• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Prasarana Persampahan 3R

LAYAK HUNI, PRODUKTIF,

B. Pembangunan Prasarana Persampahan 3R

Pengembangan aspek non fisik (seperti 3R) dapat dilakukan melalui pengembangan pengelolaan sampah perkotaan secara terpadu melalui reduksi sampah, penggunaan kembali, dan daur ulang sampah dengan peningkatan peran serta masyarakat dan peningkatan manajemen pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah. Pengembangan aspek non fisik untuk Kota Mojokerto dilaksanakan berdasarkan :

1. Sistem yang terintegrasi antara budaya pemusnahan sampah pada sumbernya, proses pemilahan sampah, dan tempat pengelolaan sampah terpadu di setiap kelurahan yang mampu menghasilkan kompos, barang kerajinan, dan bahan berguna lainnya dengan pangsa pasar sebagai tempat penjualan produk.

2. Pemantauan dan pengendalian pembuangan sampah di sungai dan saluran irigasi, serta pembuangan sampah secara sembarangan di ruang terbuka publik melalui pelibatan peran serta masyarakat.

Penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Kota Mojokerto Tahun 2014-2018

3. Pembentukan kelembagaan dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat ditingkat kelurahan dengan pendirian KSM bidang pengelolaan persampahan daerah.

4. Sosialisasi masyarakat yang diprakarsai oleh masyarakat yang mempunyai pengaruh di lokasi kegiatan dengan dukungan ketua RT, RW, PKK, Karang Taruna, kelompok keagamaan, tokoh masyarakat, setempat. Sosialisasi diberikan dengan penajaman pada permasalahan persampahan perkotaan, perubahan perilaku untuk memilah sampah, perubahan paradigma bahwa sampah bukan lagi cost centre namun bisa menjadi profit centre yang bernilai ekonomis bila dikelola dengan baik, dan pentingnya mengolah sampah dari sumbernya karena dampak negatip yang ditimbulkannya dan biaya kerusakan dan pencemaran lingkungan yang harus ditanggung masyarakat (external cost).

Kegiatan sosialisasi pengelolaan sampah dilakukan secara terus menerus dan paling tepat dilakukan pada rapat/pertemuan rutin warga, seperti pertemuan RT/RW, pertemuan PKK, pengajian dan pertemuan karang taruna. Selain itu, juga dapat ditambah dengan kunjungan ke rumah-rumah serta acara khusus.

5. Menggerakkan masyarakat melalui percontohan pelaksanaan pengelolaan sampah skala rumah tangga dengan komposter aerob yang dimulai dengan proses pemilahan sampah basah dan kering. Pelaksanaan kegiatan dapat dimulai dari tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh kuat di wilayah seperti ketua RT, RW, PKK, Karang Taruna, kelompok keagamaan, tokoh masyarakat. Pendanaan dapat dilakukan secara swadana atau gotong royong.

6. Pelatihan bersama dalam proses pemilahan sampah untuk mengenal sampah- sampah yang dapat dilakukan pengomposan ataupun yang tidak dapat digunakan serta proses pembuatan kompos dan cara-cara memanennya.

7. Karena dalam program pengelolaan sampah berbasis masyarakat, masyarakatlah yang menjadi subyek dari program, maka masyarakat dilibatkan peran aktif masyarakat harus terlihat mulai dari tahap perencanaan, desain operasional, operasionalisasi kegiatan sampai kepada pengawasan kegiatan. Artinya bahwa masyarakat dapat mengambil inisiatif untuk menentukan mekanisme pengelolaan sampah berikut desain infrastrukturnya. Dengan demikian kegiatan pengelolaan sampah merupakan suatu aktivitas yang didasarkan pada kehendak sukarela masyarakat untuk berpartisipasi (proses kepitusan berlangsung dari bawah ke atas/bottom up).

8. Jika telah ditetapkan bahwa sebuah wilayah akan dijadikan sebagai pilot project untuk pengelolaan sampah mandiri maka harus diikuti komitmen pemerintah

Penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Kota Mojokerto Tahun 2014-2018

membantu dalam penyediaan sarana dan prasarana serta pendampingan selama proses uji coba. Meskipun demikian tetap bahwa masyarakat bebas untuk menentukan bersedia atau tidak untuk melakukan kegiatan tersebut. Sosialisasi program kepada masyarakat tidak bermakna bahwa komunitas tersebut secara otomatis telah bergabung ke dalam pilot project ini. Di sinilah peranan masyarakat atau andil masyarakat ditunjukkan dalam proses pembangunan dan bermakna bahwa pembangunan tidak harus top down.

9. Pengadaan percontohan pengolahan sampah. Masyarakat tertarik untuk melakukan suatu hal baru yang di introduksikan apabila melihat sebuah keberhasilan yang di percontohan secara langsung dan nyata. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan studi banding ke wilayah lain yang mempunyai keberhasilan dalam pengelolaan sampah secara mandiri maupun dalam memasarkan hasil produksinya sehingga mendapatkan keuntungan (revalue) 10. Memperbanyak fasilitator-fasilitator untuk memberikan pelatihan composting pada

masyarakat sekitar.

11. Pembentukan Kader Lingkungan. Kader dididik melalui program pelatihan. Produk yang diharapkan adalah kader lingkungan yang dapat melaksanakan kegiatan pemilihan dan pengolahan sampah di daerah tempat tinggalnya.

12. Perlunya pertemuan rutin kader dan fasilitator untuk menampung aspirasi dan memberi masukan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi.

13. Pendampingan Warga. Pendampingan warga dalam melaksanakan aktifitas pengolahan sampah di tingkat rumah tangga pada umumnya di lakukan oleh kader. Setiap warga melakukan pendampingan terhadap 1 dasawisma atau 1 RT. 14. Merutinkan program kampanye 3R secara terpadu di tingkat kota bekerjasama

antara pihak pemerintah, masyarakat dan dinas-dinas terkait serta lomba 3R antar kampung/RT, RW atau kelurahan.

15. Melakukan diseminasi kegiatan dalam bentuk :

Disiminasi aktif : Organisasi pemberdayaan masyarakat secara aktif memberikan penyuluhan dan pelatihan di daerah binaannya bagi masyarakat luar. Hal ini menjadikan daerah binaan tersebut menjadi pusat pembelajaran, sekaligus mengubah lokasi yang semula memiliki kecenderungan tertutup, menjadi terbuka bagi masyarakat luar. Termasuk dalam kategori desiminasi aktif adalah pelaksanaan penyuluhan dan pelatihan di luar daerah binaan, dengan cara mengundang kelompok masyarakat yang membutuhkan.

Penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Kota Mojokerto Tahun 2014-2018

6.4.3. Drainase

6.4.3.1. Arahan Kebijakan dan Lingkup Kegiatan Pengelolaan Drainase A. Arahan Kebijakan Pengelolaan Drainase

Beberapa peraturan perundangan yang mengatur tentang sistem pengelolaan drainase, antara lain :

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.

Aksesibilitas, kualitas, maupun cakupan pelayanan sarana dan prasarana masih rendah berdasarkan UU No.17 tahun 2007. Untuk sektor drainase, cakupan pelayanan drainase baru melayani 124 juta jiwa.

2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Mengatur Pembagian wewenang dan tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa dalam pengelolaan sumber daya air.

3. Peraturan Presiden No.5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014

Sasaran pembangunan Nasional bidang AMPL telah ditetapkan dalam RPJMN tahun 2010-2014 khususnya drainase adalah menurunnya luas genangan sebesar 22.500 ha di 100 kawasan strategis perkotaan.

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 14/PRT/M/2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.

Dalam upaya pengelolaan sistem drainase perkotaan guna memenuhi SPM perlu tersedianya sistem jaringan drainase skala kawasan dan skala kota sehingga tidak terjadi genangan (lebih dari 30 cm, selama 2 jam) dan tidak lebih dari 2 kali setahun. B. Ruang Lingkup Pengelolaan Drainase

Seiring dengan pertumbuhan penduduk perkotaan yang amat pesat di Indonesia dan pembangunan tempat tinggal penduduk yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR) seperti di daerah-daerah yang seharusnya jadi resapan/tempat parkir air (Retarding Pond) dan daerah-daerah bantaran sungai mengakibatkan peningkatan volume air yang masuk ke saluran drainase dan sungai sehingga terlampauinya kapasitas penyediaan prasarana dan sarana drainase perkotaan dan daya tampung sungai. Sebagai akibat dari permasalahan tersebut adalah terjadinya banjir atau genangan yang semakin meningkat.

Drainase yang dimaksud disini adalah drainase perkotaan yang didefinisikan sebagai drainase di wilayah kota yang berfungsi untuk mengelola dan mengendalikan air permukaan sehingga tidak mengganggu dan/atau merugikan masyarakat. Dalam

Penyusunan RPIJM Bidang Cipta Karya Kota Mojokerto Tahun 2014-2018

upaya pengelolaan sistem drainase di banyak kota di Indonesia pada umumnya masih bersifat parsial, sehingga tidak menyelesaikan permasalahan banjir dan genangan secara tuntas. Pengelolaan drainase perkotaan harus dilaksanakan secara menyeluruh, mengacu kepada SIDLACOM dimulai dari tahap Survey, Investigation

(investigasi), Design (perencanaan), Operation (operasi) dan Maintanance

(pemeliharaan), serta ditunjang dengan peningkatan kelembagaan, pembiayaan serta partisipasi masyarakat. Peningkatan pemahaman mengenai sistem drainase kepada pihak yang terlibat baik pelaksana maupun masyarakat perlu dilakukan secara berkesinambungan.

6.4.3.2. Isu Strategis, Kondisi Eksisting, Permasalahan, dan Tantangan Drainase