• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan 1. Unsur Intrinsik Cerkak Majalah Jaya Baya

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 141-153)

Unsur intrinsik cerkak dalam majalah Jaya Baya meliputi tema, alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang, dan amanat. Berikut pemaparan unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014:

a. Tema

Tema adalah gambaran isi cerita secara umum. Para pengarang

cerkak majalah Jaya Baya mengangkat cerita yang berkaitan dengan

kehidupan masyarakat desa dengan fokus perbuatan baik maupun buruk yang disertai dengan akibat dari perbuatan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa tema cerkak dalam majalah Jaya Baya berkaitan dengan ajaran atau dalam bahasa Jawa sering disebut dengan istilah pitutur. Melalui cerkak yang memuat tema ajaran tersebut, para pembaca akan lebih paham tentang perbuatan baik yang harus dilakukan dan perbuatan buruk yang harus dijauhi. Berdasarkan segi dikhotomis, mayoritas cerkak majalah Jaya Baya mengandung tema tradisional. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar pengarang atau masyarakat Jawa masih berpedoman teguh pada pepatah sura

dira jayaningrat lebur dening pangastuti „orang yang hebat namun

berperilaku buruk, akan kalah dengan orang yang berperilaku baik‟.

Dari keenam cerkak yang dikaji, lima cerkak diantaranya memuat tema tradisional. Lima cerkak tersebut antara lain Welingmu, Sarwa Sujana,

Telulasan, Mbah Kakung, dan Nglegok. Sedangkan satu cerkak yang berjudul Oncating Cahya memuat tema nontradisional. Hal tersebut dikarenakan

commit to user

ditunjukkan bahwa para tokoh merasakan bahagia hanya karena hal-hal yang bersifat sederhana. Senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Uniawati (2011) dengan judul Cerpen Tiurmaida: Kajian Struktural Tzvetan Todorov. Di dalam penelitian tersebut, Uniawati memaparkan tokoh Tiurmaida yang merasa bahagia meski hidup dalam keterbatasan. Tiurmaida meninggalkan keluarganya kemudian memilih hidup bersama Marsius dengan segala keterbatasan, tetapi penuh cinta. Walau hidup dalam kondisi pas-pasan, tetapi ketika hati diliputi oleh rasa cinta, maka hidup akan dapat dilalui dengan lapang.

b. Alur

Alur adalah urutan peristiwa yang terdapat dalam sebuah cerita. Berdasarkan urutan waktu, alur dibagi menjadi tiga yaitu alur maju, alur mundur dan alur gabungan (alur maju dan alur mundur). Keenam cerkak dalam majalah Jaya Baya menggunakan alur maju. Peristiwa masing-masing

cerkak dipaparkan secara kronologis mulai dari tahap penggambaran situasi

dan pengenalan para tokoh hingga tahap penyelesaian. Kelima tahapan alur tersebut disajikan secara lengkap oleh pengarang dalam masing-masing

cerkak. Penyelesaian cerita beraneka ragam, ada yang bersifat happy ending

(cerita berakhir dengan bahagia) dan ada juga yang bersifat sad ending (cerita berakhir dengan kesedihan). Penyelesaian yang bersifat happy ending terdapat dalam cerkak Nglegok dan Oncating Cahya. Sedangkan cerkak

Welingmu, Sarwa Sujana, Telulasan, dan Mbah Kakung memuat

penyelesaian cerita yang bersifat sad ending.

c. Tokoh dan Penokohan

Tokoh mengacu pada subjek atau orang yang bertindak dalam cerita. Di dalam cerkak majalah Jaya Baya, jumlah tokoh utama lebih sedikit daripada tokoh tambahan. Keenam cerkak memunculkan para tokoh sebagai masyarakat Jawa yang hidup dalam lingkungan pedesaan. Beberapa cerkak memunculkan tokoh dengan disertai karakter orang Jawa yang berpedoman

commit to user

pada prinsip sepi ing pamrih, rame ing gawe „membantu tanpa mengharap imbalan‟ dimunculkan oleh pengarang. Di dalam cerkak Mbah Kakung, masyarakat saling gotong royong dalam membantu keluarga Mbah Kakung yang sedang berduka. Masyarakat melakukan hal tersebut secara ikhlas tanpa imbalan, karena nilai sosial masyarakat pedesaan memang dinilai masih tinggi. Tokoh Mayang dalam cerkak Oncating Cahya menyampaikan ilmu yang dimilikinya pada remaja desa yang putus sekolah. Hal tersebut dilakukan karena adanya rasa peduli, bukan karena ingin dipuji atau digaji. Kemudian tokoh pengarang dalam cerkak Oncating Cahya, rela mengeluarkan uang pribadi untuk ikut iuran membeli solar genset milik Mbah Haji Kirman agar bisa ikut menggunakan listrik. Hal tersebut dilakukan pengarang secara ikhlas. Pengarang juga tidak menarik biaya bagi para pengunjung perpustakaannya. Pengarang sudah merasa senang ketika melihat warganya mau membaca buku. Senada dengan penelitian Huda (2013) yang menyatakan bahwa kehidupan pedesaan masih menjanjikan kedamaian yang tulus tanpa pamrih. Lingkungan pedesaan senantiasa mengutamakan keharmonisan dan keselarasan makhluk dengan dunia sekitarnya.

Penokohan mengacu pada watak atau sifat dari tokoh dalam cerita. Watak para tokoh dimunculkan oleh pengarang melalui tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi sosial. Dimensi fisik memuat ciri-ciri fisik, penyakit, keadaan para tokoh, dan lain-lain. Pengarang cerkak

Welingmu dan Nglegok memunculkan dimensi fisik para tokoh secara

langsung. Sedangkan dalam cerkak Sarwa Sujana, Telulasan, Mbah Kakung, dan Oncating Cahya, dimensi fisik para tokoh bersifat implisit. Keadaan fisik para tokoh dapat diketahui dari sapaan tokoh lain dan latar belakang kehidupan tokoh.

Dimensi psikis menunjukkan watak baik dan buruk dari para tokoh, seperti baik, penyabar, bijaksana, sombong, dan lain-lain. Pengarang menyampaikan watak tokoh-tokoh cerita secara langsung (ekspositori) dan tidak langsung (dramatik). Penyampaian dimensi psikis secara langsung

commit to user

menyampaikan watak tersebut dalam bentuk deskripsi langsung. Sedangkan penyampaian dimensi psikis secara tidak langsung (dramatik) berarti watak para tokoh bersifat implisit atau dapat diketahui dari interaksi yang dilakukan oleh tokoh dengan tokoh lain. Penyampaian watak tokoh dari keenam cerkak secara tidak langsung pun bersifat variasi, mulai dari teknik cakapan, tingkah laku, pikiran dan perasaan, arus kesadaran, reaksi tokoh, reaksi tokoh lain, pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik. Mayoritas watak tokoh dapat diketahui dari percakapannya dengan tokoh lain dan tingkah laku yang dilakukan oleh tokoh. Sehingga teknik cakapan dan tingkah lakulah yang paling banyak digunakan oleh pengarang.

Dimensi sosial meliputi pekerjaan, kelas sosial, latar belakang kekayaan, pangkat, dan jabatan dari para tokoh. Dimensi sosial dari keenam

cerkak antara lain profesi sebagai guru, kepala sekolah, tukang kebun

sekolah, karyawan kantor, karyawan pabrik, penulis, pembantu, pedagang, dan pegawai Dikpora. Kemudian jabatan di daerah yakni sebagai ustadz, sesepuh desa yang ahli ilmu kejawen, pengurus organisasi desa, dan lain-lain.

d. Latar

Latar cerkak majalah Jaya Baya terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat yang digunakan keenam cerkak mayoritas adalah lingkungan pedesaan masyarakat Jawa Timuran. Hal tersebut dapat diketahui dari munculnya kata-kata khas dari percakapan para tokoh seperti

megawe, bae, sueru, mari, dan je. Dialek dapat menunjukkan latar tempat

dari suatu cerita. Senada dengan penelitian Uniawati (2011) yang menjelaskan di dalam cerita objek kajiannya terdapat kata-kata khas seperti

marlojong, mangidolong, abit partanding, dan datu. Berdasarkan kata-kata

khas tersebut dapat diketahui bahwa tempat yang menjadi latar cerita adalah Sumatra Utara. Selain dialek, latar tempat dapat diketahui dari adat dan tradisi daerah. Tledhek dan gembyangan merupakan salah satu tradisi Jawa Timur.

Latar waktu meliputi keterangan kapan terjadinya suatu peristiwa dalam cerita. Keenam cerkak menggunakan latar waktu lebih dari satu hari

commit to user

yakni antara satu minggu hingga lima belas tahun. Latar waktu yang digunakan oleh pengarang mayoritas bersifat implisit, sehingga latar waktu tersebut dapat diketahui berdasarkan pemahaman masing-masing pembaca. Pemunculan latar waktu secara eksplisit sangat sedikit, yakni dalam cerkak

Mbah Kakung tertulis hari Jum‟at Wage, waktu ketika Mbah Kakung

menghadiri rapat di kantor PWRI. Di dalam cerkak Nglegok juga terdapat satu latar waktu yang dimunculkan secara eksplisit, yakni bulan Sura atau Muharram sebagai keterangan waktu ketika diadakannya tradisi gembyangan dan upacara ritual bersih desa.

Latar sosial meliputi kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Latar sosial dari keenam cerkak mayoritas merupakan masyarakat muslim. Hal tersebut dapat diketahui dari aktivitas tokoh dalam melaksanakan shalat tahajud, pengucapan kalimat istirja‟, diadakannya acara yassinan, adanya sapaan Haji, buku bacaan islam, dan lain-lain. Di dalam cerkak Sarwa Sujana dimunculkan latar sosial masyarakat yang masih memiliki keyakinan adanya dukun dan pesugihan babi ngepet. Kemudian dalam cerkak Mbah Kakung, ditunjukkan bahwa masyarakat masih sangat kental dengan tradisi petungan. Masyarakat dalam cerkak Nglegok masih memiliki pandangan hidup bahwa anak perempuan apabila sudah berusia lima belas tahun harus segera dinikahkan atau akan dijuluki sebagai perawan lapuk. Hal tersebut menunjukkan belum adanya kesetaraan gender. Perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama dalam hal pendidikan dan pekerjaan.

e. Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan posisi diri pengarang dalam cerita. Sudut pandang menunjukkan cara sebuah cerita dikisahkan. Sebagian besar pengarang cerkak majalah Jaya Baya menggunakan sudut pandang orang pertama. Empat cerkak menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Cerkak tersebut antara lain cerkak Welingmu, Sarwa

commit to user

Mbah Kakung menggunakan sudut pandang orang pertama “aku” sebagai

tokoh tambahan. Cerkak tersebut termasuk dalam jenis sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh tambahan karena posisi pengarang di dalam cerita hanya sebagai tokoh tambahan. Pusat pengisahan cerita bukan berada pada kisah pengarang sendiri, melainkan lebih berfokus pada kisah tokoh Mbah Kakung. Cerkak Nglegok menggunakan sudut pandang orang ketiga “dia” mahatahu. Maksud dari keenam cerkak tetap dapat dipahami secara baik oleh pembaca meski dengan menggunakan sudut pandang orang pertama maupun sudut pandang orang ketiga.

f. Amanat

Amanat merupakan pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca melalui cerita. Beberapa cerkak menyampaikan amanat yang berkaitan dengan perilaku berbakti, baik berbaktinya seorang anak pada orang tua maupun berbaktinya seorang istri pada suami. Perilaku berbakti pada orang tua terdapat pada cerkak Welingmu melalui tokoh Faisal dan Anis serta tokoh pengarang dan Mas Rusli. Di dalam cerkak Mbah Kakung, perilaku berbakti pada orang tua dimunculkan melalui tokoh Mas Puji, Mbak Asih, Mas Tri, dan Mas Waskitha. Kemudian dalam cerkak Nglegok perilaku berbakti pada orang tua dapat dilihat dari tokoh Sukasih. Sedangkan perilaku berbakti pada suami terdapat dalam cerkak Welingmu melalui tokoh pengarang kepada Mas Rusli. Di dalam cerkak Telulasan terlihat dari perilaku Bu Lastri kepada suaminya dan di dalam cerkak Oncating Cahya terlihat dari sikap Mayang kepada pengarang. Hampir semua cerkak mengandung amanat mengenai perilaku berbakti. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya perilaku berbakti.

Amanat mengenai hubungan seseorang dengan orang lain yakni menghargai pemberian orang lain dan peduli terhadap sesama. Perilaku menghargai pemberian orang lain terdapat dalam cerkak Sarwa Sujana melalui tokoh Sri atau pengarang. Sedangkan perilaku peduli terhadap sesama

commit to user

dapat dilihat dari tindakan yang dilakukan tokok Mayang dalam cerkak

Oncating Cahya.

Amanat mengenai hubungan manusia dengan Tuhan juga banyak disampaikan pengarang dalam cerkak. Perilaku tersebut berupa sikap hanya bergantung pada Tuhan pada cerkak Welingmu, yakin akan kebesaran Tuhan dalam cerkak Mbah Kakung, dan percaya takdir Tuhan dalam cerkak

Oncating Cahya. Hal tersebut disampaikan oleh pengarang karena pada

dasarnya semua yang terjadi di dunia atas kehendak Tuhan. Maka dari itu, hal tersebut penting untuk dipahami agar manusia lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan.

Pengarang juga menyampaikan amanat yang berkaitan dengan diri sendiri. Amanat tersebut antara lain bijaksana, tanggung jawab, sabar, syukur, dan ikhlas. Melalui amanat yang disampaikan pengarang melalui cerita, diharap pembaca setidaknya paham mengenai perilaku-perilaku tersebut. Perilaku tersebut merupakan perilaku baik dan dapat diteladani. Akan lebih baik apabila sikap tersebut diaplikasikan pembaca dalam kehidupan sehari-hari.

2. Nilai-nilai Pendidikan Cerkak Majalah Jaya Baya

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mengandung nilai pendidikan. Senada dengan penelitian Kurniawan (2014) yang menyatakan bahwa karya yang bermutu tidak sebatas manis dinikmati dan dikisahkan kembali. Karya yang bermutu harus mampu menyumbangkan renungan-renungan yang bermakna bagi kehidupan, nilai-nilai tertentu sebagai paduan falsafah dan estetika dari kesadaran kreativitas. Nilai pendidikan dalam karya sastra antara lain nilai moral, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Hal tersebut senada dengan penelitian Hepola (2014) yang menyatakan bahwa dalam karya sastra novel, cerita pendek, puisi, karya fiksi lainnya mengandung kebenaran yang berarti mengenai wawasan penting dari kehidupan nyata seperti moralitas, psikologi, masyarakat, agama, kecantikan,

commit to user

dapat berpengaruh terhadap karakter yang baik pada diri siswa. Berikut nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014:

a. Nilai moral

Nilai moral merupakan nilai yang berkaitan dengan sikap baik dan buruk dari seseorang. Nilai moral paling banyak ditemukan dalam

cerkak Welingmu dan Mbah Kakung. Nilai moral yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain berbakti, sederhana, bijaksana,

tanggung jawab, pantang menyerah, sabar, dan ikhlas. Berbakti pada orang tua hukumnya wajib „ainiy atau mutlak. Orang tua telah merawat dan membesarkan seorang anak secara tulus tanpa pamrih, maka sudah sepantasnya anak membalasnya dengan cara berbakti dan memuliakan. Allah menempatkan orang tua pada derajat yang tinggi. Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua. Ketika orang tua meridhai kehendak anak seorang, maka Allah pun akan meridhai dan memudahkan jalan anak tersebut. Begitu sebaliknya.

Sederhana berarti apa adanya dan tidak berlebihan. Kesederhanaan akan menjadikan seseorang lebih bersahaja. Dengan hidup secara sederhana, seseorang lebih bisa memaknai hidup, hingga akan menumbuhkan sikap bijaksana. Orang yang bijaksana akan selalu menyadari bahwa dalam ia hidup ia pasti memiliki tujuan atau impian. Untuk dapat menggapai mimpi tersebut, maka seseorang harus berjuang dan pantang menyerah. Berjuang harus dilakukan secara sabar. Manusia hanya mampu berusaha dan berdoa. Bagaimanapun hasilnya Allahlah yang berhak menentukan. Oleh karena itu seseorang harus mampu bersikap ikhlas menerima apapun hasil yang diperoleh. Allah lebih tahu apa yang terbaik untuk hamba-Nya. Semua nilai moral di atas merupakan nilai yang positif dan patut diteladani karena pada dasarnya siswa merupakan individu berhati nurani yang memiliki hasrat untuk selalu berbuat baik.

commit to user

b. Nilai sosial

Nilai sosial merupakan nilai yang berkaitan dengan interaksi sosial antarmanusia. Nilai sosial paling banyak ditemukan dalam cerkak

Welingmu dan Oncating Cahya. Nilai sosial yang terdapat dalam cerkak

majalah Jaya Baya antara lain saling menghoramti dan menghargai, saling memahami, peduli, membantu orang lain, dan kerja sama. Sebagai makhlauk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri dan pasti membutuhkan orang lain. Agar tercipta hubungan yang harmonis diperlukan sikap saling menghoramti dan menghargai. Menghormati yang lebih tua dan menghargai yang lebih muda. Selain menghomati dan menghargai, diperlukan juga sikap saling memahami. Dengan memahami keadaan orang lain, maka seseorang akan mampu mengambil sikap bagaimana ia akan berbuat. Tidak semua orang berada dalam keadaan yang tercukupi, maka dari itu diperlukan sikap peduli. Kepedulian seseorang akan sangat bermanfaat bagi orang lain. Peduli sama halnya dengan membantu orang lain. Sikap kerja sama juga merupakan hal yang penting. Dengan kerja sama, maka beban yang ditanggung akan terasa ringan. Pepatah mengatakan „berat sama dipikul, ringan sama dijinjing‟. Semua nilai sosial yang dipaparkan di atas penting untuk diajarkan pada siswa, karena siswa hidup dalam lingkungan masyarakat. Sehingga siswa akan berinteraksi dengan orang lain.

c. Nilai budaya

Nilai budaya merupakan nilai yang berkaitan dengan akal atau pikiran. Keenam cerkak dalam majalah Jaya Baya memunculkan nilai budaya yang berbeda-beda. Nilai budaya tersebut antara lain

unggah-ungguh, petungan, gembyangan, ritual bersih desa dan tradisi syukuran. Unggah-ungguh atau undha usuk merupakan tingkatan tutur dalam

bahasa Jawa. Secara garis besar, unggah-ungguh bahasa Jawa terdiri atas ragam krama dan ragam ngoko. Krama digunakan ketika lawan bicara

commit to user

usia lawan bicara sepadan atau lebih muda. Sehingga lawan bicara menentukan bagaimana seseorang harus berbicara dengan ragam krama atau ngoko.

Budaya Jawa sering dipertentangkan dengan agama, padahal budaya dan agama memiliki ranah masing-masing. Salah satu budaya Jawa yang dipermasalahkan yakni perihal petungan atau primbon. Sebagian masyarakat menganggap bahwa petungan merupakan perbuatan musrik. Masyarakat Jawa paham bahwa pada dasarnya semua hari adalah baik. Masyarakat Jawa pada zaman dahulu sangat ahli dalam hal niteni atau mengamati. Proses niteni tersebut tidak hanya berlangsung dalam jangka waktu satu tahun dua tahun, tetapi dalam waktu yang begitu lama. Dari hasil niteni tersebut kemudian disimpulkan dan diajarkan secara turun menurun pada anak cucu. Hingga masih digunakan oleh sebagian masyarakat sampai sekarang.

Tradisi lain yang dianggap musrik yakni ritual bersih desa yang dilakukan di pundhen. Kata pundhen berasal dari kata pundhi dan mendapat akhiran –an. Pundhi adalah sesuatu yang diagungkan, sehingga

pundhen merupakan tempat yang diagungkan oleh para warga. Pundhen

tersebut biasanya berupa sendhang atau sumur besar yang digunakan bersama oleh para warga. Masyarakat menganggap sendhang sebagai tempat yang diagungkan karena masyarakat menyadari bahwa sendhang adalah sumber air. Dan air adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan serta selalu dibutuhkan untuk berbagai aktivitas, baik minum, mandi, mencuci, pengairan, dan lain-lain. Dikatakan musrik karena acara tersebut menggunakan sesaji. Sesaji yang digunakan adalah makanan-makanan tertentu yang bagi orang Jawa memuat filosofi. Ritual bersih desa dilakukan oleh orang Jawa sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas segala nikmat yang diterima. Acara tersebut diawali dengan membaca doa secara bersama. Usai doa bersama yakni makan bersama atau kenduren. Di daerah Jawa Timur, sebelum dilakukan ritual bersih desa terdapat acara kirab tledhek yang disebut dengan istilah

commit to user

gembyangan. Nilai budaya sangat penting untuk diajarkan pada siswa

karena siswa merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang harus paham dengan budaya Jawa.

d. Nilai religius

Nilai religius/keagamaan merupakan nilai yang berhubungan dengan sikap percaya adanya Tuhan, pengalaman agama, dan lain-lain. Nilai religius paling banyak ditemukan dalam cerkak Welingmu dan

Oncating Cahya. Nilai religius yang terdapat dalam cerkak majalah Jaya Baya antara lain hanya bergantung pada Allah, yakin akan kebesaran

Allah, percaya pada takdir, tawakal, bersyukur, yakin bahwa segala yang ada di dunia hanyalah titipan, beribadah, berdoa, dan yassinan. Manusia hidup hendaknya hanya bergantung pada Allah. Harus yakin bahwa Allah adalah Dzat paling sempurna dengan segala kebesaran-Nya. Segala yang terjadi sudah diatur dan semua terjadi atas kehendak Allah. Manusia cukup berusaha dan tawakal. Apapun hasil yang diperoleh harus tetap disyukuri, karena Allah telah berjanji bahwa barang siapa yang bersyukur maka akan ditambah nikmatnya.

Segala yang ada di dunia hanyalah titipan. Suatu saat akan kembali pada Sang Pemilih Sejati. Termasuk nyawa yang ada pada raga. Allah memerintahkan manusia untuk beribadah dan menyembah-Nya. Selain itu, Allah pun meminta manusia agar berdoa. Doa tidak hanya ditujukan bagi manusia yang masih hidup, tetapi juga bisa dikirimkan pada orang yang telah meninggal. Pengiriman doa kepada orang yang telah meninggal biasanya dilakukan dengan disertai membaca surat

yassin. Dari kegiatan pengiriman doa dengan membaca surat yassin

tersebut hingga muncul istilah yassinan. Yassinan dilakukan oleh masyarakat Jawa secara bersama-sama. Nilai religius tersebut perlu diajarkan pada siswa karena siswa merupakan individu yang beragama. Terlebih masyarakat Jawa mayoritas beragama islam.

commit to user

3. Relevansi Cerkak dalam Majalah Jaya Baya sebagai Bahan Ajar Apresiasi Sastra Jawa di Sekolah Menengah Atas

Sebuah karya sastra tidak hanya memberikan hiburan bagi pembaca, tetapi juga mengandung nilai-nilai didaktis yang bermanfaat bagi para pembaca. Nilai-nilai didaktis dalam sebuah karya sastra lambat laun akan mempengaruhi karakter para pembaca. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Almerico (2014) yang menyatakan bahwa anak-anak dapat belajar tentang karakter yang baik melalui sastra.

Di dalam kurikulum 2013 pembelajaran sastra Jawa pada tingkat X SMA semester gasal terdapat materi yang berkaitan dengan sastra prosa yakni materi cerkak. Penggunaan sastra cerkak yang mengandung nilai-nilai pendidikan dirasa lebih tepat untuk digunakan sebagai bahan ajar apresiasi sastra Jawa di sekolah. Melalui pembelajaran apresiasi sastra Jawa menggunakan bahan ajar cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014, siswa tidak hanya memeroleh nilai dalam raport, tetapi juga memeroleh nilai-nilai kehidupan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Endraswara (2012: 3) yang menyatakan bahwa membaca sastra sama halnya dengan memahami filsafat hidup.

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 141-153)

Dokumen terkait