• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3 PUP1 MENGGUNAKAN LARUTAN HARA YOSHIDA

Abstrak

Kekurangan P merupakan salah satu masalah utama bagi pertanaman padi. Pembentukan galur yang toleran terhadap defisiensi P akan mengurangi input pupuk P. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati efek Pup1 pada galur-galur BC2F3 terpilih menggunakan larutan hara Yoshida. Galur tersebut adalah masing- masing 6 galur dari persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 dan masing-masing 6 galur dari persilangan Batur x Kasalath, NIL-C443. Percobaan dilakukan di rumah kaca BB-Biogen, Bogor (April s.d. Mei 2009) dengan menggunakan rancangan petak terpisah faktorial, dimana petak utama adalah dosis Al (0 dan 45 ppm Al3+), dengan anak petak P (0,5 dan 10 ppm P). Galur yang diuji dimasukkan ke dalam tiap anak petak. Beberapa karakter agronomis dan kadar P diamati setelah tanaman berumur 4 minggu setelah tanam. Hasil percobaan menunjukkan terjadi peningkatan nilai karakter agronomis (kecuali panjang akar) pada galur-galur BC2F3 seiring dengan peningkatan kadar P, baik pada kondisi 0 atau 45 ppm Al. Skoring P berdasarkan bobot kering total menunjukkan kriteria bervariasi dari peka, sedang, dan toleran (kebanyakan sedang) pada galur-galur BC2F3 dalam kondisi tanpa cekaman Al, namun semua galur BC2F3 yang diuji menunjukkan reaksi peka terhadap defisiensi P pada kondisi tercekam Al. Nilai rata-rata bobot kering total galur-galur BC2F3 pada kondisi kurang P (baik ada cekaman Al maupun tidak) menunjukkan peningkatan respon pada kondisi kurang P dibanding tetuanya (Situ Bagendit dan Batur), menunjukkan Pup1 telah memberi pengaruh positif pada galur-galur keturunan Situ Bagendit dan Batur. Nilai kadar P, TSP, dan ESP menunjukkan peningkatan pada kondisi kurang P pada galur BC2F3 dibanding tetuanya, sedangkan REP dan EPP cenderung menurun pada kondisi kurang P. Bobot kering total dan bobot kering akar pada kondisi kurang P (0,5 ppm P) dapat digunakan sebagai peubah utama untuk seleksi toleransi terhadap defisiensi P.

Kata kunci : galur BC2F3-Pup1, larutan hara Yoshida, defisiensi P, keracunan Al

Abstract

P-deficiency is one of major problems in rice cultivation. Improvement of lines for P-deficiency tolerant can reduce P-fertilizer, therefore it will decrease production cost. The goal of this experiment was to observe the effect of Pup1 on BC2F3 lines using Yoshida nutrient solution. These lines were derived from Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 crossing (6 lines each crossing) and Batur x Kasalath, NIL-C443 (6 lines each crossing), both. The experiment was conducted in greenhouse at BB-Biogen, Bogor (April to May 2009) using split plot factorial design, which main plot was Al concentration (0 and 45 ppm Al3+), sub plot was P concentration (0,5 and 10 ppm P), and BC2F3 lines with their parents were put into sub plots. Some agronomic characters and P contents were observed at 4 weeks after planting. The result of this experiment showed the same responses on agronomic characters (except root length), of which agronomic character value increase significantly together with increasing of P concentration, on 0 and 45

ppm Al. P scoring, based on total dry weight, showed variation of P scoring (mostly medium) under no Al stress condition, but all of BC2F3 lines showed sensitive to P-deficiency under Al stress condition. Averages of total dry weight of BC2F3 lines in low P (with or without Al condition) showed increasing if they were compared with their parent (Situ Bagendit and Batur), this indicated that

Pup1 give positive effect in these BC2F3 lines. P content value and its derivative Total of P uptake, Phosphorus Efficiency Ratio, Phosphorus Utilization Efficiensy, and Phosphorus Uptake Efficiency showed increasing of P content, TP and PUpE on BC2F3 lines in low P condition than their parents, but PER and PUtE value showed decreasing in low P condition. Total dry weight and root dry weight in low P condition (0,5 ppm P) can be used as main peubah for selection of new lines for P deficiency tolerance.

Keywords : BC2F3-Pup1 lines, Yoshida nutrient solution, P-deficiency, Al toxicity

Pendahuluan

P merupakan unsur penting bagi tanaman padi, terutama sangat diperlukan pada tahap pembentukan anakan dan pengisian bulir padi. Diduga lebih dari 90% pemupukan P berubah menjadi bentuk yang tidak mudah dimanfaatkan oleh tanaman (Wissuwa dan Ae 2001). Pupuk P sangat diperlukan pada lahan miskin hara P, terutama pada lahan kering masam. Di Indonesia, lahan kering yang berpotensi kurang P sangat besar, mencapai 60% dari total lahan kering yang ada. Oleh karena itu pemupukan P sangat diperlukan oleh tanaman untuk meningkatkan hasil.

Salah satu cara yang paling mudah, cepat, dan relatif murah untuk menyaring galur-galur padi gogo yang efisien dalam menyerap P adalah dengan cara menggunakan media larutan hara. Pengujian hara untuk P ini sudah banyak dilakukan, seperti Sudarman (2004) telah menguji galur-galur padi gogo pada larutan Yoshida dengan dosis P sebesar 0,02, 0,2 , dan 2 ppm. Kombinasi perlakuan P dan Al bisa mencerminkan kondisi riil di lapangan dimana P selalu terikat dengan unsur-unsur lain, salah satunya adalah Al. Beberapa penelitian mengenai defisiensi P pada larutan hara Yoshida untuk keperluan pemetaan QTL defisiensi P pada padi juga dilaporkan oleh Ni et al. (1998), Hu et al. (2001), Ming et al. (2001), dan Shimizu et al. (2004).

Pengujian dengan larutan hara ini memang merupakan pengujian yang sederhana, dan sudah diaplikasikan untuk banyak sifat, terutama untuk sifat-sifat

yang berhubungan dengan cekaman unsur hara. Selain P, sifat-sifat lain pernah diuji pada larutan Yoshida misalnya, cekaman Al (Lubis dan Suwarno 2000; Prasetiyono et al. 2003), cekaman besi (Purwati dan Marjani 2009), dan cekaman- cekaman lain yang berhubungan dengan cekaman abiotik.

Penelitian ini bertujuan untuk menyaring galur-galur BC2F3 hasil persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 dan Batur x Kasalath, NIL- C443 dan juga melihat efek introgresi Pup1 pada persilangan tersebut. Seluruh galur-galur tersebut telah dianalisis secara molekuler dan menunjukkan semuanya mengandung segmen Pup1 yang berasal dari Kasalath ataupun dari NIL-C443.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara Pelajar No. 3A Bogor, mulai April sampai dengan Mei 2009.

Bahan Penelitian

Materi yang dipakai adalah benih galur-galur BC2F3 terplih berdasarkan analisis molekuler dari 4 persilangan. Galur-galur yang digunakan dalam pengujian ini dapat dilihat dalam Lampiran 3, sedangkan tetua-tetua yang digunakan adalah : Dodokan, Situ Bagendit, Batur, Kasalath, NIL-C443, Nipponbare, Dupa (cek toleran), dan ITA131 (cek peka)

Pengujian P dalam larutan hara ini dilakukan dengan mengikuti standar IRRI (IRRI, 1996). Bak plastik dengan kapasitas 10 liter diisi larutan hara Yoshida dengan komposisi larutan seperti pada Lampiran 4.

Metode Penelitian

Percobaan menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design), dimana sebagai petak utama adalah perlakuan 0 ppm Al3+ dan 45 ppm Al3+ . Sebagai anak petak adalah perlakuan 0,5 ppm P (kurang P) dan 10 ppm P (cukup P) (Yoshida et al. 1976). Sebagai sumber Al3+ adalah AlCl3.6H2O. Seluruh

genotipe yang digunakan diletakkan dalam anak petak tersebut. Seluruh sampel diulang sebanyak 4 kali.

Genotipe yang digunakan dikecambahkan terlebih dahulu dengan air selama tiga hari dalam petri dish kemudian diletakkan di atas styrofoam berlubang yang bagian bawahnya telah dilapisi dengan kain kasa nyamuk yang dijahit dengan benang nilon. Masing-masing lubang diisi dengan dua butir benih yang telah berkecambah. Selang satu minggu kemudian tanaman hanya dibiarkan satu saja yang tumbuh.

Kadar keasaman (pH) larutan diatur setiap dua hari sekali dengan menggunakan pH meter, dimana untuk perlakuan 45 ppm Al diatur pada pH 3,8 – 4,2, sedangkan pada perlakuan 0 ppm Al (tanpa Al) pH diatur pada 5,5 – 5,8. Keasaman pH diatur dengan menambahkan NaOH atau HCl sesuai dengan kebutuhan. Setiap kali pengukuran pH juga dilakukan penambahan air (dH20) sesuai dengan perkiraan kehilangan air akibat penguapan di dalam rumah kaca. Untuk menjaga homogenitas larutan masing-masing bak percobaan diberi aerator yang berfungsi mengaduk larutan hara Yoshida setiap saat. Penggantian larutan hara untuk semua perlakuan dilakukan setiap satu minggu sekali. Tanaman dipelihara sampai berumur 4 minggu. Pada akhir minggu keempat dilakukan pengamatan panjang akar, tinggi tajuk, jumlah anakan, bobot kering akar, tajuk, dan kadar P jaringan.

Untuk mengukur kadar P jaringan empat tanaman (= 4 ulangan) pada tiap perlakuan disatukan menjadi satu sampel dan dikirim ke Instalasi Laboratorium Kimia, Balai Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Analisis kadar P jaringan menggunakan metode spektrofotometri (Balittanah 2005).

Analisis statistik pada semua peubah dilakukan dengan program SAS v 9. Kriteria skoring P mengikuti metode SES (IRRI 1996) berdasarkan peubah bobot kering total. Nilai kadar P jaringan digunakan untuk menghitung beberapa peubah, seperti Total Serapan P (TSP), Rasio Efisiensi P (REP), Efisiensi Penggunaan P (EPP), dan Efisiensi Serapan P (ESP). Keterangan lengkap persamaan yang digunakan dapat dilihat dalam Lampiran

p d c p l p Gambar Peng penting dila dalam Gamb cek peka ad pada ITA13 lebih sensiti penelitian M 0,5 ppm P r 17. Respon ke kan (tolera 0,5 ppm P gujian galur- akukan. Ha bar 17. Seba dalah ITA13 31 pada perl if dibanding Ma et al. (20 P + 0 ppm A n tetua padi p nan : Dodoka an Al), ITA1 P + 45 ppm A Ha -galur hasil asil penguji agai cek tole 31. Berdasar lakuan 45 pp gkan tanama 002) yang m Al pada berbag an, Situ Bag 31 (peka Al Al

asil dan Pem

persilangan an pada tet eran untuk 4 rkan gamba pm Al. Ka an cek peka menunjukkan gai kondisi P gendit, Batur l) mbahasan n yang men tua yang di 45 ppm Al ad ar tersebut a salath sebag a (ITA131) n Kasalath dan Al dala r, Kasalath, N 10 ppm P 10 ppm ngandung Pu igunakan da dalah Dupa, akar tidak b gai tetua don

hal ini sesu sebagai gen am larutan h NIL-C443, N P + 0 ppm A m P + 45 ppm up1 sangat apat dilihat sedangkan erkembang nor terlihat uai dengan notipe yang ara Yoshida Nipponbare, Al m Al a. Kiri Dupa

sangat sensitif terhadap keracunan Al. Dupa merupakan tanaman untuk cek toleran yang sudah terbukti toleran terhadap keracunan Al sampai 60 ppm di dalam larutan hara (Prasetiyono et al. 2003)

Konsentrasi Al yang tinggi dapat mengganggu penyerapan unsur hara, karena keracunan Al akan merusak jaringan akar tanaman, terutama ujung akar (Khatiwada et al. 1996; Ryan et al. 1993). Gejala pertama yang tampak dari keracunan Al ini adalah sistem perakaran yang tidak berkembang (pendek dan tebal). Selain itu pengaruh buruk yang lain adalah terjadinya gangguan penyerapan hara mineral, pengikatan Al pada dinding sel dan penghambatan pembelahan sel. Oleh karena itu tanaman yang sensitif terhadap Al bila diberi perlakuan keracunan Al maka akarnya akan pendek, demikian pula tajuknya juga akan kurus. Tanaman yang toleran terhadap keracunan Al pada larutan hara yang ditambah AlCl3 akan menunjukkan akar yang mampu tumbuh terus dan ujung akar tidak rusak. Kekurangan unsur P pada umumnya dipicu oleh kandungan Al yang tinggi (seperti pada larutan hara Yoshida yang ditambah 45 ppm Al3+). Hal ini disebabkan terbentuknya kompleks Al-Fosfat (baik di larutan tanah maupun di dalam sel) sehingga P tidak dapat digunakan oleh tanaman. (Ryan et al. 1997).

Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 Karakter Agronomis

Berdasarkan analisis sidik ragam (Tabel 13) pada persilangan Situ Bagendit x Kasalalth, NIL-C443 menunjukkan semua perlakuan Al dan P , baik secara terpisah maupun digabung ternyata berbeda nyata untuk peubah karakter agronomis tinggi tajuk, panjang akar, jumlah anakan, bobot kering akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering total. Ini membuktikan seluruh karakter agronomis sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Al dan P. Beberapa peubah tidak berbeda nyata antar genotipe tanpa memperhatikan dosis Al dan P.

Tabel 13. Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada larutan hara Yoshida

Sumber PA TT JA BKA BKTJ BKT

BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit

Al 581,71** 93,98** 17,31** 243,91** 129,52** 180,27** P 13,02** 464,09** 320,02** 110,86** 542,78** 418,33** G 1,11 ns 14,11** 5,42** 0,62ns 0,77ns 0,45ns Blok 0,83ns 1,12ns 1,27ns 3,23* 5,90** 5,14** Al*P 43,06** 24,54** 4,33* 17,00** 7,90** 0,14ns Al*G 1,23ns 1,72ns 1,15ns 0,82ns 0,61ns 0,64ns P*G 1,41ns 1,98ns 4,21** 1,77ns 1,08ns 1,06ns Al*P*G 1,98ns 1,19ns 1,90ns 1,92ns 0,87ns 1,17ns BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 dan Situ Bagendit

Al 929,47** 524,70** 7,92** 203,10** 113,50** 157,58** P 10,38** 1504,46** 803,96** 194,01** 811,34** 605,40** G 3,81** 14,63** 1,31ns 0,86ns 1,28ns 1,00ns Blok 2,23* 3,17* 0,55ns 3,54* 5,08** 4,46** Al*P 24,38** 106,63** 5,67* 37,71** 0,58ns 4,48* Al*G 4,40** 4,52** 1,69ns 2,85* 1,51ns 1,83ns P*G 0,79ns 1,37ns 0,84ns 1,74ns 0,78ns 0,93ns Al*P*G 4,75** 1,79ns 0,97ns 0,81ns 0,68ns 0,69ns Gabungan SituBagendit x Kas, NIL dan Situ Bagendit

Al 1184,5 ** 275,49** 23,88** 416,26** 225,56** 315,09** P 19,75** 1122,55** 932,93** 268,30** 1199,3** 923,46** G 2,18* 11,79** 5,78** 2,40 ** 1,01ns 1,06ns Blok 1,23ns 2,15ns 1,55ns 5,01** 8,68** 7,38** Al*P 56,07** 66,80** 9,33** 49,05** 7,54** 0,90ns Al*G 4,00** 1,72ns 1,40ns 2,07* 1,39ns 1,54ns P*G 1,38ns 2,91** 6,09** 1,80* 0,96ns 0,97ns Al*P*G 3,33** 1,23ns 1,40ns 1,56ns 1,02ns 1,21ns Ket. : TT=Tinggi Tajuk, PA=Panjang Akar, JA=Jumlah Anakan, BKA=Bobot

kering Akar, BKTJ=Bobot kering Tajuk, BKT=Bobot kering Total

Kasalath dan NIL-C443 tidak dimasukkan ke dalam perhitungan sidik ragam. *=beda nyata pada taraf 5%, **=beda nyata pada taraf 1%, ns=tidak beda

nyata

Panjang akar

Panjang akar umumnya digunakan sebagai peubah penting dalam seleksi tanaman yang toleran terhadap keracunan Al, biasanya dilihat nilai relatif panjang akarnya (panjang akar pada x ppm Al3+ dibandingkan dengan panjang akar pada 0 ppm Al3+) (Khatiwada et al. 1996). Untuk seleksi galur-galur padi yang toleran terhadap defisiensi P peubah panjang akar belum bisa dijadikan ukuran. Terbukti Kasalath yang memiliki Pup1 mengalami tekanan pada saat kondisi cekaman Al

karena Kasalath memang tidak toleran terhadap keracunan Al. Padahal fenomena di alam unsur P selalu tidak pernah berdiri sendiri, tetapi terikat pada unsur lain.

Rata-rata panjang akar galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C443 pada kondisi tanpa cekaman Al menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan (Gambar 18). Hanya pada kondisi cekaman Al terjadi peningkatan panjang akar pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C443. Situ Bagendit dan turunannya pada kondisi tanpa cekaman Al dan kurang P cenderung menunjukkan peningkatan panjang akar dibandingkan pada kondisi cukup P. Hal ini berkaitan dengan aktivitas untuk memenuhi unsur P yang merangsang pembentukan akar. Pada kondisi tanpa cekaman Al turunan Kasalath menunjukkan aktivitas yang lebih bagus dibandingkan turunan NIL- C443, namun pada kondisi ada cekaman Al dan kurang P turunan NIL-C443 menunjukkan respon yang lebih baik.

0 Al 0,5 P 45 Al 0,5 P * * * * * * * cm 0 Al 10 P 45 Al 10 P

Gambar 18. Histogram panjang akar dan tinggi tajuk persilangan Situ Bagendit pada perlakuan larutan hara Yoshida

= panjang akar = tinggi tajuk

* = berbeda nyata dengan tetua Situ Bagendit menurut uji t-Student 5% S_P(K) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath

S_P(N) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443   0 Al 0,5 P = 0 ppm Al 0,5 ppm P (berlaku untuk yang lain)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Kasalath NIL-C443 Nipponbare Situ Bagendit S_P (K) S_P (N) Kasalath NIL-C443 Nipponbare Situ Bagendit S_P (K) S_P (N) Kasalath NIL-C443 Nipponbare Situ Bagendit S_P (K) S_P (N) Kasalath NIL-C443 Nipponbare Situ Bagendit S_P (K) S_P (N)

Kasalath pada kondisi tidak ada cekaman Al mengalami pertumbuhan panjang akar yang lebih responsif pada kondisi kurang P dibandingkan pada kondisi cukup P sesuai dengan penelitian Shimizu et al. (2004). Oleh karena itulah sifat ini dipetakan dengan menyilangkan Kasalath dengan Gimbozu dan didapatkan sifat tersebut diatur oleh QTL pada kromosom 6 pada tetua Kasalath. Namun, pada kondisi ada cekaman Al pertumbuhan akarnya menjadi sangat terhambat.

Tinggi Tajuk

Aktivitas Pup1 terhadap peubah tinggi tajuk sangat terlihat pada kondisi cekaman Al. Hampir semua galur, baik pada persilangan dengan Kasalath atau NIL-C443 memiliki tinggi tajuk melebihi tetua Situ Bagendit, berbeda halnya pada kondisi tidak ada cekaman Al (Gambar 18). Pada kondisi ada cekaman Al sebagian besar P terikat oleh Al. Galur-galur yang mengandung segmen Pup1

menunjukkan penampilan yang baik pada tinggi tajuk. Barangkali jumlah P yang didapatkan pada galur yang mengandung Pup1 jauh lebih besar dibandingkan tetuanya, sehingga pertumbuhannya lebih bagus (lihat Lampiran 6). Atau tetua Situ Bagendit dan Batur memiliki gen ketahanan terhadap Al yang membantu melepas P dari Al dan P yang terlepas ditangkap oleh tanaman. Galur-galur BC2F3 yang memiliki Pup1 memiliki keunggulan memiliki gen toleran Al dan

Pup1 itu sendiri.

Namun, peubah tinggi tajuk (atau tinggi tanaman) ini sulit digunakan sebagai peubah utama seleksi terhadap galur-galur yang toleran terhadap defisiensi P. Hal ini terbukti pada analisis sidik ragam yang menunjukkan tinggi tajuk galur-galur BC2F3 tidak berbeda nyata bila dikaitkan dengan kadar P (Tabel 13). Peubah yang biasa digunakan sebagai indikator ketahanan tanaman padi terhadap kurang P antara lain komponen hasil seperti bobot kering tanaman dan komponen hasil lainnya seperti ukuran dan sistem perakaran (Wissuwa 2003), namun jumlah anakan merupakan indikator yang paling sesuai (Wissuwa et al.

1998). Hasil penelitian ini sama seperti yang dilakukan oleh Syarif (2005), dimana rata-rata pengurangan tinggi tajuk dari kondisi cukup P (10 ppm P)

kepada kondisi kurang P (0,5 ppm P) mencapai 12% pada kondisi tanpa ada cekaman Al. Penurunan tinggi tanaman dalam penelitian ini mencapai 30%.

Jumlah Anakan

Jumlah anakan pada persilangan Situ Bagendit dalam percobaan ini sangat dipengaruhi oleh kadar P, baik pada kondisi ada cekaman Al ataupun tidak. Pada kondisi 0,5 ppm P seluruh tanaman memiliki jumlah anakan yang lebih sedikit dibandingkan pada kondisi 10 ppm P, baik pada kondisi tercekam Al atau tidak. Hal ini membuktikan kalau jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh dosis P. Hal ini sesuai dengan gejala kekurangan P pada tanaman Padi, dimana tanaman akan mengalami penghambatan pembentukan anakan pada kondisi kurang P. Hal ini juga dialami oleh tetua Kasalath dan NIL-C443. Namun ada hal yang menarik untuk dicermati, dimana ITA131 sebagai tanaman cek sensitif Al menunjukkan gejala pembentukan jumlah anakan yang luar biasa pada kondisi kondisi tanpa cekaman Al, barangkali ITA131 ini juga memiliki gen-gen yang efektif menangkap P seperti halnya Kasalath.

Bobot Kering Akar, Tajuk, dan Total

Gambar 19. Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan Situ Bagendit pada perlakuan larutan hara Yoshida

= bobot kering akar = bobot kering tajuk

* = berbeda nyata dengan tetua Situ Bagendit menurut uji t-Student 5%

0Al 0,5P = 0 ppm Al 0,5 ppm P (berlaku untuk yang lain)   gram * * * * * 0Al 0,5P 0Al 10P 45Al 0,5P 45Al 10P 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 Kasalath NIL -C44 3 N ipp on ba re St Bgdt S_P(K) S_P(N) Kasalath NIL -C44 3 N ipp on ba re St Bgdt S_P(K) S_P(N) Kasalath NIL -C44 3 N ipp on ba re St Bgdt S_P(K) S_P(N) Kasalath NIL -C44 3 N ipp on ba re St Bgdt S_P(K) S_P(N)

Bobot kering suatu tanaman merupakan salah satu peubah penting dalam seleksi terhadap galur-galur yang toleran terhadap defisiensi P. Bobot kering akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering total sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Al dan P. Pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit x NIL-C443, apabila komponen bobot kering dihubungkan dengan konsentrasi Al seluruh bobot kering memiliki nilai korelasi negatif dan nyata, artinya semakin tinggi konsentrasi Al juga akan menyebabkan penurunan bobot kering akar. Gambar 19 menunjukkan P sangat mempengaruhi bobot kering akar dan tajuk. Pada kondisi tidak ada cekaman Al, Kasalath menunjukkan penampilan yang responsif terhadap P. Galur-galur turunan Situ Bagendit pada kondisi kurang P menunjukkan peningkatan dibandingkan Situ Bagendit, namun sangat terlihat berbeda nyata bobot kering akar dan tajuknya pada kondisi kurang P dan ada cekaman Al. Hal ini menunjukkan Pup1 terlihat mempengaruhi kondisi visual tanaman pada kondisi tersebut.

Berdasarkan nilai relatif bobot kering total (Tabel 14) terlihat hampir semua genotipe BC2F3 Situ Bagendit yang diuji pada kondisi tanpa cekaman Al memiliki kisaran 35% sampai 60%. Tidak ada yang memiliki nilai di atas 80%. Pada kondisi ada cekaman Al, bobot kering total langsung menurun drastis. Berarti bobot kering total pada persilangan Situ Bagendit ini sangat dipengaruhi oleh konsentrasi Al dan P. Nilai korelasi dengan Al adalah -0,46 dan dengan P adalah 0,79 (Tabel 15). Nilai bobot kering total ini biasanya digunakan untuk melakukan skoring P. Peningkatan bobot kering total pada genotipe seiring dengan peningkatan kadar P sama seperti hasil penelitian Sudarman (2004).

Skor P pada seluruh galur-galur persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan NIL-C443 pada kondisi tanpa cekaman Al sebagian besar menunjukkan reaksi sedang, hanya ada 1 yang toleran dan 1 yang peka, sedangkan tetua yang ikut diuji seperti Kasalath malah menunjukkan reaksi peka dan Dupa menunjukkan reaksi toleran (Tabel 21). Kasalath sebagai donor Pup1 seharusnya menunjukkan reaksi toleran. Perbedaan hasil ini diduga karena perbedaan media pengujian dan peubah yang dipakai. Kasalath dianggap sebagai toleran pada kondisi P rendah saat diuji di tanah vulkanik (Humic Haplic Andosol) (Wissuwa dan Ae 2001).

Tabel 14. Rata-rata peubah bobot kering total pada persilangan Situ Bagendit dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida

Genotipe Bobot Kering Total (gram) 0 ppm Al 45 ppmAl 0,5P 10P Rltf (%) Kri- teria 0,5P 10P Rltf (%) Kri- teria Kasalath 0,38 1,19 32 Peka 0,04 0,36 11 Sngt peka

NIL-C443 0,32 0,74 43 Sedang 0,21 0,56 38 Peka

Nipponbare 0,34 0,68 50 Sedang 0,2 0,63 32 Peka Dupa 0,46 0,64 72 Toleran 0,25 0,74 34 Peka

ITA131 0,55 1,03 53 Sedang 0,12 0,45 27 Peka

Situ Bagendit 0,39 0,85 46 Sedang 0,08 0,60 13 Sgt peka BC2F3 SB x Kas-1* 0,45 0,80 56 Sedang 0,12 0,48 25 Peka BC2F3 SB x Kas-2 0,41 0,86 48 Sedang 0,12 0,46 26 Peka BC2F3 SB x Kas-3 0,32 0,94 34 Peka 0,12 0,49 25 Peka BC2F3 SB x Kas-4 0,44 0,83 53 Sedang 0,13 0,56 23 Peka BC2F3 SB x Kas-5 0,37 0,89 42 Sedang 0,13 0,66 20 Peka BC2F3 SB x Kas-6 0,42 0,8 52 Sedang 0,13 0,62 21 Peka

Rata-rata BC2F3 0,402 0,85 47 Sedang 0,13 0,55 24*** Peka BC2F3 SB x NIL-1 0,4 0,78 51 Sedang 0,19** 0,75 25 Peka BC2F3 SB x NIL-2 0,39 0,78 50 Sedang 0,15 0,65 23 Peka BC2F3 SB x NIL-3* 0,42 0,85 49 Sedang 0,16 0,65 25 Peka BC2F3 SB x NIL-4 0,44 0,98 45 Sedang 0,16 0,63 25 Peka BC2F3 SB x NIL-5 0,45 0,83 54 Sedang 0,15 0,58 26 Peka BC2F3 SB x NIL-6 0,46 0,77 60 Toleran 0,18** 0,62 29** Peka

Rata-rata BC2F3 0,43 0,83 52 Sedang 0,17*** 0,65 26*** Peka Ket. : *= individu terbaik berdasarkan analisis molekuler

**= berbeda nyata dengan tetua Situ Bagendit menurut uji Dunnet 5% ***= berbeda nyata dengan tetua Situ Bagendit menurut uji t-Student

0,5 P = 0,5 ppm P; 10 P= 10 ppm P; Rltf = relatif

Tabel 15. Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 dan tetua Situ Bagendit pada larutan hara Yoshida

Al P TT PA JA BKA BKTJ BKT 1,0 0,0ns -0,39** -0,88** -0,14** -0,65** -0,37** -0,46** Al 1,0 0,78** 0,11ns 0,85** 0,52** 0,85** 0,79** P 1,0 0,48** 0,62** 0,68** 0,81** 0,81** TT 1,00 0,2** 0,72** 0,43** 0,53** PA 1,00 0,63** 0,85** 0,81** JA 1,00 0,81** 0,9** BKA 1,00 0,98** BKTJ 1,00 BKT

Ket. : *=beda nyata pada taraf 5%, **=beda nyata pada taraf 1%, ns=tidak beda nyata Keterangan peubah dapat dilihat pada Tabel 13.

Oleh karena itulah kadang-kadang larutan hara Yoshida ini kurang banyak dipakai sebagai alat seleksi yang handal. Pada kondisi tercekam Al seluruh