• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Tindak Pidana 1.Kesalahan dalam Hukum Pidana

PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT KUHP

C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana 1.Kesalahan dalam Hukum Pidana

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak masuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan. Ini

berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.41

Berdasarkan hal tersebut di atas Sudarto, juga menyatakan hal yang sama, bahwa:

“dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang tidak dibenarkan (an objective breach of a panel provision), namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.42

Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” Ruslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian.

Apabila dikaji lebih lanjut pengertian kesalahan menurut beberapa ahli hukum pidana ternyata terdapat beberapa pandangan.

41

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), h. 48.

42

Jonkers dalam keterangan tentang kesalahan membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan:

1. Selain kesengajaan dan kealpaan (opzet of schuld)

2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid), 3. Kemampuan bertanggungjawab (de toerekenbaarhed)

Sedangkan yang mempunyai pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dan kesalahan dengan unsurnya masing-masing (pandangan dualistis), dapat dikemukakan pandangan dan Vos, yang memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaaheid van de dader),

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan,

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus tanggungjawab bagi si pembuat atas perbuatannya itu.

Mengenai hakikat kejahatan, Didalam hal kemampuan bertanggungjawab bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan normal, sebab karena orang yang normal,sehat inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya sesuai dengan ukuran.

Ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat yakni. pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak seronoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban sebagaimana ditegaskan ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:43

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim bisa memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

b. Kesalahan dan Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasi.

43

KUHP, Bab III Pasal 44, Jiwa yang Tidak Sehat dan Normal Tidak Adanya Pertanggungjawaban.

Baik Negara-negara Civil Law maupun Camman law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.44

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh pada hakim, hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif, hakim harus mempertimbangkan hal itu, sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya jika terdakwa melakukan pembelaan yang berdasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih dalam. Dalam hal ini hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukan sebagai alasan penghapus kesalahannya. Walaupun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasarkan alasan penghapus kesalahan perlu diperhatikan hal ini tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana.

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana hakim harus mempertimbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukan kedalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan

44

mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materiil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).

a. Kesengajaan

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.45

b. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya” tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.46

Dokumen terkait