• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

EFEKTIFITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL

TENTANG DIET CAIRAN TERHADAP PENURUNAN

INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG) PASIEN GAGAL

GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

TESIS

Sri Hidayati 1006834025

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DEPOK NOVEMBER 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

EFEKTIFITAS KONSELING ANALISIS TRANSAKSIONAL

TENTANG DIET CAIRAN TERHADAP PENURUNAN

INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN (IDWG) PASIEN GAGAL

GINJAL KRONIS YANG MENJALANI HEMODIALISA

DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH TEGAL

TESIS

Diajukan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah

Sri Hidayati 1006834025

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

DEPOK NOVEMBER 2012

(3)

Tesis ini adalah basil karya saya sendiri, Dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

TeJah saya nyatakan dengan benar

Nama : Sri Hidayati

NPM

:%15

Tanda Tangan

(4)

Tesls inidiajukan oleh

Nama : SRI HillAYAII NPM : 1006834025

Program Studi : Magister llmu Keperawaten

Judul Tesis : Efektifitas Konseling Aoalisis Transaktional lentang Diet Cairan terhadap Penuruoan Interdialytic Weight Gain (IDWG) Pasien Gaga! Ginja! Kronik yang menja!ani Terapi Hemodlalisa di Rumah Sakit Umum Kardinah Kola Tega!.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Keperawatan pada Program Studi Magister I1mu Keperawaian, Fakultas llmu

Keperawatan, Universitas Indonesia

DEWANPENGUn

Pemhimbing I : Dr. Raina Sitorus, S.Kp., MApp., Sc. ( . '

\1--/

Pembimbing IT : Masfuri, S.Kp., MN. (

~

)

Penguji I : Riri Maria, S.Kp., MANP. (

~

)

(5)

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Sri Hidayati

NPM : 1006834025

Program Studi : Magister I1mu Keperawatan, Keperawatan Medikal Bedah Fakultas : Ilmu Keperawatan

Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikun kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty­ Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :

Efektifitas Konseling Analisis Transaktional Tentang Diet Cairan Terhadap Penurunan lnterdialytic Weight Gain (IDWG) Pasien Gaga! Ginjal Krenik Yang

Menjalani Hemodialisa Di RSUD Kardinah Kota Tegal.

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),

merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantwnkan nama

saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 15 Januari 2013

Yang jenyatakan

/ ' (Sri Hidayati)

(6)

Tesis, Januari 2013 Sri Hidayati

Efektifitas Konseling Analisis Transaktional tentang Diet Cairan Terhadap Penurunan Interdialytic Weight Gain Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa Di RSUD Kardinah

xiii + 95 hal + 3 skema + 21 tabel + 12 lampiran

Abstrak

Konseling analisis transaktional merupakan bentuk konseling yang dapat diterapkan untuk mengatasi kenaikan interdialytic weight gain pada pasien

chronic kidney disease. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas konseling analisis transaktional tentang pembatasan cairan terhadap penurunan interdialytic weight gain pada pasien chronic kidney disease yang menjalani hemodialisa. Penelitian ini menggunakan desain quasi experiment

dengan pendekatan pretest-posttest control group. Responden penelitian ini sebanyak 24 responden. Analisis bivariat dan univariat menggunakan uji statistik

t-test dan annova. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling analisis transaktional berpengaruh terhadap penurunan interdialytic weight gain dengan nilai p=0,0003. Perawat disarankan menerapkan konseling analisis transaktional ini guna mengantisipasi peningkatan interdialytic weight gain yang berlebihan.

Kata kunci : Perawat, Analisis Transaktional, chronic kidney disease, hemodialisa,

Interdialytic Weight Gain.

(7)

Sri Hidayati

Title

The Effectiveness of Transactional Analysis Counseling about Liquid Diet towards The Reduction of Interdialytic Weight Gain In Patients with Chronic Renal Failure who were undergoing Hemodialysis in Kardinah Hospital

xiii + 95 pages + 3 schemes + 21 tables + 12 attachments

Abstract

Transactional analysis counseling is a tipe of counseling that can be applied to addres of interdialytic weight gain in patients with chronic kidney disease. The goal of this research was to determine the effectiveness of transactional analysis counseling on a fluid restriction interdialytic weight gain in patients with chronic kidney disease undergoing hemodialysis. This study used a quasi experiment design approach to pretest-posttest control group. The respondents of this study were 24 patients. Univariate and bivariate analyzes were using the statistical of test t-test and ANNOVA. The study conclude that transactional analysis counseling effects the in reducting of interdialytic weight gain with p = 0.0003. Therefore, nurses are advised to apply transactional analysis counseling to anticipate interdialytic weight gain.

Keywords : Nurse, Transactional Analysis, Chronic Kidney Disease, hemodialysis,Interdialytic Weight Gain

(8)

Alhamdulillah dengan rasa syukur kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa dengan terselesaikannya tesis ini berkat bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih.

1. Ibu Dewi Irawati, M.A., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

2. Ibu Astuti Yuni, S.Kp., MN., selaku Ketua Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan

3. Ibu Dr. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App., Sc, selaku pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan, saran serta arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

4. Bapak Masfuri, S.Kp., MN, selaku pembimbing II yang memberikan masukan, bimbingan, serta saran sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

5. Seluruh dosen dan staf karyawan Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia yang telah membantu dan memfasilitasi penulis selama menjalani proses pendidikan

6. Rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, khususnya untuk temen-teman kekhususan Keperawatan Medikal Bedah.

7. Tercinta dan tersayang untuk suamiku M. Subkhi, S.T. dan kedua malaikat kecilku (Nizar dan Zafran) yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dengan penuh kesabaran.

8. Dua bidadariku (Nila dan Lutfi) yang selalu menjaga malaikat kecilku dengan sepenuh hati dan keikhlasan.

(9)

bermanfaat bagi ilmu keperawatan sehingga dapat memberikan pelayanan asuhan keperawatan yang profesional.

Depok, 27 Desember 2012

(10)

HALAMAN DEPAN ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR SKEMA ... x DAFTAR GAMBAR ... xi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Ginjal Kronis ... 8

2.1.1 Definisi ... 8 2.1.2 Etiologi ... 9 2.1.3 Patofisiologi ... 10 2.1.4 Manifestasi Klinis ... 13 2.1.5 Perjalanan Klinis ... 15 2.1.6 Penatalaksanaan ... 16

2.1.7 Pencegahan dan komplikasi ... 19

2.2 Hemodialisa ... 21

2.2.1 Definisi ... 21

2.2.2 Tujuan ... 21

2.2.3 Komplikasi ... 22

2.2.3 Interdialytic Weight Gain (IDWG) ... 24

2.3 Asuhan Keperawatan ... 27

2.3.1 Pengkajian ... 28

2.3.2 Diagnosa Keperawatan ... 29

2.3.3 Intervensi Keperawatan ... 30

2.3.4 Konseling sebagai intervensi keperawatan ... 31

2.3.5 Konseling dengan pendekatan analisis transaktional ... 32

a. Pengertian ... 32

b. Komponen analisis transaktional ... 34

c. Proses konselinganalisis transaktional ... 39

(11)

3.1 Kerangka Konsep ... 43

3.2 Hipotesis ... 44

3.3 Definisi Operasional ... 44

BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian ... 46

4.2 Populasi dan sampel ... 47

4.3 Tempat Penelitian ... 49

4.4 Waktu Penelitian ... 50

4.5 Etika Penelitian ... 52

4.6 Alat Pengumpulan Data ... 52

4.7 Prosedur Pengumpulan Data ... 53

4.8 Validitas dan Reabilitas ... 55

4.9 Pengolahan Data ... 57

4.10 Analisa Data ... 58

BAB 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Analisis Univariat ... 61

5.2 Analisis Bivariat ... 67

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Interpretasi Hasil dan Diskusi Hasil ... 77

6.2 Keterbatasan Penelitian ... 83

6.3 Implikasi Keperawatan ... 84

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ... 85

7.2 Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(12)

Tabel 1.1. Klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik ... 9

Tabel 1.2. Manifestasi Klinis Sindrom Uremik Gagal Ginjal Kronik ... 14

Tabel 1.3. Tahap-tahap dari Gagal Ginjal Kronik ... 16

Tabel 4.1 Tingkat Reabilitas Berdasarkan Nilai Alpha ... 60

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 62

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 63

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Periode Hemodialisa... 63

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi ... 64

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ... 65

Tabel 5.7 Distribusi Rata-rata Kenaikan IDWG ... 66

Tabel 5.8 Distribusi Rata-rata Penurunan IDWG ... 67

Tabel 5.9 Uji Normalitas Data IDWG ... 68

Tabel 5.10 Analisis Homogenitas Berdasarkan Usia... 69

Tabel 5.11 Analisis Homogenitas Berdasarkan Jenis Kelamin ... 69

Tabel 5.12 Analisis Homogenitas Berdasarkan Pendidikan ... 70

Tabel 5.13 Analisis Homogenitas Peningkatan Rata –rata IDWG ... 70

Tabel 5.14 Analisis Perbedaan IDWG sebelum dan sesudah Intervensi... 71

Tabel 5.15 Hubungan Umur dengan Penurunan IDWG... 73

Tabel 5.16 Hubungan Periode Hemodialisa dengan Penurunan IDWG ... 73

Tabel 5.17 Hubungan Jenis Kelamin dengan penurunan IDWG ... 74

Tabel 5.18 Hubungan Pendidikan dengan penurunan IDWG ... 75

Tabel 5.19 Hubungan Motivasi dengan Penurunan IDWG... 75

(13)

5.1 Kurva Rata-rata Kenaikan IDWG sebelum intervensi ... 65 5.2 Kurva Rata-rata Penurunan IDWG setelah intervensi ... 72

(14)

Skema 3.1. Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik ... 13 Skema 3.2. Kerangka Teori ... 42 Skema 3.3. Kerangka Konsep ... 43

(15)

Gambar 2.1. Analisis Struktural ... 33 Gambar 2.2. Transaksi Silang ... 34 Gambar 4.1. Rancangan Penelitian ... 45

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

Pada bab ini peneliti akan membahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, dan tujuan penelitian serta manfaat dilakukannya penelitian.

1.1 Latar Belakang

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir atau ESRD (End Stage Renal Desease) merupakan gangguan fungsi gagal yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh ginjal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia

(retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat irreversibel. Penyebab Chronic Kidney Desease antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif (Price & Wilson, 2006).

Angka kejadian CKD meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah CKD di dunia tahun 2009 di Amerika Serikat rata-rata prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yang terkena Penyakit Ginjal Kronik. Sedangkan di Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5% atau 18 juta orang dewasa yang terkena penyakit ginjal kronik. Menurut data Dinas Kesehatan Jawa Tengah jumlah penderita CKD di Jawa Tengah tahun 2004 sekitar 169 kasus (Thata, Mohani & Widodo, 2009).

Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Persatuan Nefrologi Indonesia (Pernefri) 2004, diperkirakan ada 70 ribu pasien gagal ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronis tahap terminal dari mereka yang

(17)

menjalani cuci darah (hemodialisis) hanya sekitar empat ribu atau lima ribu saja. Hemodialisis adalah terapi yang paling sering digunakan, di antara pasien dengan ERSD di Amerika Serikat dan Eropa 46%-98% menjalankan terapi hemodialisis, meskipun hemodialisis secara efektif dapat memberikan konstribusi yang efektif untuk memperpanjang hidup pasien, namun angka morbiditas dan mortalitasnya masih cukup tinggi, hanya 32%-33% pasien yang menjalani terapi hemodialisis hanya bisa bertahan pada tahun kelima (Denhaerynck, Manhaeve, Dobbels, Garzoni, Nolte, & Degeest, 2007).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sistem Pelaporan dan Pencatatan Rumah Sakit (SP2RS), diperoleh gambaran bahwa penyakit gagal ginjal menduduki peringkat ke empat dari sepuluh penyakit tidak menular yang menjadi penyebab kematian terbanyak di Rumah Sakit di Indonesia sebesar 3,16% (3047 angka kematian), sedangkan menurut data Profil Kesehatan Indonesia (2006), gagal ginjal menempati urutan ke enam sebagai penyebab kematian pasien yang di rawat di rumah sakit di seluruh Indonesia, sebesar 2,99% (Depkes, 2008).

Diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pasien di Indonesia yang akhir-akhir ini menjalani terapi hemodialisa. Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut, misalnya pada pasien yang memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau dapat digunakan dalam keadaan sakit kronis, yakni pada pasien dengan gagal ginjal kronik stadium akhir atau end stage renal desease

(ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen (Suharyanto, 2002). Beberapa penulis (Denhaerynck, Manhaeve, Dobbels, Garzoni, Nolte, & Degeest, 2007) menunjukkan dalam risetnya bahwa keberhasilan dalam menjalankan hemodialisis di dasarkan pada unsur-unsur yang beragam, antara lain kepatuhan pasien dalam pembatasan cairan, rutin dalam menjalani hemodialisis, pengelolaan diri pasien, dan pemberdayaan pasien.

(18)

Pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan, karena asupan cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan kenaikan berat badan yang cepat (melebihi 5%), edema, ronkhi basah dalam paru-paru, kelopak mata yang bengkak dan sesak napas yang diakibatkan oleh volume cairan yang berlebihan dan gejala uremik (Smeltzer & Bare, 2002). Cairan yang diminum pasien gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama. Beberapa pasien mengalami kesulitan dalam membatasi asupan cairan yang masuk, namun mereka tidak mendapatkan pemahaman tentang bagaimana strategi yang dapat membantu mereka dalam pembatasan cairan (Tovazzi & Mazzoni, 2012). Meskipun pasien sudah mengerti bahwa kegagalan dalam pembatasan cairan dapat berakibat fatal, namun sekitar 50% pasien yang menjalani terapi hemodialisis tidak mematuhi pembatasan cairan yang direkomendasikan (Barnett, Li, Pinikahana & Si, 2007). Hal ini dapat mengakibatkan kenaikan

interdialytic weight gain melebihi batas normal.

Interdialytic Weight Gain (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis. Peningkatan IDWG melebihi 5% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kiri, asites, pleural effusion, gagal jantung kongestif, dan dapat mengakibatkan kematian. IDWG dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik faktor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, Stres, Self efficacy, maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan social serta jumlah intake cairan (Levey, Coresh, Balk, Kaustz & Levin, 2003). Nilai interdialyitic weight gain yang dapat ditoleransi sekitar 2 hingga 3 pon atau sekitar 0,9 – 1,3 kilogram.

Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang

(19)

bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema, sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi, dan gangguan fungsi ginjal (Suharyanto, 2002). Dilaporkan prevalensi kenaikan Interdialytic Weight Gain (IDWG) di beberapa negara mengalami kenaikan, sekitar 9,7%-49,5% di Amerika Serikat, dan 9,8%-70% di Eropa (Kugler, Valminck, Haverich & Maes, 2005).

Edukasi yang diberikan kepada pasien hemodialisis, belum memberikan dampak yang maksimal terhadap penurunan interdialyitic weight gain, hal ini sesuai dengan yang di kemukakan oleh Baraz, Parvardeh, Mohammadi & Braumand, (2009), pada penelitian yang dilakukan dari 155 pasien hemodialisis telah mendapatkan edukasi tentang pembatasan cairan, namun tidak ada perbedaan yang signifikan. Di Amerika Serikat, sekitar 17% pasien menerima sedikit informasi mengenai hemodialisis (Mehrotra, Marsh, Vonesh, Peters & Nissenson, 2007). Perawat sebagai pemberi layanan asuhan keperawatan diharapkan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada pasien, terutama dalam memberikan pendidikan kesehatan. Barnett, Li, Pinikahana & Si, (2007), menemukan lebih dari 50% pasien hemodialisis tidak patuh terhadap pembatasan cairan, sehingga perlu mendapatkan edukasi yang berkelanjutan dan diberikan secara rutin. Pada penelitian Kugler, Valminck, Haverich & Maes (2005) menjelaskan bahwa pembatasan cairan yang sangat sulit bagi pasien hemodialisa. Kugler, Valminck, Haverich & Maes (2005), sebanyak 76,4% pasien mengalami kesulitan dalam pembatasan cairan dengan menggunakan metode DDFQ (Dialysis Diet and Fluid Nonadherence Questionnaire). Alharbi & Enrione (2012), dari 222 pasien hemodialisa terdapat 58,7% tidak mematuhi pembatasan cairan, sehingga perlu mendapatkan konseling dan edukasi secara rutin dan berkelanjutan. Dalam penelitian tersebut tidak ada metode standar untuk mengukur ketidakpatuhan dalam pembatasan cairan (Denhaerynck, Manhaeve, Dobbels, Garzoni, Nolte & Degeest, 2007).

(20)

Data dari rumah sakit Finland menunjukkan dari 106 pasien yang dirawat di rumah sakit tersebut, lebih dari 50% tidak mendapatkan konseling tentang penyakit kronik yang dideritanya (Kaakinen, Kaariainen & Kyngas, 2012). Konseling dengan pendekatan analisis transaktional merupakan pendekatan behavioral-kognitif yang berasumsi setiap pribadi memiliki potensi untuk memilih dan mengarahkan ulang atau membentuk ulang nasibnya sendiri. Teori ini lebih menitikberatkan pada komunikasi yang efisien kepada pasien sehingga membantu pasien mengevaluasi setiap keputusannya dalam membuat keputusan baru yang lebih tepat (Lawrence, 2007). Konseling analisis transaktional perlu di terapkan pada konsep keperawatan untuk pasien-pasien yang mengalami penyakit kronis, seperti diabetes melitus, dan gagal ginjal dengan dialisis. Kondisi pasien dengan penyakit kronis sering mengalami keputusasaan dalam pengobatan, sehingga potensial terjadinya ketidakpatuhan dalam program yang dianjurkan (Egan, Rivera, Robillard & Hanson, 1997).

Data dari Rumah Sakit Umum Kardinah Kota Tegal, pada saat studi pendahahuan pada bulan Agustus 2012 di unit hemodialisa angka interdialytic weight gain mengalami kenaikan, hal ini paling sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa. Dari sekitar 130 jumlah pasien yang menjalani hemodialisa sekitar 57% didapati kenaikan interdialytic weight gain lebih dari 2 kg tiap kali akan menjalani hemodialisa. Dari hasil wawancara peneliti dengan perawat ruangan, intervensi yang diberikan kepada tentang pembatasan asupan cairan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan tentang jumlah cairan oral yang boleh diberikan. Namun kurang dari 5% pasien yang taat menjalani aturan tersebut. Pasien yang mengkonsumsi cairan berlebihan mengaku mereka merasa tidak tahan dengan rasa haus dan rasa tidak nyaman pada mulut mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui bagaimana mengatasi hal tersebut.

Penelitian tentang efektifitas konseling dengan pendekatan analisis transaksional tentang diet cairan terhadap penurunan interdialytic weight gain

(21)

pasien pasien gagal ginjal kronik belum pernah diteliti.Konseling analisis transaktio ini menarik untuk diteliti karena di lapangan masih banyak pasien yang belum menjalani diit cairan dengan semestinya, sehingga dengan diberikannya konseling kepada pasien diharapkan pasien lebih teratur dalam menjalani diet cairan yang mana sebagai indikasi peningkatan ataupun penurunan Interdialytic Weight Gain klien. Baraz, Parvardeh, Mohammadi & Braumand, (2009) dalam penelitiannya mengemukakan konseling perlu diberikan pada pasien gagal ginjal kronik yang mengalami kenaikan

interdialytic weiht gain yang berlebihan. Dengan di minimalisir bahkan ditiadakannya peningkatan Interdialytic Weight Gain yang berlebihan pada pasien, akan terhindar dari komplikasi yang dapat ditimbulkan sehingga dapat memperpanjang umur harapan hidup pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa.

1.2Rumusan Masalah

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible. Setiap penyakit yang terjadi pada ginjal akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal terutama berkaitan dengan fungsi pembuangan sisa metabolisme zat gizi keluar tubuh (Wilson, 2006 dalam Price & Wilson, 2006). Bila pasien telah mengalami gagal ginjal, ini merupakan stadium terberat dari penyakit ginjal kronik dan untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi berupa cuci darah atau dialisis (Sinaga, 2008).

Menurut Saran (2003), meskipun pasien gagal ginjal kronis pada awal menjalani hemodialisa sudah diberikan penyuluhan kesehatan untuk mengurangi asupan cairan, akan tetapi pada terapi hemodialisa berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak napas akibat kelebihan volume cairan. Kebutuhan program pengajaran yang memadai tentang pengaturan diet dan pembatasan cairan pada pasien gagal ginjal kronik telah banyak di bahas, dan didiskusikan, namun belum ada pengajaran yang benar-benar sesuai (Baraz, Parvardeh, Mohammadi & Braumand, 2009).

(22)

Analisis transaktional merupakan suatu komunikasi yang efektif, di mana perawat dapat mengetahui perasaan dan pengalaman seseorang terhadap perilakunya. Teori ini membahas tentang kepribadian dan sistem yang terorganisir dari terapi interaksional. Dengan menggunakan analisis transaktional dapat memahami faktor-faktor yang dapat memperngaruhi komunikasi pasien, menghargai keragaman yang diciptakan oleh kepribadian yang berbeda serta melibatkan pasien berdasarkan interaksi sebagai orang dewasa (Lawrence, 2007). Oleh karena itu, konsep analisis transaktional perlu diterapkan dalam keperawatan untuk menangani pasien-pasien dengan penyakit kronis, seperti diabetes melitus dan gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisa (Egan, Rivera, Robillard & Hanson, 1997).

Dalam beberapa penelitian yang dilakukan, belum ada program konseling dengan pendekatan analisis transaksional guna pembatasan asupan cairan pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian : bagaimana efektifitas konseling analisis transaksional tentang diet cairan terhadap penurunan

Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di RSU Kardinah Tegal tahun 2012?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas konseling analisis transaksional tentang diet cairan terhadap penurunan Interdialitic Weight Gain (IDWG) pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di Rumah Sakit Umum Kardinah Tegal Tahun 2012.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1.3.2.1 Gambaran karakteristik umur, jenis kelamin, dan pendidikan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

(23)

1.3.2.2 Gambaran periode hemodialisa, motivasi dan pengetahuan pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa.

1.3.2.3 Hubungan antara umur, jenis kelamin, pendidikan, dan periode hemodialisa, motivasi dan pengetahuan terhadap penurunan

Interdialytic Weight Gain (IDWG) pasien Gagal ginjal kronik. 1.3.2.4 Perbedaan penurunan Interdialytic Weight Gain (IDWG) pada

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.

1.4Manfaat Penelitian

1.4.1 Pelayanan/Asuhan Keperawatan

Dapat memberikan suatu support yang positif bagi perawat untuk dapat memberikan pelayanan konseling dengan pendekatan analisis transaktional yang lebih menekankan aspek psikologis sehingga dapat menjalin komunikasi yang efektif untuk pasien. Sebagai masukan untuk mengembangkan program konseling analisis transaktional pada pasien yang sedang menjalani hemodialisa.

1.4.2 Perkembangan Ilmu Keperawatan

Guna dikembangkan lebih terperinci tentang ilmu konseling, tidak hanya sebatas konseling secara umum, namun dapat berupa pendekatan analisis transaktional yang tepat bagi pasien yang menderita penyakit kronik.

1.4.3 Metodologi

Dapat menjadi landasan yang bermanfaat dalam pengembangan penelitian-penelitian di bidang konseling, memberikan wacana serta guna menyempurnakan penelitian di masa yang akan datang.

(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan diuraikan secara rinci mengenai tinjauan teori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

2.1 GAGAL GINJAL KRONIS 2.1.1 Definisi

Gagal ginjal kronis (GGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel di mana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ginjal kronik terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan pada kedua ginjal bersifat irreversibel. Penyebab

Chronic Kidney Desease antara lain penyakit infeksi, penyakit peradangan, penyakit vaskuler hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik, nefropati obstruktif (Price & Wilson, 2006).

Penyakit ginjal kronis juga didefinisikan sebagai penurunan dari fungsi jaringan ginjal secara progresif di mana massa di ginjal yang masih ada tidak mampu lagi mempertahankan lingkungan internal tubuh (Black & Hawks, 2005). Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak & Gallo, 2005).

(25)

Gagal ginjal kronik merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal yg progresif dan irreversibel dari berbagai penyebab, setiap penyakit yang terjadi pada ginjal akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal terutama berkaitan dengan fungsi pembuangan sisa metabolisme zat gizi keluar dari tubuh (Price & Wilson, 2006). Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan fungsi regularnya. Suatu bahan yang yang biasa dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan sekresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa.

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit ginjal stadium terminal yang paling banyak di New England adalah sebagai berikut :

a. Glomerulonefritis kronik (24%) b. Nefropati Diabetik (15%) c. Nefroklerosis hipertensif (9%) d. Penyakit ginjal polikistik (8%)

e. Pielonefritis kronis dan nefritis intersisial lain (8%) (Brenner & Lazarus dalam Price & Wilson,2006)

penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat di bagi menjadi 8 kelas, yaitu Penyakit infeksi tubulointersisiel, penyakit peradangan, Penyakit vaskular hipertensif, gangguan jaringan ikat, gangguan kongenital dan herediter, penyakit metabolik, nefropati toksik dan nefropati obstruktif. Dari 8 kelas tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 : klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik

No. Klasifikasi Penyakit

1. Penyakit infeksi

tubulointersisiel

(26)

2. Penyakit peradangan Glomerulonefritis

3. Penyakit vaskular hipertensif Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna, Stenosis arteri renalis

4. Gangguan jaringan ikat Lupus eritematosus sistemik, Poliartritis nodosa, Sklerosis sistemik progresif

5. Gangguan kongenital dan herediter

Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus ginjal,

6. Penyakit metabolik Diabetes melitus, Gout, Hiperparatiroidisme, Amiloidosis 7. Nefropati toksik Penyalahgunaan analgasik,

Nefropati timah

8. Nefropati obstruktif Traktus urinarius bagian atas : batu, neoplasma, fibrosis, retroperitoneal. Traktus urinarius bagian bawah : hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika urinaria dan uretra.

2.1.3 Patofisologi Gagal Ginjal Kronik

Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah solute

yang harus diekskresikan oleh ginjal untuk mempertahankan homeostatis tidaklah berubah, kendati jumlah nefron sudah menurun secara progresif. Dua adaptasi penting yang dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.

a. Sisa nefron yang ada mengalami hipertropi dalam usahanya untuk melaksanakan seluruh baban kerja ginjal

b. Terjadi peningkatan kecepatan filtrasi, beban solute dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR di seluruh massa nefron turun di bawah normal.

(27)

Proses adaptasi ini dapat berhasil apabila tingkat kerusakan ginjal di bawah 75%, akan tetapi apabila kerusakan telah mencapai sekitar 75%, maka kecepatan filtrasi dan beban solute bagi setiap nefron tinggi sehingga keseimbangan glomerulus tubulus tidak lagi dipertahankan (Suharyanto, 2002).

Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR. Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR (Glomerular Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :

a. Penurunan cadangan ginjal

Yang terjadi bila GFR turun 50% dari normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa metabolik. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak, dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk mendeteksi penurunan fungsi. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut seperti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti.

b. Insufisiensi ginjal

Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulai sisa metabolik dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretik, menyebabkan oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis. Pada tahap ini kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda tergantung dari kadar kadar protein dalam diet (bandingkan grafik BUN dalam diet rendah

(28)

protein dengan diet yang normal kadar proteinnya). Kadar kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita misalnya mengalami stress akibat infeksi, gagal jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini mulai terdapat gejala nokturia dan poliuri.

c. Gagal ginjal

yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal. Semakin banyak nefron yang mati.

d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir

Terjadi bila GFR menjadi kurang dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi sisa metabolik dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal.

(Price & Wilson, 2006)

Gangguan fungsi ginjal diakibatkan oleh kerusakan nefron. Sisa nefron yang ada mengalami hipertropi dalam untuk melaksanakan beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan filtrasi, beban zat terlarut dan dan reabsorbsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun GFR untuk seluruh massa nefron yang terdapat di ginjal turun di bawah nilai normal. Mekanisme adaptasi ini cukup berhasil dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh hingga tingkat fungsi ginjal yang rendah. Namun pada akhirnya, jika 75% massa nefron sudah hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron demikian tinggi sehingga keseimbangan glomerulus-tubulus tidak dapat lagi dipertahankan (Wilson, 2006). Patofisiologi gagal giinjal kronis dapat dilihat di skema berikut :

(29)

Skema 2.1 Patofisiologi Gagal Ginjal Kronik

Hiperplasia endotel patogenesis glumerolusklerosis Dan mesangial tekanan hidrostatik intra kapiler Hipertropi sel epitel

Densites sel epitel

Obliterasi dan Retraksi podosit

Konfeksi lokal konfeksi lokal

Koefisien ultrafiltasi hilangnya epitel

Akumulasi hialin

(Brevis & Epstein, 1984 dalam Price & Wilson, 2006)

2.1.4 Manifestasi klinis gagal ginjal kronik

Pada gagal ginjal kronik akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan pasien akan menderita sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal.

Hilangnya fungsi nefron

Volume glomerulus

(30)

Dua kelompok gejala klinis dapat terjadi pada sindrom uremik, yaitu : a. Gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi : kelainan volume cairan

dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi metabolit nitrogen serta metabolit lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi ginjal (eritropoetin).

b. Gabungan kelainan kardiovaskuler, neuromuskuler, saluran cerna, dan kelainan lainnya.

Tabel 1.2 : Manifestasi klinis sindrom uremik pada gagal ginjal kronik

Sistem Tubuh Manifestasi

Biokimia Asidosis metabolik (HCO3- serum 18-20 mEq/L), Azotemia (penurunan GFR menyebabkan peningkatan BUN dan kreatinin), Retensi Na, Hipermagnesia, Hiperuresemia.

Saluran Cerna Anoreksia, mual, muntah, napas bau amoniak, mulut kering, perdarahan saluran cerna, diare stomatitis, parotis.

Perkemihan Poliuria, berlanjut menuju oliguri, lalu anuri, nokturia, BJ urin 1,010, proteinuria

Metabolisme Protein, sintesis abnormal hiperglikemia, kebutuhan insulin menurun, lemak, peningkatan kadar trigliserid

Sex Libido menghilang, amenore, impotensi dan sterilitas

Neuromuskuler Mudah lelah, otot mengecil dan lemah, SSP penurunan ketajaman mental, konsentrasi buruk, kekacauan mental, koma, otot berkedut, kejang. Kardiovaskuler Hipertensi, retinopati dan ensefalopati hipertensif,

beban sirkulasi berlebih, edema, gagal jantung kongestif, dan disritmia.

(31)

hiperparatiroidisme, deposit garam kalsium pada sendi, pembuluh darah, jantung dan paru-paru, konjungtivitis (uremia mata merah).

Pernapasan Kussmaul, dispnea, edema paru, pnemonitis. Kulit Pucat, pruritus, kristal uremia, kulit kering, dan

memar.

Hematologik Anemia, hemolisis, kecenderungan perdarahan, resiko infeksi.

2.1.5 Perjalanan Klinis

Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 (tiga) stadium, yaitu :

a. Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat diketahui dengan test pemekatan kemih dan test GFR yang teliti.

b. Stadium II, dinamakan insufisiensi ginjal

1) Pada stadium ini, di mana lebih dari 75% jaringan yang berfungsi telah rusak.

2) GFR besarnya 25% dari normal.

3) Kadar BUN dan kreatinin serum mulai meningkat dari normal. 4) Gejala-gejala nokturia atau sering berkemih di malam hari sampai

700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai timbul.

c. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

1) Sekitar 90% dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja yang masih utuh.

2) Nilai GFR hanya 10% dari keadaan normal

3) Kreatinin serum dan BUN akan meningkat dengan mencolok 4) Gejala-gejala yang timbul karena ginjal tidak sanggup lagi

mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh, yaitu oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.

(32)

Tabel 1.3 : Tahap-tahap dari gagal ginjal kronik

Tahap Gambaran GRF

mL/min/1.73m2

1 Slight kidney damage with normal on increase filtrasion

Ø 90

2 Mild decrease in kidney function 60-89 3 Moderate decrease in kidney

function

30-59

4 Severe decrease in kidney function 15-29 5 Kidney failure requiring dialysis or

trasplantation

< 15

2.1.6 Penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik

Pengobatan gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 2 (dua) tahap, yaitu tindakan konservatif dan dialisis atau transplantasi ginjal.

2.1.6.1Tindakan konservatif

Tujuan pengobatan pada tahap ini adalah untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif. Pengobatan antara lain : 1. Pengaturan diet protein, kalium, natrium, dan cairan

a. Pembatasan protein

Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. Pembatasan asupan asupan protein telah terbukti menormalkan kembali kelainan ini dan memperlambat terjadinya gagal ginjal (Zeller dan Jacobus, 1989 dalam suharyanto, 2002). Jumlah kabutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan pengobatan dialisis teratur.

(33)

b. Diet rendah kalium

Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEg/hari. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.

c. Diet rendah natrium

Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.

d. Pengaturan cairan

Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran Berat Badan Harian. Asupan yang bebas dapat menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan yang terlalu rendah mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi ginjal. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya asupan cairan adalah : jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam terakhir + 500 ml (IWL). Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Wilson, 2006).

Berat badan di bawah berat badan ideal akan muncul gejala dehidrasi dan atau deplesi volume, misalnya hipotensi, kram, hipotensi pustural, dan pusing. Berat badan di atas berat badan ideal akan muncul tanda dan gejala kelebihan cairan, misalnya udema, sesak napas. Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat

(34)

ditoleransi adalah 1-2 kg selama periode intradialitik (Cahyaningsih, 2009).

Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan ini sering menjadi permasalahan, menurut Agh, Inotai, & Meszaros, (2011) banyak faktor yang mempengaruhi pasien dalam kepatuhan menjalani terapi, di antaranya usia, jenis kelamin, pengetahuan, dan demografi pasien. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena dapat berdampak pada keberhasilan program diit pada pasien hemodialisa. Selain itu, kepatuhan dalam menjalani program terapi dapat juga dipengaruhi oleh gaya hidup, aspek psikososial, support sistem, dan kemauan (Anggarwal, & Mosca, 2010). Lain halnya yang di sampaikan oleh Nilsson, William, Ros, Bratt, & Keel, (2007) depresi dalam pengobatan jangka panjang menjadikan alasan utama pasien tidak mematuh pengobatan yang harus dijalankan.

Pada gagal ginjal parsial kronis, penumpukkan cairan mungkin tidak terlalu berat, selama asupan garam dan cairan tidak berlebihan, sampai fungsi ginjal turun 30% dari normal atau lebih rendah lagi. Alasan untuk hal ini, seperti telah dijelaskan sebelumnya, adalah bahwa nefron yang tersisa mengekskresikan garam dan air dalam jumlah lebih besar. Bahkan bila retensi cairan yang terjadi hanya sedikit, bersama dengan peningkatan renin dan angiotensin II yang biasanya terjadi pada penyakit ginjal sistemik, sering menyebabkan hipertensi berat pada gagal ginjal kronik (Price & Wilson, 2006).

Jika asupan air segera dibatasi setelah timbul gagal ginjal akut, kandungan cairan tubuh total mungkin hanya sedikit meningkat, jika asupan cairan tidak dibatasi dan pasien tetap minum sebagai responnya terhadap rasa haus, cairan tubuh akan segera meningkat.

(35)

Pada pasien dengan fungsi ginjal yang begitu menurun sehingga memerlukan dialisis untuk mempertahankan hidupnya, hampir seluruhnya mengalami hipertensi. Pada kebanyakan pasien ini, penurunan asupan garam yang berlangsung berat atau pengeluaran cairan ekstraseluler melalui dialisis dapat mengendalikan hipertensi. Selebihnya pasien tetap mengalami hipertensi bahkan setelah natrium banyak dikeluarkan melalui dialisis (Guyton, 2007).

2.1.7 Pencegahan dan pengobatan komplikasi :

2.1.7.1 Hipertensi

Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan. Pemberian obat antihipertensi : metildopa (aldomet), propanolol, klonidin (catapres). Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisis, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultraviltrasi.

2.1.7.2 Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+ Serum mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian Kalsium Glukonat 10%.

2.1.7.3 Anemia

Anemia pada gagal ginjal kronik diakibatkan penurunan sekresi eritropoetin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoetin, yaitu rekombinan eritropoetin (Eshbach et al, 1987 dalam suharyanto, 2002), selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan transfusi darah.

(36)

2.1.7.4 Asidosis

Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3- plasma turun di bawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3- (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.

2.1.7.5 Diet rendah fosfat

Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat di dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama dengan makanan.

2.1.7.6 Pengobatan hiperurisemia

Adapun jenis obat pilihan yang dapat untuk mengobati hiperuremia pada penyakit ginjal lanjut adalah alopurinol. Efek kerja obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan oleh tubuh.

2.1.7.7 Dialisis

Pengobatan gagal ginjal stadium akhir adalah dengan dialisis dan transplantasi ginjal. Dialisis dapat digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal. Dialisis dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya di atas 6 mg/100 ml pada laki-laki atau 4 ml/100 ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/menit.

2.2Hemodialisa

2.2.1 Definisi

Hemodialisa merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialisis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pada pasien dengan gagal

(37)

ginjal kronik stadium akhir atau End Stage Renal Desease (ESRD) yang memerlukan terapi jangka panjang atau permanen.

2.2.2 Tujuan

Tujuan dilakukan hemodialisa adalah untuk mengeluarkan zat-zat nitrogen yang toksik dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Terdapat tiga prinsip yang didasari kerja hemodialisis, yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Toksin dan zat limbah di dalam darah dikeluarkan melalui proses difusi dengan cara bergerak dari darah yang memiliki konsentrasi tinggi, ke cairan dialisat dengan konsentrasi yang lebih rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang penting dengan konsentrasi ekstrasel yang ideal. Kelebihan cairan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses osmosis. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien tekanan, di mana air bergerak dari daerah dengan tekanan yang lebih tinggi (tubuh pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat). Gradien ini dapat ditingkatkan melalui penambahan tekanan negatif diterapkan pada alat ini sebagai kekuatan penghisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air (Suharyanto, 2002).

2.2.3 Komplikasi hemodialisis 1) Akut

Pergerakan darah ke luar sirkulasi menuju sirkuit dialisis dapat menyebabkan hipotensi. Dialisis awal yang terlalu agresif dapat menyebabkan disequilibrium (ketidakseimbangan) dialisis, sebagai akibat perubahan osmotik di otak pada saat kadar ureum plasma berkurang. Efeknya bervariasi dari mual dan nyeri kepala sampai kejang dan koma. Nyeri kepala selama dialisis dapat disebabkan oleh efek vasodilator asetat. Gatal selama atau sesudah hemodialisis dapat merupakan gatal pada gagal ginjal kronik yang dieksaserbasi oleh pelepasan histamin akibat rekasi alergi yang ringan terhadap membran dialisis (O’callaghan, 2007). Kadangkala, pajanan darah ke membran

(38)

dialisis dapat menyebabkan respon alergi yang lebih luas, hal yang lebih jarang terjadi menggunakan membran biokompatibel modern. Kram pada dialisis mungkin mencerminkan pergerakan elektrolit melewati membran otot. Hipoksemia selama dialisis dapat mencerminkan hipoventilasi yang disebabkan oleh pengeluaran bikarbonat atau pembentukan pirau dalam paru akibat perubahan vasomotor yang diinduksi oleh zat yang diaktivasi oleh membran dialisis. Kadar kalium yang dikurangi secara berlebihan menyebabkan hipokalemia dan disritmia. Masalah pada sirkuit dialisis dapat menyebabkan emboli udara yang sebaiknya diobati dengan memposisikan kepala pasien di sisi kiri bawah dengan menggunakan oksigen 100%.

2) Kronis

Masalah yang paling sering berkaitan dengan akses dan termasuk trombosis fistula, pembentukan aneurisma, dan infeksi, terutama dengan graft sintetik atau akses vena sentral sementara. Infeksi sistemik dapat timbul pada lokasi akses atau didapat dari sirkuit dialisis. Transmisi infeksi yang ditularkan melalui darah (blood-borne infection) seperti hepatitis virus dan HIV merupakan suatu bahaya potensial. Pada dialisis jangka panjang, deposit protein amiloid dialisis yang mengandung mikroglobulin – ß2 dapat menyebabkan sindrom terowongan karpal (carpal tunnel syndrome) dan artropati destrktif dengan lesi tulang kistik. Senyawa pengikat fosfat yang mengandung aluminium dan kontaminasi aluminium dari cairan dialisat dapat menyebabkan toksisitas aluminium dengan demensia, mioklonus, kejang, dan penyakit tulang. Keadaan tersebut membaik dengan pemberian deferoksamin (O’callaghan, 2007).

Menurut Suharyanto (2002), meskipun hemodialisis dapat memperpanjang usia tanpa batas yang jelas, tindakan ini tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga

(39)

tidak akan mengendalikan seluruh fungsi ginjal. Pasien tetap akan mengalami sejumlah permasalahan dan komplikasi. Salah satu penyebab kematian di antara pasien-pasien yang menjalani hemodialis adalah penyakit kardiovaskuler dan arterioskelrotik. Gangguan metabolisme lipid (hipertrigliseridemia) tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodialisis.

Adapun komplikasi dialisis secara umum dapat mencakup hal-hal sebagai berikut:

1) Hipotensi, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan dikeluarkan.

2) Emboli udara, merupakan komplikasi yang jarang terjadi tetapi dapat terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien.

3) Nyeri dada, dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah di luar tubuh.

4) Pruritus, dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme meninggalkan kulit.

5) Gangguan keseimbangan dialisis, terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

6) Kram otot, terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel.

7) Mual, muntah, merupakan peristiwa yang paling sering terjadi.

2.2.4 IDWG (Interdialytic Weight Gain)

Interdialytic Weight Gain (IDWG) merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan peningkatan berat badan sebagai indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada pasien yang mendapatkan terapi hemodialisis. Peningkatan IDWG melebihi 5% dari berat badan kering dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi seperti hipertensi, hipotensi intradialisis, gagal jantung kiri, asites, pleural

(40)

effusion, gagal jantung kongestif, dan dapat mengakibatkan kematian. IDWG dapat disebabkan oleh berbagai macam factor baik faktor internal yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, rasa haus, Stres, Self efficacy, maupun faktor eksternal yaitu dukungan keluarga dan social serta jumlah intake cairan. Berat badan kering adalah berat badan yang dirasakan secara subjektif enak oleh pasien. Data objektif berat badan kering adalah tidak adanya overhidrasi seperti oedema, peningkatan vena jugularis, ronchi dan pada saat dilakukan penarikan cairan (ultra filtrasi) tidak terjadi hipotensi, kram, muntah (Cahyaningsih, 2009).

Pada inisiasi dialisis, kebanyakan pasien mengalami fase katabolik selama beberapa bulan akibat penyakit kronis. Pada saat yang sama, eksresi garam dan air yang adekuat telah menurun akibat kerusakan nefron yang progresif. Gangguan ini mengakibatkan pengerutan sel masa tubuh dan perluasan kompartemen ekstraseluler. Saat dialisis memperbaiki keadaan uremia, suatu peningkatan masa tubuh dapat tak terdeteksi akibat penurunan volume ekstraseluler. Penurunan masa tubuh dan peningkatan cairan ekstraseluler dapat pula tidak diketahui selama sakit akut. Fakta-fakta ini yang menyebabkan peningkatan berat badan interdialitik yang besar, tidak tercapainya berat badan kering, dan dapat mengalami hipotensi intradialitik akibat faktor nonvolume. Sebaliknya, mereka dapat mengalami normotensi, nonedema, tanpa tanda-tanda kelebihan cairan walau berada di atas berat badan keringnya. Pemantauan tekanan darah yang terus-menerus merupakan satu-satunya cara untuk menentukan hipervolume yang bisa menyebabkan hipertensi paling lambat 12 jam setelah meninggalkan unit hemodialisis. Penyesuaian yang tepat pada berat badan kering tidak selalu sewaktu munculnya komplikasi under/over hidrasi dan saat sakit.

Ketidakpatuhan dalam mengurangi asupan cairan dapat meningkatkan berat badan dan memungkinkan berbagai macam komplikasi yang dapat ditimbulkan, seperti sesak pada pernapasan. Ketidakpatuhan pembatasan

(41)

cairan dapat terjadi pada pasien di antara hemodialisis sebelumnya dan selnjutnya, dengan indikasi adanya peningkatan berat badan, yang mana di sebut dengan Interdialitic Weigth Gain (IDWG), atau bahkan sebaliknya pada pasien yang membatasi asupan cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan Intradialitic Weigth Loss (IDWL). Ketidakpatuhan dalam asupan cairan dapat mengakibatkan 2 kemingkinan yaitu IDWG ataupun IDWL (Denhaerynck, Manhaeve, Dobbels, Garzoni, Nolte & Degeest, 2007).

Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati dalam gagal ginjal kronik, karena rasa haus pasien merupakan panduan yang tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien (Wilson, 2006 dalam Price & Wilson, 2006). Berat badan harian merupakan parameter yang penting dipantau, selain catatan yang akurat mengenai asupan dan keluaran. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema, dan intoksikasi cairan.

Asupan yang kurang optimal dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan perburukan ginjal. Aturan umum untuk asupan cairan adalah keluaran urine dalam 24 jam + 500 ml mencerminkan kehilangan cairan yang disadari. Misalnya, jika keluaran urine pasien dalam 24 jam adalah 400 ml, maka asupan cairan total perhari adalah 400 + 500 ml = 900 ml. Kebutuhan pasien yang diperbolehkan pada pasien anefrik adalah 800 ml/hr, dan pasien dialisis diberi cairan yang mencukupi untuk memungkinkan penambahan berat badan 2 hingga 3 pon (sekitar 0,9 hingga 1,3 kg) selama pengobatan. Yang jelas, asupan cairan harus diatur sedemikain rupa untuk mencapai keseimbangan cairan (Wilson, 2006 dalam Price & Wilson, 2006). Pengukuran berat badan kering seperti pengukuran berat badan ideal yakni (TB – 100) – 10%, di mana kondisi pasien normotensive, tidak mengalami kelebihan cairan (udema) atau dehidrasi. Berat badan ideal ini harus dicapai pasien di akhir dialisis (Cahyaningsih, 2009).

(42)

Pembatasan pemasukan cairan pada gagal ginjal kronik perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya komplikasi seperti hipervolumia, dan komplikasi pada sistem kardiovakuler, yang hal tersebut dapat memperberat beban kerja dari ventrikel kiri, cara untuk mengurangi beban kerja tersebut yakni dengan mengurangi pemasukan cairan yang berlebihan. Cairan yang masuk dan keluar harus seimbang, baik yang lewat urine maupun yang keluar tanpa disadari klien yaitu insensible water loss. Jumlah cairan yang dikonsumsi adalah dengan menambahkan cairan yang keluar dengan 500 ml. Jika asupan air segera dibatasi setelah timbul gagal ginjal akut, kandungan cairan tubuh total mungkin hanya sedikit meningkat. Jika asupan cairan tidak dibatasi dan pasien tetap minum sebagai responnya terhadap mekanisme rasa haus normal, cairan tubuh akan segera meningkat (Guyton, 2007).

Renin merupakan suatu enzim proteolitik yang disekresikan oleh ginjal yang mempunyai respon terhadap penurunan perfusi ginjal yang menyebabkan penurunan volume ekstrasel. Renin bertugas untuk mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I yang dapat mengakibatkan terjadinya vasokontriksi. Kemudian angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II yang kemudian akan menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah selektif yang masif dan merelokasi dan meningkatkan aliran darah ke ginjal, yang meningkatkan perfusi ke ginjal. Angiotensin II juga menstimulasi pelepasan aldosteron bila konsentrasi natrium rendah (Weldy, 1996 dalam Crisp & Taylor, 2001). Peningkatan kadar angiotensin II pada pasien gagal ginjal dapat menimbulkan haus. Efek dari dipsogenik angiotensin II yang disebabkan kondisi-kondisi yang terkait dengan perangsangan dari sistem renin angiotensin yang menyebabkan rasa haus yang berlebihan, kondisi ini merupakan haus yang tidak terkontrol, meskipun terjadi hidrasi yang memadai (Black & Hawks, 2005). Masukan cairan pada pasien gagal

(43)

ginjal kronik yang mengalami haus dapat juga disebabkan oleh mukosa mulut yang kering dan rasa metalik di mulut akibat uremia.

2.3Asuhan Keperawatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Yang Menjalani Hemodialis

Asuhan keperawatan diarahkan untuk mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensial yang mengakibatkan ketidakseimbangan, mengimplementasikan program diet untuk menjamin masukan nutrisi yang sesuai dalam batas-batas program penanganan, dan meningkatkan rasa positif dengan mendorong peningkatan perawatan diri dan kemandirian. Sangatlah penting untuk menjelaskan dan menginformasikan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit gagal ginjal tahap akhit, pilihan penanganan, dan komplikasi potensial. Dukungan emosi terbesar diperlukan pasien dan keluarga berhubungan dengan sejumlah perubahan yang dialami. Intervensi khusus, beserta rasional dan kriteria evaluasi disajikan secara rinci tercantum sebagai berikut.

Asuhan keperawatan yang berkesinambungan perlu diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik, terutama yang menjalani terapi hemodialisa. Perawat berperan sangat penting dalam memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien. Pasien memerlukan konseling yang terkait informasi yang harus dipahami serta dijalani oleh pasien dan keluarga dalam rangka untuk memelihara kesehatan dan menghindari komplikasi yang berhubungan dengan gagal ginjal tahap akhir. Karenanya perawat di harapkan dapat memberikan pendidikan yang berkelanjutan dan mengulangi pengajaran awal sambil memantau perkembangan pasien dan kepatuhan mereka terhadap program penanganan (Smelzter & Bare, 2002). Perawat nefrologi seharusnya sering memiliki hubungan jangka panjang dengan pasien mereka dan idealnya ditempatkan untuk memberikan pendidikan berkelanjutan dan dorongan, terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam mengikuti program pembatasan cairan dan makanan (Barnett, Yoong, Pinikahana, & Si-Yen, 2007).

(44)

2.3.1 Pengkajian

1) Aktifitas dan istirahat, adanya kelelahan, kelemahan, dan malaise, kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.

2) Sirkulasi kaji adanya riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada, hipertensi : nadi kuat, edema, jaringan dan pitting pada kaki, dan telapak tangan, disritmia jantung, friction rub perikardial,

(respon terhadap akumulasi cairan), pucat, kulit coklat kehijauan, kuning, kecenderungan perdarahan.

3) Integritas Ego, kaji mengenai faktor stress (misalnya finansial, hubungan, dsb), perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan, serta didapati tanda seperti menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian.

4) Eliminasi, adanya penurunan frekuensi urin, oliguri, atau anuria, distensi abdomen, diare, atau konstipasi, perubahan warna urin (kuning pekat, merah, atau coklat), oliguri, atau anuria.

5) Makanan dan cairan, kaji peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri epigastrium, mual/muntah, napas bau amoniak, distensi abdomen (asites), pembesaran hati (hepatomegali), perubahan turgor kulit, lembab, edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi atau lidah, penurunan kekuatan otot, penampilan tak bertenaga.

6) Neurosensori, seperti adanya sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot (kejang), rasa terbakar pada telapak kaki, kesemutan, dan kelemahan, khususnya ekstremitas bawah (neuropati perifer), gangguan status mental (misalnya penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, penurunan kesadaran, stupor atau koma, tanda chvostek dan trosseau positif, kejang, fasikulasi otot, aktifitas kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.

7) Nyeri dan kenyamanan, kaji riwayat nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, adanya perilaku hati-hati (distraksi), gelisah.

(45)

8) Pernapasan, meliputi adanya napas pendek, noctural paroxysmal dyspnea, batuk dengan atau tanpa sputum kental, takipnea, dispnea, pernapasan kusmaul (cepat dan dalam), batuk produktif dengan sputum merah muda dan encer (edema paru).

9) Keamanan seperti kulit gatal, ada atau berulangnya infeksi, pruritas, demam (karena sepsis atau dehidrasi) petekie, ekimosis.

10) Seksualitas, penurunan libido, amenore, infertilitas

11) Interaksi sosial, kesulitan menentukan kondisi (misalnya tidak mampu bekerja, atau mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga).

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Setelah dilakukan pengkajian pada pasien, maka langkah selanjutnya dalam proses keperawatan adalah menentukan diagnosa keperawatan. Adapun diagnosa keperawatannya adalah perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan gangguan gastrointestinal (akibat uremia), anorekia, mual atau muntah, pembatasan diet. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasa, penurunan kekuatan/kelemahan, gangguan muskuloskeletal, gangguan persepsi atau kognitif. Kurang perawatan diri berhubungan dengan gangguan persepsi atau kognitif (akumulasi toksin), intoleransi aktifitas, penurunan kekuatan dan ketahanan terhadap nyeri. Resiko tinggi konstipasi berhubungan dengan penurunan masukan cairan, pola diet, penurunan motilitas usus, ketidakseimbangan elektrolit, hipovolemia, hiperglikemia. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional, ancaman konsep diri, perubahan konsep diri, perubahan status kesehatan, status sosioekonomik. Gangguan citra diri (harga diri) berhubungan dengan krisis situasional, penyakit kronis pada peran biasanya. Kurang pengetahuan tentang kondisi, program penanganan, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan, tidak mengenal informasi, keterbatasan kognitif (Suharyanto, 2002).

(46)

2.3.3 Intervensi Keperawatan

Dalam intervensi keperawatan ini, peneliti memfokuskan pada diagnosa Kurang pengetahuan tentang kondisi, program penanganan, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan, tidak mengenal informasi, keterbatasan kognitif (Suharyanto, 2002). Adapun

Nursing Outcame Classification (NOC) tahun 2008 adalah adanya pengetahuan tentang proses penyakit (Knowledge : disease process) dengan kriteria hasil : mengetahui proses penyakit, faktor-faktor penyebab, faktor resiko, dampak dari penyakit, tanda dan gejala penyakit, potensial terjadinya komplikasi, tanda dan gejala komplikasi, pencegahan terhadap timbulnya komplikasi, efek psikososial penyakit bagi diri sendiri, efek psikososial penyakit bagi keluarga, manfaat management penyakit, tersedianya dukungan kelompok, dan adanya sumber informasi tentang penyakit yang tersedia.

Nursing Intervention Classification (NIC) masalah keperawatan kurang pengetahuan adalah dengan memberikan konseling (carpenito, 1999) berada pada Behavioral, yang terdapat Communication enhancement.

Intervensi konseling activity sebagai berikut : membangun hubungan terapeutik berdasarkan kepercayaan dan saling menghormati, menunjukkan empati, kehangatan, menetapkan hubungan konseling jangka panjang, menetapkan tujuan bersaman, menyediakan privasi dan menjamin kerahasiaan, berikan informasi yang diperlukan, dorong ekspresi perasaan, bantu pasien dalam mengidentifikasi masalah atau situasi yang memperburuk kondisinya, gunakan tehnik refleksi dan klarifikasi, bantu pasien dalam mengidentifikasi solusi alternatif dalam pemecahan masalah, identifikasi adanya perbedaan antara pandangan pasien dan tim kesehatan, tentukan perilaku keluarga dalam perawatan pasien, verbalisasi perbedaan perasaan pasien dengan perilaku, gunakan alat penilaian (misalnya, kertas dan pensil tindakan, rekaman, rekaman video, latihan interaksional dengan orang lain) untuk membantu meningkatkan kesadaran diri pasien, ungkapkan aspek-aspek dari

Gambar

Gambar 2.1. Analisis Struktural  ................................................................
Tabel 1.1 : klasifikasi Penyebab Gagal Ginjal Kronik
Tabel 1.2 : Manifestasi klinis sindrom uremik pada gagal ginjal kronik
Tabel 1.3 : Tahap-tahap dari gagal ginjal kronik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap perancangan hal – hal yang dijadikan parameter mendesain rumah susun sewa di Malang adalah hasil dari proses analisis dan sintesa, yang akan di perhatikan

Pada tahun 2011 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta III telah mengembangkan Jurusan Fisioterapi dengan Program Studi D IV Fisioterapi sesuai dengan

Oleh karena itu, tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kondisi kontrol muatan pada JT Trosobo, dampak dari tidak terkontrolnya muatan kendaraan berat angkutan barang

Dengan latar belakang tersebut, salah satu alternatif perusahaan untuk terus meningkatkan layanan terhadap pelanggannya adalah sistem berbasis internet yang menghubungkan perusahaan

Tabel 3.1 Jumlah Penduduk, Jenis Kelamin dan Rasio Jenis Kelamin Menurut Gampong di Kecamatan Bandar Dua, 2014 Nama Gampong Penduduk (Jiwa) Jumlah Rasio Jenis Kelamin Laki- laki

Setelah itu siswa diminta menyelesaikan lembar kerja tentang pengenalan kosa kata yang berhubungan dengan kegiatan sore hari.. Guru melanjutkan dengan diskusi

Undang-Undang ahwa dalam rangka tertib administrasi pemberian dan pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi emperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Refrensi [5] menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pendidikan kesehatan senam kaki melalui media audiovisual