• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan

Dalam dokumen Buku Peta Jalan Pendidikan 12 Tahun (Halaman 54-60)

Tahun 2005-2015 SD/M SMP/SMPLB/SMPT/Satap

B. Pembenahan Tata Kelola Sekolah atas Pungutan

Pihak sekolah sebagai penerima manfaat sekaligus service

provider dari program-program pendidikan yang dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah memegang peranan pening dalam pengembangan kualitas tata kelola sekolah. Sekolah

mENDORONg TATA KELOLA

 35

alokasi, penyaluran, penggunaan dan pertanggungjawaban atas kebijakan berbagai program bantuan (BOS, BOM, Bantuan Pendidikan, dst). Fungsi ini menjadikan sekolah sebagai pihak yang rentan bila idak disertai kemampuan kapasitas dan tata kelola yang baik.

Kerentanan dimaksud adalah menyangkut kapasitas sekolah dalam menjalankan aturan-aturan pelaksanaan program dan kegiatan pendidikan. Pihak sekolah dituntut untuk melakukan upaya-upaya yang sehat dalam merencanakan dan mengelola

pertanggungjawaban program dan kegiatan pendidikan yang

diamanatkan kepadanya. Sebagai pemangku kepeningan, sekolah dituntut untuk melakukan pembenahan dan menyelesaikan masalah. Ini menjadi tantangan tersendiri. Salah satu tantangan, misalnya dalam pengelolaan dana BOS, adalah larangan penggunaan dana BOS untuk transportasi ruin dan pembayaran bonus untuk guru. Adanya larangan ini, menyebabkan sekolah idak bisa memberikan tugas tambahan untuk guru, tambahan kegiatan ekstra kurikuler, dan tugas kegiatan lain selain tugas utama guru. Hal ini dikarenakan dalam alokasi dana BOS idak memperbolehkan pemberian honor kesejahteraan terkait tugas tambahan tersebut.

Dampak lain adanya larangan alokasi penggunaan dana BOS untuk kesejahteraan guru di luar tugas tambahan adalah imbulnya praktek pungutan. Meskipun idak bisa digeneralisir dan menjadi sebab adanya pungutan, ada persoalan mendasar terkait dengan pungutan di sekolah. Akhir tahun 2011 tepatnya 30 Desember 2011, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Permendikbud Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan Biaya Pendidikan Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama. Namun kurang dari 6 bulan, kebijakan tersebut diubah menjadi Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada

Satuan Pendidikan Dasar pada 28 Juni 2012. Hal ini makin melengkapi ‘keidaktegasan’ pemerintah dalam melihat konteks permasalahan terkait pungutan atau sumbangan.

Dari sisi regulasi, terjadi kegamangan di mana pihak pemerintah pusat dan daerah belum siap untuk menerapkan larangan secara tegas menyangkut pungutan. Semangat yang dimunculkan dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2012 idak diikui dengan aturan pendukung, misalnya ketegasan atas sangsi dan prinsip keadilan. Meskipun yang dimaksud pungutan memenuhi prinsip keadilan dalam Permendikbud adalah pendanaan pendidikan yang disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak; Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat. Namun jika prasyarat dasar atas prinsip keadilan adalah transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana pendidikan belum diterapkan maka akan muncul tafsir ‘karet’ yang akan melegalkan praktek- praktek pungutan atau sumbangan.

Adalah sebuah ironi, persoalan pungutan selalu menjadi celah dilemais antara aspek pemenuhan ketersediaan standar pendidikan oleh pihak internal sekolah, dinas pendidikan dan pemerintah secara umum dan eksternal oleh orangtua/wali murid dan warga masyarakat. Sisi lain terutama menyangkut pemenuhan pendidikan bermutu dan pendidikan grais, antara biaya strategis dan operasional sekolah, antara kegiatan intra dan ekstra, memeningkan kebutuhan inklusif atau ekslusif. Semua persoalan biaya dan pengelolaan biaya yang menjadi sisi dilemais akan terus berkembang sepanjang persoalan pelaksanaan kebijakan dan tata kelola sekolah idak dibenahi secara baik.

Tata kelola sekolah menjadi salah satu iik krusial terkait permasalahan pendidikan di Indonesia. Berbicara tata kelola sekolah idak lepas dari kebijakan pendidikan di ingkat

mENDORONg TATA KELOLA

 37

tersandung pada persoalan laten terkait dengan pungutan. Ujung dari permasalahan pungutan adalah beban masyarakat makin bertambah. Dalam situasi sulit, masyarakat khususnya orang tua/ wali murid memiliki kerentanan dalam menyikapi banyaknya pungutan yang harus mereka bayarkan. Masyarakat memiliki sisi dilemais keika mempersoalkan berbagai macam pungutan baik yang legal maupun ilegal. Anak-anak mereka idak memiliki ‘bargaining’ untuk menolak pungutan apalagi dampak psikologis yang harus didapatkan keika idak mampu membayar di tengah peserta didik lainnya. Sedangkan orang

tua/ wali murid menjadi bahan gunjingan dan menjadi ‘public

enemy’ karena mencoreng nama baik guru atau sekolah. Situasi- situasi ini memerlukan penanganan khusus untuk mendorong tata kelola sekolah yang lebih baik.

Persoalan pembagian urusan pembiayaan pendidikan sudah diatur dalam PP No.38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai turunan dari UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pemerintah pusat bertanggung jawab atas penyediaan pendanaan semua level pendidikan dan program, serta penyediaan sumber daya untuk pendidikan inggi dan subsidi silang (pendidikan usia dini, sekolah dasar dan menengah, dan pendidikan nonformal). Sementara pemerintah Propinsi memiliki tanggungjawab pendanaan ingkat menengah dan pendidikan vokasional, serta pendidikan khusus.

Propinsi juga bisa menyediakan tambahan sumber daya atau

subsidi untuk PAUD, pendidikan dasar dan non-formal, serta pendidikan inggi. Sedangkan untuk pemerintah kabupaten/ kota bertanggung jawab atas penyediaan sumber daya PAUD, pendidikan dasar dan pendidikan non formal.

Kebijakan ini diindaklanjui dengan PP No. 48 Tahun 2008 tentang Pembiayaan Pendidikan terutama Pasal 2 ayat (1)

jawab bersama antara pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat. Sedangkan Pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa biaya pendidikan melipui 3 hal yakni biaya satuan pendidikan, biaya penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan serta biaya pribadi peserta didik. Lebih lanjut turunan biaya–biaya tersebut (termasuk biaya investasi) dapat bersumber dari masyarakat. Sumber pendanaan yang berasal dari masyarakat inilah yang membuka peluang adanya berbagai macam tarikan atau pungutan dari penyelenggara pendidikan pada peserta didik. Dengan alasan biaya inggi, peserta dan orang tua didik berada dalam posisi dilemais dan terpaksa ‘memaklumi’ adanya pungutan dengan berbagai macam alasan dan kesepakatan. Lebih dari itu, kebijakan pungutan ini juga diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar. Permendikbud

secara tegas menyatakan bahwa sumber biaya pendidikan pada

satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah selain APBN dan APBD dapat juga berasal dari sumbangan dari peserta didik atau orangtua/ walinya (Pasal 5. Huruf c). Hal yang relaif sama juga disebutkan pada pasal berikutnya bahwa sumber biaya pendidikan pada satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah berupa pungutan, dan/atau sumbangan dari peserta didik atau orang tua/walinya (Pasal 6. Huruf b).

Ada suatu pola pendekatan yang salah dalam hal ini. Akan imbul banyak masalah menyangkut pungutan atau sumbangan. Ada situasi dan korelasi kekuasaan yang idak seimbang antara sekolah dan peserta didik khususnya pada satuan pendidikan dasar. Daya tawar atas penolakan pungutan bisa menjadi lemah karena belum didukung penanganan keluhan atas pungutan tersebut. Mekanisme hukuman bagi sekolah yang melanggar

mENDORONg TATA KELOLA

 39

sekolah masih melakukan pungutan. Situasi ini diperparah dengan keidakcukupan dana untuk membiaya operasional sekolah.

Penyebab lain adalah kebijakan pengelolaan kewenangan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah. Sebelum polemik Sekolah Berstandar Internasional, pemetaan atas kewenangan dan tanggung jawab di seiap jenjang pendidikan belum terbagi secara tuntas. Idealnya pelimpahan kewenangan juga diikui dengan pelimpahan anggaran. Pemerintah pusat sampai saat ini masih mengelola berbagai macam bantuan sosial, beasiswa, pembangunan sekolah, penyaluran dana-dana khusus, penyaluran kegiatan teknis sampai ke lingkup satuan pendidikan (sekolah). Selain bantuan program dan kegiatan yang langsung di kelola kementerian ingkat pusat, Dana Penyesuaian yang masih dikelola Pusat yang diperuntukkan untuk daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan pemerintah pusat dan mempercepat pembangunan di daerah di antaranya adalah dana tambahan Penghasilan Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), Dana Insenif Daerah (DID), Tunjangan Profesi Guru (TPG), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID), DP Cukai, Kurang Bayar Sarana Prasarana Infrastruktur Papua Barat, DP DAU, dan DP DAK. Kewenangan pendidikan yang dimiliki daerah idak diimbangi dengan kewenangan pengelolaan anggaran yang memadahi, sehingga daerah-daerah miskin dan terpencil akan kesulitan untuk mengejar kesenjangan dan keimpangan pendidikan tersebut.

Faktor lain adalah tata kelola pendidikan di daerah. Ini menjadi penyebab utama era desentralisasi. Munculnya kepemimpinan daerah yang memiliki komitmen pada persoalan pendidikan menjadikan satu daerah akan berkembang dinamis dalam pengelolaan pendidikan. Komitmen Kepala Daerah yang visioner biasanya ditandai dengan munculnya inisiaif kebijakan-

kebijakan pendidikan yang langsung mencoba menyelesaikan permasalahan dasar pendidikan, di antaranya pada aspek penyediaan sarana prasarana, pendidik, operasional dan manajemen. Seiring dengan bertumbuhnya aspek penyediaan pendidikan, terdapat pula upaya peningkatan mutu pendidikan, seperi peningkatan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, program-program pendukung, lingkungan pendidikan dan lintas kerjasama antar pihak untuk mendukung program- program pendidikan. Kebijakan pendidikan ini disertai dengan alokasi anggaran pendidikan yang memadai untuk mendukung program kerja dan kegiatan pendidikan.

Dalam dokumen Buku Peta Jalan Pendidikan 12 Tahun (Halaman 54-60)