• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Fisiologi Sorgum

PEMBAHASAN UMUM

Di Indonesia, kondisi lahan untuk pengembangan tanaman sebagian besar merupakan lahan marjinal yang kering dan bersifat masam. Kendala utama pengembangan tanaman pada tanah masam adalah cekaman aluminium dan kurangnya unsur hara makro terutama fosfor (Ma, 2000). Usaha untuk mengurangi masalah tersebut adalah penggunaan tanaman yang toleran terhadap cekaman Al dan efisiensi hara, baik efisiensi serapan (sensitive) maupun efisiensi penggunaan (tolerance). Serangkaian percobaan yang telah dilakukan berhasil mengungkap beberapa informasi yang dapat dimanfaatkan dalam perbaikan genotipe sorgum untuk toleransi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.

Berdasarkan hasil pengujian di lapangan, terdapat perbedaan toleransi tanaman sorgum terhadap cekaman Al dan defisiensi P di tanah masam yang ditunjukkan oleh kemampuan menghasilkan bahan kering, produksi biji, maupun kadar gula total yang berpotensi untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol. Kemampuan menghasilkan bahan kering dan produksi biji genotipe sorgum dapat meningkat hingga dua kali lipat saat ditumbuhkan pada tanah masam dengan kondisi kejenuhan Al rendah dan P cukup dibandingkan dengan kondisi Al tinggi dan tanpa P (Tabel 1.3 dan 1.8). Hal ini menunjukkan respon yang tinggi pada karakter agronomis sorgum apabila dilakukan perbaikan lingkungan tumbuh. Peningkatan bobot kering tajuk dan komponen hasil genotipe toleran pada kondisi Al rendah tidak memerlukan pemupukan P dosis tinggi di tanah masam. Peningkatan dosis pupuk P diperlukan untuk meningkatkan nilai padatan terlarut total genotipe sorgum baik pada tanah masam dengan kejenuhan Al tinggi maupun rendah.

Pada penelitian ini didapatkan perbedaan tingkat toleransi genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung dan tanah masam Tenjo Jawa Barat. Hal ini diduga akibat perbedaan kondisi cekaman lingkungan pada saat seleksi untuk menetapkan pengelompokan genotipe ZH-30-29-07 di tanah masam Lampung. Kandungan Aldd tanah masam tempat seleksi di Lampung hanya 1.35 me/100 g (Sungkono, 2010), sedangkan Aldd di tanah masam Tenjo lebih

124

tinggi yaitu sebesar 2.73 me/100 g (Tabel 1.1). Perbedaan kondisi cekaman ini menyebabkan perbedaan tingkat toleransi untuk genotipe ZH-30-29-07, tetapi hal ini tidak terjadi pada Numbu serta genotipe peka B-69 dan B-75. Diduga ketiga genotipe tersebut sudah memiliki kestabilan genetik yang lebih baik dibandingkan genotipe ZH-30-29-07.

Untuk memperjelas hasil penelitian di lapangan dilakukan serangkaian percobaan di rumah kaca menggunakan rhizotron serta percobaan pada larutan hara, dan analisis di laboratorium. Hasil penelitian di larutan hara dan laboratorium dapat mengungkapkan komponen-komponen yang berperan dalam mekanisme eksternal dan internal terhadap toksisitas Al dan peningkatan penyerapan serta penggunan P pada genotipe sorgum.

Percobaan menggunakan rhizotron mengungkapkan kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi bercekaman Al dan defisiensi P di tanah masam. Diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang dapat dilihat melalui percobaan ini menunjukkan terjadi penurunan pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Genotipe toleran tetap memiliki kondisi perakaran dan tajuk yang lebih baik dibandingkan genotipe peka (Tabel 3.5, Gambar 3.1 dan Gambar 3.3). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perakaran yang baik mampu menunjang pertumbuhan tajuk tanaman. Pertumbuhan akar genotipe toleran di tanah masam tidak dibatasi oleh tingginya Al dan defisiensi P.

Hasil analisis kandungan P total jaringan dan efisiensi penggunaan hara P menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme internal (toleransi) dalam menghadapi cekaman P rendah di tanah masam dengan meningkatkan efisiensi penggunaan P internal (interrelated), sebaliknya genotipe peka memiliki mekanisme eksternal (penghindaran) melalui peningkatan kadar P total jaringan.

Pada percobaan laju serapan spesifik didapatkan informasi bahwa sorgum toleran memiliki mekanisme peningkatan efisiensi penggunaan P yang terjadi pada kondisi Al tinggi dan defisiensi P. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan sorgum toleran membentuk bahan kering akar yang tinggi pada kondisi Al tinggi dan P rendah. Bobot kering akar yang tinggi menunjukkan akar lebih panjang dan rambut akar yang lebih banyak. Kondisi ini akan meningkatkan kontak akar

125

dengan tanah. Menurut Junk et al (1993) faktor kontak akar dengan tanah sangat penting dalam penyerapan hara P yang memiliki mobilitas rendah.

Mekanisme toleransi terhadap toksisitas Al dapat ditunjukkan dari percobaan pada larutan hara, uji pewarnaan hematoksilin dan analisis root regrowth. Hasil-hasil percobaan ini menunjukkan bahwa genotipe sorgum toleran Al mampu membentuk bahan kering lebih tinggi, serta memiliki akar dan tajuk lebih panjang daripada genotipe peka pada kondisi bercekaman Al. Nilai panjang akar relatif (PAR) genotipe toleran juga lebih tinggi daripada genotipe peka. Hal ini berkaitan dengan kemampuan genotipe toleran dalam menghadapi cekaman toksisitas Al. Genotipe toleran mampu mencegah Al masuk ke bagian tajuk tanaman dan hanya mengakumulasikan Al pada epidermis akar. Hal ini ditunjukkan dari hasil percobaan pada uji pewarnaan hematoksilin. Distibusi Al yang diamati melalui potongan mikroskopis ujung akar menunjukkan bahwa pada genotipe toleran Al hanya di distribusikan pada jaringan epidermis akar dengan nilai kuantitatif rendah yang menunjukkan akumulasi Al rendah, dan sebaliknya pada genotipe peka (Gambar 5.1 sampai 5.12). Kemampuan mencegah masuknya Al ke dalam jaringan tanaman tersebut dapat meningkatkan kemampuan sorgum dalam menumbuhkan kembali akar sekunder setelah tercekam Al. Hal ini dapat dilihat pada percobaan root regrowth yang menunjukkan kemampuan Numbu menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman Al hingga konsentrasi 148 µM (Gambar 6.1).

Pada kondisi bercekaman Al dan pemberian P kurang terjadi penurunan bobot kering total, laju serapan spesifik, kadar P jaringan, dan efisiensi penggunaan P (Tabel 4.2, 4.6, 4.9 dan 4.11). Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh Al dan rendahnya ketersediaan P pada kondisi bercekaman Al. Menurut Rao et al. (1999) keberadaan Al tidak hanya menghambat ketersediaan P tetapi juga menghambat transpor dan penggunaannya, Ion Al bermuatan positif dapat berasosiasi dengan gugus fosfat dari ATP atau fosfolipid membran sehingga mempengaruhi efektivitas transportasi proton.

Hasil percobaan laju serapan spesifik ini menjelaskan pula bahwa laju serapan sangat tergantung pada genotipe. Setiap genotipe diduga memiliki transpor fosfat tersendiri. Transpor fosfat merupakan protein-protein yang

126

berasosiasi dengan membran yang terlibat dalam penyerapan P. Menurut Marschner (1995) terdapat dua mekanisme transpor fosfat yaitu yang memiliki afinitas tinggi (high affinity system) yang umumnya bekerja pada P rendah dan yang memiliki afinitas rendah (low affinity system) yang bekerja ketika P cukup. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadi penurunan laju serapan spesifik P pada kondisi bercekaman Al (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa pada kondisi bercekaman Al terjadi penekanan baik pada high affinity system maupun low affinity system. Genotipe toleran Numbu memiliki laju serapan spesifik P sebesar 4.09 mg/g bobot kering akar/hari (Tabel 4.8). Nilai LSS ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai rata-rata genotipe sorgum pada kondisi tanpa cekaman dan P kurang (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan aktivitas high affinity system yang dimiliki Numbu masih aktif bekerja pada kondisi P kurang.

Serangkaian hasil percobaan yang telah diuraikan di atas baik di lapangan, rumah kaca maupun laboratorium secara keseluruhan menunjukkan bahwa sorgum memiliki mekanisme dalam menghadapi cekaman toksisitas Al dan defisiensi P berupa kemampuan menghasilkan bahan kering pada saat tercekam Al dan defisiensi P, peningkatan penyerapan hara, peningkatan efisiensi penggunaan hara P, kemampuan menahan distribusi Al pada jaringan akar dan kemampuan menumbuhkan akar setelah tercekam Al. Pemahaman terhadap mekanisme toleransi ini dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam.

Seleksi adalah prosedur dalam program pemuliaan tanaman yang memilih sejumlah individu atau galur yang memenuhi kriteria seleksi untuk suatu karakter dari suatu populasi yang beragam atau populasi bersegregasi (Stoskopf et al, 1993) Berdasarkan serangkaian hasil percobaan yang telah di lakukan seleksi untuk toleransi terhadap toksisitas Al pada populasi segregan dapat menggunakan parameter panjang akar relatif (PAR) dan metode root regrowth karena tidak bersifat destruktif, sementara uji pewarnaan hematoksilin yang bersifat destruktif dapat digunakan untuk seleksi terhadap toksisitas Al untuk generasi lanjut.

Kelebihan metode root regrowth selain tidak destruktif adalah tidak memerlukan kondisi lingkungan yang berbeda dan tidak memerlukan kontrol, sehingga dapat diaplikasikan pada populasi bersegregasi. Kelemahannya adalah

127

tidak dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik. Untuk mengatasi perbedaan kondisi awal perbedaan bahan genetik antara genotipe toleran dan peka seleksi dapat menggunakan parameter PAR. Kelebihan menggunakan nilai PAR adalah dapat menghilangkan pengaruh perbedaan kondisi awal bahan genetik genotipe toleran dan peka, sedangkan kelemahannya adalah memerlukan perlakuan kontrol. Penggunaan kontrol dapat menyulitkan pada populasi segregan karena kondisi bahan genetik yang masih terus bersegregasi. Seleksi terhadap toleransi defisiensi hara P pada generasi lanjut dapat menggunakan nilai laju serapan spesifik dan efisiensi penggunaan P yang bersifat destruktif. Kadar P jaringan dan efisiensi penggunaan P juga berkorelasi terhadap kemampuan membentuk bahan kering dalam keadaan tercekam Al (Tabel 3.9). El Bassam (1998) melaporkan bahwa karakter efisiensi penggunaan hara N, P dan K telah digunakan dalam pemuliaan gandum untuk lahan-lahan bermasukan rendah. Kelebihan menggunakan parameter ini adalah ketepatan nilai yang didapatkan karena melalui percobaan di rumah kaca dengan kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan percobaan di lapangan, serta menggunakan ketepatan hasil analisis kandungan hara jaringan tanaman yang lebih menggambarkan aktivitas fisiologi dan biokimia tanaman. Kelemahan menggunakan parameter ini adalah biaya analisis di laboratorium yang mahal dan tahapan pekerjaan analisis yang sangat komplek.

Berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada keadaan P rendah, maka didapatkan pengelompokan genotipe sorgum menurut Metode Baligar et al (1997), yaitu:

1. Efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai berat kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe dan mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe. Genotipe tersebut adala Numbu

2. Efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih tinggi dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe

3. Tidak efisien dan responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih tinggi dibanding rata-rata seluruh genotipe

128

4. Tidak efisien dan tidak responsif terhadap P yaitu, genotipe yang mempunyai bobot kering yang lebih rendah dibanding rata-rata bobot kering seluruh genotipe, tetapi mempunyai EPP lebih rendah dibanding rata-rata seluruh genotipe . Kelompok genotipe ini adalah ZH-30-29-07, B-69 dan B-75.

Pengelompokan ini dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat adaptasi genotipe sorgum terhadap defisiensi hara P yang dapat digunakan untuk menunjukkan kesesuaian lingkungan target pengembangan sorgum.

Genotipe Numbu (toleran) dalam penelitian ini termasuk kelompok sorgum efisien dan responsif terhadap hara P, sedangkan ZH-30-29-07, B-69 dan B-75 termasuk dalam kelompok sorgum tidak efisien dan tidak responsif terhadap hara P di larutan hara (Gambar 7). Pengelompokan ke dalam efisien dan responsif pada Numbu menunjukkan bahwa Numbu memiliki adaptasi luas terhadap cekaman di tanah masam. Tingkat adaptasi luas ini menyebabkan Numbu mampu berproduksi tinggi pada lingkungan bercekaman Al dan defisiensi P. Jadi Numbu cocok dikembangkan baik pada tanah masam maupun tanah-tanah non marjinal.

BK E P P 0 .5 0 .4 0 .3 0 .2 0 .1 3 .0 2 .5 2 .0 1 .5 1 .0 0 .5 0 .0 r a ta - r a ta bo bo t ke r ing r a ta - r a ta EPP b 7 5 b 7 5 b 7 5 b 6 9 b 6 9 b 6 9 zh zh zh nu m b u n um b u n um b u

Gambar 7. Pengelompokan empat genotipe sorgum berdasarkan efisiensi penggunaan P dan bobot kering pada kondisi bercekaman Al dan P rendah di larutan hara

efisien & responsif

tidak efisien & tidak responsif efisien & tidak responsif

tidak efisien & responsif

129

Untuk mendapatkan genotipe sorgum yang efisien dan responsif terhadap hara P dapat menggunakan metode pemuliaan Shuttle Breeding. Menurut Ortiz et al (2011), Shuttle Breeding adalah salah satu prosedur dalam pemuliaan tanaman yang melakukan seleksi tanaman pada dua kondisi lingkungan berbeda yaitu kondisi optimum dan kondisi lingkungan bercekaman secara bergantian. Tujuan menggunakan metode ini adalah untuk mengakumulasikan gen-gen produktivitas yang berperan dalam peningkatan produksi pada kondisi optimum, dan meningkatkan akumulasi gen-gen toleransi yang mengendalikan toleransi tanaman pada seleksi di lingkungan bercekaman.

Hubungan antara toleransi Al dan defisiensi P dari data lapangan dan percobaan menggunakan rhizotron menunjukkan bahwa pada Al tinggi genotipe sorgum toleran tidak responsif terhadap penambahan pupuk P. Hal ini menunjukkan sifat efisiensi terhadap penggunaan hara P sangat tergantung terhadap cekaman Al, sehingga seleksi diarahkan terlebih dahulu terhadap toleransi Al kemudian dilanjutkan terhadap toleransi defisiensi hara P. Artinya karakter-karakter yang menunjukkan toleransi sorgum terhadap cekaman Al seperti panjang akar, kemampuan menghasilkan bahan kering, kemampuan menahan distribusi Al pada ujung akar dan kemampuan menumbuhkan kembali akar setelah terkena cekaman dapat digunakan lebih awal pada kegiatan seleksi.

Data dari penelitian ini memberi gambaran bahwa mekanisme toleransi Al pada tanaman sorgum berbeda-beda. Dalam kaitan dengan hara P, mekanisme toleransi ada yang dipengaruhi dan ada yang tidak dipengaruhi oleh efisiensi P. Baligar et al (1997) melaporkan bahwa genotipe jagung dan sorgum yang toleran Al tidak selalu efisien dalam menggunakan hara P.

Hasil penelitian ini memberikan informasi bahwa sorgum Numbu (toleran) memiliki beberapa mekanisme adaptasi terhadap toksisitas Al dan defisiensi P di tanah masam yaitu: 1) memiliki diameter sebaran akar dan jumlah akar primer yang lebih banyak daripada genotipe peka 2) memiliki akar lebih panjang, 3) memiliki laju serapan spesifik P tinggi, 4) meningkatkan efisiensi penggunaan P pada saat bercekaman Al dan defisiensi P, 5) mampu menahan distribusi Al ke bagian tengah akar, dan 6) memiliki kemampuan menumbuhkan kembali akar yang rusak akibat terkena cekaman Al.

130