• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 93-104)

Bab ini membahas tentang hasil-hasil yang telah diperoleh dari penelitian yang sudah dilaksanakan serta akan membahas dengan literatur yang terkait yang ada dan hasil-hasil penelitian yang serupa yang pernah dilakukan. Selain itu juga akan membahas tentang keterbatasan-keterbatasan penelitian serta implikasi hasil penelitian ini terhadap keperawatan. Beberapa hal yang akan dijelaskan meliputi karakteristik responden, efektifitas konseling analisis transaktional terhadap penurunan Interdialytic Weight Gain, rata-rata peningkatan Interdialytic Weight

Gain pada kelompok kontrol dan intervensi, rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain pada kelompok kontrol dan intervensi serta hubungan karakteristik

dan variabel confouding terhadap penurunan Interdialytic Weight Gain. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk menjelaskan efektifitas konseling analisis transaktional terhadap penurunan Interdialytic Weight Gain. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kardinah Kota Tegal di ruang Hemodialisa. Kelompok intervensi dilakukan pada hari senin dan kamis, sedangkan untuk kelompok kontrol dilakukan pada hari selasa dan jumat. Nilai penurunan Interdialytic Weight Gain pada kelompok intervensi dibandingkan dengan nilai penurunan Interdialytic Weight Gain pada kelompok kontrol.

6.1 Gambaran Karakteristik Responden 6.1.1. Usia Responden

Rata-rata usia pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa adalah 42,17 tahun pada kelompok intervensi dengan rentang usia 25–54 tahun. sedangkan pada kelompok intervensi rata-rata usia responden 41,75 pada rentang 23-55 tahun Penelitian mengungkapkan bahwa rata-rata pasien gagal ginjal kronik berusia di atas 40 tahun. Menurut USRDS (United States Renal Data

System) insiden tertinggi pada usia 60 tahun, karena usia merupakan

faktor resiko terjadinya gagal ginjal kronik. Proses menua tersebut dapat berpengaruh terhadap perubahan fungsi ginjal (Schoolwerth,

Engelgau, Hostetter, Rufo & Mclelan, 2006), sedangkan menurut Levey (2002) 41% penderita gagal ginjal kronik lebih banyak dialami oleh usia di atas 40 tahun. Hasil dari penelitian oleh Baraz, Parvardeh, Mohammadi & Braumand (2009) rata-rata umur responden gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dilihat dari kepatuhan dalam asupan cairan adalah berkisar antara 40-50 tahun.

6.1.2. Jenis Kelamin

Dari jenis kelamin rata-rata pada penelitian ini adalah didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yakni berkisar 58,3%. Hal ini sejalan dengan penelitian di Amerika yang menyatakan bahwa angka kejadian ESRD pada kaum laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada wanita (Schoolwerth, Engelgau, Hostetter, Rufo & Mclelan, 2006). Begitu juga di Jepang sendiri angka kejadian ESRD pada kelompok laki-laki lebih besar dibandingkan pada kelompok wanita. Insidensi ESRD di Jepang tertinggi terjadi pada kelompok umur 80-84 tahun yaitu sebesar 1432 tiap 1 juta penduduk untuk laki-laki dan 711 tiap 1 juta penduduk untuk wanita (Wakai, Nakai, Kikuchi, Iseki, Miwa, et al. 2004).

Hasil dalam penelitian ini ada hubungan yang signifikan jenis kelamin dengan penurunan interdialytic weight gain dengan nilai p 0,05. Pasien yang menderita gagal ginjal kronik lebih banyak dialami oleh laki-laki dari pada perempuan. Hal tersebut dikarenakan jenis kelamin laki-laki mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan perempuan, seperti merokok. Merokok pada akhir-akhir ini diketahui sebagai faktor risiko dari berbagai penyakit antara lain kanker paru, gangguan kardiovaskuler dan gagal ginjal (Orth, 2002). Penelitian pada hampir 8.000 orang, baik perokok ringan maupun berat, didapatkan hasil bahwa para perokok cenderung lebih memiliki albuminuria daripada yang tidak merokok. Albuminuria adalah suatu

protein yang terdapat dalam urin yang menunjukkan fungsi ginjal yang buruk atau ginjal mengalami kerusakan, baik pada penderita diabetes maupun penderita non diabetik (Retnakaran, Cull, Thorm, Adler & Holman, 2006). Data dari penelitian didapatkan rata-rata jenis kelamin dari pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa laki-laki sebanyak 52,4% lebih banyak dibandingkan dengan perempuan yang hanya 47,6% (Baraz, Parvardeh, Mohammadi & Braumand, 2009). Ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mehrota, Marsh, Vonesh, Peters & Nissenson, (2005) insiden penderita penyakit gagal ginjal kronik didominasi oleh laki-laki sebesar 53,8%.

6.2 Hubungan karakteristik responden dan variabel confounding dengan penurunan Interdialytic Weight Gain

6.2.1 Usia Responden

Hubungan usia dengan penurunan Interdialytic Weight Gain menunjukkan hubungan kurang kuat (r = 0,208) dan berpola positif artinya semakin tua usia responden maka semakin kuat penurunan

Interdialytic Weight Gain. Nilai koefisien determinasi 0,043 artinya

usia mampu menjelaskan penurunan Interdialytic Weight Gain sebesar 43%. Hasil uji statistik regresi linier sederhana didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan penurunan

Interdialytic Weight Gain (p 0,051, α > 0,05). Menurut Suharyanto

(2002), meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengendalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Salah satu penyebab kematian di antara pasien-pasien yang menjalani hemodialis adalah penyakit kardiovaskuler dan arterioskelrotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodialisis. Schmidt & Thews (1989) mengemukakan

bahwa pasien-pasien dengan usia dewasa tidak mampu merasakan atau merespon terhadap mekanisme haus, sehingga mengakibatkan kenaikan interdialytic weight gain.

6.2.2 Jenis Kelamin

Dari jenis kelamin menjelaskan bahwa nilai rata-rata penurunan

Interdialytic Weight Gain responden berjenis kelamin laki-laki

sebesar 1,971 kg dengan standar deviasi 0,701, sedangkan pada perempuan rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain sebesar 1,860 kg dengan standar deviasi 0,201 artinya rata-rata penurunan

Interdialytic Weight Gain laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan,

secara statistik jenis kelamin berpengaruh terhadap penurunan

Interdialytic Weight Gain setelah intervensi dengan nilai p 0,05, α >

0,05.

Pada penelitian ini karakteristik responden didominasi oleh laki-laki dengan jumlah 14 responden atau sekitar 56% dibandingkan dengan perempuan yang hanya 10 responden atau sekitar 44%. Dari hasil penelitian ini ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan terhadap penurunan Interdialytic Weight

Gain. Data dari USRDS tahun 2004 menunjukkan bahwa tingkat

kejadian kasus ESRD lebih tinggi untuk laki-laki dengan angka kejadian 409 kasus perjuta penduduk dibandingkan dengan 276 untuk perempuan, sedangakan menurut Chazot, Charra, Van, Jean, Vanel et al. (1999) sebanyak 65,6% pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Igbokwe & Obika (2007) bahwa terdapat perbedaan ambang haus antara laki-laki dan perempuan, di mana ambang haus laki-laki lebih rendah daripada perempuan, sehingga pasien laki-laki kurang dapat mengontrol rasa hausnya.

6.2.3 Pendidikan

Rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain pada responden yang berpendidikan SD adalah 2,2 kg dengan standar deviasi 1,555. Pada responden yang berpendidikan SMP rata-rata penurunan

Interdialytic Weight Gain adalah 2 kg dengan standar deviasi 0,294,

responden yang berpendidikan SMA penurunan Interdialytic Weight

Gain adalah 1,9 kg dengan standar deviasi 0,324 dan responden yang

berpendidikan Perguruan Tinggi adalah 1,2 kg. Dari uji statistik di dapatkan p 0,630, yang berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan dengan penurunan

Interdialytic Weight Gain.

Tingkat pendidikan responden yang paling banyak pada kedua kelompok adalah SMA. Pada kelompok kontrol dan 50 % pada kelompok intervensi 41,67%. Dengan tingkat pendidikan pada kisaran kelompok tersebut diharapkan dapat menerima informasi dengan baik. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan tidak mempengaruhi penurunan interdialytic weight gain hal ini selaras dengan penelitian Bandura (1991) bahwa pendidikan tidak mempengaruhi perubahan perilaku, hal tersebut tergantung terhadap ketersediaan sumber informasi yang didapat individu tersebut. Petugas kesehatan mempunyai peran yang sangat penting terhadap perubahan perilaku pasien dengan memberikan informasi yang jelas berupa penyuluhan kesehatan.

6.2.4 Periode Hemodialisa

Periode hemodialisa responden terhadap penurunan Interdialytic

Weight Gain menunjukkan hubungan agak lemah (r = 0,345) dan

berpola positif artinya semakin lama periode hemodialisa responden maka semakin kuat penurunan Interdialytic Weight Gain. Nilai koefisien determinasi 0,119 artinya periode hemodialisa mampu

menjelaskan penurunan Interdialytic Weight Gain sebesar 1,1%. Hasil uji statistik regresi linier sederhana didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara lama periode dengan penurunan

Interdialytic Weight Gain (p 0,27, α > 0,05). Rata-rata dari periode

hemodialisa sekitar 1,9 tahun hal ini sejalan dengan penelitian oleh Alharbi (2012) bahwa pasien hemodialisa yang terbanyak dari

duration of hemodialysis yakni dalam interval 1-5 tahun dengan

prosentase 41,3%. Pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa akan merasakan haus yang disebabkan oleh Angiotensin II, yang merupakan hormon bersirkulasi yang berinteraksi pada suatu struktur limbik otak yang dapat menimbulkan haus. Pembuangan cairan pada saat hemodialisis dapat menyebabkan penurunan volume sirkulasi tubuh, dan selanjutnya dapat menstimulasi pembentukan Angiotensin II pada pasien sehingga muncul keluhan haus yang berlebihan pada saat dialisis (Graziani, Badalamenti, Bo, Marabini, Gazzano, Como et al, 1993).

6.2.5 Motivasi

Rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain pada responden yang mempunyai motivasi baik adalah 2,0 kg dengan standar deviasi 0,212. Pada responden yang mempunyai motivasi sedang rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain adalah 1,9 kg dengan standar deviasi 0,63, responden yang mempunyai motivasi kurang penurunan Interdialytic Weight Gain adalah 1,4 kg dengan standar deviasi 0,989. Dari uji statistik di dapatkan p 0,737, yang berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi dengan penurunan Interdialytic Weight Gain. Pengukuran motivasi pada penelitian ini dilakukan sebelum konseling diberikan pada kelompok intervensi, sehingga hasil dari penelitian ini belum menunjukkan nilai yang signifikan. Menurut Corey (2003) menjelaskan bahwa konseling dapat meningkatkan motivasi seseorang untuk merubah perilakunya menjadi lebih baik. Sehingga

diharapkan dengan konseling yang akan diberikan kepada kelompok intervensi dapat meingkatkan motivasi pasien gagal ginjal kronik untuk mengendalikan interdialytic weight gain.

Motivasi adalah merupakan hasil dari sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi seseorang individu yang menyebabkan timbulnya sifat antusiasme dalam melaksanakan kegiatan tertentu (Stokols, 1992). Pasien yang menjalani hemodialisa perlu diberikan motivasi dari dukungan keluarga, disebabkan pasien yang menderita gagal ginjal kronik mengalami keadaan ketergantungan terhadap hidupnya serta terjadi penyesuaian diri terhadap penyakitnya yang mengakibatkan terjadinya perubahan perilaku, antara lain menjadi pasif, ketergantungan, merasa tidak aman, bingung dan menderita, maka untuk menghadapi keadaan tersebut motivasi keluarga sangat diperlukan. Gunarsah (2000) menjelaskan bahwa individu yang tidak termotivasi mempunyai konsep diri yang tidak realistis, merasa tidak berguna, kurang komunikasi dan merasa tidak berdaya sehingga perlu mendapatkan konseling.

6.2.6 Pengetahuan

Rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain pada responden yang mempunyai pengetahuan baik adalah 1,6 kg dengan standar deviasi 0,10. Pada responden yang mempunyai pengetahuan sedang rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain adalah 2,05 kg dengan standar deviasi 0,565, responden yang mempunyai pengetahuan kurang penurunan Interdialytic Weight Gain adalah 1,78 kg dengan standar deviasi 1,34. Dari uji statistik di dapatkan p 0,837, yang berarti dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan penurunan Interdialytic Weight Gain.

Berdasarkan penelitian Chazot, Charra, Van, Jean, Vanel, Calemard, et al. (1999) diperoleh hasil bahwa ternyata tidak ditemukan

penurunan intelektual pada masa dewasa, setidaknya sampai usia 70 tahun. Secara luas bahwa kecepatan memproses informasi mengalami penurunan pada masa dewasa akhir. Penelitian lain membuktikan bahwa orang-orang dewasa lanjut kurang mampu mengeluarkan kembali informasi yang telah disimpan dalam ingatannya. Stokols (1992) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa pengetahuan tidak menjamin individu untuk merubah perilakunya. Faktor yang mendasari perubahan perilaku individu selain dari pengetahuan, misalnya karena dukungan keluarga dan lingkungan. Pengukuran pengetahuan pada penelitian ini dilakukan sebelum dilakukan konseling, sehingga hasil yang didapatkan kurang signifikan. Pengetahuan post konseling tidak diukur lagi dalam penelitian ini.

6.3 Efektifitas Konseling Analisis Transaktional Terhadap Penurunan

Interdialytic Weight Gain.

Dari hasil analisis dapat menjelaskan adanya perbedaan terhadap penurunan

Interdialytic Weight Gain (p = 0,003,_= α < 0,05) pada kelompok

intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa konseling yang diberikan kepada responden memberikan perubahan perilaku kepada pasien hemodialisa, ini dibuktikan perbedaan penurunan nilai rata-rata Interdialytic Weight Gain pada kelompok intervensi sebelum perlakuan adalah 2,65. Sedangkan setelah intervensi didapatkan rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain 1,92, maka dapat disimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara penurunan Interdialyitic Weight Gain sebelum dan sesudah pemberian intervensi. Menurut Gibson (2010) pemberian konseling dapat merubah perilaku seseorang menjadi lebih baik Konseling dengan pendekatan analisis transaksional mungkin dapat diterapkan pada pasien gagal ginjal kronik yang sering melanggar diit cairan yang telah dianjurkan, sehingga terjadi peningkatan berat badan yang berlebihan. Analisis transaksional adalah pendekatan behavioral-kognitif yang beramsumsi setiap pribadi memiliki potensi untuk memilih dan mengarahkan ulang atau membentuk

ulang nasibnya sendiri. Teori ini lebih menitikberatkan pada komunikasi yang efisien kepada klien sehingga membantu klien mengevaluasi setiap keputusannya dalam membuat keputusan baru yang lebih tepat (Lawrence, 2007).

Sedangkan rata-rata penurunan Interdialytic Weight Gain pada kelompok kontrol pre test didapatkan 2,46 dengan standar deviasi 1,04 dan standar error 0,301, sedangkan nilai rata-rata pada Post test didapatkan 2,666. Hasil P value adalah P = 0,09, α > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan penurunan Interdialytic Weight Gain antara pengukuran pertama (pre test) dan pengukuran kedua (post test) pada kelompok kontrol. Dengan demikian hendaknya tiap pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa diberikan konseling karena konsep analisis transaktional perlu diterapkan dalam keperawatan untuk menangani pasien-pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes melitus dan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa (Egan, Rivera, Robillard & Hanson, 1997).

Salah satu alasan pasien ketika terdapat kenalikan interdialytic weight gain adalah karena adanya rasa haus yang berlebihan, meski pasien dalam keadaan overload, hal tersebut dapat mengakibatkan kenaikan cairan berlebihan secara kronis (Mistiaen, 2001). Tugas perawat nefrologi adalah memberikan konseling kepada pasien untuk membantu pasien dalam mengatasi kenaikan interdialytic weight gain terutama dalam pembatasan cairan, akan sangat membantu bagi perawat untuk mengetahui seberapa banyak pasien hemodialisa menderita kehausan dan mencegah serta mengobati kehausan, sehingga dapat mengoptimalkan asuhan keperawatan yang diberikan (Mistiaen, 2001). Saran (2003) kenaikan interdialytic

weight gain pada pasien hemodialisa merupakan salah satu penyebab

mortalitas bagi pasien gagal ginjal kronik. Studi lain menunjukkan bahwa dari 110 pasien yang mendapatkan konseling tentang pembatasan asupan

cairan 72% dari pasien tersebut menunjukkan adanya penurunan

interdialytic weight gain (Raza, Courts, Quadri & Qureshi, 2004).

Konseling analisis transaktional dapat memahami faktor-faktor yang dapat memperngaruhi komunikasi pasien, menghargai keragaman yang diciptakan oleh kepribadian yang berbeda serta melibatkan pasien berdasarkan interaksi sebagai orang dewasa (Lawrence, 2007). Data menunjukkan bahwa pasien dengan gagal ginjal kronik mengalami keputusasaan sehingga mereka berpotensi tidak mematuhi terapi, salah satunya pembatasan asupan cairan yang mengakibatkan kenaikan

interdialytic weight gain (Feroze, Martin, Reina & Zadeh, 2010). Pasien

tersebut perlu mendapatkan konseling dari perawat guna mengoptimalkan kehidupan mereka. Meski pada penelitian ini didapatkan penurunan nilai

interdialytic weight gain dari nilai rata-rata sebelum intervensi 2,65 kg

menjadi 1,92 dengan selisih penurunan 0,73 kg, namun belum mencapai batas normal (0,9-1,3 kg). Hal ini dikarenakan pemberian konseling analisis transaksional yang kurang optimal dengan waktu yang terbatas.

6.4 Keterbatasan Penelitian

6.4.1. Dalam pengisian kuisioner lebih banyak bersifat subyektifitas, banyak faktor yang mempengaruhi pengisiannya, antara lain tingkat pemahaman yang berbeda, kelelahan, situasi dan lingkungan yang kurang mendukung, misalnya ramai, panas, dll. Serta dipengaruhi juga dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda sehingga pemahaman dari responden juga berbeda-beda. Di samping hal tersebut kualitas penyusunan instrumen dipengaruhi oleh kemampuan kognitif peneliti dalam mengintrogasikan teori kurang sempurna.

6.4.2. Konseling analisis transaktional merupakan hal yang baru bagi peneliti yang masih sebagai peneliti pemula di bidang konseling, khususnya pada pendekatan dengan analisis transaktional jadi masih

banyak kesulitan dan kekurangan dalam menerapkan ke responden sehingga hasil yang didapatkan kurang optimal. Selain itu masing sangat jarang buku-buku keperawatan yang mengupas tentang konseling, khususnya konseling analsis transaksional.

6.5 Implikasi Hasil Penelitian

6.5.1. Implikasi Terhadap pelayanan Keperawatan

Dapat memberikan suatu support yang positif bagi perawat untuk dapat memberikan pelayanan konseling dengan pendekatan analisis transaktional yang lebih menekankan aspek psikologis sehingga dapat menjalin komunikasi yang efektif untuk pasien. Sebagai masukan untuk mengembangkan program konseling analisis transaktional pada pasien yang sedang menjalani hemodialisa.

6.5.2. Implikasi Terhadap Keilmuan

Guna dikembangkan lebih terperinci tentang ilmu konseling, tidak hanya sebatas konseling secara umum, namun dapat berupa pendekatan analisis transaktional yang tepat bagi pasien yang menderita penyakit kronik serta dapat menjadi landasan yang bermanfaat dalam pengembangan penelitian-penelitian di bidang konseling, memberikan wacana serta guna menyempurnakan penelitian di masa yang akan datang.

BAB 7

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 93-104)

Dokumen terkait