• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUJIAN GALUR-GALUR BC2F3 PUP1 MENGGUNAKAN TANAH PODSOLIK MERAH KUNING

Abstrak

Telah dilakukan pengujian pada galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 (6 galur masing-masing persilangan) dan Batur x Kasalath, NIL-C443 (6 galur masing-masing persilangan) di rumah kaca BB- Biogen, pada bulan Januari sampai dengan Juni 2009, dengan menggunakan media tanah Podsolik Merah Kuning (PMK/tanah Ultisol) yang diambil dari Desa Kentrong, Kab. Lebak, Prop. Banten. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok faktorial, dengan dua faktor (dosis pupuk dan genotipe). Dosis pupuk yang digunakan adalah 2 kg P/ha (≈ 25 kg SP18/ha) dan 25 kg P/ha (≈ 318 kg SP18/ha), sedangkan pupuk N dan K diberikan sesuai dengan rekomendasi. Tanah ditempatkan dalam bak panjang berukuran 400 cm x 80 cm dan tinggi 40 cm. Karakter agronomis diamati mulai fase vegetatif sampai panen. Kadar P diukur untuk melihat respon tanaman terhadap dosis P. Hasil percobaan menunjukkan penurunan dosis pupuk akan diimbangi dengan penurunan nilai seluruh karakter agronomis dan hasil, termasuk kadar P. Hal ini menunjukkan kondisi tanah yang digunakan dalam percobaan ini sangat ekstrim, baik kadar P ataupun unsur-unsur yang lain. Berdasarkan pengukuran jumlah anakan produktif dan bobot kering total, tidak ada satu pun galur BC2F3, baik pada persilangan Situ Bagendit atau Batur, yang memiliki nilai relatif lebih besar dari 80%, menunjukkan tidak ada yang toleran terhadap defisiensi P pada kondisi tanah tersebut. Hal ini menunjukkan tipe tanah ini cocok untuk seleksi awal pemilihan tetua yang toleran terhadap defisiensi P. Pengaruh Pup1 pada jenis tanah ini tidak bisa terlihat jelas.

Kata kunci : galur BC2F3-Pup1, SP 18, Tanah Ultisol

Abstract

Phenotypic test of BC2F3 lines derived from Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 (6 lines each crossing) and Batur x Kasalath, NIL-C443 ( 6 lines each crossing) were conducted in the greenhouse of ICABIOGRAD (Indonesian Center Biotechnology and Genetic Resources Research and Development), on January up to June 2009. This experiment used soil from Kentrong Village, Lebak City, Prov. of Banten. Design of research was random complete block design faktorial with two factors (fertilizer dosage and genotypes). Dosages of fertilizer was 2 kg P/ha (≈ 25 kg SP18/ha) and 25 kg P/ha (≈ 318 kg SP18/ha), whereas N dan K fertilizers were applied based on recommendation. Soil was placed into permanent container 400 cm x 80 cm x 40 cm (length x width x depth). Agronomic characters were observed from vegetative up to generative phase. Phosphorus content was observed to know plant response to P dosage. The result showed that decreasing of P dosage decrease the value of agronomic trait and yield component, including P content in the biomass. Based on the productive

tiller number and total dry weight, no BC2F3 lines, even on Situ Bagendit or Batur crossing, had relative value more than 80%, as well as no genotypes tolerant to P defficiency in this soil. Type of this soil is suitable for early screening of the parents for P-deficiency tolerance. Effect of Pup1 on this soil was not detected clearly.

Keywords : BC2F3-Pup1 lines, SP 18, Ultisol soil

Pendahuluan

Tanah Ultisol (atau Podsolik Merah Kuning) merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Pada umumnya tanah ini mempunyai kadar Al tinggi dan miskin kandungan bahan organik, miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar (Ca, Mg, Na, dan K), kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Prasetyo dan Suradikarta 2006). Unsur P, sebagai unsur penting bagi tanaman tersedia sangat terbatas pada jenis tanah ini. Penggunaan galur padi yang toleran terhadap kekurangan unsur P merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi nasional dengan memanfaatkan tanah ini.

Sebagian besar pupuk P yang diberikan ke dalam tanah tidak dapat digunakan tanaman karena bereaksi dengan bahan-bahan yang ada di dalam tanah, sehingga nilai efisiensi pemupukan P pada umumnya rendah hingga sangat rendah. Di Indonesia pupuk P sangat bermasalah karena bahan dasar pupuk tersebut jarang diperoleh, beragam, dan berkadar rendah, sehingga untuk mencukupi kebutuhan pupuk P sampai sekarang harus diimpor. Kondisi ini menjadikan harga pupuk P mahal dan akhirnya kurang terjangkau bagi sebagian petani (Winarso 2005).

Penggunaan galur-galur yang bisa memanfaatkan P dalam kondisi kurang akan sangat bermanfaat bagi petani. Kasalath sebagai sumber Pup1 adalah salah satu genotipe yang bisa menangkap P dan menggunakan P secara lebih efisien. Berdasarkan penelitian Wissuwa dan Ae (2001b), terjadi peningkatan penyerapan P galur-galur hasil persilangan Nipponbare dengan Kasalath, bahkan sebesar 170% dan hasilnya meningkat 250% pada kondisi kurang P.

Kasalath dan NIL-C443 sebagai sumber Pup1 digunakan sebagai tetua donor yang disilangkan dengan Situ Bagendit dan Batur dari Indonesia dalam penelitian ini. Galur-galur hasil persilangan dan seleksi molekuler tersebut perlu diuji lebih lanjut untuk menentukan galur-galur mana yang memiliki potensi toleran pada tanah dengan P rendah. Selain pengujian menggunakan larutan hara Yoshida (Sudarman 2004), penanaman langsung pada tanah yang kurang P dapat digunakan untuk menentukan toleransi galur-galur hasil persilangan terhadap defisiensi P. Pada umumnya kegiatan seleksi pada tanah umumnya dilakukan dengan menggunakan dua set percobaan, dimana satu set tidak diberi pupuk P, sedangkan satu set lainnya diberi pupuk P. IRRI (1996) menggunakan dosis 25 kg P/ha, sedangkan Wissuwa et al. (1998), Wissuwa dan Ae (2001ab) menggunakan dosis 60 kg P2O5/ha (setara dengan 13,09 kg P/ha) dalam pemberian pupuk P pada pengujian galur-galur toleran defisien P di tanah Andosol.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat respon galur-galur BC2F3 yang mengandung segmen Pup1 pada tanah PMK.

Bahan dan Metode

Kegiatan ini dilaksanakan di rumah kaca Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian, Jln. Tentara Pelajar No. 3A, Bogor, mulai Januari sampai dengan Juli 2009.

Bahan Penelitian

Materi yang digunakan adalah benih-benih BC2F3 persilangan Situ Bagendit, Batur dengan Kasalath, NIL-C443 (Lampiran 3) dan tetua Situ Bagendit, Batur, Kasalath, Nipponbare, dan NIL-C443, Sumber P yang digunakan berasal dari pupuk SP18 (Superphospate-18), dengan dosis pupuk 2 kg P/ha (setara 25 kg SP18/ha) dan 25 kg P/ha (setara 318,11 kg SP18/ha). Tanah yang digunakan adalah tanah Podsolik Merah Kuning (= Ultisol) yang diambil Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Tanah yang diambil hanya pada lapisan atas (± 20-30 cm) dan pada tempat pengambilan

tanah belum pernah dilakukan pemupukan sebelumnya. Analisis tanah lengkap dilakukan untuk mengetahui status hara tanah.

Metode Penelitian

Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok faktorial, dimana faktor pertama adalah dosis pemupukan (dua dosis), dan faktor kedua adalah galur-galur terpilih (29 genotipe). Seluruh perlakuan diulang 3 kali. Pupuk dasar diberikan kepada seluruh perlakuan, yakni pupuk urea dengan dosis 250 kg/ha dan pupuk KCl 100 kg/ha. Pupuk P (SP18) diaplikasikan hanya sekali pada saat tanam, sedangkan pupuk urea dan KCl diberikan tiga kali. Dosis pupuk P tersebut berdasarkan penelitian kelompok yang telah dilakukan sebelumnya (Bustamam et al. 2008). Aplikasi pupuk P pada awal pertanaman dilakukan dengan mencampur pupuk P dengan tanah, kemudian dihaluskan dan ditaburkan di atas permukaan tanah dan tidak dilakukan pengadukan tanah lagi.

Tanah yang sudah diayak ditempatkan ke dalam bak panjang dari batako berukuran 400 cm x 80 cm dan tinggi 40 cm. Pada bagian dasar diberi lapisan pasir setebal 10 cm. Benih yang telah dikecambahkan selama 3 hari sebelumnya dimasukkan ke dalam lubang tanam (jarak tanam 18 x 20 cm) dengan tiap lubang diisi 2 bibit, dan tiap genotipe ditanam dua lubang tanam tiap bak. Penyiraman dilakukan dengan tetap mengkondisikan seperti kondisi padi gogo. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan sesuai keperluan.

Peubah yang diamati adalah : umur berbunga, tinggi tanaman, dan jumlah anakan produktif, bobot kering akar dan bobot kering tajuk (termasuk malai), dan komponen hasil. Nilai kadar P jaringan ini digunakan untuk menghitung beberapa peubah, seperti TSP, REP, EPP, dan ESP. Seluruh peubah dianalisis secara statistik menggunakan program SAS versi 9. Skoring toleransi P dilakukan menggunakan metode yang dideskripsikan oleh IRRI (1996) (Lampiran 5)

.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis tanah lengkap yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan kondisi tanah Kentrong sangat kurus dengan pH sangat masam. Kadar Al sekitar

12,42 me/100 gram setara dengan 124,2 ppm. Kejenuhan Al sangat tinggi (61,09%), demikian juga pH juga menunjukkan sangat masam (< 4). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) tanah memiliki potensi keracunan Al untuk tanaman padi bila memiliki pH (H2O) kurang dari 5, kejenuhan Al > 30% dan kandungan Al > 1-2 mg Al/liter.

Tabel 25. Hasil analisis tanah PMK dari Desa Kentrong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten

No Peubah Metode Satuan Nilai* Kriteria**

1 pH H2O - 4,2 Sgt masam

CaCl2 - 3,7 Sgt masam

KCl - -

2 C Org Walkey&Black % 2,21 sedang

3 N total Kjeldahl % 0,29 sedang

4 Rasio C/N - 7,6 rendah

5 P tersedia Bray I-II ppm 0,17 Sangat rendah 6 Ion-ion :

Ca NH4OAc 1 N me/100g 4,28 rendah

Mg NH4OAc 1 N me/100g 1,21 sedang

K NH4OAc 1 N me/100g 0,48 sedang

Na NH4OAc 1 N me/100g 0,93 tinggi

Total 6,9 7 KTK 27,01 tinggi 8 KB % 25,5 rendah 9 Al3+ KCl 1 N me/100g 12,42 --- 10 H+ KCl 1N me/100g 1,01 --- 11 Tekstur : Pasir Hidrometer % 6,3 --- Debu Hidrometer % 21,3 --- Liat Hidrometer % 72,4 --- 12 P total HCl 25% mg/100g 31,98 sedang 13 Ion mikro : Fe 0,05N HCl ppm - --- Cu 0,05N HCl ppm - --- Zn 0,05N HCl ppm - --- Mn 0,05N HCl ppm - --- 14 Kej Al % 61,09 Sgt tinggi

Ket. : * Lab Seameo Biotrop, Jl. Raya Tajur Km. 6 , PoBox 116, Bogor (17 Feb 2009) ** Kriteria tanah umum yang diterbitkan oleh Balittanah (2005)

--- = kriteria tidak tersedia

Kandungan P total (P potensial) tanah ini tergolong sedang sementara kandungan P tersedia yang bisa dimanfaatkan tanaman sangat rendah (0,17 ppm). Hal ini menunjukkan Al masih dominan menjadi faktor pengikat P sehingga tidak

tersedia. Tanah dari Desa Kentrong ini sebetulnya memiliki kandungan P yang cukup, tapi karena terikat oleh Al menjadikan P tidak tersedia bagi tanaman. Pupuk yang digunakan sebagai sumber P adalah SP 18, dimana pupuk tersebut berasal dari proses kimiawi Ca(H2PO4)2.H2O + CaSO4.2H2O. Pupuk tersebut mengandung 7-9% P, 13-20% Ca, 12% S. P dalam bentuk P2O5 biasanya mengandung 16-21% P2O5 (kalau SP18 berarti kandungan P2O5nya diperkirakan sekitar 18%) (Dobermann dan Fairhurst, 2000).

Persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 Karakter agronomis

Tabel 26. Analisis sidik ragam (Nilai F Hitung) beberapa peubah karakter agronomis galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong

Sb TT JAP WB BKA BKTJ BKT JGI JGH JGTT BGI

BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath dan Situ Bagendit

P 22** 73** 167** 82** 96** 100** 65** 35** 66** 63** G 26** 1,2ns 11,6** 0,8ns 1,0ns 0,9ns 1,7ns 1,8ns 1,6ns 2,1ns Ul 0,01ns 2,6ns 0,1ns 1,4ns 2,9ns 2,8ns 2,4ns 3,9* 3,6* 2,2ns P*G 1,3ns 1,0ns 0,8ns 1,0ns 0,9ns 0,9ns 0,6ns 1,4ns 0,8ns 0,7ns BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 dan Situ Bagendit

P 59** 172** 50,7** 115** 131** 138** 58** 75,3** 109** 46** G 1,7ns 0,7ns 1,2ns 1,9ns 0,4ns 0,5ns 0,7ns 1,4ns 0,6ns 0,3ns Ul 3,9* 1,0ns 3,2ns 1,7ns 2,5ns 2,3ns 3,6* 2,7ns 2,3ns 2,5ns P*G 0,4ns 1,6ns 0,5ns 2,7* 0,9ns 1,2ns 0,8ns 2,7* 1,1ns 0,4ns Gabungan SituBagendit x Kas, NIL dan Situ Bagendit

P 61** 232** 159** 193** 226** 239** 99** 117** 171** 90** G 30,9** 1,1ns 5,9** 1,7ns 0,7ns 0,7ns 1,0ns 1,7ns 1,2ns 0,9ns Ul 0,71ns 3,8* 1,9ns 2,8ns 4,7* 4,7* 1,7ns 6,6** 5,1** 2,1ns P*G 1,04ns 1,5ns 1,0ns 2,2* 0,9ns 1,1ns 0,6ns 2,1* 0,9ns 0,4ns Ket. : TT=Tinggi Tanaman, JAP=Jumlah Anakan Produktif, WB= Waktu Berbunga, BKA=

Bobot kering Akar, BKTJ=Bobot kering Tajuk, BKT=Bobot kering Total (tajuk dan akar), JGI= Jumlah Gabah Isi/Tan, JGH=Jumlah Gabah Hampa/Tan, JGTOT=Jumlah Gabah Total/Tan, BGI=Bobot gabah Isi/Tan.

Kasalath dan NIL-C443 tidak dimasukkan ke dalam perhitungan sidik ragam. * =beda nyata pada taraf 5 %, ** =beda nyata pada taraf 1%, ,

ns = tidak beda nyata

Hasil analisis sidik ragam (Tabel 26) pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath dan NIL-C443 menunjukkan beda nyata untuk semua karakter agronomis pada perlakuan dosis P. Ini berarti secara umum terdapat perbedaan hasil yang mencolok antara bagian yang kurang P dengan bagian cukup P. Demikian juga apabila data kedua persilangan digabung perbedaan dosis P juga

membuat perbedaan nyata di antara peubah-peubah agromis yang diamati. Hal ini sesuai gejala kekurangan P padi yang meliputi berkurangnya jumlah anakan, pertumbuhan kerdil, dan menurunnya jumlah butir gabah dalam malai (Untung et al. 1991). Perbedaan dosis P ini juga mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah anakan, dan bobot kering tajuk (Syarif 2005).

Tinggi tanaman

Peubah tinggi tanaman pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL- C443 terlihat sangat dipengaruhi oleh dosis pemupukan. Pada kondisi dipupuk tanaman memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi dibandingkan kondisi tidak dipupuk P. Ini menunjukkan perbedaan yang signifikan karena perbedaan dosis pupuk. Nilai korelasi antara pupuk P dan tinggi tanaman bernilai r = 0,4** (Tabel 29). Tinggi tanaman pada kondisi kurang P tidak menunjukkan perbedaan antar galur.

Jumlah anakan produktif

Jumlah anakan produktif merupakan komponen utama yang sangat dipengaruhi oleh unsur P dan dijadikan standar dalam skoring untuk seleksi galur- galur yang toleran terhadap defisiensi P ataupun untuk keperluan pemetaan Pup1

(Wissuwa et al. 1998). Pada percobaan ini terlihat nilai relatif hampir semua genotipe yang diuji berada di bawah 50% (Tabel 27). Nilai korelasi antara jumlah anakan produktif dengan dosis P juga hampir mendekati 1 (r=0,9**) (Tabel 29).

Rata-rata jumlah anakan produktif pada BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath meningkat 3,78 (153,04%), sedangkan pada Situ Bagendit x NIL-C443 meningkat 5,09 (244,71%) dengan peningkatan dosis pupuk P. Situ Bagendit, Kasalath, dan NIL-C443 sendiri juga sangat dipengaruhi oleh dosis P pada tanah ini, terbukti nilai relatifnya semuanya kurang dari 80%. Tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah yang sangat kurus dan pengaruh keracunan Al selain memberikan efek racun bagi tanaman juga membuat tanaman menjadi terhambat dalam membentuk jumlah anakan produktifnya.

Tabel 27. Rata-rata peubah jumlah anakan produktif dan bobot kering total pada persilangan Situ Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong

Genotipe Jumlah Anakan Prod Bobot kering Total (gram) 2 kg P 25 kg P Rltif (%) Kriteria 2 kg P 25 kg P Rltif (%) Kriteria

Kasalath 2,3 4,3 54 Sedang 4,8 8,4 57 Toleran

NIL-C443 1,5 2,5 60 Toleran 1,4 4,1 34 Peka

Nipponbare 1,5 3,3 45 Sedang 1,3 5,3 26 Peka

Situ Bagendit 2,8 5,7 50 Sedang 5,6 12,4 45 Sedang BC2F3 SB x Kas-1* 2,3 7,0 33 Peka 4,7 15,6 30 Peka BC2F3 SB x Kas-2 3,5 6,8 51 Sedang 5 12 42 Sedang BC2F3 SB x Kas-3 2,0 4,3 46 Sedang 4,4 11,2 39 Sedang BC2F3 SB x Kas-4 2,5 5,7 44 Sedang 4 15,5 26 Peka BC2F3 SB x Kas-5 1,8 7,5 24 Peka 2,3 14,2 17 Peka BC2F3 SB x Kas-6 2,7 6,2 43 Sedang 6,4 15,6 41 Sedang

Rata-rata BC2F3 2,5 6,3 40 Sedang 4,5 14 32 Peka BC2F3 SB x NIL-1 2,2 7,7 28 Peka 4,2 16,4 26 Peka BC2F3 SB x NIL-2 2,7 6,3 42 Sedang 4,7 13 36 Sedang BC2F3 SB x NIL-3* 2,0 8,5 24 Peka 3,6 18 20 Peka BC2F3 SB x NIL-4 2,0 7,2 28 Peka 3,2 15,8 20 Peka BC2F3 SB x NIL-5 1,8 7,0 26 Peka 3,7 14,2 26 Peka BC2F3 SB x NIL-6 1,8 6,3 29 Peka 3,2 13,4 24 Peka

Rata-rata BC2F3 2,1 7,2 29 Peka 3,8 15,2 25 Peka Ket. : *= individu terbaik berdasarkan analisis molekuler

Rltf = Relatif

Gejala berkurangnya jumlah anakan pada percobaan ini akibat pengurangan dosis P juga terjadi pada tanaman lain, misalnya tanaman gandum yang mengalami kondisi serupa pada keadaan kurang P (Rodriquez et al. 1999; Rodriquez et al. 1998a). Rodriquez et al. (1998b) menyebutkan pada kondisi kurang P daun-daun tanaman gandum mengalami pengurangan luas daun karena terjadi pengurangan hasil fotosintesis (asimilat). Gejala pengurangan luas daun dan produksi asimilat terjadi pula pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) bila mengalami kekurangan P (Rodriquez 1998c).

Apabila dilakukan skoring P berdasarkan nilai jumlah anakan produktif ini terlihat semua galur-galur BC2F3 berada dalam kisaran sedang dan peka. Padahal yang diharapkan adalan toleran semua. Kasalath sendiri walaupun peka di larutan hara Yoshida dengan cekaman 45 ppm Al, ternyata saat diuji di tanah masih bisa memiliki nilai skoring sedang, bahkan nilainya mendekati ke skor toleran. NIL-

C443 yang toleran Al di larutan Yoshida ternyata juga masih tahan di tanah dengan keracunanan Al yang tinggi.

Waktu berbunga

Waktu berbunga sangat dipengaruhi oleh dosis P. Terbukti seluruh nilai relatif semua genotipe yang diuji lebih besar dari 100%, berarti waktu berbunga perlakuan kurang P lebih lambat dibandingkan dengan perlakuan penambahan pupuk P (data tidak ditampilkan). Penundaan pembungaan ini pada persilangan Situ Bagendit x Kasalath rata-rata sekitar 12,7 hari, pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 rata-rata tertunda 8,2 hari. Situ Bagendit sendiri tertunda 12 hari, dan Kasalath tertunda 16,5 hari. NIL-C443 tertunda 13 hari dan Nipponbare hanya tertunda 3,3 hari. Pelambatan waktu berbunga ini disebabkan unsur P yang diperlukan sangat besar pada fase generatif namun jumlahnya sangat terbatas. Padahal pada fase vegetatif serapan P yang masuk ke dalam tanaman hanya 10 % dari total serapan hara, sedangkan tanaman setelah memasuki fase generatif bisa menyerap P dari tanah mencapai 90%, dan kecepatan serapan P setiap harinya pada fase generatif bisa mencapai 16 kali apabila dibandingkan pada fase vegetatif (Winarso 2005). Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) kekurangan unsur P yang parah (seperti pada tanah Desa Kentrong) ini bisa menyebabkan terlambatnya waktu pemasakan biji, bahkan tanaman kadang tidak bisa berbunga.

Galur-galur BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443 mengalami penundaan waktu berbunga lebih pendek dibanding Situ Bagendit x Kasalath lebih dikarenakan segmen Nipponbare yang masih tertinggal mempengaruhi waktu berbunga galur-galur tersebut. Nipponbare yang merupakan tanaman asli subspesies japonica memiliki sensitifitas yang tinggi pada hari penyinaran yang panjang sehingga lebih cepat berbunga.

Bobot kering akar, tajuk, dan total

Bobot kering akar sangat dipengaruhi oleh dosis pupuk P. Hal ini terbukti nilai relatif semua genotipenya kurang dari 50%. Nilai relatif tertinggi dimiliki oleh Situ Bagendit (47,16%) dan Kasalath (47,16%). Kasalath walaupun di

pengujian hara Yoshida sangat peka Al, ternyata saat ditanam di tanah yang mengandung Al tinggi masih bisa mengembangkan perakarannya. Demikian pula Situ Bagendit juga tergolong masih bisa bertahan walaupun dalam kondisi kurang pupuk P.

Rata-rata bobot kering akar seluruh galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 ini ternyata tidak ada yang melebihi tetua Situ Bagendit pada kondisi kurang P (2 kg/ha). Namun, begitu tanah tipe ini bila dipupuk dengan dosis 25 kg P/ha maka rata-rata galur BC2F3 yang diuji melebihi tetua Situ Bagendit (Gambar 24), walaupun peningkatan tersebut masih kecil. Hal ini menunjukkan untuk tanah-tanah yang ekstrim seperti tanah Kentrong ini dosis P yang dibutuhkan untuk pertumbuhan minimal tidak bisa menggunakan dosis 2 kg P/ha, namun harus lebih dari itu. Respon Pup1 pada peubah bobot kering akar terlihat jelas pada perlakuan yang diberi pupuk P 25 kg/ha. Pup1 telah memberikan hasil positif pada galur-galur BC2F3 dibandingkan dengan tetuanya dalam kondisi banyak P.

Kejadian ini juga terjadi pada peubah bobot kering tajuk, dimana pada kondisi kurang P (dosis 2 kg P/ha) tanaman sulit membentuk akar, sehingga tajuk pada kondisi kurang P tidak bisa berkembang secara maksimal. Namun pada saat Gambar 24. Histogram bobot kering akar dan bobot kering tajuk persilangan Situ

Bagendit pada tanah PMK Desa Kentrong = bobot kering akar = bobot kering tajuk S_P(K) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath

S_P(N) = rata-rata BC2F3 Situ Bagendit x NIL-C443

gram 2 kg P/ha 25 kgP/ha 0 2 4 6 8 10 12 14

tanah diberi pupuk P yang cukup (25 kg P/ha) maka respon dari galur-galur BC2F3 yang mengandung Pup1 cukup tinggi. Mungkin ini diakibatkan oleh respon pembentukan akar yang cukup tinggi, dimana Pup1 sangat mempengaruhi pembentukan volume akar(Heuer et al. 2009). Pembentukan tajuk yang agresif pada kondisi cukup P ini mungkin disebabkan karena pembentukan akar yang sangat agresif sehingga penyerapan P dan unsur-unsur lain sangat lancar sehingga tajuknya semakin besar.

Pola yang seperti ini juga terjadi pada peubah bobot kering total (Gambar 25), karena bobot kering total sangat dipengaruhi oleh bobot kering akar (r=0,93**) dan oleh bobot kering tajuk (0,998**) (Tabel 29). Oleh karena itu bobot kering total pada galur BC2F3 Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 ini juga sama polanya. Pada kondisi kurang P pembentukan seluruh jaringan tanaman terganggu sehingga bobot kering yang dihasilkan juga sangat sedikit, bahkan rata- rata galur-galur BC2F3 juga lebih kecil dibandingkan tetua Situ Bagendit. Pada kondisi dipupuk P rata-rata bobot kering total galur-galur BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath meningkat 0,82 gram (13,23%), sedangkan pada persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 kenaikan bobot kering total mencapai 22,26% dibandingkan tetua Situ Bagendit. Hal ini menunjukkan secara umur Pup1 telah bekerja pada tipe tanah ini tapi dalam kondisi cukup P. Dalam kondisi kurang P Gambar 25. Histogram bobot kering total dan bobot gabah isi persilangan Situ

Bagendit pada tanah PMK dari Desa Kentrong

= bobot kering total = bobot gabah isi/tanaman   2 kgP/ha 25 kgP/ha gram 0 2 4 6 8 10 12 14 16

semua genotipe mengalami tekanan yang luar biasa sehingga ekspresi Pup1 yang diharapkan justru tidak terjadi. Tanaman sudah mengalami cekaman lingkungan sejak tumbuh sampai panen.

Berdasarkan hal tersebut sulit diambil kesimpulan apakah tanaman BC2F3 benar-benar toleran terhadap defisiensi P ataukah hanya responsif saat dilakukan pemupukan P. Barangkali perbedaan tipe tanah yang dilakukan oleh Wissuwa dalam kegiatan mapping QTL berbeda dengan kondisi percobaan ini (Wissuwa et al. 1998, 2001ab 2002). Tanah yang dipakai dalam percobaan ini adalah tanah Ultisol dengan tingkat kesuburan rendah dan tingkat keracunan Al yang tinggi, sedangkan tanah yang dipakai Wissuwa adalah tanah Andosol yang tingkat pengikatan oleh Al atau Fe tidak sebesar tanah Ultisol. Namun, berdasarkan nilai skoring P yang didasarkan pada bobot kering total, seluruh BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath, NIL-C443 termasuk kelompok sedang dan peka, sama seperti kriteria skoring P yang didasarkan pada nilai relatif jumlah anakan produktif (Tabel 27). Mungkin ini disebabkan antara jumlah anakan produktif dan bobot kering total memiliki nilai korelasi yang tinggi (r=0,96**). Kasalath yang berdasarkan jumlah anakan produktif termasuk sedang, berdasarkan bobot kering total termasuk kriteria toleran.

Komponen hasil

Semua genotipe yang diuji memiliki nilai relatif jumlah gabah isi kurang dari 80%, sehingga pengurangan dosis pupuk sangat mempengaruhi jumlah gabah isi (Tabel 28). Kenaikan rata-rata jumlah gabah isi BC2F3 persilangan Situ Bagendit x Kasalath sangat tinggi, yakni sebesar 130 butir (309,69%), sedangkan persilangan Situ Bagendit x NIL-C443 naik sebesar 120,28 butir (262,91%). Situ Bagendit, Kasalath, NIL-C443 dan Nipponbare juga mengalami kenaikan jumlah gabah isi seiring dengan kenaikan dosis pupuk P. Hal ini menunjukkan kondisi tanah yang sangat kurus dan kurang P sangat mempengaruhi penangkapan P untuk pembentukan bulir padi. Menurut Dobermann dan Fairhurst (2000) tanah