• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana ( Recidive )

PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT KUHP

D. Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana ( Recidive )

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.47 Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman.

Ini merupakan dasar pemberat pidana. Pengertian residivis menurut Mahrus Ali, adalah kelakuan seseorang yang mengulang perbuatan pidana dan itu

45

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 66.

46

Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 72.

47

yang dijatuhkan pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu.48

Menurut doctrine, dari sudut sifatnya sistem residivis itu dapat dibagi dalam:49

1.Generale residivis atau (recidive umum).

Residivis umum adalah melakukan kejahatan terhadap kejahatan mana telah dijatuhkan hukuman maka apabila ia telah melakukan kejahatan lagi yang merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.

Contoh: A melakukan kejahatan pencurian, karenanya ia dijatuhkan hukuman. Setelah ia dijatuhkan hukuman itu, ia kembali dalam masyarakt. Akan tetapi A melakukan kejahatan kembali yaitu penganiayaan terhadap B. Berdasarkan residivis ini perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.

2. Special residivis atau (recidive khusus).

Residivis khusus adalah seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan oleh hakim. Kemudin ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk memberatkan hukuman.

Akan tetapi perlu pula diketahui, bahwa residivis harus memenuhi beberapa syarat.

48

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h.139-140.

49

Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 186-187.

Dan syarat-syarat yang dimaksud adalah:

1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus telah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman.

2. Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai keputusan akhir. Ini tidak berarti bahwa hukum ini harus sudah dijalani seluruhnya.

3. Didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama.

4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun. Pada tanggal 2 januari 1951, setelah ia menjalani hukuman seluruhnya, A dibebaskan.

Kemudian pada tanggal 1 Januari 1952, A melakukan perbuatan penggelapan. Dengan demikian jangka waktu antara tanggal 2 Januari 1951 dan saat perbuatan kedua masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal 486, hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatan yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiga.

Akan tetapi, setelah ia dibebeskan pada tanggal 2 Januari 1951, pada tanggal 10 Januari 1956 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang terberat karena setelah dijatuhkan hukuman yang kedua itu telah terletak diluar jangka waktu.

Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakut-nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan.

Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid 1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175).

Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361 dan 412 dan sebagainya.

Adapun Speciale recidive, pengulangan khusus jumlahnya sangat terbatas. Misalnya pasal 137 ayat 2 KUHP menyatakan bahwa kalau terpidana melakukan kejahatan penghinaan kepada wakil presiden atau wakil presiden yang dilakukan dalam jabatannya dan belum lagi berlalu dua tahun setelah pidana yang dijatuhkan pertama sudah memperoleh kekuatan tetap, maka residivis ini dapat dipecat dari jabatannya. Pasal 216 (3) KUHP berupa kejahatan kalau diulang dilakukan dan

belum berlalu dua tahun sejak putusan pertama sudah mempunyai kekuatan hukum tetap maka pidana dapat ditambah sepertiganya.

Selanjutnya pasal 492 (2) dan pasal 536 (2), (3) dan (4) menentukan lampau waktu residivis ialah satu tahun, dan kalau terjadi pengulangan pelanggaran tersebut maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan, yang merupakan pemberatan pidana.

Dasar Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat kerena melakukan tindak pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.50

Dasar pemberat pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pemberat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai 4(empat) hal, ialah dalam melakukan tindak pidana dengan:

a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan, b. Memakai kekuasaan jabatan,

c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya, d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatan.

Tetapi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan

50

Adami Chazawi, penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan Peringanan Pidana Kejahatan Aduan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet 1, h. 73.

berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai Pegawai Negeri itu telah diperhatikan.

Jadi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis dan tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang diterangkan diatas, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan.

Pengulangan delik berdasarkan pengelompokan menurut pasal 486, 487, dan 488 KUHP lampau waktu untuk pengulangan seperti telah diuraikan adalah lima tahun. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus hipotesis sebagai berikut: A dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang tahun 1985 karena dinyatakan terbukti telah mencuri barang lain. Putusan ini telah menjadi res judikata, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada tahun 1991 A melakukan penggelapanbarang orang lain. Dalam hal tersebut ketentuan pengulangan yang diatur dalam pasal 486 KUHP tidak dapat dilakukan kepada terdakwa A, karena sudah lampau lima tahun sejak ia dijatuhkan pidana, sekalipun kejahatan pertama pencurian dan kejahatan kedua penggelapan adalah sekelompok, yaitu golongan delik terhadap harta benda yang disebut secara limitatif di dalam pasal 486 KUHP.

Adapun dasar hukuman adalah bahwa, orang yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.51

Apabila ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan 488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah sebagai berikut:52

a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang menggunakan tipu muslihat.

b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan: terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang. c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan

perbuatan-perbuatan yang bersifat penghinaan.

Selain dibedakan antara bentuk pengulangan umum dan pengulangan khusus, dalam doktrin hukum pidana juga dikenal adanya bentuk pengulangan kebetulan (accidentally reddive) dan pengulangan kebiasaan (habitual reddive). Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari sebab masuk Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena mencuri uang majikannya, setelah keluar

51

SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, tth, hlm. 185.

52

LP dia mencuri sepotong roti karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya tidak dijadikan alasan pemberat pidana. Berbeda denga;pengulangan karena kebiasaan, yang menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana yang setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh pergaulan di dalam LP menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan lagi, dan disini memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP tidak membedakan antara dua jenis pengulangan yang dibicarakan terakhir ini.53

Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah 1/3 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak pidana.

53

Abdillah Munir, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) dalam Pasal 486. Skripsi S1 IAIN Walisong Semarang, 2010.

BAB IV

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA

Dokumen terkait