• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi efek introgresi PUP1 (P Uptake1) untuk meningkatkan toleransi padi terhadap defisiensi fosfor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi efek introgresi PUP1 (P Uptake1) untuk meningkatkan toleransi padi terhadap defisiensi fosfor"

Copied!
206
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI EFEK INTROGRESI

PUP1 (P Uptake1)

UNTUK

MENINGKATKAN TOLERANSI PADI TERHADAP

DEFISIENSI FOSFOR

 

 

 

 

 

JOKO PRASETIYONO

 

 

 

 

 

   

 

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “STUDI EFEK INTROGRESI PUP1 (P Uptake1) UNTUK MENINGKATKAN TOLERANSI PADI TERHADAP DEFISIENSI FOSFOR” adalah hasil karya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di perguruan tinggi lain mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2010

Joko Prasetiyono

(3)

ABSTRACT

JOKO PRASETIYONO. Study on the effect of Pup1 (P Uptake1) introgression for increasing rice tolerancy to Phosphorus deficiency. Supervised by HAJRIAL ASWIDINNOOR, SUGIONO MOELJOPAWIRO, and DIDY SOPANDIE

Phosphorus is one of the major nutrient for plant. P-deficiency occurs in most of soil, mostly due to the bounding of P to minerals, such as Ca, Fe, and Al, therefore, P is not available for plants. Rice plant having tolerance to P-deficiency is very important, because it can decrease the input of P fertilizer, lime, and organic matter. Genes related to P uptake had been mapped (Pup1/P Uptake 1) and some molecular markers for selection purposes have already been developed. Activities for introgression of Pup1 into Indonesian modern rice varieties were conducted to increase the yield and to observe effect of Pup in the Indonesian varieties. Pup1 from Kasalath and NIL-443 was introgressed into Situ Bagendit and Batur, through conventional breeding (backcross method). They are Situ Bagendit x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath, and Batur x NIL-C443. Their progenies were selected using molecular markers (spesific markers for Pup1 and SSR markers). This experiments were conducted in Indonesia and IRRI (Philippines) since August 2006 up to June 2009. Development of Pup1 lines were conducted using foreground, recombinant, dan background markers up to BC2F3 lines for each crossing. Based on molecular analysis, genotype condition of Pup1 locus indicated homozygote locus for all of BC2F2 selected lines, and this result was also found in the subsequent generation. Small part of donor segment (Kasalath or NIL-C443) still remaining in the BC2F3 lines in different location, so it will influence plant performance. These donor parent segment were 1.6 – 2.6 % of genome total lenght of rice genome. Testing on BC2F3 lines were performed using 3 methods : nutrient solution (0.5 ppm P and 10 ppm P under 0 ppm Al and 45 ppm Al), Ultisol soil from Kentrong Village (2 kg P/ha and 25 kg P/ha), and field experiment at Taman Bogo, Lampung (no P fertilizer and add P fertilizer). The results showed that many variation of agronomic characters at each BC2F3 lines occurs for each experiment, but effect of Pup1 on agronomic characters can be clearly detected on less P compared with adequate P. Pup1 on BC2F3 lines influenced on the increasing of plant dry weight compared the parent, but tend to decrease on generative phase (especially weight of filled grain/plant), eventhough some lines showed better performance than their parent on both, dry weight and the weight of filled grain/plant. For further experiment, the BC2F3 lines had been selected at Taman Bogo field experiment, Lampung, by individual plant.

(4)

RINGKASAN

JOKO PRASETIYONO. Studi efek introgresi Pup1 (P Uptake1) untuk meningkatkan toleransi padi terhadap defisiensi fosfor. Dibimbing oleh : HAJRIAL ASWIDINNOOR, SUGIONO MOELJOPAWIRO, dan DIDY SOPANDIE

Defisiensi P biasanya terjadi pada hampir semua jenis tanah, karena kebanyakan P dalam kondisi terikat oleh unsur-unsur lain, seperti Ca, Fe, dan Al, sehingga P yang tersedia untuk tanaman menjadi sedikit. P merupakan salah satu unsur utama bagi pertumbuhan tanaman padi, sehingga kekurangan P akan mengurangi jumlah anakan dan produksi bulir padi. Tanaman padi yang toleran terhadap defisiensi P dapat mengurangi input tambahan seperti pemupukan P, kapur, dan bahan organik. Input ini memerlukan biaya yang besar, dan barangkali tidak terjangkau oleh petani kecil. Pada saat ini gen-gen yang terkait dengan penangkapan P (dinamakan Pup1/P Uptake1) telah dipetakan dengan baik dan telah dibuat marka-marka yang spesifik untuk lokus tersebut. Pup1 ini disinyalir dapat merangsang pembentukan akar yang lebih banyak pada kondisi kurang P dibandingkan jenis padi yang lain.

Oleh karena itulah dilakukan penelitian memasukkan segmen Pup1 ke dalam padi Indonesia dengan persilangan biasa dan seleksi menggunakan marka molekuler . Penelitian ini dilakukan di Indonesia dan IRRI dari bulan Agustus 2006 s.d. Juni 2009. Tetua yang digunakan sebagai sumber Pup1 adalah Kasalath dan NIL-C443 sedangkan tetua Indonesia sebagai tetua penerima adalah Situ Bagendit dan Batur, sehingga didapatkan kombinasi persilangan Situ Bagendit x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath, dan Batur x NIL-C443. Metode persilangan yang digunakan adalah silang balik (backcross), dan seleksi setiap individu hasil persilangan menggunakan primer foreground,

recombinant, dan background. Marka yang digunakan adalah marka spesifik untuk Pup1 sebagai marka foreground, dan marka mikrosatelit (SSR) sebagai marka recombinant dan background. Seleksi dilakukan sejak tanaman F1 sampai tanaman BC2F2, sehingga didapatkan lokus Pup1 dalam kondisi homozigot. Lokus yang homozigot ini diperkirakan tidak akan berubah lagi untuk generasi berikutnya. Uji fenotipik menggunakan galur-galur BC2F3 dilakukan dengan menggunakan larutan hara Yoshida, perlakuan pemupukan pada tanah PMK (Podsolik Merah Kuning) dari Desa Kentrong, dan perlakuan pemupukan di lapangan (KP Taman Bogo, Lampung).

Analisis molekuler yang dilakukan dengan menggunakan marka

(5)

Kasalath diperkirakan sebesar 48,2 cM (2,6%). Segmen Nipponbare (dari NIL-C443) yang masih tertinggal pada individu terbaik BC2F2 persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 diperkirakan sebesar 35,16 cM (1,96%), sedangkan Batur x NIL-C443 diperkirakan sebesar 28,8 cM (1,61 %).  

Pengujian galur-galur BC2F3 dilakukan dengan menggunakan larutan hara Yoshida pada 2 dosis P, yakni 0,5 ppm P dan 10 ppm P, dimana keduanya dilakukan dalam kondisi tidak tercekam Al (0 ppm Al) dan tercekam Al (45 ppm Al). Hasil percobaan menunjukkan terdapat peningkatan nilai karakter agronomis (kecuali panjang akar) pada galur-galur BC2F3 seiring dengan peningkatan kadar P, baik pada kondisi 0 ppm Al dan 45 ppm Al. Skoring P berdasarkan bobot kering total menunjukkan kriteria bervariasi dari peka, sedang, dan toleran (kebanyakan sedang) pada galur-galur BC2F3 pada kondisi tanpa cekaman Al, namun semua galur BC2F3 yang diuji menunjukkan reaksi peka terhadap defisiensi P pada kondisi tercekam 45 ppm Al. Nilai rata-rata bobot kering total galur-galur BC2F3 pada kondisi kurang P (baik ada cekaman Al maupun tidak) menunjukkan peningkatan respon pada kondisi kurang P dibanding tetuanya (Situ Bagendit dan Batur), membuktikan Pup1 telah memberi pengaruh positif pada galur-galur keturunan Situ Bagendit dan Batur. Nilai kadar P dan turunannya (TSP, REP, EPP, dan ESP) menunjukkan peningkatan pada kondisi kurang P dibanding tetuanya, sedangkan REP dan EPP cenderung menurun pada kondisi kurang P. Bobot kering total dan bobot kering akar pada kondisi kurang P (0,5 ppm P) dapat digunakan sebagai peubah utama untuk memilih galur-galur baru yang toleran terhadap defisiensi P menunjukkan Pup1 memberikan pengaruh positif pada galur-galur BC2F3.

Pengujian menggunakan tanah Podsolik Merah Kuning dari Desa Kentrong (Jawa Barat) dilakukan dengan perlakuan 2 kg P/ha sebagai perlakuan kurang P dan 25 kg P/ha sebagai perlakuan cukup P. Hasil percobaan menunjukkan kondisi yang sangat ekstrim untuk percobaan P. Pada perlakuan kurang P (dosis 2 kg P/ha) hampir semua individu BC2F3 menunjukkan tekanan pertumbuhan, sehingga nilai karakter agronomisnya menurun, tidak ada yang melebihi tetuanya. Namun, pada kondisi cukup P (25 kg P/ha) terjadi peningkatan respon pertumbuhan. Hal ini menunjukkan tanah PMK dari Desa Kentrong memiliki tingkat kesuburan yang sangat rendah, sehingga bisa dipakai untuk skreening plasma nutfah padi untuk sifat defisiensi P yang sangat ekstrim. Walaupun secara umum tanaman tidak menunjukkan penampilan yang baik dibandingkan tetuanya, namun terdapat beberapa galur BC2F3 yang menunjukkan penampilan lebih baik dibanding tetua Situ Bagendit baik pada kondisi kurang P ataupun cukup P.

(6)

menunjukkan efek yang positif terhadap terhadap kondisi defisiensi P pada lahan tersebut.

  Berdasarkan ketiga metode yang digunakan pada 6 galur BC2F3 terpilih, terlihat tidak ada konsistensi data untuk nomor galur yang sama pada ketiga metode tersebut setelah diuji dengan uji Dunnet 5%. Oleh karena itu dibuat tabel yang memuat tabulasi galur-galur yang diuji pada beberapa peubah penting dalam penelitian defisiensi P. Berdasarkan penjumlahan galur yang melebihi tetuanya (kurang dan cukup P), terlihat jumlah galur yang nilai agronomisnya melebihi tetuanya pada kondisi kurang P jauh lebih banyak dibandingkan dengan pada kondisi cukup P, menunjukkan ekspresi Pup1 terlihat jelas pada kondisi kurang P dibandingkan cukup P. Berdasarkan tabulasi total dari karakter-karakter penting terlihat persilangan dengan Batur (Batur x Kasalath, Batur x NIL-C443) menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan persilangan dengan Situ Bagendit.

Seleksi galur-galur BC2F3 untuk kegiatan selanjutnya dilakukan secara individual (per tanaman) yang telah dilakukan pada percobaan lapang di Lampung. Pada tanaman BC2F3 ini segmen Pup1 diasumsikan tetap dalam kondisi homozigot, walaupun lokus-lokus lain masih terjadi segregasi. Hal ini terlihat jelas pada saat tanaman ditanam di lapangan (KP-Taman Bogo), dimana galur-galur yang berasal dari turunan Kasalath memiliki tinggi tanaman yang tidak seragam dalam 1 nomor, sedangkan turunan dari NIL-C443 memiliki tinggi tanaman yang relatif seragam. Penelitian ini masih terus berlanjut untuk memilih satu galur terbaik yang diharapkan bisa membawa perubahan dalam pertanian di Indonesia. Dengan melihat beberapa hasil percobaan yang telah dilaksanakan, barangkali pemberian pupuk P bisa dikurangi sampai 0,5 dosis dari sekarang dengan memberikan hasil yang sama, atau bahkan lebih tinggi dari yang sudah ada. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut dan berkesinambungan.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

STUDI EFEK INTROGRESI

PUP1 (P Uptake1)

UNTUK

MENINGKATKAN TOLERANSI PADI TERHADAP

DEFISIENSI FOSFOR

JOKO PRASETIYONO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Agronomi

 

 

 

 

 

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Sobir, M.S.

2. Dr. Sintho Wahyuning Ardie, SP, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Suwarno, M.S.

(10)

 

 

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof . Dr . Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 29 Juli 2010 Tanggal Lulus :

Judul Disertasi : Studi Efek Introgresi Pup1 (P Uptake1) untuk Meningkatkan Toleransi Padi Terhadap Defisiensi Fosfor Nama : Joko Prasetiyono

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala pertolongan-Nya sehingga penelitian dan karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2006 ini ialah masalah defisiensi Fosfor, dengan judul “Studi efek introgresi Pup1 (P Uptake1)

untuk meningkatkan toleransi padi terhadap defisiensi fosfor

”.

Disertasi ini memuat 5 bab penelitian, yang mana bab yang berjudul “Identifikasi Marka Polimorfik untuk Pemuliaan Padi Toleran Defisiensi Fosfor” telah diterbitkan di dalam Jurnal Agro Biogen (Volume 4 Nomor 2, Oktober 2008), sementara keempat bab lainnya telah ditampilkan dalam beberapa poster yang telah dipamerkan pada beberapa event internasional. Disertasi ini merupakan bagian dari penelitian yang didanai oleh Proyek Generation Challenge Programme, sejak tahun 2005 sampai 2010.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc., Bapak Dr. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Didy Sopandie, M.Agr., selaku komisi pembimbing. Dr. Munif Ghulamahdi, M.S. selaku Ketua Program Studi Agronomi. Dr. Abdelbagi M. Ismail, Dr. Sigrid Heuer, dan Dra. Masdiar Bustamam,M.Sc. selaku penyandang dana sekolah dan penelitian. Di samping itu kepada Dr. Matthias Wissuwa dan Dr. Joong Hyoun Chin yang telah banyak membantu dalam diskusi penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan ke Dr. Sutrisno dan Dr. Karden Mulya (Kepala BB-Biogen) dan Dr. Achmad Suryana (Kepala Badan Litbang Pertanian) yang telah mengijinkan penulis melaksanakan tugas belajar ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada anggota Tim GCP-Indonesia lainnya: Dr. Ida Hanarida, Dr. Sarlan Abdurrahman, Ir. Tintin Suhartini, Fajar Suryawan, Mahruf, dan Iman Ridwan yang telah banyak membantu dalam kegiatan penelitian. Terakhir, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, anak, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan semangatnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2010

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 6 Januari 1972 sebagai anak bungsu dari pasangan Sandi dan Seniyem. Pendidikan sarjana di Program Studi Pemuliaan Tanaman, Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada diperoleh pada tahun 1995. Pada tahun 2000 penulis diterima di Program Studi Bioteknologi pada Program Pasca Sarjana IPB dan tamat pada tahun 2003. Pada tahun 2005 penulis diterima di Program Studi Agronomi Sekolah Pasca Sarjana IPB, dimana biaya sekolah dan penelitian diperoleh dari Proyek Generation Challenge Program.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Balai Besar Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian sejak tahun 1996 dan ditempatkan di Kelompok Peneliti Biologi Molekuler dan menekuni bidang marka molekuler untuk pemuliaan tanaman, terutama tanaman padi, sejak tahun 1996 sampai sekarang.

Selama mengikuti program S3, penulis mendapat kesempatan “on the job training” selama 3 bulan di IRRI melalui GCP Travel Grant Awards. Satu karya ilmiah telah diterbitkan pada jurnal Agro Biogen (2008), dan tiga buah poster yang memuat perkembangan penelitian telah ditampilkan dalam event internasional, yakni: (i) Generation Challenge Programme Annual Research Meeting (GCP-ARM), tanggal 12-16 September 2007 di Benoni, Afrika Selatan, (ii) GCP Annual Research Meeting, tanggal 16-20 September 2008, di Bangkok, Thailand, dan (iii) 6th International Rice Genetic Symposium, 16-19 Nopember 2009 di Manila, Philipina.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

GLOSSARY... xix PENDAHULUAN Latar Belakang... Tujuan Penelitian... Strategi Penelitian... 1 4 4 TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Unsur P pada Tanaman... Mekanisme Toleransi Terhadap Defisiensi P...

Perkembangan Marka Molekuler untuk Pemuliaan Tanaman ... Mengenal Pup1 (P uptake 1)...

7 9 10 15

IDENTIFIKASI MARKA POLIMORFIK UNTUK PEMULIAAN PADI TOLERAN DEFISIENSI FOSFOR

Abstrak... Abstract... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan... Simpulan... Daftar Pustaka... 23 23 24 25 26 33 33 APLIKASI MARKA MOLEKULER UNTUK SELEKSI

GALUR-GALUR PUP1 HASIL PERSILANGAN SITUBAGENDIT DAN BATUR

Abstrak... Abstract... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan... Simpulan... Daftar Pustaka... 35 35 36 37 42 61 61 PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3-PUP1 MENGGUNAKAN

LARUTAN HARA YOSHIDA

(14)

Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan... Simpulan... Daftar Pustaka...

65 67 88 89 PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3-PUP1 MENGGUNAKAN

TANAH PODSOLIK MERAH KUNING

Abstrak... Abstract... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan... Simpulan... Daftar Pustaka...

91 91 92 93 94 117 117 PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3-PUP1 DI LAPANGAN

Abstrak... Abstract... Pendahuluan... Bahan dan Metode... Hasil dan Pembahasan... Simpulan... Daftar Pustaka...

120 120 121 122 123 141 141

PEMBAHASAN UMUM... 144

SIMPULAN DAN SARAN... 152

DAFTAR PUSTAKA... 154

(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Perbandingan marka RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit... 13 2 Gen-gen yang diduga berperan dalam mekanisme toleransi terhadap

defisiensi P pada Kasalath... 21 3 Primer-primer yang digunakan untuk seleksi foreground dan

recombinant

25 4 Skoring hasil amplifikasi enam tetua menggunakan primer utama... 28 5 Hasil tabulasi polimorfisme pada 9 kombinasi persilangan dengan

menggunakan 489 primer mikrosatelit untuk seleksi background... 32 6 Marka-marka yang digunakan dalam seleksi tanaman F1, BC1F1, BC2F1,

dan BC2F2... 38 7 Jumlah benih yang dihasilkan tiap generasi ... 42 8 Jumlah tanaman yang dipakai untuk analisis molekuler menggunakan

primer foreground dan recombinant... 45 9 Tabulasi seleksi background untuk persilangan Situ Bagendit x

Kasalath... 56 10 Tabulasi seleksi background untuk persilangan Situ Bagendit x

NIL-C443... 57 11 Tabulasi seleksi background untuk persilangan Batur x Kasalath... 58 12 Tabulasi seleksi background untuk persilangan Batur x NIL-C443... 59 13 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada larutan

hara Yoshida... 69 14 Rata-rata peubah bobot kering total pada persilangan Situ Bagendit

dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 74 15 Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath,

NIL-C443 dan tetua Situ Bagendit pada larutan hara Yoshida ... 74 16 Rata-rata peubah rasio efisiensi P pada persilangan Situ Bagendit

dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 77 17 Rata-rata peubah efisiensi penggunaan P pada persilangan Situ Bagendit

dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 78 18 Rata-rata peubah efisiensi serapan P pada persilangan Situ Bagendit

dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 79 19 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Batur pada larutan hara

Yoshida... 80 20 Rata-rata peubah bobot kering total pada persilangan Batur dengan dua

dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 84 21 Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Batur x Kasalath,

NIL-C443 dan tetua Situ Bagendit pada larutan hara Yoshida... 84 22 Rata-rata peubah rasio efisiensi P pada persilangan Batur dengan dua

dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 86 23 Rata-rata peubah efisiensi penggunaan P pada persilangan Batur

dengan dua dosis P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 87 24 Rata-rata peubah efisiensi serapan P pada persilangan Batur dengan dua

(16)

25 Hasil analisis tanah PMK dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas,

Kabupaten Lebak, Propinsi Banten... 95 26 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada tanah

PMK Desa Kentrong... 96 27 Rata-rata peubah jumlah anakan produktif dan bobot kering total pada

persilangan Situ Bagendit dengan dua dosis pemupukan pada tanah

PMK Desa Kentrong... 98 28 Rata-rata jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan jumlah gabah

total/tanaman persilangan Situ Bagendit pada tanah PMK Desa

Kentrong... 103 29 Nilai korelasi antar peubah komponen agronomis persilangan Situ

Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong... 104 30 Rata-rata peubah rasio efisiensi P, efisiensi penggunaan P, dan efisiensi

serapan P persilangan Situ Bagendit pada tanah PMK. Desa

Kentrong... 106 31 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Batur pada tanah PMK Desa

Kentrong... 108 32 Rata-rata jumlah anakan produktif dan bobot kering total persilangan

Batur pada tanah PMK Desa Kentrong... 109 33 Rata-rata peubah jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan jumlah

gabah total persilangan Batur pada tanah PMK Desa Kentrong... 113 34 Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Batur x Kasalath, NIL dan

tetua Batur di Rumah Kaca, BB-Biogen... 114 35 Rata-rata peubah rasio efisiensi P, efisiensi penggunaan P, efisiensi

serapan P persilangan Batur pada tanah PMK Desa Kentrong... 116 36 Hasil analisis tanah pada lokasi percobaan KP Taman Bogo, Lampung 124 37 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit di KP Taman

Bogo, Lampung... 126 38 Rata-rata peubah jumlah anakan produktif pada persilangan Situ

Bagendit di KP Taman Bogo, Lampung... 128 39 Rata-rata peubah jumlah gabah isi, jumlah gabah hampa, dan jumlah

gabah total per malai pada persilangan Situ Bagendit di KP Taman

Bogo, Lampung... 130 40 Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath,

NIL-C443 dan tetua Situ Bagendit di Taman Bogo, Lampung... 133 41 Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter

agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Batur di KP Taman Bogo,

Lampung... 134 42 Rata-rata peubah jumlah anakan produktif pada persilangan Batur di KP

Taman Bogo, Lampung... 136 43 Rata-rata peubah jumlah gabah isi/malai pada persilangan Batur di KP

Taman Bogo, Lampung... 139 44 Nilai korelasi antar peubah pada persilangan Batur x Kasalath,

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Diagram alur penelitian... 6

2 Peta keberadaan Pup1 pertama kali………. 17

3 Peta lokasi Pup1 pada kromosom 12 Kasalath berdasarkan marka RFLP... 19

4 Konversi marka RFLP ke dalam marka mikrosatelit... 19

5 Peta terbaru yang menunjukkan posisi Pup1... 20

6 Perkiraan kondisi Pup1 pada Nipponbare dan Kasalath... 20

7 Hasil amplifikasi 6 tetua menggunakan primer utama untuk seleksi foreground dan recombinant yang dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5% ... 28

8 Hasil amplifikasi 6 tetua menggunakan primer-primer mikrosatelit untuk seleksi background yang dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5%... 30

9 Perbandingan jumlah primer polimorfik pada setiap kombinasi dari 9 persilangan... 31

10 Rata-rata jumlah primer polimorfik pada setiap kromosom dari 9 persilangan... 31

11 Rata-rata persentase primer polimorfik pada setiap kromosom dari 9 persilangan... 32

12 Contoh hasil amplifikasi menggunakan primer foreground (F) dan recombinant (R) pada individu BC2F1 Situ Bagendit x NIL-C443 yang dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5%... 46

13 Contoh analisis background individu BC2F1 menggunakan primer mikrosatelit pada non-denaturing gel... 49

14 Contoh analisis background individu BC2F1 menggunakan primer mikrosatelit pada denaturing gel.... 50

15 Perkiraan grafik genotipe individu terbaik terbaik tanaman BC2F2 persilangan Situ Bagendit x Kasalath no. 960 (kiri) dan persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 no. 1256... 60

16 Perkiraan grafik genotipe individu terbaik tanaman BC2F2 persilangan Batur x Kasalath no. 1946 (kiri) dan persilangan Batur x NIL-C443 no. 2329 (kanan)... 60

17 Respon tetua padi pada berbagai kondisi P dan Al dalam larutan hara Yoshida... 67

18 Histogram panjang akar dan tinggi tajuk persilangan Situ Bagendit pada perlakuan larutan hara Yoshida... 70

19 Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan Situ Bagendit pada perlakuan larutan hara Yoshida... 72

20 Histogram Total Serapan P persilangan Situ Bagendit pada perlakuan larutan hara Yoshida... 76

(18)

22 Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan Batur pada perlakuan larutan hara

Yoshida...

83 23 Histogram Total Serapan P persilangan Batur pada perlakuan larutan

hara Yoshida... 85 24 Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan Situ

Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong... 100 25 Histogram bobot kering total dan bobot gabah isi persilangan Situ

Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong... 101 26 Histogram total serapan P persilangan Situ Bagendit pada tanah

PMK Desa Kentrong... 105 27 Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan

Batur pada tanah PMK Desa

Kentrong...

111 28 Histogram bobot kering total dan bobot gabah isi/tanaman

persilangan Batur pada tanah PMK Desa Kentrong...

112 29 Histogram total serapan P persilangan Batur pada tanah PMK Desa

Kentrong... 115 30 Histogram tinggi tanaman BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada

pengujian lapang di KP Taman Bogo, Lampung... 127 31 Histogram bobot kering tajuk dan bobot gabah isi/tanaman

persilangan Situ Bagendit pada pengujian lapang di KP TamanBogo, Lampung... 131 32 Histogram tinggi tanaman BC2F3 persilangan Batur pada pengujian

lapang di KP Taman Bogo, Lampung... 135 33 Histogram bobot kering tajuk dan bobot gabah isi/tanaman

persilangan Batur pada pengujian lapang di KP TamanBogo,

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Deskripsi varietas Situ Bagendit dan Batur... 160 2 Detil perkiraan grafik genotipe pada tanaman BC2F2 terbaik empat

persilangan... 162 3 Genotipe yang digunakan dalam pengujian di rumah kaca dan

lapangan... 174 4 Komposisi larutan hara Yoshida ... 175 5 Rumus-rumus yang digunakan dalam penelitian... 175 6 Kadar P jaringan tanaman BC2F3 pada pengujian larutan hara

Yoshida... 176 7 Kadar P jaringan tanaman BC2F3 pada pengujian larutan dengan

tanah... 178 8 Hasil analisis molekuler tetua-tetua Indonesia menggunakan

primer-primer spesifik untuk Pup1... 180 9 Korelasi antar percobaan pengujian P pada beberapa peubah penting.. 181 10 Tabulasi peubah-peubah penting hasil pengujian galur-galur BC2F3

pada larutan hara, tanah PMK, dan lapangan... 183  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(20)

GLOSSARY

Backcross : Metode persilangan dimana individu terpilih disilangkan dengan tetua pemulih

cM (centiMorgan) : Satuan yang menunjukkan pindah silang, 1 cM ≈ 250 kilo base pair

Denaturing gel : Gel poliakrilamid yang menggunakan Urea sebagai campuran, dan DNA yang dipakai dalam kondisi utas tunggal (terdenaturasi)

Ethidium bromida : Metode pewarnaan DNA dengan menggunakan bahan kimia Ethidium bromida, dimana zat kimia ini akan menyisip di antara ikatan antar basa-basa nitrogen dan berpendar saat diberi sinar UV sehingga bisa didokumentasikan

Larutan hara Yoshida : Larutan hara yang mengandung nutrisi lengkap (unsur makro dan mikro) yang dibutuhkan oleh tanaman

LOD (Logharitm of Odd) : Logaritma antara terjadinya peristiwa pindah silang dibandingkan dengan tidak terjadi pindah silang). LOD 3 berarti kemungkinan terjadi pindah silang sebanyak 1000 kali dibandingkan dengan 1 kali tidak terjadi pindah silang

Marka foreground : Marka molekuler yang terpaut sangat erat (tightly linked) dengan gen tertentu. Pada beberapa kasus bisa menggunakan marka-marka yang spesifik untuk gen/kandidat gen itu sendiri

Marka recombinant : Marka molekuler yang terletak berdekatan dengan marka foreground, terletak di ujung atas dan ujung bawah marka foreground

Marka background : Marka molekuler yang terletak di seluruh kromosom. Marka SSR/mikrosatelit dapat dipakai sebagai marka background

Marka pengapit (flanking marker)

: Dua marka yang bisa menunjukkan keberadaan (perkiraan) gen-gen untuk sifat tertentu, dimana apabila dua marka ini dipakai sebagai alat seleksi segmen gen tersebut akan selalu terbawa

Marka SSR/mikrosatelit : Marka molekuler yang dasar pembuatannya menggunakan sekuen-sekuen pendek yang berulang-ulang

Marka molekuler : Marka/penanda yang berdasarkan DNA suatu organisme

Marka morfologi : Marka/penanda yang dibuat berdasarkan kondisi morfologi, misalnya warna bunga

Mbp (Mega base pair) : Ukuran DNA berdasarkan jumlah pasang basa. Mega base pair berarti 1 juta pasang basa

(21)

kondisi utas ganda

Pemetaan QTL : Eksplorasi marka-marka yang terpaut dengan lokus-lokus yang mengatur sifat-sifat kuantitatif (QTL)

Peta genetik (genetic map)

: Pemetaan marka-marka DNA berdasarkan persilangan antara dua tanaman dengan sifat yang berbeda (mis. indica vs japonica)

Peta fisik (physical map) : Pemetaan marka-marka DNA berdasarkan sekuen DNA yang tersedia

P-starvation : Kondisi dimana tanaman selalu mengalami kekurangan P karena P yang masuk ke dalam tanaman dilokalisir/disimpan di dalam organel sel tanaman, misalnya vakuola. Kondisi tanah di sekitar tanaman sebetulnya cukup P

P-deficiency : Kondisi dimana tanaman tidak bisa mendapatkan P dari tanah karena P terikat oleh partikel tanah/unsur lain, atau kandungan P dalam tanah tidak mencukupi/kurang bagi tanaman

SAS : Program perhitungan statistik yang dapat dipakai untuk menganalisis data-data pengamatan

Silver staining : Metode pewarnaan DNA yang menggunakan perak nitrat (Silver nitrat)

QTL (Quantitative Trait Loci)

: Lokus-lokus yang mengatur sifat kuantitatif (panjang akar, tinggi tanaman, dll)

Ultisol : Salah satu jenis tanah kering masam yang sebarannya sangat luas di Indonesia. Tanah Ultisol biasa disebut dengan tanah Podsolik Merah Kuning (PMK)

(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keracunan dan defisiensi mineral merupakan masalah utama yang menghambat produksi padi di dunia, dimana di Asia sendiri sekitar 50% lahan padi mengalami kekurangan fosfor (P) (Ismail et al. 2007). Di Indonesia luas lahan kering masam mencapai 60% dari total lahan kering yang ada, atau 25% dari total luas daratan Indonesia. Menurut statistik Indonesia pada tahun 2007 luas daratan Indonesia sekitar 191.093.132 ha (BPS 2008), sehingga luas lahan kering masam Indonesia diperkirakan sekitar 47.773.283 ha. Kekurangan P merupakan masalah utama di banyak lahan pertanian, dimana petani seringkali kesulitan mencari pupuk fosfat dan sebagian besar tanah memiliki kapasitas pengikatan P yang tinggi. Kekurangan unsur P ini akan mengurangi jumlah anakan tanaman, laju pelebaran daun, dan laju produksi asimilat per luas daun (Radin dan Eidenbock 1984).

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki masalah defisiensi P akibat terjadinya pengikatan P oleh unsur-unsur seperti Al, Fe, dan Ca. Wilayah Indonesia yang termasuk daerah dengan masalah defisiensi P adalah Pulau Sumatera, Kalimantan, Irian Jaya dan sebagian Jawa. Masalah defisiensi P bisa terjadi pada hampir semua jenis tanah di Indonesia, termasuk tanah lahan kering (gogo) atau lahan sawah. Umumnya lahan kering di Indonesia didominasi oleh tanah Podsolik Merah Kuning (Ultisol), dimana masalah utama yang dihadapi adalah kelebihan unsur Al. Unsur Al inilah yang akan mengikat P sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Sebagian lahan kering termasuk lahan berkapur memiliki kelebihan Ca yang akan mengikat P sehingga tidak tersedia. Pada lahan masam berupa sawah yang tergenang air unsur Fe yang dominan mengikat P.

(23)

Indonesia. Berdasarkan potensi lahan yang cukup besar maka pengembangan tanaman padi yang toleran terhadap defisiensi P masih sangat besar. Apabila didapatkan tanaman padi yang toleran terhadap defisiensi P maka diharapkan akan dapat ditanam di wilayah-wilayah tersebut.

Penggunaan varietas padi yang toleran terhadap defisiensi P pada tanah-tanah marginal merupakan pilihan yang strategis daripada mengubah kondisi lahan tersebut dengan pengapuran dan pemupukan yang seringkali tidak praktis dan tidak ekonomis dan bahkan dapat mengancam pertanian berkelanjutan. Varietas padi yang toleran terhadap defisiensi P tidak saja harus memiliki kemampuan untuk memperoleh P yang lebih besar (efisiensi eksternal) tetapi juga dapat menggunakan P yang diserap secara lebih efisien (efisiensi internal), sehingga mampu mencegah pengaruh kekurangan hara. Efisiensi eksternal dapat ditingkatkan melalui perkembangan akar yang lebih baik atau dengan peningkatan eksudasi asam organik. Sedangkan efisiensi internal dapat ditingkatkan melalui pembagian P dalam tanaman (remobilisasi) dan penggunaan P pada tingkat seluler, yaitu melalui kompartemensasi P pada intraseluler, penggunaan bentuk senyawa kimia P, seperti P anorganik, P lemak, P gula, P asam nukleat dan efisiensi metabolisme P (Schachtman et al. 1998)

Seleksi genotipe-genotipe yang toleran terhadap defisiensi P sudah banyak dilakukan peneliti terdahulu. Seleksi ini biasanya dilakukan langsung di lapangan, di rumah kaca dengan tanah yang diberi perlakuan P, atau di dalam larutan hara. Penelitian untuk menyeleksi galur-galur padi yang efisien dalam menyerap P telah banyak dilakukan, bahkan IRRI telah mulai melakukan penelitian ini pada tahun 1971 dan 1976. Beberapa galur telah dipilih sebagai material persilangan, di antaranya Kasalath, padi lokal (landrace) yang berasal dari India. Genotipe ini memiliki sifat toleran terhadap defisiensi P, dimana ketika disilangkan dengan Nipponbare (varietas dari Jepang yang sensitif terhadap defisiensi P) memberikan peningkatan penangkapan P (P-uptake) sebesar 170% dan peningkatan hasil jumlah bulir sebesar 250% pada kondisi kurang P dengan memanfaatkan sifat toleran defisiensi P dari Kasalath tersebut (Wissuwa dan Ae 2000).

(24)

marker assisted breeding/MAB (Andersen dan Lubberstedt 2003). Bila satu marka sudah teridentifikasi, maka marka tersebut dapat digunakan secara langsung untuk memilih alel-alel yang diinginkan dan dapat dipakai untuk mengikuti segregasi alel-alel tersebut di dalam populasi persilangan. Sampai saat ini beberapa gen penting dalam daerah QTL (Quantitative Trait Loci) telah diidentifikasi dalam tanaman (Paran dan Zamir 2003).

Penelitian yang mengeksplorasi keberadaan gen-gen yang mengatur toleransi terhadap defisiensi P sudah dimulai pada satu dekade terakhir. Publikasi pertama yang melaporkan eksplorasi marka yang terpaut dengan sifat defisiensi P pada padi dilaporkan oleh Wissuwa et al. (1998) pada persilangan Nipponbare (sensitif) dan Kasalath (toleran) dengan menggunakan marka RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Peneliti lain juga menggunakan marka molekuler untuk memetakan gen yang mengatur toleransi terhadap defisiensi P, di antaranya Ni et al. (1998) dan Hu et al. (2001). Wissuwa et al. (2001, 2002) melanjutkan studi toleransi terhadap defisiensi P dengan mempersempit posisi

Pup1 (P uptake1) pada kromosom 12 dengan jarak 3 cM. Marka RFLP yang sulit dalam pengerjaannya dikonversi ke dalam marka mikrosatelit yang relatif mudah pengerjaannya. Pada waktu ini Pup1 sudah dipetakan secara lebih baik dalam jarak 0,6 cM dan pemetaan fisik sekarang menempatkan Pup1 dalam sekuen 240 kb dalam tiga klon BAC (Bacterial artificial chromosome). Posisi Pup1 telah diidentifikasi dan didapatkan kira-kira 30an kandidat gen yang diduga terlibat dalam pengaturan Pup1 ini.

(25)

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi polimorfisme primer-primer mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom padi antara tetua penerima (Dodokan, Situ Bagendit, Batur) dengan tetua donor (Kasalath, NIL-C443).

2. Mendapatkan galur-galur turunanan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 dan Batur x Kasalath, NIL-C443 yang mengandung Pup1 melalui pendekatan marka molekuler dan uji fenotipik.

3. Melihat pengaruh introgresi Pup1 pada padi unggul Indonesia dalam meningkatkan ketahanan terhadap defisiensi P.

Strategi Penelitian

1. Melakukan pengujian pada 16 varietas padi gogo Indonesia menggunakan tanah Ultisol (Podsolik Merah Kuning) dari Sitiung (Sumatera) dan larutan hara untuk melihat respon masing-masing varietas terhadap defisiensi P (penelitian kelompok).

2. Melakukan analisis molekuler terhadap 16 varietas padi gogo Indonesia yang diduga sensitif terhadap defisiensi P dan 4 tetua padi dari IRRI (Kasalath, NIL-C443, K36-5-1-1, dan K36-3-1-1) sebagai sumber Pup1 dengan beberapa marka-marka pengapit untuk Pup1 (RM277, RM28102, RM1261, SSR3, RM260, RM511, dan RM519). Dodokan, Situ Bagendit dan Batur memberikan hasil polimorfik bila dibandingkan dengan tetua IRRI dan tetua tersebut sensitif terhadap defisiensi P berdasarkan percobaan lapang dan rumah kaca, sehingga dipilih sebagai tetua penerima Pup1 (penelitian kelompok). 3. Melakukan analisis molekuler menggunakan sekitar 500 primer mikrosatelit

yang tersebar diseluruh kromosom dengan menggunakan tetua terpilih dan tetua donor. Primer-primer yang polimorfis untuk masing-masing persilangan digunakan sebagai primer untuk seleksi background. Primer-primer yang polimorfis ditabulasi dan dipilih berdasarkan jarak antar primer (Tiap 10-15 cM dipilih 1 primer polimorfik) (kegiatan 1).

(26)

Kasalath (20 nomor), BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 (20 nomor), BC2F3 Batur x Kasalath (20 nomor), dan BC2F3 Batur x NIL-C443 (20 nomor) (kegiatan 2).

5. Melakukan seleksi dengan marka molekuler untuk tiap generasi sejak dari tanaman F1. Pada tanaman F1 hanya digunakan 2 marka tiap persilangan. Pada tanaman BC1F1, BC2F1, dan BC2F2 seleksi dilakukan dalam dua tahap, yakni seleksi pertama menggunakan primer foreground (1-2 primer) dan primer primer recombinant (2 primer). Jumlah individu yang digunakan untuk masing-masing persilangan adalah 300 nomor. Setelah itu dipilih 20 tanaman tiap persilangan dan dilakukan analisis molekuler menggunakan marka-marka mikrosatelit yang tersebar di seluruh kromosom. Pada tanaman BC1F1 dan BC2F1 hanya ada 1-2 tanaman yang dipilih untuk disilangbalikkan dengan tetua pemulih berdasarkan hasil tabulasi primer-primer background. Pada tanaman BC2F2 dipilih masing-masing 20 nomor untuk dilakukan seleksi background dan dilakukan tabulasi marka-marka yang memberikan hasil homosigot ke tetua pemulih. Berdasarkan tabulasi ini dipilih masing-masing 6 nomor terbaik BC2F3 (dari 20 nomor) pada setiap persilangan untuk digunakan dalam pengujian menggunakan larutan hara dan tanah dalam bak di rumah kaca (kegiatan 2).

6. Melakukan pengujian di rumah kaca dengan menggunakan larutan hara (kegiatan 3) dan tanah Ultisol (=Podsolik Merah Kuning) dari Desa Kentrong (Jawa Barat) (kegiatan 4), dengan menggunakan 6 nomor terbaik berdasarkan analisis molekuler, yakni BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath, BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443, BC2F3 Batur x Kasalath, BC2F3 Batur x NIL-C443.

7. Melakukan pengujian menggunakan seluruh galur-galur BC2F3 (masing-masing 20 nomor) di Kebun Percobaan Taman Bogo, Lampung sebagai bagian dari penelitian kelompok. Data-data dari 6 galur yang digunakan dalam pengujian di rumah kaca diambil sebagai bahan perbandingan (kegiatan 5). 8. Melakukan analisis data dari galur-galur tersebut untuk melihat efek Pup1

(27)

Deskripsi varietas Situ Bagendit dan Batur dapat dilihat dalam Lampiran 1. Adapun skema penelitian secara garis besar dapat dilihat dalam Gambar 1.

   

Gambar 1. Diagram alur penelitian Pemilihan tetua Indonesia berdasarkan uji

larutan hara, tanah, dan molekuler (Penelitian Kelompok)

Persilangan tetua Indonesia (Situ Bagendit dan Batur) dengan tetua

donor (Kasalath dan NIL-C443) Persilangan dengan metode konvensional, sedangkan seleksi dengan marka molekuler (marka

foreground, recombinant, dan

background) (Kegiatan 2)

Situ Bagendit Batur (Dodokan)

F1, BC1F1, BC2F1, BC2F2, dan BC2F3

Situ Bagendit x Kasalath Situ Bagendit x NIL-C443 Batur x Kasalath

Batur x NIL-C443

Pengujian galur-galur BC2F3

- Larutan hara Yoshida (Kegiatan 3)

- Tanah PMK Desa Kentrong (Kegiatan 4) - Tanah PMK KP TamanBogo (Kegiatan 5)

Galur-galur Pup1 terpilih Informasi ekspresi Pup1

Survey polimorfisme primer-primer

(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Unsur P pada Tanaman

Fosfor (P) merupakan unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman tetapi jumlahnya tidak berlimpah dalam tanah sebagaimana N dan K. P total dalam permukaan tanah bervariasi antara 0,005 - 0,15%. Tidak semua P dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tanaman karena sebagian diikat oleh unsur lain. Tanaman menyerap P dari larutan tanah dalam bentuk ortofosfat primer dan sekunder (H2PO4- dan HPO42-) dan sedikit dalam bentuk senyawa organik. Penyerapan P oleh tanaman dari tanah terdiri dari dua cara yakni aliran massa dan difusi. Aliran massa ini merupakan pergerakan ion mengikuti pergerakan air menuju akar yang terjadi sebagai akibat transpirasi. Pergerakan secara difusi merupakan mekanisme pergerakan P menuju akar karena perbedaan konsentrasi. Difusi P sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor tanah yakni kadar air tanah, kapasitas penyangga P tanah, suhu, dan bentuk lintasan difusi (Havlin et al. 1999).

Sumber P dalam tanah terdiri dari dua macam yaitu P organik dan P anorganik. P organik meliputi 15% dari total P, sedangkan P anorganik mencapai 85%. P organik berasal dari bahan-bahan asal tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme yang telah mati. Bahan P anorganik berasal dari pupuk, rock phosphate (fosfat alam), phosphoric acid, calcium orthophosphate, amonium phosphate, amonium polyphosphate, dan potassium phosphate. Ketersediaan P bagi tanaman tergantung pada mineral tanah (ikatan Fe/Al/Ca terhadap P), pH tanah, efek kation, efek anion, kelimpahan P, bahan organik, waktu dan temperatur, dan genangan (Havlin et al. 1999)

Fungsi P pada tanaman menurut Marschner (1995) dan Havlin et al. (1999) antara lain :

1. Sebagai penyusun struktur makromolekul dalam asam nukleat (DNA dan RNA), nukleotida, fosfoprotein, fosfolipid, dan fosfat gula. Asam nukleat adalah senyawa yang berperan dalam pewarisan sifat dan perkembangan tanaman, sehingga tanpa unsur P proses ini akan mengalami gangguan. 2. Sebagai salah satu unsur penyusun biomembran, yakni membentuk

(29)

atau alkohol), membentuk fosfatidilkolin (lesitin) yang menjaga integritas membran.

3. Sebagai sumber penyimpan dan transfer energi dalam bentuk ATP (Adenosine triphosphate), ADP (Adenosine diphosphate), dan AMP (Adenosine monophosphate). Energi yang diperoleh dari fotosintesis dan metabolisme karbohidrat disimpan dalam bentuk fosfat untuk selanjutnya digunakan dalam proses pertumbuhan dan reproduksi. Energi dalam ATP/ADP terletak pada ikatan pirofosfat yang pemecahannya akan melepaskan energi yang dikenal dengan proses Pilasi (Phosphorilasi). ATP merupakan sumber energi pada hampir semua proses biologi yang memerlukan energi.

4. Mengontrol beberapa reaksi enzim kunci. Hampir semua reaksi metabolisme selalu melewati turunan fosfat. P juga berfungsi sebagai regulator reaksi biokimia yang dapat mengaktivasi atau menginaktivasi protein yang dianggap sebagai faktor kunci dalam sinyal transduksi.

5. Pada tanaman sangat diperlukan untuk pembentukan biji dan buah. P juga sangat penting dalam pertumbuhan akar dan pemasakan buah.

(30)

Gejala pengurangan luas daun dan produksi asimilat terjadi pula pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) bila kekurangan P (Rodriquez 1998c).

Mekanisme Toleransi Terhadap Defisiensi P

Secara umum adaptasi tanaman pada kondisi defisiensi P dilakukan melalui mekanisme peningkatan penyerapan dan efisiensi penggunaan P dalam tanaman. Peningkatan penyerapan P dari tanah dilakukan tanaman dengan membuat sejumlah perubahan morfologi, fisiologi, biokimia dan molekuler dalam merespon pertumbuhan di bawah kondisi defisiensi P. Hal ini meliputi perubahan morfologi dan arsitektur akar, akumulasi pigmen antosianin, sekresi

fosfomonoeterase dan asam organik ke dalam rizosfir, perubahan efisiensi penangkapan P, dan perubahan metabolisme dalam sel tanaman (Vance et al.

2002).

Penelitian terkini menyebutkan toleransi terhadap defisiensi P berbanding lurus dengan aktivitas P transporter yang membawa P ke dalam sel tanaman, seperti yang dibuktikan pada sel tanaman alfafa (Abu Qamar et al. 2005). Fosfat transporter ini jenisnya bisa berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman. Selain itu peningkatan aktivitas pompa proton juga dapat diamati pada tanaman yang toleran defisiensi P (Smith 2002). Tujuan dari perubahan ini adalah untuk meningkatkan P tersedia di dalam rizosfir, meningkatkan penangkapan P dan memelihara metabolisme tanaman. Untuk mengoptimalkan eksploitasi P di dalam tanah biasanya tanaman merespon dengan meningkatkan rasio root-shoot dan memperluas permukaan serapan.

(31)

adalah carbocylic acid (Neumann dan Romheld 1999). Pada tanaman radish

(Raphanus sativus L.) dan rape (Brassica napus L.) asam organik yang dominan adalah tartaric, malic, dan succinic acid (Zhang et al. 1997). Ektoenzim seperti asam fosfat juga dikeluarkan untuk menambah ketersediaan P tanah. Enzim

phytase dikeluarkan oleh beberapa spesies tanaman untuk menghidrolisis sodium phitat dan melepaskan P anorganik yang bisa dimanfaatkan oleh tanaman (Li et al. 1997). Alternatif lain adalah tanaman berasosiasi dengan jamur mikoriza (Rausch dan Bucher 2002). Jamur ini akan bersimbiosis dengan akar tanaman sampai menembus korteks. Hifa jamur bisa memanjang sampai jauh menembus tanah dan akan menyerap hara, termasuk P dan langsung dikirim sampai ke ujung jamur yang akhirnya bisa dimanfaatkan oleh tanaman (Bucher et al. 2001).

(32)

Perkembangan Marka Molekuler untuk Pemuliaan Tanaman

Salah satu tujuan pemuliaan tanaman adalah merakit suatu tanaman yang memiliki sifat yang lebih baik dari yang sudah ada. Perakitan tanaman baru ini dapat dilakukan dengan memasukkan gen-gen tertentu yang memiliki ketahanan terhadap sifat tertentu. Dua tahap yang umum dilakukan dalam program pemuliaan tanaman adalah membuat keragaman genetik dengan program persilangan, kemudian diikuti dengan seleksi masing-masing individu hasil persilangan yang mengandung gen yang diinginkan (Ribaut dan Betran 1999).

Seleksi secara konvensional biasanya dilakukan dengan menguji individu hasil persilangan dengan perlakuan tertentu. Individu yang toleran terhadap cekaman yang diujikan dianggap mengandung gen yang diinginkan. Seleksi secara konvensional hanya mengandalkan penampilan fenotipe saja. Padahal menurut Bennet (1993) seleksi yang berdasarkan pada fenotipe saja akan menemui kesulitan, karena lingkungan yang dibuat kadang tidak seragam, sehingga tekanan seleksi menjadi tidak merata dan akan menyebabkan kesalahan pemilihan galur yang toleran. Apabila gen-gen yang mengatur sifat tertentu bersifat aditif seleksi akan lebih sulit dilakukan karena masing-masing gen hanya menyumbang sebagian kecil dari fenotipe tersebut.

(33)

tanaman, serta menghilangkan efek gen-gen lain yang tidak diinginkan (linkage drag). Selain itu seleksi bisa digunakan untuk sifat yang heritabilitasnya rendah dan untuk melakukan seleksi sifat yang tidak boleh diujikan di lapangan (misal: patogen).

Marka molekuler mulanya dikenal dengan penanda protein yang disebut isozim. Walaupun sederhana dan murah, tetapi jumlah lokus yang dideteksi masih sangat terbatas (Causse et al. 1994). Perkembangan teknologi baru telah memanfaatkan teknologi marka DNA untuk pemetaan genetik, marka untuk pemuliaan tanaman, dan eksplorasi hubungan kekerabatan. Teknologi tersebut antara lain RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism), RAPD (Randomly Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), dan mikrosatelit (Powell et al. 1996).

(34)
[image:34.612.116.528.390.679.2]

Penggunaan marka molekuler untuk seleksi tanaman memerlukan tahapan yang panjang. Tahap awal adalah menentukan sifat apa yang akan diteliti, lalu dibuat populasi persilangan untuk mengetahui marka mana yang terpaut. Ini biasa disebut pembuatan peta genetik dan peta QTL (quantitative trait loci). Pembuatan peta genetik dan peta QTL ini memerlukan waktu yang panjang karena harus menyiapkan populasi tertentu (misal F2, F7 atau BC2F2) dan menggunakan ratusan bahkan ribuan marka molekuler. Hanya marka yang terpaut erat (tightly linkage) saja yang bisa digunakan sebagai marka seleksi. Marka ini umunya memiliki LOD (Logarithm of Odd) lebih dari 3 (Van Ooijen 1999). Marka yang terpaut bisa langsung digunakan atau bila dianggap kurang ekonomis bisa dikonversi menjadi marka lain. Misalkan RFLP yang dianggap sangat tidak ekonomis bisa dikonversi ke dalam marka STS atau mikrosatelit. Marka-marka inilah yang kemudian digunakan untuk seleksi yang terkenal dengan istilah Marker Assisted Selection (MAS) (Collard et al. 2005).

Tabel 1. Perbandingan marka RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit (Powell et al. 1996)

Karakter RFLP RAPD Mikrosatelit AFLP

Prinsip dasar hibridisasi blot DNA

amplifikasi PCR

menggunakan primer acak

amplifikasi PCR pada lokus mikrosatelit

amplifikasi PCR dgn primer acak yg terseleksi

Lokus kodominan dominan kodominan dominan

Jumlah DNA yang dibutuhkan

5-10 μg 10-25 ng 10-100 ng 50-100 ng Perlu informasi

sekuen

tidak tidak ya tidak Cara deteksi autoradiografi,

labelling biotin Dig-antiDig

ethidium

bromida eth bromida, silver staining, fluorescen

silver staining, fluorescen

Daya ulang tinggi rendah tinggi tinggi

Lokus spesifik ya tidak ya tidak

Tingkat kesulitan tinggi rendah rendah sedang Biaya operasional tinggi rendah tinggi tinggi Waktu

pelaksanaan

lama cepat sedang lama

Skoring data mudah agak sulit mudah sulit

(35)

Penggunaan MAS dalam perkembangannya dipadukan dengan program pemuliaan silang balik, sehingga terkenal dengan nama Marker Assisted Backcrossing (MABC). Menurut Ribaut dan Hoisington (1998) dengan menggunakan metode MABC, untuk mengembalikan genom tanaman 98% seperti tetua pemulih dibutuhkan dua kali silang balik, sedangkan dengan cara konvensional diperlukan 4-5 kali silang balik, bahkan lebih. Apabila diinginkan hanya satu segmen yang mengandung gen tertentu tanpa ada gangguan dari gen pengikut lain (tidak ada linkage drag) bila dilakukan secara konvensional diperlukan sampai 100 kali silang balik dan butuh waktu 50 tahun, sedangkan bila menggunakan marka molekuler cukup dilakukan sampai silang balik 2 kali saja. Hal ini sangat menguntungkan bagi dunia pemuliaan tanaman.

Perkembangan lebih lanjut dari MABC adalah digunakannya marka-marka di seluruh kromosom selain marka yang terpaut dengan gen yang diinginkan. Metode ini terkenal dengan sebutan Advanced Marker Assisted Backcrossing. Metode ini meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi hasil persilangan dengan marka yang terpaut erat dengan gen yang diinginkan (foreground selection). Foregroundselection atau seleksi foreground ini menggunakan marka yang terpaut sangat erat (tightly linkage). Pada beberapa kasus seleksi foreground

menggunakan marka-marka spesifik (biasanya marka kandidat gen). Setelah itu digunakan dua marka yang terletak berdekatan dengan marka foreground untuk meyakinkan segmen yang diinginkan sudah masuk ke dalam genom. Marka yang digunakan ini dinamakan marka recombinant. Kadang-kadang seleksi

recombinant ini tidak dilakukan (Gopalakrishnan et al. 2008). Tahap kedua adalah dengan menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar di seluruh kromosom. Tahap ini dinamakan background selection atau seleksi background. Penggunaan seleksi background ini akan lebih mempercepat pemulihan genom tetua pemulih. Individu yang menghasilkan marka-marka homozigot untuk tetua pemulih terbanyak yang dipilih untuk tahap persilangan berikutnya. Seleksi

(36)

Contoh-contoh penggunaan marka molekuler untuk tujuan MAS misalnya seleksi untuk menggabungkan sifat kualitas beras dan resistensi terhadap BLB (Bacterial Leaf Blight) pada beras Basmati (Joseph et al. 2004), MAS untuk menyeleksi gen pemulih kesuburan pada sitoplasma Triticum timopheevii yang dimasukkan ke dalam Triticum aestivum (Zhou et al. 2005), MAS pada tanaman serealia dengan menggabungkan beberapa gen resisten (Witcombe dan Hash, 2000), MAS pada tanaman kacang-kacangan (Millan et al. 2003), MAS pada tanaman ketimun (Fazio et al. 2003), MAS pada tanaman jagung (Moreau et al. 2004), MAS pada tanaman tomat (Fulton et al. 2000; dan Bernacchi et al. 1998), seleksi untuk gen gen ketahanan terhadap BLB dan gen pengatur lapisan lilin pada padi (Ramalingam et al. 2002), dan MAS untuk seleksi kualitas yang baik pada

barley (Han et al. 1997). Penggabungan beberapa gen yang mengatur ketahanan BLB pada padi juga bisa dilacak dengan marka PR106 (Singh et al. 2001; Davierwala et al. 2001). Pada pakan ternak, MAS juga dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas pakan (Hash et al. 2003). Dengan semakin banyak ditemukan marka-marka yang terpaut dengan gen-gen pengendali sifat tertentu maka penggunaan marka-marka untuk seleksi hasil persilangan semakin mudah.

Mengenal Pup1 (P uptake 1)

Penelitian yang mengeksplorasi keberadaan gen yang mengatur toleransi terhadap defisiensi P sudah dilakukan sejak tahun 1997. Kasalath dipilih sebagai tetua donor karena berdasarkan penelitian pendahuluan diketahui bahwa Kasalath memiliki ekspresi fenotipik (P uptake) lebih baik pada saat ditanam di tanah yang kurang P dibandingkan genotipe yang lain. Nipponbare termasuk tanaman yang peka terhadap defisiensi P, sehingga untuk keperluan pemetaan QTL digunakan persilangan Kasalath dan Nipponbare sebagai materi pemetaan genetik.

Kasalath merupakan padi subspesies indica (beberapa peneliti telah memasukkan Kasalath ke dalam padi subspesies aus) dan termasuk landrace

(37)

pelepasan ikatan P dengan Al (Ma et al. 2002). Pertumbuhan Kasalath juga terhambat apabila diinkubasi pada medium yang mengandung Fe-P (Ismail et al.

2005). Namun, apabila Kasalath ditanam dalam media yang memiliki faktor pengikat P yang kecil, ternyata Kasalath memiliki kemampuan menyerap P yang lebih tinggi.

Selain memiliki daya penangkapan P (P uptake) sebelum masuk ke dalam tanaman, ternyata Kasalath juga efisien dalam menggunakan P. Hal ini dibuktikan dengan penelitian introduksi gen OsPTF1 (Oryza sativa L. phosphate transcription factor), yang diklon dari Kasalath. Introduksi gen ini ke dalam padi yang sensitif defisiensi P (Nipponbare) dengan menggunakan media

Agrobacterium tumefaciens telah meningkatkan jumlah anakan, bobot kering akar dan tajuk sebesar 30% pada larutan hara, dan 20% pada media tanah (Yi et al. 2005). Hal ini membuktikan Kasalath memiliki dua mekanisme sekaligus dalam menghadapi kondisi defisien P, yakni mekanisme eksternal dan internal. Penggunaan Kasalath sebagai tetua persilangan dengan Nipponbare telah menyebabkan peningkatan penangkapan P (P uptake) sebesar 28-55% lebih tinggi dibandingkan dengan Nipponbare (Wissuwa dan Ae 2000). Pup1 yang terdapat pada Kasalath sampai saat ini berfungsi lebih baik pada kondisi kering, sehingga varietas gogo sebagai tetua penerima akan memberikan hasil yang baik.

(38)

dimana lokus ini bisa dipakai sebagai alat deteksi yang akurat. Peta QTL pertama yang dilaporkan Wissuwa et al. (1998) disajikan dalam Gambar 2.

[image:38.612.130.523.107.662.2]

Posisi Pup1

(39)

Ni et al. (1998) juga melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan 285 populasi RIL (Recombinant Inbreed Line) dari persilangan IR20 (toleran) dengan IR55178-38-9-3 (peka). Marka yang digunakan adalah 217 marka AFLP dan 26 marka RFLP. Daerah QTL untuk P didapatkan pada kromosom 12 (hasilnya mirip dengan Wissuwa et al. 1998), dimana RG69 dan RG241 terpaut dengan sifat tersebut. Hu et al. (2001) juga melaporkan telah melakukan eksplorasi marka molekuler untuk sifat toleransi terhadap defisiensi P pada padi dengan menggunakan 84 galur RIL dari persilangan IR20 x IR55178-3B-9-3. Hasil penelitiannya menunjukkan daerah QTL untuk sifat tersebut didapatkan pada kromosom 1, 6, dan 12.

Pada tahun 2001 Wissuwa melaporkan telah membuat populasi NIL (Near Isogenic Lines) dari persilangan Kasalath dan Nipponbare. Kasalath digunakan sebagai tetua donor dan Nipponbare sebagai tetua pemulih (recurrent parent) Marka RFLP C498 (kromosom 6) dan C443 (kromosom 12) digunakan untuk melakukan seleksi. Pada akhirnya didapatkan populasi NIL-C498 yang secara genetik mengandung 96% Nipponbare, sedangkan NIL-C443 mengandung 91% Nipponbare. Wissuwa et al. (2002) melanjutkan penelitian sebelumnya (Wissuwa

et al. 1998) dengan mempertajam peta QTL yang sudah dibuat sebelumnya dengan memfokuskan pada lokus Pup1 (P uptake 1), dan telah memetakannya secara lebih akurat pada kromosom 12 dengan jarak 3 cM di antara marka S14025 dan S13126 seperti disajikan dalam Gambar 3.

(40)

G124A (30.0) S10520 (40.3) S14025 (51.8) C443 (50.5) S10704 (49.3) P96 (47.9) C449 (72.5) G2140 (63.7) V124 (70.7) S13126 (55.1) S1436 (57.4) S13752 (56.0) C61722 (58.9) C901 C449 W326 C2808 G2140 C443 S10520 G124A S2572 C732 XII G124A (30.0) S10520 (40.3) S14025 (51.8) C443 (50.5) S10704 (49.3) P96 (47.9) C449 (72.5) G2140 (63.7) V124 (70.7) S13126 (55.1) S1436 (57.4) S13752 (56.0) C61722 (58.9) G124A (30.0) S10520 (40.3) S14025 (51.8) C443 (50.5) S10704 (49.3) P96 (47.9) C449 (72.5) G2140 (63.7) V124 (70.7) S13126 (55.1) S1436 (57.4) S13752 (56.0) C61722 (58.9) C901 C449 W326 C2808 G2140 C443 S10520 G124A S2572 C732 C901 C449 W326 C2808 G2140 C443 S10520 G124A S2572 C732 XII Pup1: LOD 16,5

[image:40.612.123.515.65.665.2]

R2 78,8

Gambar 3. Peta lokasi Pup1 pada kromosom 12 Kasalath berdasarkan marka RFLP (Wissuwa et al. 2002)

Gambar 4 Konversi marka RFLP ke dalam marka mikrosatelit (Collard et al. 2006) rm20 (3.2) rm453 (28..2) rm7619 (38.1) rm7003 (41.8) rm3103 (47.0) rm3246 (48.2) rm1337 (51.5) rm277 (57.5) rm1261 (61.6) rm519 (62.6) rm3326 (73.3) rm235 (102.8) IRMI 2003 Genetic map (cM) Physical map (Mb)

      Pup1 

(41)

Gambar 5. Peta terbaru yang menunjukkan posisi Pup1 (Wissuwa dalam Chin et al. 2007, poster)

[image:41.612.201.407.87.358.2]

Perkembangan terbaru dari marka-marka Pup1 ini adalah lokus yang mengatur mekanisme toleransi terhadap defisiensi P telah diklon, yakni pada ukuran 15,31-15,47 Mb. Sekuen sebesar 278 kb dari Kasalath pada daerah Gambar 6. Perkiraan kondisi Pup1 pada Nipponbare dan Kasalath (Heuer et al. 2009) Ket.: a. Tiga segmen Kasalath dalam BAC (Bacterial Artificial Chromosomes)

(K0159D02, K0322B09, K0185A05),

(42)

tersebut unik dan tidak didapatkan pada Nipponbare, diduga Pup1 terdapat di daerah tersebut. Perbandingan kondisi segmen Pup1 antara Kasalath dan Nipponbare dapat dilihat dalam Gambar 6. Berdasarkan analisis sekuen lokus

[image:42.612.130.522.334.701.2]

Pup1 antara Nipponbare dan Kasalath tidak didapatkan gen-gen yang terlibat langsung terhadap proses penangkapan P (P uptake). Hal ini terbukti tidak didapatkan proses-proses yang berhubungan dengan P uptake secara fisiologi, misalnya sekresi asam organik, panjang rambut akar, dan kepadatan akar. Oleh karena itulah mungkin lokus Pup1 meningkatkan toleransi terhadap defisiensi P dengan menggunakan mekanisme baru atau lokus tersebut mengkode gen-gen regulator yang mempengaruhi gen-gen lain (Heuer et al. 2009)

Tabel 2. Gen-gen yang diduga berperan dalam mekanisme toleransi terhadap defisiensi P pada Kasalath (Ismail et al. 2005)

No Nomor fragmen

Kemiripan sekuen gen 1 2 Hypothetical protein dan transposon

2 4 Alpha dioxygenase

3 5 DNA alpha dioxygenase

Protein copper homeostasis CutC proteins

4 7 Hypothetical protein

5 13 Hypothetical protein

6 16 Hypothetical protein

7 18 Dirigent protein

8 19 Hypothetical protein

9 21 ULP1 protease phosphatase dan transporon (all 95% identical AA)

10 22/24 PR1 like

11 26 Expressed protein

12 27 Leuchine rich repeat (LRR) protein

13 38 Kinase

14 42 Gen tidak ada dalam database 15 43 Receptor serine/threonine kinase

16 Zn-knucle

17 50 Bp 577-613 hit many chromosomes dan chloroplast DNA pada padi dan spesies lain

18 51 Zn-finger transcription factor

19 64 Hypothetical protein

20 65 Exo70 dan transposons

21 67 Wall associated kinase

20 68 Aspartyl protease

(43)

Rangkuman karakteristik Pup1 berdasarkan penelitian yang telah dilakukan adalah :

1. Tidak mengeluarkan substrat (asam organik) untuk melepas P dari bahan organik, atau ikatan Fe/Al.

2. Tidak menangkap P lebih efisien (tidak membuat akar menjadi responsif dalam menangkap P).

3. Tidak merangsang simbiosis dengan mikoriza.

4. Tidak ditemukan di genom Nipponbare (spesifik hanya terdapat di Kasalath)

5. Tanaman yang berisi Pup1 akan membentuk bobot kering akar relatif lebih tinggi pada kondisi minus P, sehingga penangkapan P menjadi lebih banyak.

6. Panjang akar tidak berhubungan dengan Pup1.

 

(44)

IDENTIFIKASI MARKA POLIMORFIK UNTUK

PEMULIAAN PADI TOLERAN DEFISIENSI P

Abstrak

Informasi polimorfisme tetua padi sangat penting dalam pemuliaan padi untuk toleransi terhadap defisiensi P. Studi untuk mengidentifikasi marka-marka polimorfik dari 6 genotipe padi telah dilakukan di lab Biologi Molekuler, Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, mulai Oktober 2006 s.d. Juli 2007. Tiga genotipe padi yang sensitif terhadap defisiensi P (Dodokan, Situ Bagendit, dan Batur) dan tiga genotipe padi yang toleran terhadap defisiensi P (Kasalath, NIL-C443, dan K36-5-1-1) dianalisis polimorfismenya menggunakan 496 marka yang mengkover seluruh kromosom padi. Tujuh primer digunakan sebagai marka foreground dan marka recombinant dan sisanya (489 marka) digunakan sebagai marka seleksi background. Hasil amplifikasi PCR dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5% dan diwarnai dengan metode silver straining. Tiga marka yang berbeda di antara tujuh marka seleksi foreground dan

recombinant diseleksi untuk masing-masing persilangan, yang mana marka-marka tersebut terpaut erat dengan Pup1 dengan jarak kurang dari 5 cM. Marka-marka tersebut adalah RM277, SSR3, RM519 (Dodokan vs Kasalath), RM277, SSR3, RM519 (Dodokan vs NIL-C443), RM28102, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs Kasalath), RM28102, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs NIL-C443), RM511, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs K36-5-1-1), RM277, RM1261, RM519 (Batur vs Kasalath), RM277, RM1261, RM519 (Batur vs NIL-C443), dan RM28102, SSR3 (Batur vs K36-5-1-1). Variasi hasil primer-primer untuk seleksi background

untuk masing-masing kombinasi persilangan didapatkan pada tiap kromosom. Primer-primer pada kromosom 4, 5, dan 12 menunjukkan polimorfisme yang paling rendah, sehingga dibutuhkan tambahan primer yang lebih banyak untuk kromosom tersebut.

Kata kunci : marka mikrosatelit, pemuliaan tanaman, defisiensi P

Abstract

(45)

colored by the silver staining method. Three different markers among the seven foreground and recombinant selection markers were selected from each crossing, which are tightly linked with Pup1 and have a distance less than 5 cM. These markers are : RM277, SSR3, RM519 (Dodokan vs Kasalath), RM277, SSR3, RM519 (Dodokan vs NIL-C443), RM277, SSR3, RM519 (Dodokan vs K36-5-1-1), RM28102, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs Kasalath), RM28102, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs NIL-C443), RM511, SSR3, RM519 (Situ Bagendit vs K36-5-1-1), RM277, RM1261, RM519 (Batur vs Kasalath ), RM277, RM1261, RM519 (Batur vs NIL-C443), and RM28102, SSR3 (Batur vs K36-5-1-1). Variations in background selection primers were found in each chromosome and in each parent combinations. Primers on chromosome 4, 5, and 12 showed the lowest polymorphisms, thus it need more primers on these chromosomes.

Keywords : microsatellite markers, rice breeding, P-deficiency

Pendahuluan

Keracunan dan defisiensi mineral merupakan masalah utama di dunia, di Asia sekitar 50% lahan padi mengalami defisiensi P. Defisiensi P merupakan masalah utama di lahan pertanian, di mana petani seringkali tidak mampu membeli pupuk fosfat dan tanah masam memiliki kapasitas pengikatan P yang tinggi (Ismail et al. 2007).

MABC (Marker Asissted Backrossing) adalah penggunaan marka molekuler yang dikombinasikan dengan persilangan silang balik dalam program pemuliaan tanaman. Perkembangan lanjut dari metode MABC ini adalah digunakannya marka-marka foreground, recombinant, dan background yang kemudian dikenal sebagai metode Advanced Marker Assisted Backcrossing

(AdvMABC). Metode ini meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah seleksi hasil persilangan dengan marka yang terpaut erat dengan gen yang diinginkan yang dinamakan seleksi foreground (foreground selection) dan seleksi recombinant

(recombinant selection). Tahap kedua adalah dengan menggunakan marka sebanyak-banyaknya yang tersebar di seluruh kromosom. Tahap ini dinamakan seleksi background (background selection). Penggunaan seleksi background akan mempercepat pemulihan genom tetua pemulih (Friscth et al. 1999).

(46)

tersebut dengan mengkonversi QTL dari penelitian sebelumnya. Pada akhirnya

Pup1 dipetakan secara lebih baik dalam jarak 0,6 cM dan pemetaan fisik sekarang menempatkan Pup1 dalam sekuen 240 kb dalam tiga klon BAC (Bacterial Artificial Chromosome). Tempat Pup1 telah diidentifikasi dan didapatkan kira-kira 30 gen (putative) yang diduga terlibat dalam pengaturan penangkapan P.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan marka-marka yang polimorfik di antara tetua padi Indonesia yang diduga sensitif terhadap defisiensi P (Dodokan, Situ Bagendit, Batur) dengan tetua padi dari IRRI yang toleran terhadap defisiensi P (Kasalath, NIL-C443, K36-5-1-1) yang digunakan dalam kegiatan seleksi hasil persilangan.

Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Rumah Kaca Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian mulai Oktober 2006 sampai dengan Juli 2007.

Bahan Penelitian

Bahan tanaman padi yang digunakan dalam penelitian berasal dari tiga varietas unggul gogo Indonesia (Dodokan, Situ Bagendit, dan Batur) dan tiga genotipe dari IRRI (Kasalath, NIL-C443 [= Nil-Pup1], dan K36-5-1-1). Ketiga varietas padi gogo yang digunakan merupakan varietas peka terhadap defisiensi unsur P, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan.

Tabel 3. Primer-primer yang digunakan untuk seleksi foreground dan recombinant Nama

Primer Kr om

Forward Reverse

RM 277 12 CGGTCAAATCATCACCTGAC CAAGGCTTGCAAGGGAAG RM 28102 12 CACTAATTCTTCGGCTCCACTTT

AGG

GTGGAAGCTCCGAGAAAGT GC

RM 1261 12 GTCCATGCCCAAGACACAAC GTTACATCATGGGTGACCCC

SSR3 12 CACCACCTGCTTGTGTGC AAACCACATTAGCCCCGATT

RM260 12 ACTCCACTATGACCCAGAG GAACAATCCCTTCTACGATC

G

RM511 12 CTTCGATCCGGTGACGAC AACGAAAGCGAAGCTGTCT

C

(47)

Total primer yang digunakan untuk penelitian ini berjumlah 496 primer, terdiri dari tujuh primer untuk seleksi foreground dan recombinant, 489 primer untuk seleksi background (sekuen 489 primer tidak ditampilkan tapi dapat dilihat dalam website http://www. gramene.org/microsat/index.html.Primer yang diguna-kan sebagai seleksi foreground dan seleksi recombinant disajikan dalam Tabel 3.

Metode Penelitian

Daun diambil dari enam tetua yang berumur sekitar dua minggu setelah berkecambah dan DNAnya diisolasi secara miniprep dengan mengacu pada metode Dellaporta (Dellaporta et al. 1983) yang dimodifikasi (Potassium asetat diganti dengan Chloroform Isoamilalkohol). Reaksi PCR dilakukan pada 20 µl volume yang mengandung 1 x bufer PCR (10 mM tris-HCl (pH 8,3), 50 mM KCl, 1,5 mM MgCl2, 0,01% gelatin), 100 µM dNTPs (dATP, dCTP, dGTP, dTTP), 0,5 µM primer (F dan R), 1 : 10 DNA, dan 1 unit taq DNA polimerase (IRRI taq).

Program PCR yang digunakan dalam penelitian ini adalah 5 menit pada suhu 94oC untuk denaturasi permulaan, selanjutnya dilakukan 35 siklus yang terdiri dari: 60 detik pada suhu 94oC untuk denaturasi, 60 detik pada suhu 55oC untuk penempelan primer, dan 2 menit pada suhu 72oC untuk perpanjangan primer. Perpanjangan primer terakhir selama 7 menit pada suhu 72oC. Hasil PCR kemudian dipisahkan menggunakan gel poliakrilamid 5%. Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining.

Primer-primer yang memberikan hasil polimorfik di antara dua tetua (satu tetua Indonesia da

Gambar

Tabel 1. Perbandingan marka RFLP, RAPD, AFLP, dan mikrosatelit (Powell et al. 1996)
Gambar 2. Peta keberadaan   Pup1 pertama kali (Wissuwa et al. 1998)
Gambar 3. Peta lokasi Pup1 pada kromosom
Gambar 6.  Perkiraan kondisi         Ket.: a. Tiga segmen Kasalath dalam BAC (
+7

Referensi

Dokumen terkait

yang ada di pesisir Bukit Batu; (2) mengungkapkan karakteristik bioturbasi yang dilakukan oleh hewan ini (3) untuk memperoleh taksiran seberapa signifikan dampak

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Tangki-1 dan Tangki-2 pada sistem TSTB memberikan respon yang stabil terhadap perubahan beban panas listrik (q e ) dan suhu arus

Adapun metodologi penelitian ini adalah membuat model steady state Heat Exchanger, kemudian mengubah model steady state menjadi model dynamic, lalu membuat model

Berbagai upaya melalui penelitian dilakukan untuk mengkaji masalah dinamika level pada sistem tangki cairan, antara lain: Aplikasi on-off control pada sistem pengendalian level

dalam 100 mM asetamida dan mempunyai aktivitas enzim yang relatif lebih baik dibandingkan isolat-isolat yang lainnya. Dari Tabel 1 tampak bahwa isolat yang mempunyai kemampuan

Tingkat pengetahuan responden mengenai kewaspadaan universal paling banyak berada pada kategori baik yaitu sebanyak 39 orang (54,93%) diikuti dengan kategori cukup

Gambaran Metode Pendidikan Kesehatan Terhadap Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Pada Remaja Di SMK N 3 Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi Tahun 2017 Sebelum

Bagi umat islam pada umumnya, buku ini dapat menjadi rujukan dalam memahami perjalanan Islam sehingga dapat meminimalisir mitos-mitos yang ada yang mengiringi sejarah kebudayaan dan