• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 34 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Cerkak Majalah Jaya Baya

Cerkak dalam Majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014

berjumlah dua belas cerkak. Kedua belas cerkak tersebut kemudian diseleksi berdasarkan kemiripan tema. Melalui proses pembacaan cerkak secara berulang-ulang, diperoleh enam cerkak yang mengangkat cerita dengan tema yang hampir sama. Keenam cerkak tersebut memuat tema yang serumpun, yakni mengenai perilaku yang dilakukan oleh seseorang dengan disertai akibat atau resiko dari perilaku tersebut. Adapun keenam cerkak tersebut yakni Welingmu karya Hanif Rahma, Sarwa Sujana karya Afin Yulia, Telulasan karya Mbah Met, Mbah

Kakung karya Al Aris Purnomo, Nglegok karya Imam H., dan Oncating Cahya

karya Zuly Kristanto.

Cerkak Welingmu memuat kisah tentang seorang guru perempuan yang

merasa bingung karena tengah menghadapi berbagai masalah sulit. Ibunya sakit, putrinya yang bernama Anis harus segera membayar uang kuliah, dan putranya yang bernama Faisal akan berangkat tour, sedangkan uang di tabungannya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Ia dan suaminya yang bernama Mas Rusli terus berdiskusi untuk mencari jalan keluar. Pada suatu ketika, Eyang meminta untuk pulang ke rumah. Di sepanjang perjalanan, Eyang memberikan nasihat kepada anak dan cucunya bahwa untuk mengangkat beban berat itu harus dilakukan secara bersama-sama. Kemudian memberikan nasihat kepada menantunya yang sedang mengendarai mobil bahwa ia harus mampu membimbing dan membawa keluarganya ke jalan yang benar. Memberi nasihat kepada cucunya, bahwa menjadi seorang perempuan cantik hendaknya seperti bunga mawar, hanya orang yang berhati-hatilah yang bisa mendapatkannya. Nasihat terakhir Eyang adalah nasihat pada anak perempuannya bahwa ia harus mampu menjadi seperti rumput, yang mampu tumbuh subur tanpa bergantung orang lain, hanya bergantung pada

(2)

commit to user

Tuhan. Tak lama kemudian Eyang merasa ngantuk dan ingin tidur. Setibanya di depan rumah, Eyang sudah tidak bernafas lagi.

Cerkak Sarwa Sujana memuat kisah tentang para tetangga yang

berprasangka buruk pada seorang janda bernama Mbak Tari. Mulanya hanya karena Mbak Tari terlihat tidak pernah bekerja, tetapi hidupnya mapan dan bisa membeli mobil. Yu Ti, salah seorang tetangga yang menggunjing berprasangka bahwa Mbak Tari menjadi selingkuhan orang lain atau kalau tidak melakukan ritual babi ngepet. Mbak Ning pun menanggapi bahwa Mbak Tari tidak menjadi selingkuhan orang, tetapi melakuan ritual babi ngepet karena kemarin dia melihat

pembantu Mbak Tari membeli lilin dan kembang. Mbak Mur tidak mau

ketinggalan, dia mengatakan bahwa Mbak Tari tidak pernah keluar kamar dan tidak pernah tidur di malam hari. Mas Mip, suami Sri atau pengarang yang mengetahui pergunjingan tersebut memanggil istrinya untuk pulang serta memberi nasihat bahwa jangan menuduh orang sembarangan tanpa ada bukti.

Suatu hari Mbak Tari mengadakan syukuran dengan mengundang ibu-ibu satu desa. Sri dan tetangga lain pun menganggap bahwa hal tersebut merupakan kesempatan untuk dapat menyelidiki kebenaran dan mencari bukti bahwa Mbak Tari memang benar melakukan ritual ngepet. Sebelum acara syukuran dimulai, Ustadz Sarip menjelaskan bahwa syukuran diadakan dengan maksud mengirim doa bagi orang tuanya yang telah tiada, kemudian anak pertamanya sudah lulus SMA dan diterima di Universitas Padjajaran (Unpad), serta novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta akan difilmkan. Mendengar hal tersebut, para tetangga yang tadinya menggunjing dan mengira bahwa si janda melakukan ritual

babi ngepet langsung kaget seketika. Mereka merasa malu dan merasa bersalah

karena sudah menuduh serta mengira yang tidak semestinya.

Cerkak Telulasan memuat kisah tentang seorang istri karyawan pabrik

rokok yang bernama Mbak Darsini. Ia merasa tinggi hati dan bersikap sombong karena gaji suaminya tinggi. Ia begitu membanggakan suaminya di depan Bu Lastriyang suaminya adalah PNS tukang kebun sekolah dan Yu Ngadilah pemilik toko. Tidak hanya membanggakan diri dan suaminya, ia pun menghina suami Bu Lastri yang memiliki gaji lebih rendah. Mbak Darsini menyindir Bu Lastri

(3)

commit to user

mengenai suaminya yang sebentar lagi menerima telulasan. Telulasan yang dimaksud merupakan gaji ketigabelas yang biasanya diberikan di akhir tahun.

Namun Yu Ngadilah tidak paham akan makna telulasan yang dimaksud. Melalui

perbincangan yang cukup lama, Bu Lastri pun sadar bahwa Mbak Darsini ternyata memiliki sifat suka dipuji. Mengetahui hal tersebut Bu Lastri terus memberikan pujian yang berlebihan atau dalam Jawa sering disebut dengan istilah nglulu.

Mbak Darsini tidak peka dan justru malah semakin merasa sangat senang. Hingga pada suatu hari Bu Lastri menerima uang dari suaminya yang katanya itu adalah gaji ketigabelas atau telulasan. Uang tersebut kemudian digunakan untuk membayar hutang di toko Yu Ngadilah. Bu Lastri bertanya pada Yu Ngadilah mengenai Mbak Darsini yang akhir-akhir ini jarang kelihatan. Yu Ngadilah pun menjawab bahwa beberapa hari yang lalu Mbak Darsini didatangi oleh seorang perempuan yang menggendong bayi. Perempuan tersebut ternyata selingkuhan Pak Kardi, suami Mbak Darsini. Bayi berusia tiga belas bulan yang digendong adalah anak dari perempuan tersebut dengan Pak Kardi.

Cerkak Mbah Kakung memuat kisah tentang kakek yang bernama Mbah

Hadi atau sering dipanggil dengan sebutan Mbah Kakung. Beliau memiliki watak yang baik dan suka membantu sesama, sehingga beliau menjadi orang yang disegani di daerahnya. Beliau juga mahir dalam ilmu kejawen atau tradisi Jawa. Mbah Kakung merupakan orang yang taat beragama. Beliau merasa bahwa ajalnya sudah dekat. Beliau meminta salah satu tetangga yang tak lain adalah pengarang cerita untuk mengetikkan prakata kematian. Selain itu, Mbah Kakung juga memiliki keinginan untuk bersilaturahmi ke rumah saudara-saudara dan anak-anaknya. Sebagai anak sulung, Mas Puji dengan senang hati mengantar ayahnya tersebut.

Pada hari Jum‟at, tanggal 10 Januari Mbah Kakung menghadiri rapat rutin di kantor PWRI. Di dalam rapat tersebut, Mbah Kakung menyampaikan materi mengenai tradisi. Sekitar pukul sebelas siang, rapat pun diakhiri. Mbah Kakung pulang diantar oleh salah satu rekan yang bernama Pak Kino. Sesampainya di rumah Mbah Kakung merasa lelah dan istirahat. Tidak disangka,

(4)

commit to user

percaya karena mulanya Mbah Kakung masih sehat bugar. Para tetangga bahu-membahu dalam mengurus kematian Mbah Kakung. Banyak orang yang datang untuk takziyah dan medoakan Mbah Kakung.

Cerkak Nglegok memuat kisah tentang seorang guru perempuan yang

baru ditugaskan di SD Nglegok. Guru tersebut bernama Bu Retno, orangnya cantik, pintar tetapi belum menikah. Guru yang berusia dua puluh tahun dan belum menikah tersebut menjadi bahan perbicangan para warga. Desa Nglegok memiliki tradisi bahwa anak perempuan yang sudah berusia lima belas tahun harus segera dinikahkan atau akan dijuluki sebagai perawan lapuk. Hal tersebut menjadikan siswa putri di SD Nglegok semakin sedikit, karena apabila sudah kelas empat atau lima mereka pasti keluar. Sukasih, salah seorang siswa Bu Retno setiap malam datang ke rumah Bu Retno untuk belajar. Mengetahui kondisi siswa-siswa putri di sekolahnya, Bu Retno pun bertanya apakah kalau sudah kelas lima dia juga akan keluar seperti teman-temannya. Mendengar pertanyaan tersebut, Sukasih pun hanya mampu menangis. Sebenarnya ia ingin menjadi seorang guru, namun orang tuanya meminta untuk keluar dan ia pun merasa harus patuh. Sukasih adalah siswa yang cerdas dan memiliki cita-cita mulia, sehingga Bu Retno tidak ingin Sukasih putus sekolah. Bu Retno memberi motivasi dan nasihat pada Sukasih untuk mau membujuk orang tuanya agar tidak memintanya keluar dari sekolah dan tetap membiarkannya menggapai cita-cita.

Selang beberapa waktu, Bu Retno dan Pak Endro dipindah ke kota. Bu Retno dan Pak Endro menikah serta memiliki tiga orang anak. Suatu hari Pak Endro yang bekerja di Dinas Pendidikan dan Olahraga (Dikpora) itu bertanya pada istrinya apakah sekolah tempat ia bekerja memerlukan guru baru, karena ada tujuh calon guru yang melamar. Kebetulan di SD Megantoro ada guru yang purna tugas, sehingga memerlukan guru pengganti. Pada hari pelaksanaan tes calon guru, ada seorang calon guru perempuan yang memanggil nama Bu Retno dan ternyata itu adalah Sukasih. Dengan penuh haru, mereka pun saling berpelukan. Bu Retno menginginkan Sukasih saja yang menjadi guru pengganti di SD Megantoro. Tetapi dengan berat hati Sukasih meminta maaf dan minta ditempatkan di Nglegok saja. Ia ingin menjadi contoh dan teladan bagi

(5)

orang-commit to user

orang di desanya bahwa perempuan tidak harus dipaksa menikah pada usia muda, perempuan memiliki hak untuk dapat mewujudkan cita-cita.

Cerkak Oncating Cahya memuat kisah tentang seorang guru yang

ditempatkan di sebuah desa yang belum ada aliran listrik. Mulanya guru tersebut merasa tidak betah, tetapi karena kewajiban, beliau pun mencoba beradaptasi dan tetap menjalaninya sepenuh hati. Guru tersebut tertarik pada perempuan bernama Mayang yang memiliki pemikiran maju. Mayang gemar membaca buku-buku di perpustakaan dan kemudian menyampaikan ilmu yang diperolehnya pada remaja-remaja desa yang putus sekolah karena biaya. Selang beberapa waktu, guru tersebut atau pengarang dan Mayang menjadi suami istri. Keduanya memiliki hobi yang sama yakni membaca buku, sehingga pengarang dan istrinya mengubah rumahnya menjadi sebuah perpustakaan. Adanya perpustakaan baru mendapat respon positif dari para warga. Banyak anak, remaja, dan warga yang datang untuk membaca atau meminjam buku. Terdengar berita bahwa listrik akan segera masuk desa. Pengarang dan istrinya pun juga ikut memasang listrik. Mereka berharap dengan adanya listrik, perpustakaannya sudah tidak akan gelap lagi dan menjadikan warga yang datang semakin banyak. Namun ternyata kenyataan tak sesuai dengan harapan.

Kehadiran listrik justru menjadikan perpustakaan sepi tanpa pengunjung. Para warga lebih memilih menikmati siaran televisi di rumah masing-masing. Hanya tersisa satu orang yang masih setia meminjam buku di perpustakaan pengarang. Orang tersebut adalah Mbah Haji Kirman. Mbah Haji Kirman tidak ikut memasang listrik karena beliau khawatir apabila terlalu banyak menggunakan cahaya di dunia, maka tidak akan mendapat bagian cahaya di akhirat. Genset yang dimilikinya dijual. Uang hasil penjualan genset tersebut diberikan pada pengarang untuk menambah koleksi buku. Tak lama kemudian Mbah Haji Kirman meninggal dunia. Pengarang berharap bahwa amal kebaikan yang dilakukan oleh Mbah Haji Kirman mampu menjadi penerang di alam kubur. Suatu hari listrik padam, para warga marah karena khawatir ketinggalan episode sinetron. Pengarang justru menikmati gelapnya malam tanpa listrik, karena hal tersebut

(6)

commit to user

B. Deskripsi Temuan Penelitian

1. Unsur Intrinsik Cerkak Majalah Jaya Baya

Berikut unsur intrinsik cerkak dalam majalah Jaya Baya edisi Agustus − Oktober 2014:

a. Cerkak Welingmu karya Hanif Rahma

1) Tema

Tema dari cerkak Hanif Rahma yang berjudul Welingmu

adalah orang yang berperilaku baik akan memperoleh imbalan yang baik pula. Tema tersebut termasuk tema tradisional karena memuat cerita bahwa seseorang harus melakukan kebaikan agar memperoleh balasan yang baik pula. Hal tersebut dapat dilihat dari tokoh pengarang dan suaminya yang memiliki watak baik, sehingga anak-anaknya pun menjadi anak yang berbakti, patuh dan memiliki watak baik pula. Tema mengenai perilaku baik yang akan memperoleh imbalan baik juga dapat dilihat dari tokoh Eyang yang memiliki sikap baik dan bijaksana hingga beliau mengakhiri hidupnya dengan cara yang baik pula. Beliau meninggal dunia secara tenang. Selain itu, tema juga dapat dilihat dari nasihat Eyang kepada cucu perempuannya yang bernama Anis bahwa ia harus bisa seperti bunga mawar cantik. Nasihat tersebut memuat makna bahwa menjadi seorang perempuan harus bisa menjaga diri. Apabila mampu menjaga diri secara baik maka akan mendapatkan jodoh yang baik pula, karena hanya orang yang begitu berhati-hati yang mampu mendapatkan bunga mawar berduri.

2) Alur

Cerkak Welingmu menggunakan alur maju. Peristiwa

diceritakan secara runtut mulai dari tahap penggambaran situasi pengarang yang gundah karena banyak fikiran. Kemudian pengenalan tokoh pengarang mengenai dirinya sendiri, suaminya, keduanya putranya, dan ibunya yang tengah sakit. Konflik mulai muncul ketika sakit Eyang semakin parah dan memerlukan perawatan khusus.

(7)

Sedangkan pengarang dan suaminya yang bernama Mas Rusli tidak memiliki banyak tabungan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan data (1) berikut:

(1) Aku sedhih banget. Apameneh Ibu kudu oleh perawatan khusus

jalaran gerahe wis parah. Mangka, aku lan Mas Rusli lagi ora duwe akeh simpenan nggo perawatane Ibu iku. Apamaneh Anis

arep mlebu kuliah, seminggu meneh kudu wis bayar administrasi.

Lan Faisal rong dina meneh ana tour nang Bali sing biayane ya ora sethithik.

„Saya sedih sekali. Apalagi Ibu harus mendapat perawatan khusus karena sakit ibu sudah parah. Padahal aku dan Mas Rusli sedang tidak memiliki tabungan banyak untuk perawatan Ibu tersebut. Anis akan masuk kuliah, seminggu lagi harus bisa membayar. Dan Faisal dua hari lagi ada tour ke Bali yang biayanya juga tidak sedikit (W: 42-46).

Konflik mulai meningkat ketika pengarang dan suaminya belum bisa menemukan jalan keluar untuk bisa mendapatkan uang. Suami pengarang tidak bisa meminjam uang di kantor dan pengarang tidak bisa meminjam uang di sekolah tempat ia bekerja. Adapun kutipan mengenai konflik yang mulai meningkat dapat dilihat dalam data (2) dan data (3) berikut:

(2) “Piye meneh Dhik, aku ora bisa nyilih dhuwit nyang kantor,

wong order lagi sepi.”

„Bagaimana lagi Dik, saya tidak bisa meminjam uang di kantor, karena permintaan sedang sepi.‟ (W: 73)

(3) “Kula ugi mboten saged ngampil saking sekolah Mas. SMA

panggenan kula ngajar sakniki malah saweg ngirangi pegawai.”

„Saya juga tidak bisa meminjam dari sekolah Mas. SMA tempat saya mengajar sekarang malah sedang mengurangi pegawai.‟ (W: 74-75)

Tahap klimaks terjadi ketika Eyang merasa kantuk dan ingin tidur. Setiba di halaman rumah, Ibu dan Anis membangunkan Eyang, tetapi mata Eyang masih tetap terpejam dan seolah tidak mendengar. Keadaan Eyang menunjukkan tanda-tanda bahwa Eyang telah tiada. Tahap klimaks tampak pada kutipan data (4) berikut:

(8)

commit to user

banjur ndemek gulune Ibu, uga digoleki nadhine. Isih durung yakin, Mas Rusli ndekekake drijine ana ing irunge Ibu. Mas Rusli banjur gedheg-gedheg.”

„Ibu masih memejamkan mata, seperti tidak mendengar. Mas Rusli kemudian memegang tangan Ibu, dicari nadinya. Seperti belum yakin, Mas Rusli kemudian memegang leher Ibu, juga dicari nadinya. Masih belum yakin, Mas Rusli menaruh jarinya di hidung Ibu. Mas Rusli kemudian menggeleng-gelengkan kepala (W: 159-163)

Tahap penyelesaian cerkak Welingmu yakni ketika Eyang meninggal dunia. Mas Rusli mengusap wajah Eyang dan mengucapkan kalimat istirja‟. Tahap penyelesaian cerkak dapat dilihat dalam kutipan data (5) berikut:

(5) “Mas Rusli mung gedheg-gedheg nyemauri pitakonku, ndelehake

tangane ana raine Ibu, banjur ngucap Innalillahi wa innalillahi raji‟un.”

„Mas Rusli hanya menggelengkan kepala dalam menanggapi pertanyaan saya, menempatkan tangannya di wajah Ibu, kemudian mengucapkan Innalillahi wa innalillahi raji‟un. (W: 165).

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh utama dalam cerkak Welingmu yakni Ibu dan Eyang. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Mas Rusli, Anis, dan Faisal. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Welingmu karya Hanif Rahma:

a) Ibu

Tokoh Ibu tidak lain adalah pengarang cerita. Secara fisik tokoh Ibu merupakan seorang wanita yang mengenakan kacamata. Pengarang memunculkan keterangan tersebut dengan teknik arus kesadaran, seperti pada data (6) berikut:

(6) “Laptop taktutup, rasane mripat kaya wis ora kuwat maneh.

Kaca mata takcopot, aku njur turon ing kasur.”

„Laptop saya tutup, mata terasa sudah tidak kuat lagi. Kaca mata saya lepas, saya kemudian berbaring di kasur.‟ (W: 2-3)

Secara psikis, tokoh Ibu memiliki watak yang penyayang. Pengarang memunculkan watak penyayang tokoh Ibu dengan

(9)

teknik pikiran dan perasaan. Rasa sayang tersebut terlihat dari sikap tokoh Ibu yang merasa begitu sedih ketika melihat keadaan ibunya yang tengah sakit. Hal tersebut dapat dilihat pada data (7) berikut:

(7) Rasane aku pengin nangis weruh Ibu kang saya kuru.

„Rasanya saya ingin menangis melihat Ibu yang semakin kurus.‟ (W: 52)

Rasa sedih yang Ibu alami karena tidak tega melihat keadaan Eyang yang terbaring di ruang rawat. Hal tersebut tampak pada kutipan data (8) berikut:

(8) Rasane saya ora tegel weruh Ibu kang biyen ngrumat awakku

iki saiki ketok lemes sare ana kasur rumah sakit. Apameneh saiki Ibu kudu dianggoni selang-selang kuwi supaya bisa ambegan kanthi lancar. Ora krasa luhku netes nalika nggatekake praupane Ibu sing katon ngempet larane.

„Rasanya saya tidak tega melihat Ibu yang dahulu merawat saya kini terlihat lemah tidur di kasur rumah sakit. Apalagi sekarang Ibu harus menggunakan selang-selang tersebut agar bisa bernafas secara lancar. Tidak terasa air mata saya menetes ketika memperhatikan wajah Ibu yang terlihat menahan sakitnya.‟ (W: 106-110)

Watak penyayang tokoh Ibu tidak hanya diungkapkan pada ibunya, melainkan juga pada putra dan suaminya. Rasa sayang terhadap putranya oleh pengarang dimunculkan dengan menggunakan teknik tingkah laku. Hal tersebut terlihat pada peristiwa ketika Faisal memutuskan untuk tidak mengikuti tour

dengan alasan agar uangnya bisa dipakai untuk biaya perawatan Eyang. Tokoh Ibu tidak ingin Faisal ikut merasakan masalah yang tengah ia hadapi. Ibu tetap menginginkan Faisal berangkat tour,

seperti pada kutipan data (9) berikut:

(9) “Wis ta, iki dhuwitmu gawanen. Besuk yen Isal pengin tuku

apa-apa neng kana ben ra lingak-linguk. Aja lali ngoleh-olehi mbakmu. Eyang ya aja lali tumbaske oleh-oleh. Nah, mengko yen dhuwite turah, bisa dicelengi maneh,” pesenku marang anak ragilku kuwi.

„Sudahlah, ini uangmu bawa saja. Besok kalau Isal ingin membeli apa-apa biar tidak bingung. Jangan lupa bawakan

(10)

commit to user

oleh-oleh. Nah, nanti kalau uangnya masih sisa, bisa ditabung lagi, pesan saya pada anak bungsu saya tersebut.‟ (W: 100-104)

Rasa sayang pada suami dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik reaksi tokoh. Reaksi tersebut berupa larangan, yakni tokoh Ibu melarang Mas Rusli menjual mobil ketika suaminya memutuskan untuk menjual mobil agar bisa membayar biaya perawatan Eyang. Tokoh Ibu paham bahwa Mas Rusli sudah sangat lama berkeinginan untuk memiliki mobil dan baru satu tahun lalu bisa membelinya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (10) berikut:

(10) “Mboten mas, mpun dangu njenengan pengin mobil, lan

nembe saged mundhut setaun kepengker”

„Tidak mas, sudah lama kamu menginginkan mobil, dan baru bisa membelinya satu tahun yang lalu‟ (W: 72)

Tokoh Ibu juga memiliki watak yang begitu tanggung jawab. Watak tanggung jawab tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan teknik arus kesadaran. Hal tersebut dapat dilihat dari sikap Ibu yang tetap mau menyelesaikan tugasnya hingga larut malam meski sebenarnya dia sudah merasa begitu lelah. Watak tanggung jawab tokoh Ibu dapat dilihat pada data (11) berikut: (11) Jam loro esuk. Laptopku taktutup, rasane mripat wis ora kuat

maneh. Kaca mata takcopot, aku njur turon ing kasur. Ngrasakake pegele awak sing kawit esuk durung leren.

„Jam dua pagi. Laptop saya matikan, mata sudah terasa tidak kuat lagi. Kaca mata saya lepas, kemudian saya berbaring di tempat tidur. Merasakan badan yang begitu pegal karena sejak pagi belum istiraht.‟ (W: 1-4)

Sikap tanggung jawab tokoh Ibu juga ditunjukkan pada kesadarannya terhadap profesi menjadi seorang guru. Ketika Ibu harus bergantian dengan suami menjaga Eyang di rumah sakit, Ibu merasa terpaksa dalam meninggalkan siswa-siswanya di sekolah. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pikiran dan perasaan, seperti pada kutipan (12) berikut:

(11)

(12) Kepeksa ninggal murid-muridku kanggo njaga Ibu sing taktresnani.

„Terpaksa meninggalkan murid-murid saya untuk menjaga Ibu yang saya cintai.‟ (W: 107)

Adanya rasa terpaksa meninggalkan siswa-siswanya tersebut menjadi salah satu wujud tanggung jawab. Tokoh Ibu tidak serta merta merasa senang karena terbebas dari kewajiban mengajar, tetapi tetap merasa bersalah karena meninggalkan tugas. Tidak hanya tanggung jawab, tokoh Ibu juga memiliki sikap yang begitu sopan. Sikap sopan tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan. Tokoh Ibu selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama tiap kali berbicara dengan Mas Rusli. Hal tersebut dapat dilihat pada data (13) berikut:

(13) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan, niki mpun

kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit.

„Mas, kamu istirahat dahulu, mandi lalu sarapan, ini sudah saya bawakan makanan juga pakaianmu, kataku kepada suamiku ketika tiba di rumah sakit. (W: 47)

Tidak hanya dengan suaminya, tokoh Ibu juga selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama ketika berbicara dengan Eyang. Hal tersebut tampak pada kutipan data (14) berikut:

(14) “Kondur pripun ta Bu? Ibu dereng sehat, mangke mboten kiyat

menawi wonten griya”

„Pulang bagaimana ta Bu? Ibu belum sehat, nanti tidak kuat kalau di rumah.‟ (W: 114)

Selain penyayang, tanggung jawab dan sopan, tokoh Ibu juga memiliki watak patuh terhadap orang tua. Watak patuh tokoh Ibu dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (15) berikut:

(15) “Oh, nggih mpun Bu,” semaurku banjur nglebokke HP

meneh”

„Oh, ya sudah Bu,” kataku kemudian memasukkan HP lagi‟ (W: 143)

(12)

commit to user

Eyang melarang tokoh Ibu menghubungi Faisal yang sedang tour ke Bali. Ibu pun menuruti apa yang dilarang oleh Eyang dan segera memasukkan HP lagi ke dalam tas. Pengarang juga memunculkan tokoh Ibu sebagai sosok yang menjaga amanah dengan menggunakan teknik tingkah laku. Sebelum Eyang meninggal, Eyang sempat melarang Ibu menghubungi Faisal. Dan ketika Eyang meninggal, Anis ingin menghubungi Faisal, Ibu langsung melarang Anis melakukan hal tersebut. Ibu menjaga amanah Eyang bahwa tidak akan menghubungi Faisal sebelum Faisal minta dijemput pulang. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (16) berikut:

(16) “Aja Ndhuk, mau Eyang wis pesen aja ngganggu Isal,”

semaurku.

„Jangan Nak, tadi Eyang sudah berpesan jangan mengganggu Isal, kataku.‟ (W: 169)

Tokoh Ibu juga bertekat akan melaksanakan apa yang menjadi amanah Eyang pada dirinya untuk bisa menjadi seperti rumput yang mampu tumbuh subur tanpa disiram. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (17) berikut:

(17) Aku ora bakal lali karo welinge Ibu supaya dadi kaya suket. Bisa urip ora gumantung marang wong liya, mung gumantung marang Gusti Allah.

„Aku tidak akan lupa dengan pesan Ibu untuk menjadi seperti rumput. Bisa hidup dengan tidak bergantung pada orang lain, hanya bergantung pada Allah SWT. (W: 171-172)

Dalam pemunculan watak menjaga amanah yang kedua tersebut, pengarang menggunakan teknik pikiran dan perasaan, yaitu watak tokoh yang dilihat dari bagaimana tokoh tersebut berfikir dan menggunakan perasaannya dalam cerita.

Secara sosial, tokoh Ibu berprofesi sebagai seorang guru SMA. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (18) berikut:

(13)

(18) “Kula ugi mboten saged ngampil saking sekolah Mas. SMA

panggenan kula ngajar sakniki malah saweg ngirangi pegawai.”

„Saya juga tidak bisa meminjam dari sekolah Mas. SMA tempat saya mengajar sekarang malah sedang mengurangi pegawai. (W: 74-75)

b) Eyang

Tokoh Eyang adalah ibu dari pangarang cerita. Secara fisik, tokoh Eyang merupakan seorang wanita yang sudah tua dan memiliki penyakit jantung. Keterangan tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori atau deskripsi langsung, seperti pada kutipan data (19) berikut:

(19) Ibu cen duwe penyakit jantung. Wingi-wingi ora papa, ning dhek mben iku kok kumat maneh.

„Ibu memang memiliki penyakit jantung. Kemarin-kemarin tidak apa-apa, namun kemarin kok kambuh lagi.‟ (W: 40-41)

Secara psikis, tokoh Eyang merupakan orang yang tanggap. Tokoh Eyang paham akan kondisi ekonomi yang sedang dialami oleh keluarga anaknya sehingga Eyang meminta pulang ke rumah. Pengarang memunculkan watak tanggap dari tokoh Eyang dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada data (20) berikut:

(20) “Ibu pengin bali, bobok ngomah wae.”

„Ibu ingin pulang, tidur di rumah saja.‟ (W: 113)

Tokoh Eyang juga memiliki watak yang begitu bijaksana. Pengarang memunculkan watak bijaksana dari tokoh Eyang dengan menggunakan teknik cakapan. Watak bijaksana tersebut berupa nasihat-nasihat yang disampaikan Eyang kepada keluarga anaknya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (21) berikut:

(21) “Pancen kudu bareng-bareng anggonmu ngangkat beban kang

abot. Kudu alon-alon supaya beban bisa kok angkat,” ngendikane Ibu nalika wis ana jero mobil takjagani nganggo awakku.

„Memang harus bersama-sama dalam mengangkat beban yang berat. Harus pelan-pelan agar beban bisa diangkat,” kata Ibu

(14)

commit to user

ketika sudah berada di dalam mobil saya jaga dengan badan saya.‟ (W: 124-125)

Masih melalui teknik cakapan, watak bijaksana tokoh Eyang dimunculkan oleh pengarang ketika Eyang menyampaikan nasihat kepada menantunya yang tengah mengendarai mobil. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (22) berikut:

(22) ”Nang, welinge Ibu, yen nyopiri kluwargamu iku sing

ngati-ati, aja nganti kesasar,” ngendikane Ibu marang Mas Rusli kang lagi nyopir mobil nuju omah.

„Nak, pesan Ibu, kalau membawa keluargamu itu yang hati-hati, jangan sampai tersesat, kata Ibu kepada Mas Rusli yang sedang menyetir mobil menuju rumah‟ (W: 126)

Seperti halnya nasihat yang disampaikan Eyang pada menantu laki-lakinya, nasihat pada cucu perempuannya pun dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada data (23) berikut:

(23) ”Nis, welinge Eyang, yen dadi cah ayu iku kudune kaya

kembang mawar kae,” ngendikane Ibu nalika liwat toko kembang lan nuduhi kembang mawar kang apik rupane.

„Nis, pesan Eyang, kalau menjadi orang cantik itu harus seperti bunga mawar itu, kata Ibu ketika lewat toko bunga dan menunjukkan bunga mawar yang cantik rupanya. (W: 127)

Tokoh Eyang tidak hanya memberikan nasihat pada menantu dan cucunya, beliau juga memberikan nasihat pada anak perempuannya bahwa ia harus mampu hidup tanpa bergantung pada orang lain. Sikap bijaksana tokoh Eyang dalam memberikan nasihat tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui teknik cakapan, seperti pada data (24) berikut:

(24) “Ndhuk, welinge Ibu, kowe sing bisa kaya suket-suket kae lho

Ndhuk,” ngendikane Ibu nalika weruh lapangan amba kang akeh sukete.

„Nak, pesan Ibu, kamu harus bisa seperti rumput-rumput itu lho Nak, kata Ibu ketika melihat lapangan luas yang banyak rumputnya. (W: 144)

Secara sosial, tokoh Eyang merupakan seorang janda. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan

(15)

latar. Di dalam cerita tidak terdapat keterangan mengenai suami tokoh Eyang. Sejak Eyang sakit dan dirawat di rumah sakit hingga meninggal tidak ada tokh suami Eyang yang datang menengok atau menunggui Eyang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tokoh Eyang merupakan seorang janda.

c) Mas Rusli

Tokoh Mas Rusli adalah suami pengarang. Secara fisik, tokoh Mas Rusli memiliki wajah yang tampan. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik arus kesadaran, seperti pada data (25) berikut:

(25) Wis seminggu iki turuku ora dikancani sisihanku sing bagus kae.

„Sudah satu minggu ini saya tidur tidak ditemani suami saya yang tampan itu.‟ (W: 7)

Secara psikis, tokoh Mas Rusli merupakan menantu yang berbakti. Hal tersebut ditunjukkan dengan sikapnya yang mau menunggui serta menjaga mertuanya yang sedang sakit di rumah sakit. Pengarang memunculkan watak berbakti tokoh Mas Rusli dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (26) berikut:

(26) Wis ana seminggu iki Ibu ana rumah sakit, dadi bojoku nunggoni ana kana, durung tau bali.

„Sudah satu minggu ini Ibu di rumah sakit, sehingga suami saya menunggui disana, belum pernah kembali ke rumah.‟ (W: 38)

Selain berbakti, tokoh Mas Rusli juga memiliki watak perhatian. Perhatian tokoh Mas Rusli dapat dilihat dari sikapnya yang tidak ingin terjadi apa-apa pada mertuanya, sehingga ketika ia pergi selalu berpesan pada anak-anaknya untuk menjaga Eyang. Pengarang menggunakan teknik cakapan dalam memunculkan watak perhatian Mas Rusli. Hal tersebut tampak pada data (27): (27) “Ndhuk, Nang, Ibu lan Eyang ditulungi yen perlu apa-apa,

(16)

commit to user

„Nak, Ibu dan Eyang apabila perlu apa-apa dibantu ya, kata Mas Rusli dengan berpesan pada anak-anak.‟ (W: 49)

Pengarang dengan menggunakan teknik cakapan

memunculkan tokoh Mas Rusli sebagai sosok yang bertanggung jawab. Ketika menghadapi masalah keuangan, ia ingin menjual mobilnya untuk biaya perawatan Eyang, meski keputusan tersebut akhirnya tidak disetujui oleh istrinya. Hal tersebut dapat dilihat pada data (28) berikut:

(28) “Dhik, apa mobile kae didol wae?” takone Mas Rusli.

„Dik, apa mobilnya itu dijual saja? tanya Mas Rusli. (W: 70-71)

Tidak hanya berbakti, perhatian, dan tanggung jawab, tokoh Mas Rusli juga merupakan orang yang bijaksana. Ia selalu mengajak istrinya berdiskusi ketika menghadapi masalah. Ia ingin mencari jalan keluar bersama-sama, tidak egois dan tidak mengambil keputusan secara sepihak. Watak bijaksana tokoh Mas Rusli dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada data (29) berikut:

(29) “Dhik, aku kudu ngomong,” ngendikane Mas Rusli sawise

dhahar.”

„Dik, saya harus bicara,” kata Mas Rusli usai makan.‟ (W: 54) Secara sosial, tokoh Mas Rusli merupakan seseorang yang bekerja sebagai karyawan kantor. Pengarang menggambarkan profesi dari tokoh Mas Rusli melalui teknik cakapan, seperti pada data (30) berikut:

(30) “Piye meneh Dhik, aku ora bisa nyilih dhuwit nyang kantor,

wong order lagi sepi.”

„Mau bagaimana lagi Dik, saya tidak bisa meminjam uang di kantor, karena order sedang sepi. (W: 73)

d) Faisal

Faisal merupakan anak bungsu dari pengarang. Secara fisik, tokoh Faisal adalah seorang anak yang masih sekolah. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik

(17)

pelukisan latar, yakni Faisal yang akan berangkat tour. Secara psikis, tokoh Faisal memiliki watak yang begitu sopan. Hal tersebut dilihat ketika berbicara dengan orang tua atau Eyang, Faisal selalu

menggunakan bahasa Jawa krama. Pengarang memunculkan watak

sopan tokoh Faisal dengan menggunakan teknik cakapan. Hal tersebut dapat dilihat pada data (31) berikut:

(31) “Bu, sampun masak?” pitakone anakku ngerti aku racik-racik. „Bu, sudah masak? tanya anak saya yang melihat saya sedang meracik bumbu masak. (W: 11-12)

Selain sopan, tokoh Faisal juga merupakan sosok yang religius. Ia rajin melakukan shalat malam tahajud. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang melalui reaksi tokoh lain yakni ketika Ibu melihat tokoh Faisal sudah bangun Ibu pun langsung bertanya apakah ia akan shalat tahajud, seperti pada data (32) berikut:

(32) “Iya Nang, arep shalat tahajud? takonku marang anakku kang

paling sregep shalat bengi kuwi.

„Iya Nak, mau shalat tahajud? tanya saya pada anak saya yang paling rajin shalat malam tersebut.‟ (W: 14)

Pengarang dengan menggunakan teknik reaksi tokoh memunculkan tokoh Faisal sebagai anak yang patuh. Kepatuhan tokoh Faisal dapat dilihat dari sikap mengangguk ketika orang tuanya meminta untuk menjaga Eyang, seperti pada data (33) berikut:

(33) “Ndhuk, Nang, Ibu lan Bapak metu dhisik ya. Tulung Eyang

dijaga,” pesenku nang cah-cah. Bocah loro iku manthuk.

„Nak, Ibu dan Bapak keluar dulu ya. Tolong Eyang dijaga, pesan saya pada anak-anak. Kedua anak tersebut pun mengangguk.‟ (W: 57-59)

Tokoh Faisal juga memiliki watak perhatian. Watak perhatian tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Tokoh Faisal segera mengambil obat ketika melihat jari ibunya berdarah terkena pisau. Hal tersebut tampak pada kutipan data (34) berikut:

(18)

commit to user

(34) Aku isih ngirisi lombok lan jangan sing arep tak masak. Ning pikiranku jebul mikir bab liya, dadi drijiku kena landhepe peso. Faisal kang rampung wudhu, weruh drijiku rupa getih, enggal njupukake obat.

„Saya masih memotong lombok dan sayur yang akan saya masak. Namun fikiran saya ternyata memikirkan hal lain, sehingga jari saya terkena tajamnya pisau. Faisal yang selesai wudhu, melihat jari saya penuh darah, langsung mengambilkan obat.‟ (W: 21-23)

Sikap perhatian tokoh Faisal juga dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku. Faisal memijati Eyang yang dirawat di rumah sakit. Hal tersebut tampak pada data (35) berikut: (35) “Aja na kene,” semaure Mas Rusli karo ndelokake cah-cah

kang lagi mijiti eyange.

„Jangan disini, kata Mas Rusli sambil melihat anak-anaknya yang sedang memijati eyangnya. (W: 56)

Secara sosial, tokoh Faisal merupakan seseorang anak yang suka menabung. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik deskripsi langsung, seperti pada data (36) berikut: (36) Aku wong loro durung nemu solusi, nadyan upama ana

tambahan saka Anis lan Faisal kang mbobok celengan kang durung tau dijupuk kawit cah-cah SD. Wong ragad sing dibutuhake akeh.

„Kami berdua belum menemukan solusi, meskipun apabila ada tambahan dari Anis dan Faisal dengan membuka celengan yang belum pernah diambil sejak mereka SD. Biaya yang dibutuhkan begitu banyak.‟ (W: 83-84)

Selain suka menabung, tokoh Faisal juga pandai bermain gitar. Pengarang memunculkan tokoh Faisal sebagai anak yang pandai bermain gitar dengan teknik reaksi tokoh lain, seperti pada kutipan data (37) berikut:

(37) “Iya Ndhuk, Ibu kangen karo Isal. Pengin ngrungokne Isal

gitaran maneh.”

„Iya Nak, Ibu rindu dengan Isal. Ingin mendengar Isal bermain gitar lagi.‟ (W: 136-137)

(19)

commit to user e) Anis

Anis adalah anak sulung dari pengarang. Secara fisik, Anis merupakan remaja yang cantik. Hal tersebut ditunjukkan oleh pengarang melalui teknik reaksi tokoh lain, seperti pada data (38) berikut:

(38) “Ora ngono, cah ayu. Maksude Eyang, suket iku lak ora butuh

disirami, ning bisa lemu-lemu kaya sing nang lapangan mau.“

„Tidak begitu, cantik. Maksud Eyang, rumput itu kan tidak perlu disiram, namun bisa tumbuh subur seperti yang ada di lapangan tadi.‟ (W: 147-148)

Secara psikis, tokoh Anis merupakan seorang anak yang sopan. Watak sopan tokoh Anis dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan. Tokoh Anis selalu menggunakan bahasa Jawa ragam krama setiap berbicara dengan orang yang lebih tua.

Hal tersebut dapat dilihat pada data (39) berikut:

(39) “Yang, wungu, sampun dugi,” pangucape Anis karo mbukak

lawang mobil sisih kiwa.

„Yang, bangun, sudah sampai, ucap Anis sambil membuka pintu mobil sebelah kiri.‟ (W: 157)

Anis juga memiliki watak perhatian. Watak perhatian tokoh Anis dimunculkan oleh pengarang dengan menggunakan teknik tingkah laku. Melihat jari ibunya yang terkena pisau, Anis langsung mengambil alih tugas untuk memasak dan meminta ibunya untuk istirahat terlebih dahulu. Hal tersebut tampak pada kutipan data (40) berikut:

(40) “Anis mawon Bu, sing masak. Ibu ngaso riyin.”

„Anis saja Bu, yang masak. Ibu istirahat saja dulu.‟ (W: 29) Selain sopan dan perhatian, tokoh Anis juga merupakan anak yang patuh. Pengarang memunculkan watak patuh dari tokoh Anis dengan teknik reaksi tokoh. Ketika orang tuanya meminta untuk menjaga Eyang tokoh Anis menjawab iya sebagai wujud menuruti perintah. Hal tersebut dapat dilihat pada data (41) berikut: (41) “Nggih Pak,” semaure anak-anakku bebarengan.

(20)

commit to user

Secara sosial, tokoh Anis merupakan seorang remaja yang sudah kuliah. Pengarang memunculkan keterangan tersebut dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (42) berikut: (42) Apa maneh Anis arep mlebu kuliyah, semingu maneh kudu wis

mbayar administrasi.

„Apalagi Anis akan masuk kuliah, satu minggu lagi harus sudah membayar administrasi.‟ (W: 45)

4) Latar

Latar terdiri dari latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat dalam cerkak Welingmu adalah rumah pengarang dan rumah sakit. Berikut kutipan mengenai latar tempat:

a) Latar tempat

(1) Rumah pengarang

Di dalam sebuah rumah tentu terdapat bagian-bagian rumah yang lebih spesifik. Latar tempat yang terdapat dalam cerita yakni:

(a) Kamar tidur

Latar kamar tidur dapat dilihat dari peristiwa ketika pengarang merasa lelah karena sehari penuh belum istirahat. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (43) berikut:

(43) Kaca mata tak copot, aku njur turon ing kasur.

„Kaca mata saya lepas, saya kemudian tiduran di kasur. (W: 3)

(b) Dapur

Latar tempat lainnya yakni dapur, dapat dilihat ketika pengarang memasak, seperti terlihat pada data (44) berikut:

(44) Nganti jam telu seprapat, aku malah terus tangi, raup njur mlebu ndapur nggo masak.

„Sampai pukul tiga lebih lima belas menit, saya kemudian bangun, mencuci muka masuk ke dapur untuk masak.‟ (W: 10)

(21)

(c) Halaman rumah

Latar halaman rumah dapat dilihat ketika Anis dan keluarganya membawa Eyang pulang. Hal tersebut dapat dilihat pada data (45) berikut:

(45) Ora let suwe, mobil kang disupiri Mas Rusli tekan ngarep omah.

„Tidak begitu lama, mobil yang dikendarai oleh Mas Rusli sudah sampai di depan rumah. (W: 154)

(2) Rumah sakit

Selain rumah pengarang, cerkak Welingmu juga menggunakan

latar tempat rumah sakit. Sama seperti rumah, dalam rumah sakit pun terdapat bagian-bagian spesifik tertentu.

(a) Ruang rawat Eyang

Latar tempat ruang rawat Eyang dapat dilihat dalam kutipan data (46) berikut:

(46) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan,

niki mpun kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit.

„Mas, kamu istirahat dulu, mandi kemudian sarapan, ini sudah saya bawakan makanan dan pakaian untuk kamu, kata saya kepada suami ketika sampai di rumah sakit. (W: 47)

(b) Kursi dekat ruang rawat Eyang

Agar pembicaraannya tidak diketahui oleh Anis, Faisal, dan Eyang, Mas Rusli dan istrinya keluar dari ruang rawat dan berdiskusi di kursi dekat ruang rawat Eyang. Hal tersebut tampak pada data (47) berikut:

(47) Aku lan Mas Rusli njur metu saka kamar, lungguh ing kursi ora adoh saka kamare Ibu dirawat.

„Saya dan Mas Rusli kemudian keluar dari kamar, duduk di kursi yang tidak jauh dari kamar Ibu dirawat.‟ (W: 60)

(22)

commit to user b) Latar waktu

Latar waktu berkaitan dengan kapan peristiwa dalam cerita terjadi. Cerita berlangsung beberapa hari. Ketika Faisal ikut ke rumah sakit, bisa dimungkinkan bahwa hari tersebut adalah hari libur (Minggu) karena mereka tidak sekolah. Kemudian hari berikutnya (Senin) tokoh Ibu menyebutnya dengan hari ini. Pada hari tersebut Ibu terpaksa tidak mengajar karena menggantikan suami menjaga Eyang. Lalu hari berikutnya, yakni dua hari setelah hari libur (Selasa), hari ketika Faisal berangkat tour ke Bali. Pada hari yang bersamaan dengan Faisal ke Bali, Eyang dibawa pulang oleh Ibu, Anis dan Mas Rusli. Dibawanya Eyang pulang tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh tokoh Ibu bahwa dua hari yang lalu Eyang meminta pulang.

Latar waktu dalam cerkak Welingmu antara lain: (1) Dini hari

(a) Jam dua pagi

Latar waktu jam dua pagi nampak ketika pengarang mulai lelah dan menutup laptopnya kemudian berbaring di kasur. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (48) berikut: (48) Jam loro esuk. Laptop taktutup, rasane mripat kaya

wis ora kuwat maneh.

„Jam dua pagi. Laptop saya tutup, mata terasa seperti sudah tidak kuat lagi.‟ (W: 1-2)

(b) Jam tiga lebih lima belas menit

Latar waktu jam tiga lebih lima belas menit yakni ketika pengarang memasak di dapur karena tidak bisa tidur. Hal tersebut tampak pada kutipan data (49) berikut:

(49) Nganti jam telu seprapat, aku malah terus tangi, raup njur mlebu ndapur nggo masak.

„Sampai pukul tiga lebih lima belas menit, saya kemudian bangun, mencuci muka dan masuk dapur untuk memasak. (W: 10)

(23)

(2) Pagi hari

Latar waktu pagi hari dapat dilihat dalam peristiwa ketika tokoh Ibu meminta suaminya untuk sarapan dan mandi di rumah sakit. Hal tersebut dapat dilihat pada data (50) berikut: (50) “Mas, njenengan ngaso riyin, siram terus sarapan, niki

mpun kula bektane dhaharan ugi rasukan njenengan,” kandhaku nang bojoku satekaku ing rumah sakit.

„Mas, kamu istirahat dulu, mandi kemudian sarapan, ini sudah saya bawakan makanan dan pakaian untuk kamu, kata saya kepada suami ketika sampai di rumah sakit. (W: 47)

(3) Hari ini

Latar waktu hari ini dimungkinkan bahwa hari yang dimaksud adalah hari Senin, seperti penjelasan di atas. Latar waktu hari ini adalah ketika pengarang menggantikan suaminya untuk menjaga Eyang di rumah sakit. Hal tersebut tampak pada kutipan data (51) berikut:

(51) Dina iki aku ngganteni Mas Rusli nunggoni Ibu ing rumah sakit.

„Hari ini saya menggantikan Mas Rusli menjaga Ibu di rumah sakit.‟ (W: 106)

(4) Dua hari kemudian

Waktu dua hari kemudian yang dimaksud bisa jadi adalah hari Selasa, seperti penjelasan di atas. Hal tersebut tampak pada kutipan data (52) berikut:

(52) Panjaluke Ibu rong dina kepungkur, iku takkira mung kanggo sauntara.

„Permintaan Ibu dua hari yang lalu, itu saya kira hanya untuk sementara.‟ (W: 119)

c) Latar sosial

Latar sosial dalam cerkak dengan judul Welingmu tersebut diantarannya:

(1) Keluarga tersebut merupakan keluarga Jawa yang menjunjung tinggi nilai kesopanan

(24)

commit to user

Hal tersebut nampak dalam penggunaan bahasa Jawa krama

dalam setiap percakapan tokoh. Bahasa Jawa krama digunakan ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, seperti anak pada orang tua, anak pada Eyang, istri pada suami, dan orang tua pada Eyang.

(2) Keluarga tersebut merupakan keluarga muslim yang religius Dapat dilihat dari tokoh Faisal yang rajin melakukan ibadah shalat tahajud. Mereka memiliki keyakinan bahwa orang yang sakit sudah sepantasnya didoakan untuk kesembuhannya, seperti pada kutipan data (53) berikut:

(53) Ndang shalat, dongakna Eyangmu.

„Segera shalat, doakan Eyangmu.‟ (W: 19)

Selain itu, tokoh Mas Rusli juga mengucapkan kalimat istirja‟ ketika mengetahui ibunya telah meninggal. Kalimat tersebut biasa diucapkan oleh umat muslim ketika mengalami musibah. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (54) berikut: (54) Mas Rusli mung gedheg-gedheg nyemauri pitakonku,

ndelehake tangane ana raine Ibu, banjur ngucap “Innalillahi wa innaillaihi raji‟un.”

„Mas Rusli hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan saya, menempatkan tangan di wajah Ibu, kemudian mengucap “Innalillahi wa innaillaihi raji‟un”.‟ (W: 165)

5) Sudut Pandang

Sudut pandang dalam cerkak Welingmu adalah sudut pandang orang pertama “aku” sebagai tokoh utama. Di dalam cerita, pengarang menceritakan kisahnya sendiri dan menyebut dirinya dengan sapaan “aku”. Hal tersebut tampak pada data (55) berikut:

(55) Aku nyoba ngeremake mripat, ning isih durung isa turu.

„Saya mencoba memejamkan mata, namun tetap tidak bisa tidur.‟ (W: 8)

Selain itu, pengarang juga menyebut sesuatu yang dimiliki atau ada pada dirinya dengan disertai imbuhan “-ku”. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (56) berikut:

(25)

(56) Ning pikiranku jebul mikir bab liya, dadi drijiku kena landhepe peso.

„Namun fikiran saya ternyata memikirkan hal lain, sehingga jari saya terkena tajamnya pisau.‟ (W: 22)

6) Amanat

Amanat atau pesan yang dapat diambil dari cerkak yang berjudul Welingmu ini antara lain:

a) Seorang anak harus berbakti kepada orang tua

Sudah sepantasnya seorang anak berbakti serta memuliakan orang tua karena orang tua telah merawat dan membesarkan anak dengan tulus tanpa pamrih. Amanat tersebut dapat dipetik dari sikap Anis dan Faisal yang begitu menghormati bapak ibunya. Kemudian sikap pengarang dan Mas Rusli yang merawat dan menjaga Eyang di rumah sakit.

b) Seseorang harus tetap tanggung jawab terhadap pekerjaannya Amanat mengenai sikap tanggung jawab terhadap pekerjaan dapat dipetik dari perilaku tokoh Mas Rusli dan pengarang yang menjaga Eyang secara bergantian, dan tidak begitu saja meninggalkan pekerjaannya.

c) Harus tetap bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi masalah Amanat untuk bersikap sabar dan tenang dalam menghadapi masalah dapat dipetik dari sikap pengarang yang sabar menghadapi masalah keuangan. Kemudian sikap Mas Rusli yang mengajak istrinya berdiskusi secara tenang dan tidak disertai emosi atau rasa terburu-buru dalam mengambil keputusan.

d) Melakukan hal secara bersama-sama akan dapat meringankan beban

Amanat tersebut dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada keluarga anaknya, bahwa seberapa berat beban yang ditanggung, apapun masalah yang sedang dihadapi, semua akan terasa ringan apabila dihadapi bersama-sama, seperti pada data (57) berikut:

(26)

commit to user

(57) “Pancen kudu bareng-bareng anggonmu ngangkat beban

kang abot. Kudu alon-alon supaya beban bisa kok angkat,” ngendikane Ibu nalika wis ana jero mobil takjagani nganggo awakku.

„Memang harus bersama-sama dalam mengangkat beban yang berat. Harus pelan-pelan agar beban bisa diangkat,” kata Ibu ketika sudah berada di dalam mobil saya jaga dengan badan saya.‟ (W: 124-125)

e) Seorang kepala keluarga harus mampu membimbing keluarganya

Amanat tersebut dapat dipetik dari nasih Eyang kepada Mas Rusli, bahwa ia sebagai imam keluarga harus mampu membimbing istri dan anak-anaknya ke jalan yang benar, jangan sampai terjerumus. Adapun amanat tersebut dapat dilihat pada kutipan data (58) berikut:

(58) ”Nang, welinge Ibu, yen nyopiri kluwargamu iku sing

ngati-ati, aja nganti kesasar,” ngendikane Ibu marang Mas Rusli kang lagi nyopir mobil nuju omah.

„Nak, pesan Ibu, kalau membawa keluargamu itu yang hati-hati, jangan sampai tersesat, kata Ibu kepada Mas Rusli yang sedang menyetir mobil menuju rumah‟ (W: 126)

f) Harus menjadi wanita yang mampu menjaga diri

Amanat untu selalu menjaga diri dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada Anis. Sebagai wanita ia harus menjaga diri, seperti halnya bunga mawar yang cantik, ia memiliki banyak duri dan hanya orang-orang yang berhati-hati yang mampu mendapatkannya. Hal tersebut tampak dalam kutipan data (59) berikut:

(59) ”Nis, welinge Eyang, yen dadi cah ayu iku kudune kaya

kembang mawar kae,” ngendikane Ibu nalika liwat toko kembang lan nuduhi kembang mawar kang apik rupane.

„Nis, pesan Eyang, kalau menjadi orang cantik itu harus seperti bunga mawar itu, kata Ibu ketika lewat toko bunga dan menunjukkan bunga mawar yang cantik rupanya. (W: 127)

(27)

g) Jangan bergantung pada orang lain, namun bergantunglah pada Tuhan

Amanat agar hanya bergantung pada Tuhan dapat dipetik dari nasihat Eyang kepada pengarang, seperti pada data (60) berikut:

(60) “Ndhuk, welinge Ibu, kowe sing bisa kaya suket-suket kae lho

Ndhuk,” ngendikane Ibu nalika weruh lapangan amba kang akeh sukete.

„Nak, pesan Ibu, kamu harus bisa seperti rumput-rumput itu lho Nak, kata Ibu ketika melihat lapangan luas yang banyak rumputnya. (W: 144)

b. Cerkak Sarwa Sujana karya Afin Yulia

1) Tema

Tema dari cerkak yang berjudul Sarwa Sujana karya Afin Yulia adalah menuduh orang lain tanpa ada bukti hanya akan mengakibatkan malu pada diri sendiri. Tema tersebut termasuk tema tradisional yakni seseorang yang melakukan perbuatan akan menerima resiko sesuai dengan perbuatan yang dilakukannya. Hal tersebut sesuai dengan pepatah Jawa bahwa sapa nandur bakal

ngundhuh „siapa yang menanam maka ia akan menuai‟. Pengarang

dan tetangga lain menggunjing serta menuduh Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet, tetapi ternyata Mbak Tari adalah seorang penulis hebat yang novelnya akan difilmkan. Hal tersebut tampak pada kutipan data (61) dan data (62) berikut:

(61) Wanita kang dadi randha watara patang taun kepungkur kuwi katon banget anggone mulya. Mulyane mono jane ora apa-apa. Ananging masalahe Mbak Tari kuwi ora nate megawe. Saben dinane ana ngomah wae. Banjur teka ngendi penghasilane kok bisa tuku parabola, tuku mobil masiya mung bekas. Hara, apa ora marai sarwa sujana ngono kuwi jenenge?

„Wanita yang menjadi janda kira-kira empat tahun yang lalu itu terlihat sekali hidupnya makmur. Makmurnya itu sebenarnya tidak apa-apa. Namun yang menjadi masalah Mbak Tari itu tidak pernah bekerja. Setiap hari hanya berada di rumah saja. Lalu dari

(28)

commit to user

meskipun hanya bekas. Hayoo, apa tidak menjadikan serba berburuk sangka kalau seperti itu namanya?‟ (SS: 2-7)

(62) “Si Tari kuwi lho antuke dhuwit saka ngendi. Dadi gendhakane

wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?”

„Si Tari itu lho dapatnya uang dairi mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya?‟ (SS: 9-10) Suatu hari Mbak Tari mengadakan syukuran dan menjelaskan maksud diadakannya syukuran tersebut. Salah satu maksud diadakannya syukuran yakni novel Mbak Tari yang akan difilmkan dan disutradarai oleh sutradara terkenal Hanung Bramantyo. Hal tersebut menunjukkan kebenaran dari diri seorang Mbak Tari bahwa Mbak Tari kaya bukan karena babi ngepet, seperti dalam data (63) berikut:

(63) Ketelu, merga novele kang judule Bukan Semusim Cinta

didadekake film lan bakal disutradari dening Hanung sapa ya iku mau, pokoke jare sutradara terkenal sak Indonesia.

„Ketiga, karena novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta dijadikan film dan akan disutradarai oleh Hnung siapa ya itu tadi, pokoknya sutradara terkenal se-Indonesia. (SS: 127)

Setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya, pengarang yang tadinya menuduh Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet

kemudian merasa menyesal dan malu. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (64) berikut:

(64) Aku mung meneng bae. Ngrasa isin campur ora penak ati.

„Saya hanya diam saja. Merasa malu tidak enak hati. (SS: 156-157)

2) Alur

Cerkak Sarwa Sujana menggunakan alur maju. Peristiwa

diceritakan secara runtut mulai dari pengenalan tokoh Mbak Tari melalui perbincangan pengarang dengan tetangga. Perbincangan yang menyatakan bahwa Mbak Tari adalah seorang janda yang terlihat tidak pernah bekerja tetapi hidupnya mapan. Kemudian pengenalan para tetangga seperti Yu Ti, Mbak Ning, dan Mbak Mur yang turut dalam perbincangan membicarakan Mbak Tari.

(29)

commit to user

Konflik mulai muncul ketika para tetangga memiliki dugaan bahwa Mbak Tari kaya karena menjadi simpanan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet. Konflik meningkat ketika salah seorang tetangga yang bernama Mbak Ning melihat pembantu Mbak Tari

membeli lilin dan kembang setaman. Hal tersebut menjadikan

pengarang dan tetangga lain semakin yakin bahwa Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet, seperti pada data (65) berikut:

(65) “Iih, aja-aja mraktekne ngelmu babi ngepet tenan...” kandhaku

marai Yu Ti, Mbak Ning lan Budhe Mur njur padha pandeng-pandengan karo sajag mengkirig.

„Iih, jangan-jangan mempraktekkan ilmu babi ngepet

sungguhan... kata saya pada Yu Ti, Mbak Ning dan Budhe Mur kemudian saling memandang sambil merinding takut.‟ (SS: 31)

Tahap klimaks dalam cerkak tersebut adalah ketika

pengarang bersikukuh dengan anggapannya bahwa Mbak Tari melakukan ritual babi ngepet. Suami pengarang yang bernama Mas Mip berusaha melarang agar tidak membicarakan keburukan orang tanpa bukti, tetapi pengarang tetap keras kepala. Hingga keduanya bertengkar dan menimbulkan suasana gaduh di rumahnya, seperti pada kutipan data (66) berikut:

(66) “Ha wong sing diomongke iku kasunyatan, ya ben ta. Sampeyan

ki ora gaul blas, dadi ora ngerti menawa Mbak Tari kuwi gelem ngepet.”

„Yang dikatakan itu kenyataan, biarkan saja ta. Kamu itu tidak gaul sama sekali, jadi tidak tahu kalau Mbak Tari itu mau melakukan ritual babi ngepet.‟ (SS: 89-90)

Penyelesaian cerita nampak ketika Mbak Tari mengadakan syukuran dan mengundang seluruh ibu-ibu tetangga. Ustadz Sarip yang memimpin acara menyampaikan maksud dari diadakannya syukuran. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (67) berikut: (67) Sadurunge acara mulai Ustadz Sarip kandha yen Mbak Tari

ngandhakake anane acara iki amarga ana hajat kang arep dipenuhi. Pisan, kirim donga marang para wong tuwa lan leluhure kang wus ora ana. Kapindho, anake sing nomer sijine lulus saka SMA lan ketrima ing Unpad. Katelu, merga novele

(30)

commit to user

disutradarai dening Hanung sapa ya iku mau, pokoke jare sutradara terkenal sak Indonesia.

„Sebelum acara dimulai Ustadz Sarip menyampaikan bahwa Mbak Tari mengatakan diadakannya acara ini karena ada harapan yang akan dipenuhi. Pertama, mengirim doa kepada para orang tua dan leluhur yang telah tiada. Kedua, anaknya yang pertama lulus dari SMA dan diterima di Unpad. Ketiga, karena novelnya yang berjudul Bukan Semusim Cinta dijadikan film dan akan disutradarai oleh Hanung siapa ya ini tadi, yang jelas katanya sutradara terkenal se-Indonesia.‟ (SS: 124-127)

3) Tokoh dan Penokohan

Tokoh utama dalam cerkak Sarwa Sujana yakni pengarang atau Sri dan Mbak Tari. Sedangkan tokoh tambahannya yakni Yu Ti, Mbak Ning, Mbak Mur, Mas Mip, Murni, Pak Jamin, dan Pak Sarip. Berikut tokoh dan penokohan dalam cerkak Sarwa Sujana:

a) Sri

Tokoh Sri merupakan pengarang yang menceritakan cerita. Secara fisik, tokoh Sri merupakan seorang wanita dewasa yang sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan data (68) berikut:

(68) “Ha wong ancen aku ora weruh kok,” saurku karo ngelapi

lampene Fira sing kebak sega.

„Memang saya tidak tahu kok, jawab saya sambil mengelap mulut Fira yang penuh dengan nasi.‟ (SS: 65)

Secara psikis, tokoh Sri memiliki watak yang suka ghibah

atau menggunjing orang lain. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang melalui teknik pikiran dan perasaan, seperti pada kutipan data (69) berikut:

(69) Ning aja diceluk jenengku Sri yen marga kuwi dadi ora weruh nggosip njaba. Ora bisa ngomong langsung kan bisa sms-an, ben ora ketinggalan gosipe tangga-tanggaku, utamane piye bab Mbak Tari.

„Namun jangan panggil nama saya Sri apabila hanya karena itu menjadikan tidak mengetahui gosip di luar. Tidak bisa berbicara langsung kan bisa sms-an, supaya tidak ketinggalan gosip para tetangga saya, terutama bagaimana mengenai Mbak Tari. (SS: 107-108)

(31)

Selain memiliki watak yang suka ghibah, tokoh Sri juga memiliki watak suka suudzan atau berburuk sangka terhadap orang lain. Pengarang memunculkan watak suudzan tokoh Sri dengan menggunakan teknik cakapan, seperti pada data (70) berikut: (70) “Iih, aja-aja mraktekne ngelmu babi ngepet tenan...”

kandhaku marang Yu Ti, Mbak Ning, lan Budhe Mur njur padha pandeng-pandengan karo sajak mengkirig.

„Iih, jangan-jangan mempraktekkan ilmu babi ngepet

sungguhan... kata saya kepada Yu Ti, Mbak Ning, dan Budhe Mur yang kemudian saling menatap sambil merinding takut.‟ (SS: 31)

Watak lain dari tokoh Sri adalah munafik, yakni bedanya kata dan tindakan. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik tingkah laku, tokoh Sri mengucapkan terima kasih ketika pembantu Mbak Tari memberikan kolak pisang, namun setelah itu tokoh Sri membuang kolak tersebut dengan alasan khawatir kalau kolak tersebut tidak halal, seperti pada data (71) berikut:

(71) “Wah, matur nuwun lho, Mur,” semaurku kaya-kaya

seneng-seneng. Padhal sakwise kuwi kolake dakbuang.

„Wah, terima kasih lho, mur, kata saya seakan senang. Padahal setelah itu kolaknya saya buang.‟ (SS: 37-38)

Tokoh Sri juga memiliki watak tidak jujur. Hal tersebut ditunjukkan pengarang dengan teknik cakapan, seperti pada kutipan data (72) berikut:

(72) “Eh, sampeyan ki mara-mara nudhuh kaya ngono. Sapa sing

ngomongke liyan.

„Eh, kamu itu datang-datang menuduh saya seperti itu. Siapa yang membicarakan orang lain.‟ (SS: 85-86)

Sudah jelas tokoh Sri sedang membicarakan Mbak Tari dengan tetangganya, namun ia tetap mengelak dan tidak mau jujur ketika suaminya melarang jangan menggunjing. Selain tidak jujur dengan suami, tokoh Sri juga merupakan sosok yang kasar tidak bisa hormat pada suami. Hal tersebut dapat dilihat dari percakapan

(32)

commit to user

yang dilakukannya dengan suami yang tampak pada data (73) berikut:

(73) “Ha wong sing dha diomongke iku kasunyatan, ya ben ta.

Sampeyan ki ra gaul blas, dadi ora ngerti menawa Mbak Tari kuwi gelem ngepet.”

„Yang dibicarakan itu kenyataan, biar saja. Kamu itu tidak gaul sama sekali, jadi tidak tahu kalau Mbak Tari itu mau ngepet.‟ (SS: 89-90)

Selain watak suka ghibah, suudzan, munafik, tidak jujur, dan kasar terhadap suami, tokoh Sri juga memiliki watak kurang kerjaan. Hal tersebut dapat dilihat dari perilakunya yang ingin tahu keadaan rumah dan mencari bukti di rumah Mbak Tari ketika ada undangan syukuran, seperti pada kutipan data (74) berikut:

(74) Wah, kebeneran iki, batinku bungah. Yen bener ana undangan tasyakuran mrono aku arep golek sisik-melik piye ta jane kahanane omahe Mbak Tari kuwi. Yen ana perangan utawa panggonan kang ora sakbaene arep dak amat-amati tenanan. Sapa ngerti bisa dadi bukti yen Mbak Tari nglakoni ritual pesugihan.

„Wah, kebetulan ini, dalam batin saya senang. Jika benar ada undangan syukuran kesana saya akan mencari tahu bagaimana keadaan rumah Mbak Tari. Kalau ada sesuatu atau tempat yang mencurigakan akan saya perhatikan dengan teliti. Siapa tahu bisa menjadi bukti kalau Mbak Tari melakukan ritual pesugihan.‟ (SS: 111-114)

Secara sosial, tokoh Sri merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Sri tidak bekerjadan hanya memperbincangkan Mbak Tari dengan tetangga lain.

b) Mbak Tari

Tokoh Mbak Tari adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Tari merupakan seorang wanita dewasa yang cantik. Pengarang memunculkan keterangan cantik dari tokoh Mbak Tari dengan menggunakan teknik ekspositori, seperti pada data (75) berikut:

(33)

commit to user

(75) “Kadhang-kadhang kula inggih kepengin dolan, ning asring

mboten saged. Lha pripun, kula niki kados buron mawon, je. Meh ben dinten diuber-uber kaliyan para editor ken enggal ngrampungke tulisan kula,” guneme Mbak Tari kang isih ayu iku masiya wis ngancik 45 taun.

„Terkadang saya juga ingin bersilaturahmi, namun sering tidak bisa. Lha gimana, saya itu seperti buronan. Hampir setiap hari dikejar-kejar para editor diminta untuk segera menyelesaikan tulisan saya, kata Mbak Tari yang masih cantik itu meski sudah hampir 45 tahun.‟ (SS: 137-139)

Secara psikis, tokoh Mbak Tari merupakan orang yang dermawan. Hal tersebut tampak dari sikapnya yang ketika panen pisang, pisang tersebut dibuat kolak, dan kemudian dibagikan pada para tetangga, seperti pada kutipan data (76) berikut:

(76) Ndilalah nalika mari blanja Murni teka ngeteri kolak. Jare ibu (maksude Mbak Tari) lagi panen pisang. Dadine pisang mau njur didadekake kolak lan dibagekne menyang tangga-tangga.

„Kebetulan ketika selesai belanja Murni datang mengantar kolak. Kata ibu (maksudnya Mbak Tari) sedang panen pisang. Jadi pisang tadi dibuat kolak dan dibagikan pada para tetangga. (SS: 34-36)

Tokoh Mbak Tari juga memiliki sikap sopan santun. Hal tersebut dapat dilihat dari sikapnya yang meminta maaf kepada para tetangga karena belum bisa bersilaturahmi ke rumah-rumah tetangga, seperti pada kutipan data (77) berikut:

(77) Ing dalem kesempatan mau Mbak Tari uga nambahi ngomong

menawa dheweke nyuwun sepura dene ora nate dolan-dolan menyang tangga.

„Dalam kesempatan itu Mbak Tari menyampaikan maaf apabila tidak pernah bersilaturahmi ke rumah tetangga.‟ (SS: 134)

Selain dermawan dan sopan, tokoh Mbak Tari juga merupakan pekerja keras. Sikap kerja keras tokoh Mbak Tari dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Mbak Tari lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis karena dikejar oleh para editor. Hal tersebut tampak pada data (78):

(34)

commit to user

yen Mbak Tari kuwi jarang metu saka kamare. Metu-metune paling mung yen mangan karo ngombe. Sak liyane kuwi, wis ora tau metu-metu maneh.

„Wah, yang berbincang menjadi lebih ramai ketika Bulik Mur datang dan menambahkan pembicaraan kalau dia mendengar bahwa Mbak Tari itu jarang keluar dari kamar. Keluar hanya apabila makan dan minum. Selain itu, sudah tidak pernah keluar lagi. (SS: 21-23)

Secara sosial, tokoh Mbak Tari merupakan seorang janda yang kaya. Pengarang memunculkan tokoh Mbak Tari sebagai orang yang kaya dengan teknik ekspositori, seperti pada data (79) berikut:

(79) Wanita kang dadi randha watara patang taun kepungkur kuwi katon banget anggone mulya.

„Wanita yang menjadi janda kira-kira empat tahun yang lalu itu terlihat sekali kalau hidupnya mapan.‟ (SS: 2)

Selain janda kaya, tokoh Mbak Tari juga merupakan seorang penulis novel. Hal tersebut dapat dilihat pada data (80): (80) Dheweke asring ana ngomah, nulis lan nulis bae.

„Dia sering berada di rumah, menulis dan menulis saja.‟ (SS: 136)

c) Yu Ti

Tokoh Yu Ti adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Yu Ti merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Di dalam cerita, pengarang menyebut tetangga yang turut memperbincangkan Mbak Tari dengan sebutan ibu-ibu, seperti pada kutipan data (81) berikut: (81) Akhire aku lan para ibu-ibu mungkasi cerita banjur sibuk tuku

sayuran dhewe-dhewe.

„Akhirnya saya dan para ibu-ibu menyudahi cerita kemudian sibuk membeli sayuran masing-masing.‟ (SS: 33)

Secara psikis, tokoh Yu Ti memiliki watak yang suka

suudzan. Pengarang memunculkan watak suudzan tokoh Yu Ti

dengan teknik cakapan, yakni berdasarkan percakapan yang dilakukannya dengan tokoh lain, seperti pada data (82) berikut:

(35)

(82) “Lha iya, Sri. Si Tari kuwi hlo antuke dhuwit saka ngendi.

Dadi gendhakane wong liya apa macak mbabi ngepet ya jane?”

„Iya ya, Sri. Tari itu mendapat uang dari mana. Jadi selingkuhan orang lain atau melakukan ritual babi ngepet ya sebenarnya?‟ (SS: 8-10)

Selain suka suudzan, pengarang memunculkan tokoh Yu Ti sebagai orang yang mudah terpengaruh dengan teknik ekspositori. Sikap mudah terpengaruh dari tokoh Yu Ti dapat dilihat dari perilakunya yang setuju ketika Sri mengajak mengamati rumah Mbak Tari nanti di acara syukuran, seperti pada data (83): (83) Yu Ti setuju bareng tak kandhani perkara mau.

„Yu Ti juga setuju ketika saya beritahu mengenai rencana tadi.‟ (SS: 115)

Secara sosial, tokoh Yu Ti merupakan seorang ibu rumah tangga. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik pelukisan latar. Di dalam cerita dipaparkan bahwa sepanjang hari tokoh Yu Ti tidak bekerja dan hanya memperbincangkan Mbak Tari dengan tetangga lain.

d) Mbak Ning

Tokoh Mbak Ning adalah tetangga pengarang. Secara fisik, tokoh Mbak Ning merupakan wanita dewasa. Hal tersebut dimunculkan oleh pengarang dengan teknik ekspositori. Di dalam cerita, pengarang menyebut tetangga-tetangga yang turut memperbincangkan Mbak Tari dengan sebutan ibu-ibu. Hal tersebut dapat dilihat pada data (84) dalam kutipan berikut:

(84) Akhire aku lan para ibu-ibu mungkasi cerita banjur sibuk tuku sayuran dhewe-dhewe.

„Akhirnya saya dan para ibu-ibu menyudahi cerita kemudian sibuk membeli sayuran masing-masing.‟ (SS: 33)

Secara psikis, tokoh Mbak Ning memiliki watak yang suka ghibah dan suudzan. Watak suka ghibah dari tokoh Mbak Ning dimunculkan oleh pengarang dengan teknik cakapan, seperti

Referensi

Dokumen terkait

Adanya kemauan dari peserta didik merupakan faktor yang sangat mendukung dalam menginternalisasi nilai-nilai karakter toleransi. Faktor ini berkaitan dengan kemauan

Selanjutnya, nilai Eigen Vector (Nilai Rata-Rata) dikalikan dengan matriks semula, menghasilkan nilai untuk tiap baris, yang selanjutnya setiap nilai dibagi kembali

“Saya ma dulu di suruh kerja sini karena kebetulan kang Dadang (pemilik), rumahnya dekat dengan saya jadi dia liat keseharianku hanya di rumah gak ada kerjaan, makanya

12 5 sin 0 − = α ”. “Saya kira cukup pemaparan dari kami”. “Ya kelompok 2 pun sama sempurnanya dengan kelompok 1”, guru memberikan pujian kepada kelompok 2. Tepuk

d. 1) Khusus kapal wajib pandu, Petugas Pandu melaksanakan pemanduan kapal dari Ambang Luar ke tambatan, selanjutnya setelah melaksanakan pemanduan, petugas pandu

Hal itu merupakan bukti bagaimana kemauan atau kesiapan para petugas apotek dalam memberikan jasa yang dibutuhkan para pasien maupun konsumen secara cepat tanggap Berdasarkan hasil

yèn durung mangarti sira | caritane takokêna | ya marang wong tuwa-tuwa | kang padha wruh ing carita | iku ingkang dadi uga | mundhak kapintêranira | nanging ta dipun elingan | sabarang

Selanjutnya Abu Hayyan menyangkal penafsiran Al-Zamkhsyari: “Tidak mungkin “khalaqa” ditafsiri dengan “qaddara” menetapkan atau memberi batasan, karena kalimat selanjutnya “faqaddarahu”