• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata cara pembayaran yang dilakukan, hal ini ditentukan sendiri oleh pihak pengembang, dan masing-masing pengembang mempergunakan sisem pembayaran dengan tunai, tunai bertahap dan KPR melalui Bank. Dari hasil penelitian dengan konsumen, kebanyakan konsumen membayar dengan sistem tunai bertahap dan KPR melalui Bank, oleh karena dengan sistem pembayaran ini dianggap tidak memberatkan pihak konsumen utuk membayar angsurannya.71

No

Di dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut sudah ada ketentuan yang mengatur tentang sanksi atas keterlambatan pembayaran angsuran yang masing-masing pengembang memberikan denda yang berbeda-beda.

Tabel 2.2 Sanksi Atas Keterlambatan

Pengembang Diatur dalam Sanksi

1 PT. Prima Sarana Mandiri Pasal 3 ayat (3) 2%o

71

2 PT. Adya Satya Prakarsa Pasal 4 ayat (4) 0,1%

3 PT. Suka Sakti Pasal 6 ayat (a) 1%o

4 PT. Ira Inti Seraya Mandiri Pasal 2 2%

5 PT. Bukit Indah Karya Sentosa Pasal 8 ayat (2) 2%

Sumber : Data Sekunder, Tahun 2008

Jika dilihat dari Tabel 2.2 di atas, semua pengembang dalam perjanjian pengikatan jual belinya mencantumkan sanksi atas keterlambatan apabila konsumen terlambat membayar angsurannya, sedangkan apabila pengembang terlambat menyerahkan rumah kepada konsumen, hanya PT. Suka Sakti yang mencantumkannya sedangkan pengembang lain tidak ada mencantumkannya, ini berarti bahwa perjanjian pengikatan jual beli tersebut tampak menguntungkan pihak pengembang saja. ”Akan tetapi dari hasil penelitian dengan pihak pengembang, mengenai keterlambatan pembayaran angsuran oleh konsumen, pihak pengembang selalu masih memberikan kesempatan kepada konsumen selama beberapa waktu untuk melunasinya, dalam arti kata ada kesepakatan tersendiri yang dibuat oleh pengembang dan kosumen untuk pembayarannya sepanjang pihak konsumen menyampaikan soal keterlambatannya tersebut kepada pihak pengembang, sehingga jarang sampai ada pihak konsumen yang dikenakan denda soal keterlambatan tersebut meskipun dalam perjanjian tersebut ada mengatur soal keterlambatan pembayaran angsuran.”72

72

Hasil wawancara dengan Pengembang PT. Ira Inti Seraya Mandiri, Bapak Tarmanto Hadi, Manajer Marketing, pada tanggal 13 Mei 2009 Pukul 09.30 Wib di Ruag Kerjanya.

bangunan rumah kepada konsumen, konsumen pun hampir tidak ada yang mengeluh, mengenai soal keterlambatan tersebut. Karena apabila ada kosumen yang ingin cepat menempati rumah tersebut, maka pihak pengembang lebih dahulu mengutamakannya dari yang lain, sehingga tak jarang bangunan tersebut pun sering mengalami kerusakan seperti bocor, kerusakan dinding retak-retak, dan lain-lainnya akibat dari pekerjaan bangunan yang terkesan terburu-buru untuk diselesaikan.73

No

Hal inilah yang sering menimbulkan keluhan di kalangan konsumen, mengenai spesifikasi bangunannya. Akibatnya pihak pengembang harus memperbaikinya sesuai dengan permintaan konsumen karena dalam perjanjian pun telah ditegaskan apabila dalam masa pemeliharaan, bangunan tersebut mengalami kerusakan seperti bocor, dinding retak-retak, keramik rusak dan sebagainya maka hal ini menjadi tanggung jawab dari pihak pengembang. Oleh sebab itulah dalam perjanjian tersebut masing-masing pengembang mencantumkan masa pemeliharaan. Masa pemeliharaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.3 di bawah ini :

Tabel 2.3 Masalah Pemeliharaan

Pengembang Diatur dalam Jangka Waktu

1 PT. Prima Sarana Mandiri Pasal 7 ayat (2) 3 bulan

2 PT. Adya Satya Prakarsa Pasal 4 1 bulan

3 PT. Suka Sakti Pasal 7 3

4 PT. Ira Inti Seraya Mandiri Pasal 2 1 bulan

73

Hasil Wawancara dengan Pengembang PT. Bukit Indah Karya Sentosa Hermawanto Juned, pada tanggal 6 Mei Pukul 10.00 Wib di Ruang Kerjanya.

5 PT. Bukit Indah Karya Sentosa Pasal 5 ayat (c) 1 bulan Sumber : Data Sekunder, Tahun 2008

Apabila selama jangka waktu perjanjian ini terjadi keadaan atau peristiwa yang mengakibatkan keterlambatan pelaksanaan ataupun penyelesaian rumah tidak dapat dilaksanakan, rusak, atau musnahnya sebagian atau seluruhnya tugas pekerjaan, keadaan/peristiwa mana menurut undang-undang berada di luar dugaan, kemampuan serta tanggung jawab para pihak, maka hal ini disebut dengan ”keadaan memaksa/force majeure”. Pengertian keadaan memaksa dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah bencana alam, huru-hara, epidemik, kebakaran, banjir, ledakan, pemogokan massal, perang, perubahan perundang-undangan, perubahan kebijaksanaan pemerintah dan peristiwa lain apapun di luar kekuasaan pihak pengembang yang menyebabkan pihak pengembang tidak dapat melaksanakan kewajiban sesuai dengan perjanjian baik sebagian ataupun seluruh pekerjaan tersebut.

Dari hasil wawancara dengan pihak pengembang apabila terjadi force majeure maka kedua belah pihak sepakat untuk menetapkan hal-hal sebagai berikut :

1. Atas bagian pekerjaan yang terlambat, rusak/musnah tersebut dinyatakan sebagai akibat force majeure dan para pihak tidak akan saling menuntut bagian pekerjaan tersebut.

2. Kedua belah pihak akan mengadakan musyawarah untuk memperhitungkan pekerjaan-pekerjaan yang tidak rusak/musnah dan dapat dinilai baik.

3. Apabila force majeure tersebut menyebabkan pekerjaan pengembang tertunda, maka kewajiban pengembang berdasarkan perjanjian ini akan diperpanjang untuk jangka waktu selama berlangsungnya keadaan force majeure tersebut.

4. Apabila keadaan force majeure tersebut mengakibatkan pihak pengembang tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sama sekali, maka pihak konsumen berhak membatalkan perjanjian sebgaaimana yang sudah diatur dalam perjanjian.74

Dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut, dari masing-masing perusahaan hanya satu perusahaan/pengembang yang tidak mencantumkan klausul force majeure

dalam perjanjiannya yaitu PT. Rodetas, akan tetapi hal ini bukanlah berarti apabila terjadi

force majeure, pihak pengembang tidak bertanggung jawab, melainkan justru apabila terjadi keadaan demikian pihak pengembang akan bertanggung jawab untuk keseluruhan yang timbul akibat kerusakan dari force majeure, hanya saja pihak pengembang merasa tidak perlu mencantumkannya karena hal ini memang menjadi tanggung jawab pihak pengembang.

Dalam perjanjian pengikatan jual beli apabila terjadi perselisihan, maka penyelesaiannya dibuat dalam beberapa alternatif yaitu melalui musyawarah, ataupun pengadilan Negeri. Namun dalam pelaksanaannya apabila terjadi perselisihan, maka para pihak senantiasa berusaha untuk menyelesaikannya dengan musyawarah sehingga hampir boleh dikatakan tidak ada perselisihan yang sampai ke pengadilan. Hal ini disebabkan oleh karena hak-hak dan kewajiban-kewajiban para pihak demikian jelas diatur dalam perjanjian, sehingga mudah diselesaikan secara musyawarah, tanpa membutuhkan waktu yang lama dan dana yang besar sebagaimana kalau perselisihan itu diselesaikan melalui pengadilan.

74

Hasil Wawancara dengan Pengembang PT. Prima Sarana Mandiri, Bapak Direktur Utama, pada tanggal 20 Mei 2009 secara terpisah Halim Wijaya dan Bapak Amirudin Tanjung di Ruang Kerjanya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Yayasan Lembaga Advokasi Konsumen Indonesia (LAKI), hampir tidak pernah ada konsumen yang menggugat lewat pengadilan menyangkut perumahan yang ditawarkan pihak pengembang, meskipun ada kalanya rumah yang ditawarkan oleh pihak pengembang tidak sesuai dengan apa diperjanjikan dalam perjanjian, akan tetapi pihak Lembaga Advokasi Konsumen Indonesia (LAKI), berusaha mendamaikan pengembang dengan konsumen secara musyawarah, sehingga penyelesaiannya pun tidak ada yang sampai ke pengadilan.75

Berdasarkan hasil wawancara dengan anggota LAKI, Bapak Dharma Bakti Nasution, bahwa ”penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan 3 cara dan hal ini tergantung pilihan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa yaitu dengan cara konsiliasi, mediasi, dan arbitrase.”76

Jika para pihak memilih konsiliasi atau mediasi, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK) hanya bertindak sebagai fasilitator mempertemukan para pihak, mendamaikan secara aktif, memberikan saran dan anjuran dan menerangkan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha serta perbuatan dan tanggung jawab pelaku usaha. Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan oleh para pihak yang bersengketa bukan oleh BPSK, namun BPSK wajib memberikan masukan yang seimbang kepada para pihak yang bersengketa. Bilamana tercapai kesepakatan/perdamaian antar pihak maka hal itu dituangkan dalam surat perjanjian perdamaian yang ditandatangani kedua belah pihak yang berperkara, selanjutnya surat perjanjian perdamaian tersebut dikuatkan oleh Majelis BPSK dalam bentuk Surat Putusan BPSK.

77

75

Hasil Wawancara dengan Bapak Rustandi Lukito, Direktur LAKI Pada hari Kamis Tanggal 21 Mei 2009 di Ruang Kerjanya.

76

Hasil Wawancara dengan Bapak Dharma Bakti Nasution, Anggota LAKI pada hari Kamis Tanggal 21 Mei 2009 di Ruang Kerjanya.

77

Bilamana para pihak memilih dengan cara arbitrase, maka konsumen memilih arbiter dari salah satu unsur konsumen yang ada di BPSK, demikian juga pelaku usaha dengan cara yang sama. Arbiter dari konsumen dan arbiter dari pelaku usaha memilih arbiter ketiga dari unsur pemerintah yang akan menjadi Ketua Majelis. Yang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada Majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK.78

Akan tetapi dari hasil penelitian dengan para konsumen yang penulis teliti, apabila ada keluhan dari konsumen mengenai perumahan yang dibangun oleh pihak pengembang, selalu penyelesaiannya dengan jalan musyawarah dan biasanya keluhan pada konsumen tersebut adalah menyangkut soal spesifikasi bangunan dan menyangkut soal keterlambatan penyerahan bangunan, dan itu pun selalu bisa dinegosiasikan sehingga tidak ada yang sampai mengajukan keluhannya ke LAKI Medan mengenai pembangunan perumahan tersebut. Pihak pengembangpun dalam menanggapi keluhan dari pihak konsumen langsung menindaklanjuti apa yanga menjadi keluhan konsumen tersebut, sehingga hampir tidak pernah ada konsumen yang membatalkan perjanjian pengikatan jual beli tersebut.79