang menggunakan marka pengapit saja jumlah individu yang disilangkan biasanya banyak dan seluruh individu yang disilangkan tersebut biasanya ditanam lagi pada generasi berikutnya. Pada seleksi yang menggunakan marka pengapit dan marka background individu yang disilangkan biasanya cukup satu saja (atau dua, yang satu untuk cadangan), dan yang ditanam pada generasi berikutnya hanya satu tanaman saja, yang dianggap terbaik berdasarkan komposisi genotipenya. Namun, pemakaian marka background ini tidak serta merta bisa mendapatkan
tanaman yang sesuai dengan yang diinginkan, tetapi masih memerlukan uji fenotipik beberapa kali.
Pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan tiga metode, yakni dengan larutan hara Yoshida dan tanah PMK dari Desa Kentrong di dalam rumah kaca, dan di lapangan, yakni kebun percobaan Taman Bogo, Lampung. Pengujian P ini termasuk sulit dilakukan karena P selalu ada dalam tanah jenis apapun tapi terikat pada unsur-unsur lain seperti Ca, Fe, dan Al. Oleh karena itulah sulit sekali menemukan tanah yang kandungan P-nya benar-benar 0 %. Pengujian dengan larutan hara juga sulit diprediksi hasilnya akan sama dengan pengujian di lapangan karena sifat P yang tidak independen ini.
Berdasarkan pengujian tersebut terlihat ekspresi Pup1 pada turunan Situ Bagendit dan Batur jauh lebih kecil pengaruhnya dibandingkan ketika Pup1
dimasukkan ke dalam Nipponbare. Pada penelitian ini pengaruh Pup1 terlihat pada peningkatan komponen vegetatif, sedangkan komponen hasil justru tidak mengalami peningkatan dibandingkan tetua Situ Bagendit atau Batur (Gambar 19, 22, 31, dan 33), padahal pada waktu segmen Pup1 dari Kasalath diintrogresikan ke dalam Nipponbare galur yang dihasilkan mengalami peningkatan hasil jumlah bulir sebesar 250% pada kondisi kurang P dengan memanfaatkan sifat toleran defisiensi P dari Kasalath tersebut (Wissuwa dan Ae 2000). Perbedaan hasil yang mencolok ini barangkali disebabkan perbedaan background dari masing-masing tetua. Kasalath sebagai padi indica ketika sebagian segmennya dimasukkan ke dalam padi japonica (Nipponbare) memberi positif pada Nipponbare, sementara pada penelitian ini segmen yang dimasukkan adalah indica ke dalam padi indica, sehingga efek yang ditimbulkan tidak terlalu besar. Hal ini mendukung penelitian yang telah dilakukan oleh Chin (tidak dipublikasikan) yang disajikan dalam Lampiran 8. Situ Bagendit dan Batur secara molekuler ternyata memiliki sebagian segmen Pup1 (partially segment), sehingga ketika segmen Pup1 yang dimasukkan tidak memberi pengaruh apa-apa terhadap Situ Bagendit atau Batur, namun justru terjadi penghambatan kinerja dari gen-gen yang berhubungan dengan penangkapan P. Hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kebenaran hipotesis tersebut. Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Chin et al. (2009) menyebutkan segmen Pup1 yang muncul pada lebih dari
50% dari 159 genotipe yang diuji termasuk ke dalam padi lahan kering (upland), sedangkan hanya 10% segmen Pup1 muncul pada padi-padi lahan sawah (lowland./irrigated land). Berarti peluang untuk mendapatkan segmen Pup1 lebih besar pada padi lahan kering, termasuk Situ Bagendit dan Batur.
Untuk melihat hubungan antar metode pengujian P dilakukan perhitungan korelasi pada beberapa peubah pada beberapa metode pengujian (Lampiran 9). Berdasar tabel tersebut terlihat antara pengujian larutan hara dengan tanah dalam bak memiki nilai korelasi yang tinggi pada semua peubah yang dipilih. Sedangkan apabila dikaitkan dengan pengujian di lapangan ternyata hampir semua karakter yang dianalisis menunjukkan nilai korelasi yang kecil. Hal ini menunjukkan kondisi penelitian di rumah kaca hampir seragam sehingga baik percobaan larutan hara dan tanah dalam bak memiliki sifat dan kondisi yang hampir sama, sedangkan di lapangan kondisi alam yang tidak seragam menyebabkan hasil yang didapatkan juga tidak sama dengan percobaan di rumah kaca. Hal ini menunjukkan untuk pengujian P ini sebaiknya dilakukan di rumah kaca dan lapangan, sedangkan di rumah kaca pengujian dengan larutan hara cukup mewakili percobaan tanah di dalam bak. P dalam larutan hara merupakan bentuk P yang tersedia bagi tanaman (NaH2PO4.2H2O) dan pada kondisi ada cekaman Al sebagian P tersebut diikat oleh Al. Pada kondisi di lapangan (KP Taman Bogo) P kebanyakan berada dalam bentuk tidak tersedia. Kondisi yang berbeda ini tentu saja akan memberikan perbedaan hasil. Kondisi P di Taman Bogo menunjukkan kondisi riil di lahan petani dimana pemupukan sudah dilakukan berulang-ulang. Kondisi P di tanah PMK Desa Kentrong menunjukkan tanah-tanah tersebutmengalami keracunan Al tinggi dan belum pernah mengalami pemupukan pada waktu sebelumnya.
Penelitian P di Indonesia tidak bisa lepas dengan Al. Hal ini disebabkan sebaran tanah-tanah kering masam ini cukup luas, hampir sekitar 25% dari luas daratan total di Indonesia. Oleh karena itulah setiap percobaan yang berkaitan dengan P harus disertakan pula perlakuan dengan Al. Seperti pada percobaan menggunakan larutan hara Yoshida satu set percobaan diperlakukan pada kondisi ada cekaman Al yang mencerminkan kondisi di lapangan tanah kering masam. Sekarang ini sudah dilaporkan adanya defisiensi P pada tanah-tanah sawah karena
perilaku petani yang memupuk P terlalu tinggi sehingga terjadi pengerasan pupuk P. Akhirnya P justru tidak tersedia bagi tanaman. Galur-galur yang mengandung segmen Pup1 ini juga perlu diuji di tanah sawah untuk melihat efek Pup1 ini apakah juga bekerja pada kondisi tergenang atau tidak.
Untuk melihat efek Pup1 pada galur-galur BC2F3 yang diuji dalam penelitian ini dibuat tabulasi data-data yang sangat berkaitan dengan P yang disajikan dalam Lampiran 10. Secara umum persilangan Situ Bagendit x NIL- C443 memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan Situ Bagendit x Kasalath berdasarkan jumlah tanda **, demikian juga pada persilangan Batur x NIL-C443 lebih baik dibandingkan dengan Batur x Kasalath. Efek Pup1 terlihat nyata pada perlakuan dengan kondisi kurang P (Lampiran 10) dan justru tidak terlalu atau kurang terekspresi pada kondisi cukup P berdasarkan jumlah ** yang melebihi tetua, Hal ini menunjukkan bahwa Pup1 terekspresi dengan baik pada saat tanah dalam kondisi kurang P, dan kurang terekspresi pada tanah dengan P yang cukup. Kondisi ini cocok dengan ciri-ciri Pup1 sepeti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Apabila dibandingkan tetua donor Kasalath dan NIL- C443 ternyata tetua NIL-C443 dapat menghasilkan banyak turunan yang memiliki sifat lebih baik dibandingkan induknya, hal ini mengindikasikan apabila sumber segmen Pup1 sebetulnya cukup dengan NIL-C443 saja. Apalagi tingkat polimorfisme yang tinggi antara NIL-C443 dengan varietas padi Indonesia, sehingga lebih banyak marka yang dapat digunakan untuk seleksi background.
Berdasarkan kondisi tersebut seleksi galur-galur BC2F3 dilakukan secara individual (per tanaman). Seluruh tanaman BC2F3 telah diketahui memiliki segmen Pup1 dalam kondisi homozigot beerdasarkan analisis molekuler pada saat tanaman BC2F2. Pada tanaman BC2F3 ini lokus Pup1 diasumsikan akan tetap dalam kondisi homozigot, walaupun lokus-lokus lain masih terjadi segregasi. Hal ini terlihat pada tanaman di lapangan (KP-Taman Bogo), galur-galur yang berasal dari turunan Kasalath memiliki tinggi tanaman yang tidak seragam dalam 1 nomor, sedangkan turunan dari NIL-C443 memiliki tinggi tanaman yang relatif seragam dalam 1 nomor. Dengan melihat beberapa hasil percobaan yang telah dilaksanakan, barangkali pemberian pupuk P bisa dikurangi sampai 0,5 dosis tanpa menurunkan hasil.