• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Residivis Sebagai Alasan Pemberat Pemidanaan Dalam Kuhp

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Residivis Sebagai Alasan Pemberat Pemidanaan Dalam Kuhp"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh : Arizal Firdaus NIM : 109043200007

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

viii

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat-nya kepada hamba Allah, Sholawat beserta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah begitu banyak memberikan sumbangsi terhadap penulisan skripsi ini, berkat merekalah penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Mereka adalah:

1. Dr. JM. Muslimin, MA. selaku Dekan FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

2. Dr. H. M. Taufiki, M. Ag. dan Bpk Fahmi Muhammad Ahmadi M. Si. sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk Dedi Nursamsi SH. MH. dan Ibu Masyrofah, M. Si. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk selalu memberikan arahan, bimbingan dan motivasi bagi penulis.

4. Kepada Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membantu dalam pengadaan dan pelayanan buku referensi.

5. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

(7)

7. Ayahanda tercinta Syamsudin dan Ibunda Rumyanah, karena berkat do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian dan bantuannya yang diberikan kepada ananda, sehingga ananda bisa menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi sebagai Sarjana Syariah (S.Sy).

8. Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam, K.H. Bahrudin S.Ag (Abi) dan Ummi beserta keluarga penulis ucapkan terima kasih banyak atas bimbingan, nasihat dan ilmu yang diberikan mudah-mudahan bermanfaat dan bisa diamalkan.

9. Serta kakak ku Nurlelah, Dede Umayah dan Neneng Khoeriyah, Kusnadi, Kurniadi, Ahmad Mubarok. dengan dorongan dan kebersamaannya serta perhatian yang selama ini diberikan kepada penulis.

10.Teman-teman seperjuangan program studi Perbandingan Madzhab dan Hukum angkatan 2009, Kholid, Hamzah, Uday, Dadan, Ade S, Eva, Ayat, Deli, All, Juni, Nabila, Syukur, Zainun, Rezha, Firman, Ader. Terima kasih atas motivasi, dukungan dan kebersamaan yang diberikan selama ini.

(8)

viii

Bahrum, Asnawi, Ikbal, Aisyah, Bu Mala, Bu Nur, Irfan Putri. yang telah memberikan motivasi dan waktunya untuk penulis, penulis ucapkan terima kasih banyak semoga kita menjadi orang yang sukses dunia dan akhirat.

13.Terakhir kepada saudari Firda Farhana, yang selalu menasehati dan membimbing penulis, penulis mengucapkan terima kasih banyak.

Demikianlah ucapan terima kasih penulis, bagi pihak-pihak yang tidak penulis sebut, tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih banyak dan semoga mendapatkan balasan yang banyak dari Allah SWT.

Jakarta, 12 Mei 2014

(9)

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN...iii

LEMBAR PERNYATAAN...iv

ABSTRAK...v

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI………..ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………...1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………...8

C. Tujuan dan Manfaat Studi Pustaka………...8

D. Metodologi Penelitian………...9

E. Studi Terdahulu………...11

F. Sistematika Penulisan………...12

BAB II PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Jarimah...………...14

B. Macam-macam Jarimah………...16

C. Pertanggungjawaban Jarimah………...23

D. Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Jarimah………...27

(10)

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT (KUHP)

A.Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)…………...56 B.Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)………...58 C. Perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam...65 BAB V PENEUTUP

A. Kesimpulan………...67

B. Saran………...68

(11)

A.Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah diketahui bahwa di dalam Negara Republik Indonesia, yang menjadi dasar kehidupan hukuman adalah Pancasila, baik yang dituangkan dalam pembukaan maupun batang tubuh Undang Undang Dasar 1945. Maka oleh sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh Negara atau Pemerintah dalam arti yang seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan. Hal ini sebagai konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang maha Esa dalam Pancasila, yang secara yuridis mengikat, kepada rakyat dan pemerintah untuk mengamalkannya.

Oleh sebab itulah sebagai usaha pemerintah untuk melindungi keutuhan hukum Tuhan yang telah digariskan dalam bentuk aturan-aturan yang diwahyukan melalui Rasulnya dalam bentuk yang kita kenal Agama, maka kita dapat melihat jaminan untuk menjalankan Agama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan tertuang juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 156, 176, 177 dan Pasal 156a KUHP, UU. Pnps. No.1 tahun 1965.1

Pentingnya pembangunan di bidang hukum agar tercipta suatu pola hidup dan tingkah laku yang baik bagi masyarakat hingga pada akhir fungsi hukum itu dapat dijadikan sosial kontrol bagi masyarakat serta menjadikan rasa aman, tertib, dan terkendali. Dan tindakan kriminal merupakan suatu masalah yang amat

1

(12)

kompleks dalam kehidupan, baik di media masa dan harian ibu kota, dimana kejahatan tersebut kebanyakan dilakukan oleh para pelaku residivis.

Pengertian sistem pemidanaan” dapat mencangkup pengertian yang sangat luas.L. H. C. Hulsmanpernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah” aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” apabila pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencangkup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan atau dioprasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang di jatuhkan sanksi hukuman pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana Substantif. Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu bernama wetboek van Strafrecht voor Indonesia merupakan semacam kutipan WvS Nederlan. Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan bahwa perbuatan yang pelakunya dapat di pidana adalah perbuatan yang sudah disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.

(13)

rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur yakni.2Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang-undang, Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedikit berbicara sejarah hukum pidana di Indonesia, hukum pidana dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu masa sebelum kedatangan bangsa belanda, masa pendudukan Belanda dan masa kemerdekaan. Inggris dan Jepang pernah menduduki Indonesia, tetapi karena waktunya singkat menetapkan tetap berlakunya hukum pidana. Setelah semangkin berkembangnya bangsa Indonesia, dan hukumanpun semangkin berpariasi maka banyaklah hukuman-hukuman yang dikodifikasikan, maka terjadilah salah satu hukum yang dinamakan Residivis.

Adapun secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di Indonesia di kenal sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam KUHP itu terdapat ketentuan pasal mengenai sanksi pidana yaitu pasal 10 KUHP.3

Dalam kitab Undang-undang kita tidak terdapat pengulangan yang umum, hanya peristiwa-peristiwa pidana yang tertentu atau golongan dua peristiwa pidana tertentu mengakibatkan adanya pengulangan.4

2

Teguh Presetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Grepindo Persada, 2011), h, 47-48.

3

Barda Nawawi Arief,Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta, Kencana, 2010), h. 148-149.

4

(14)

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman.

Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberat hukuman ini adalah seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi melakukan kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat buruk. Jahat karenanya dianggap sebagai membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.5Dan Pengulangan diatur dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP.

Akan tetapi, apabila mereka mengulangi kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang menjalani hukuman sudah tidak takut lagi, untuk menjalani hukuman. Akan tetapi ancaman hukuman berat itu akan menakut-nakuti orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan.

Residivis adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang merupakan beberapa delick yang berdiri sendiri akan tetapi perbuatan satu atau lebih telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.

5

(15)

Dasar hukuman yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan pengulangan delik. Orang yang demikian ini membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu di anggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.

Seperti telah diketahui, dasar hukuman menurut teori relatif atau teori tujuan (relative of doel theorie) adalah merupakan tujuan hukum dan tujuan hukuman antara lain mencegah kejahatan atau prevensi. Dan Pengulangan menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis Residivis umum dan Residivis khusus.6

Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan hukuman.Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim.

Pengertian pengulangan dalam hukum positif adalah dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah dapat keputusan terakhir, perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya suatu jarimah berapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapat keputusan terakhir.

Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat di temukan dalam hadis, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya, lengkapnya hadis tersebut sebagai berikut.

6

(16)

هﻮﻠﺘﻗا :لﺎﻘﻓ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻰﺒﻨﻟا ﻰﻟا قرﺎﺴﺑ ءﻰﺟ : لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ﺮﺑﺎﺟ ﻦﻋو berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)7

Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas, namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.8

Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang pernah dilakukannya, hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan diperberat, apabila ia terus melakukan perbuatan tersebut, ia dapat dijatuhkan hukuman mati atau hukuman penjara seumur hidup. Kewenangan untuk menentukan hukuman tersebut diserahkan kepada pengusaha dengan memandang kondisi tindak pidana dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Fuqaha sepakat apabila seorang menuduh orang lain berkali-kali dalam satu waktu, maka ia dikenakan satu hukuman (had). Jadi, ia tidak dihukum setiap

7

Ibnu Hajar Asqolani, Kitab Bulughul Maram, h. 278.

8

(17)

qadzhaf. Tetapi jika kemudian ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi. Dan jika ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi, dan begitu seterusnya.9

Dan di dalam Hukum Islam pengulangan jarimah atau yang biasa kita kenal residivis sudah dikenal sejak jaman Rasullullah SAW. Dalam jarimah pencurian misalnya, nabi telah menjelaskan hukuman secara rinci. Seperti yang terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad. Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah SAW. Dalam kaitannya dengan hukuman pencuri.10

Adapun yang dapat dipermasalahkan dalam hal ini, apakah pemberatan hukum pidana untuk pengulangan ini sudah wajar? Masalah lainnya dalam hubungan hal ini adalah mengenai penentuan jangka waktu lima tahun tersebut, Apakah untuk pasal-pasal ini setelah lewat lima tahun tersebut, tidak lagi dipandang tabiat jahat. Dan bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap residivis sebagai pemberat hukum pidana.

Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Residivis Sebagai Alasan Pemberat Pemidanaan Dalam KUHP.

9

Al-Faqih Abul Wahib Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M,

10

(18)

B.Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan dan memfokuskan pada bagaimana residivis dalam Hukum Islam dan membandingkan dengan Hukum Pidana di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun memberikan batasan dalam lingkungan pembahasan sebagai berikut:

1. Bagaimana KUHP menentukan pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana ?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap ketentuan KUHP tentang pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Stadi Pustaka

Adapun tujuan yang hendak di capai dalam stadi pustaka ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana KUHP memandang terhadap residivis sebagai alasan pemberat hukum pidana.

2. Dan juga untuk mengetahui bagaimana hukum Islam memandang pengulangan (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana dalam KUHP.

(19)

1. Di harapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dan untuk melengkapi syarat-syarat yang di perlukan untuk mencapai gelar S1 dalam bidang Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Menambah wawasan dalam bidang hukum agama khususnya dalam Hukum Pidana.

3. Mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai pengulangan (recidive) sebagai alasan pemberat Hukum Pidana (Analisis perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Islam).

4. Sebagai bahan referensi bagi rekan-rekan mahasiswa hukum serta pihak lain yang berkompeten yang ingin mengetahui pelaksanaan hukuman terhadap residivis sebagai alasan pemberat Hukum Pidana, (Analisis perbandingan Hukum Pidana dan Hukum Islam).

D. Metodelogi Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada masalah residivis dalam Hukum Islam dan memperbandingkannya dengan Hukum Pidana, maka alur penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

(20)

tindak pidana dalam pandangan Hukum Islam. Kedua, menganalisis masalah residivis dalam pandangan Hukum Islam.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis akan mendeskripsikan masalah pengulangan tindak pidana dalam pandangan Hukum Islam, dan sekaligus pembahasan mengenai pengulangan tindak pidana dalam hukum Pidana.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, ialah:

a. Data Primer

Data yang langsung di peroleh dari sumber yang asli atau data pertama di lokasi penelitian. Adapun dari data ini berupa Al-Qur’an, Al-Hadits dan

Undang-undang.

b. Data Skunder

(21)

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis berupaya melakukan survei kepustakaan dan studi literatur, survei kepustakaan yang menghimpun data berupa sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau tempat lain kedalam sebuah daftar bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah mempelajari, menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang menjadi objek penelitian.

E. Studi Terdahulu

(22)

Oleh karena itu penulis berkeinginan untuk meneliti lebih mendalam mengenai masalah ini sebagai sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

F. Sistematika Penulisan

Sistematik penulisan merupakan pengaturan langkah, langkah penulisan penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan yang pertama dan pembahasan-pembahasan yang selanjutnya. Untuk itu maka pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, satu bab pendahuluan, tiga bab isi, kemudian di tutup dengan satu bab penutup yang memuat kesimpulan dan saran-saran penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini, kemudian batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat studi pustaka, metodologi penelitian, studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

BAB II Akan di paparkan mengenai konsep, pemberat hukum pidana dalam pengulangan jarimah menurut hukum islam, dimana bab ini mencangkup tentang Pengertian Jarimah, Macam-macam Jarimah, Pertanggungjawaban Jarimah, Bagaimana Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Jarimah.

(23)

Macam-macam Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Tindak Pidana, Bagaimana Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Pidana.

BAB IV pada bab ini dibahas tentang hukum Pidana Islam terhadap pemberat pidana dalam pengulangan tindak pidana (Recidive). Dimana didalamnya menguraikan analisis terhadap pengulangan tindak pidana, dan analisis pemberat terhadap pengulangan tindak pidana (Recidive), dan perbedaan antara keduanya.

(24)

BAB II

PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH MENURUT HUKUM ISLAM

A.Pengertian Jarimah

Dalam Hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak pidana ini yaitu Jinayah dan Jarimah, dapat dikatakan Jinayah yang digunakan

para fuqaha sama dengan istilah jarimah, ia didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan oleh Allah.11

Jarimah menurut bahasa berasal dari kata (مﺮﺟ) yang sinonimnya ( ﺐﺴﻛ ﻊﻄﻗو) artinya : berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha di sini khusus

untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.

Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu adalah

ﻢﯿﻘﺘﺴﻤﻟا ﻖﯾ ﺮﻄﻟاو ل ﺪﻌﻟ او ﻖﺤﻠﻟ ﻒﻟ ﺎﺨﻣ ﻮھ ﺎﻣ ﻞﻛ ب ﺎﻜﺗرا

Melaksanakan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan, dan jalan yang lurus (Agama).

Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa artinya melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci

11

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy press Grafika, cet1, Pendahuluan.h.ii.

(25)

oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama).

Dalam memberikan definisi menurut istilah ini, Imam Al-Mawardi mengemukakan sebagai berikut.

ﺮﯾﺰﻌﺗ وا ﺪﺤﺑ ﺎﮭﻨﻋ ﻰﻟ ﺎﻌﺗ ﷲا ﺮﺟز ﺔﯿﻋ ﺮﺷ تار ﻮﻈﺤﻣ ﻢﺋا ﺮﺠﻟا

Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkataan syara pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara. Juga perbuatan atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam hukuman terhadapnya.12

Dengan memperhatikan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha dianggap sama dengan kata-kata jarimah. Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang diharamkan atau dilarang oleh Allah SAW. Dan Rasulnya, yang membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta diancam oleh Allah SAW. Dengan hukuman Had, qishash, dan ta’zir.

12

(26)

B.Macam-Macam Jarimah

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumnya. Jarimah ditinjau dari segi hukumnya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan jarimah ta’jir. a. Jarimah Hudud

Kata hudud jama dari kata hadd. Menurut bahasa artinya mencegah. Batas rumah (pagar) disebut haddud daar karena mencegah penggabungan dengan yang lain. Penjaga pintu juga disebut haddaad karena ia mencegah orang keluar masuk.

Hukuman ini disebut dengan hudud karena bisa mencegah perbuatan keji. Ada yang mengatakan, hukuman tersebut karena Allah SWT membatasi dan menentukan hukuman ini sehingga tidak melebihi atau kurang dari ketentuan.13

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut.14

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang paling dominan.

13

Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kipayatul Akhyar,( Jilid III, Bina Ilmu, 1997), h. 63.

14

(27)

Oleh karena hukuman had adalah merupakan hak Allah maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atas keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Menurut Abu Ya’la adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam katagori yang kedua adalah semua jenis sanksi yang diberikan kepada seseorang karena ia melanggar larangan Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar.15

Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua, pertama, hudud yang merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum-minuman keras, pencurian, dan pemberontakan. Kedua hudud yang merupakan hak manusia, seperti had qadzaf dan qishash.

Kemudian jika ditinjau dari segi materi jarimah, hudud terbagi menjadi tujuh, yaitu:

1) Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid, pengasingan dan rajam.

2) Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua hukuman, hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman tambahan berupa tidak diterimanya kesaksian yang bersangkutan selama seumur hidup

15

(28)

3) Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya yaitu di dera dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali.

4)Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua tangannya. 5) Jarimah hirabah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk hukuman: hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong tangan dan kaki bersilang, hukuman pengasingan.

6) Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman mati.

7) Jarimah Al Bagyu (pemberontakan). Bentuk hukumannnya adalah hukum bunuh.16

b. Jarimah Qishash dan Diat

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishash atau diat. Baik qishash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaan dengan hukuman had adalah bahwa hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat adalah hak manusia (hak individual). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan.17

16

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung, 2004), h. 12.

17

(29)

Pengertian qishash, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahran adalah, persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman.

Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah sebagai berikut:

 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS : Al-Baqarah : 178) Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan yang melakukan kejahatan secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalo keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka sanksi qishash tidak berlaku, dan beralih menjadi hukuman diyat.18Namunapabila diperluas maka ada lima macam, yaitu

1) pembunuhan sengaja

2) pembunuhan menyerupai sengaja 3) pembunuhan karena kesalahan 4) penganiayaan sengaja

5) dan penganiayaan tidak sengaja19

Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki dari perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebab indikator dari

18

Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013), cet 1, h. 5.

19

(30)

kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya, dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah alat yang galibnya (lumrahnya) dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan sebagainya.

Pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur, yaitu unsur kesengajaan dan unsur kekeliruan, unsur kesengajaan terlihat dalam kesengajaan berbuat berupa pemukulan. Unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja, karena ada kesengajaan dalam berbuat.

Dalam pembunuhan karena kesalahan dapat dilihat bahwasannya tidak ada unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak pembunuhan yang terjadi kurangnya kehati-hatian, atau karena kelalaian dari pelaku.

Pembunuhan yang pembunuhnya harus di qishash ada beberapa syarat, yaitu: pembunuhan baliq. Pembunuhan berakal, dan yang dibunuh bukan budak.

Qishash artinya balasan yang sepadan. Pembunuhan yang bisa dituntut qishash ialah yang mukallaf dan berakal. Pembunuhan yang terdiri dari anak kecil atau orang-orang yang tidak berakal (seperti gila) tidak boleh dituntut qishash, dan orang Islam yang membunuh orang kafir tidak dituntut qishash.20

20

(31)

c.Jarimah Ta’zir

Pengertian ta’zir secara etimologi, ta’zir berasal dari kata azzara yuazziru ta’ziran. Yang artinya mencegah menolak dan mendidik dan memukul dengan sangat.

Secara terminologi, hukuman pendidik yang dijatuhkan hakim terhadap tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaanya seperti: bercumbu selain faraz, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk pemotongan tangan.21

Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah

Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah hukuman yang belum ditetapkan oleh syara, dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Di samping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut.22

21

Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, h. 12-13.

22

(32)

1. Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.

2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan hukumannya terhadap penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya kepada ulil amri, dan juga ada yang sudah ditetapkan oleh syara, seperti riba dan suap. Di samping itu juga termasuk kelompok ini, jarimah-jarimah yang sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara, (hudud) akan tetapi syarat-syarat untuk dilaksanakan hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencuri yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri tidak sampai nishab pencurian, yaitu seperempat dinar.

Syara tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai macam jarimah ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.

(33)

jarimah-jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan tetap dianggap sebagai jarimah: seperti riba, menggelapi titipan, memaki-maki orang, penyuapan dan sebagainya, sedang sebagian terbesar dari jarimah ta’zir diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash (ketentuan-ketentuan) syara’ dan prinsip-prinsip umum.23

C.Pertanggungjawaban Jarimah

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dalam akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.

Dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu didasari kepada tiga hal:24

1. Adanya perbuatan yang dilarang,

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan 3. Pelaku mengetahui akibat perbuatan itu.

Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat juga pertanggungjawaban. Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan demikian, seorang anak tidak dikenaka hukuman Had karena kejahatan yang dilakukan, karena tak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang berusia

23

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h.14.

24

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar

(34)

berapa pun sampai ia sampai berumur puber, Qodhi hanya akan tetap berhak untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya yang akan membantu memperbaikanya dan menghentikannya dari membuat kesalahan lagi di masa yang akan datang.

Menurut Abu Zaid Al-Qayrawani, seorang Ulama Madzhab Maliki, tetap tak akan ada hukuman Had bagi anak-anak kecil bahkan dalam hal tujuan zina yang palsu (Qadzaf) atau justru si anak sendiri yang melakukannya.

Kalau seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit saraf (gila) maka ia tidak akan mendapat hukuman. Imam Abu Yusuf berkata bahwa “Hukuman Hadd dapat dikenakan kepada tertuduh setelah ia mengakuinya, jika tidak penjelasan bahwa ia tidak gila, atau mengalami gangguan mental. Bila ternyata dia bebas dari kurungan semacam itu, maka ia harus menjalani hukuman yang berlaku”. Oleh karena itu, Hakim sangat perlu meyakinkan dirinya sendiri dengan pikiran yang jernih atas perkara kriminal itu sebelum dia menyatakan keputusannya.

(35)

terhadap seorang wanita yang sedang tidur, disebutkan secara terperinci dalam bab tentang “Zina” Ubai dihukum, sedangkan si wanita dibebaskan.25

Prinsip yang sama ditegaskan kalau seseorang mengigau ngelindur, berjalan dalam keadaan sedang tidur, meskipun ia tampaknya awas, namun ia tetap tertidur dan berjalan. Jika seseorang melakukan sesuatu perkara pidana dalam keadaan itu, maka secara hukum dia tak bertanggungjawab.

Pembebasan pertanggungjawaban terhadap meraka di dasarkan kepada hadis Nabi, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud disebutkan:

ﻢﺋ ﺎﻨﻟا ﻦﻋ ﺔﺛﻼﺛ ﻦﻋ ﻢﻠﻘﻟا ﻊﻓر :ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا ل ﻮﺳر ل ﺎﻓ : ﺖﻟ ﺎﻗ ﺎﮭﻨﻋ ﷲا ﻲﺻر ﺔﺸﺋﺎﻋ ﻦﻋ

ﺘﺒﻤﻟا ﻦﻋو ﻆﻘﯿﺘﺴﯾ ﻰﺘﺣ ﺮﺒﻜﯾ ﻰﺘﺣ ﻲﺒﺼﻟا ﻦﻋو أﺮﺒﯾ ﻰﺘﺣ ﻰﻠ

Artinya: Dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasullullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa. Para ahli Hukum Islam, sebagaimana para ahli hukum Positif, menegaskan bahwa harus ada hubungan sebab akibat (causal relationship) antara akibat seseorang agar seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, mengutip dua contoh Ibn Hazm.26

1. Seorang pria sedang pergi dengan ibunya dengan mengendarai seekor keledai ketika seorang pria lain datang mengendarai kuda yang menderap dengan

25

Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, (Jakarta, Rineka Cipta), h. 16-17

26

(36)

kecepatan tinggi. Keledai itu ketakutan sehingga melompat, ibu itupun jatuh dari keledai dan tewas. Putranya mengadukan kepada Khalifah Umar bin Khatab. Umar bertanya, apakah orang tersebut menabrak keledai? lelaki itu menjawab, “Tidak”. Maka Umar berkata, saat bagi ibumu telah tiba, maka tunduklah pada kehendak Allah.

2. Merupakan suatu pembunuhan bagi seseorang yang membuka dam/bendungan sampai menenggelamkan penduduk atau membakar suatu gedung hingga mengakibatkan matinya orang (sanad, 1991: 86). Dalam teori hukum pidana orang tersebut dapat digolongkan memiliki kesengajaan berupa keinsapan kepastian atau kesengajaan sebagai keinsapan kemungkinan.

Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya perbuatan melawan hukum ini bertingkat-tingkat maka pertanggungjawaban itu juga bertingkat-tingkat. Hal itu disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat kaitannya dengan niatnya.

(37)

D.Pemberat Pidana dalam Pengulangan Jarimah

Dalam hukum Islam, secara bahasa pengulangan tersebut dikenal dengan A’ud berasal dari kata:

دﺎﻋ -دﻮﻌﯾ -اد ﻮﻋ

Yang mempunyai makna kembali atau mengulang. Jika dirangkaikan dengan kata-kata al-jarimah atau al-jinayah, maka akan mempunyai arti pengulangan jarimah (pengulangan tindak pidana)27

Pengertian pengulangan dalam istilah Hukum Positif dikerjakannya suatu jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat keputusan terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya sesuatu jarimah beberapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah mendapatk keputusan terakhir.

Pengulangan jarimah oleh seseorang, setalah yang jarimah sebelumnya mendapat hukuman melalui keputusan terakhir, menunjukkan sifat membandel dan tidak mempannya hukuman pertama. Oleh karena itu sudah sewajarnya apabila timbul kecendrungan untuk memperberat hukuman-hukuman atas pengulangan jarimah, kecendrungan ini pada masa-masa yang lalu, ditentang oleh

27

(38)

beberapa sarjana Hukum Positif. Akan tetapi, pada masa sekarang tidak ada orang yang berkeberatan untuk memperberat hukuman tersebut.28

Hukum pidana Mesir, menggunakan sepenuhnya syarat-syarat tersebut. Dalam Pasal 49 KUHP Mesir, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, disebutkan bahwa dianggap sebagai pengulang jarimah adalah orang-orang sebagai berikut.29

1. Orang yang telah dijatuhi hukuman jarimah jinayah, kemudian ia melakukan jinayah atau janhah.

2. Orang yang dijatuhkan hukuman penjara satu tahun atau lebih, dan ternyata ia melakukan suatu jarimah, sebelum lewat lima tahun dari masa berakhirnya hukuman tersebut atau dari masa hapusnya hukuman karena kadaluarsa.

3. Orang yang dijatuhkan hukuman karena jinayah atau janhah dengan hukuman penjara kurang dari satu tahun, atau dengan hukuman denda, dan ternyata ia melakukan janhah yang sama dengan jarimah yang pertama sebelum lewat lima tahun dari masa dijatuhkannya hukuman tersebut. Mencuri, penipuan, dan penggelapan barang dianggap janhah-janhah yang sama.

Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal bahkan sejak jaman Rasullullah SAW.

28

(39)

Dalam jarimah pencurian misalnya, Rasullullah telah menjelaskan hukuman untuk pengulangan ini secara rinci. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah saw. Bersabda dalam kaitan dengan hukuman untuk mencuri.

نا

Artinya: Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri). Jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri), jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kanan). Hadis diatas menjelaskan tentang hukuman bagi residivis atau pelaku pengulangan kejahatan dalam tindak pidana pencurian. Namun apabila diperhatikan, dalam hadis tersebut tidak ada pemberat atau penambah hukuman, melainkan hanya menjelaskan urutan saja sejak pencuri yang pertama sampai yang keempat. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat ditemukan dalam hadis lain, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya,, lengkapnya hadis tersebut sebagai berikut. berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat

30

(40)

kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)

Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas, namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.31

Selanjutnya dalam hukum pidana khamar, sebagaimana yang telah di riwayatkan yaitu:

Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata: bahwa Rasullullah saw bersabda: barang siapa yang meminum khamar (Arak) maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah ia”, (HR Ahmad)

Apabila peminum khamar telah melakukan pengulangan dalam jarimah khamar padahal sudah pernah diberikan sanksi, maka pada jarimah tersebut pelakunya diberikan pemberatan dari dipukul kemudian dijilid, dari pengertian hadis diatas bahwa dalam memberikan pemberat hukuman terhadap pelaku pengulangan tindak pidana (a’ud) bahkan dapat juga dalam bentuk hukuman mati.32

Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang

31

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 166.

32

(41)
(42)

BAB III

PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT KUHP

A.Pengertian Tindak Pidana

Dan istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetepi dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama dan sebagainya.

Oleh karena itu “Tindak Pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunyaasas-asas hukum pidana di Indonesia memberikan definisi “ tindak pidana”atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

(43)

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.33

Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.34

Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang-Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang-Undang-Undang HAM dan lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah: Pembunuhan, penipuan, pencurian, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan, dan korupsi.

33

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), cet 3, h. 58.

34

(44)

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (WvS) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan, Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah sebagai berikut.

a. Pidana mati

Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini merupakan pidana terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, bergantung kepada pementingan cara memandang pidana mati itu sendiri.35

Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi atau jenis pidananya atau perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian penjatuhan pidana ini terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang maupun pembuatannya/petindaknya, atau kekeliruan atas tindak pidana yang mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan atas kesalahan terpidana.

Sebelum pembentuk Undang-undang pada saat ini telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana yang telah diutarakan tersebut. Oleh karena itu, dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah

35

(45)

pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya sangat terbatas, seperti.36

1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara (104, 111 ayat 2, 124 ayat 3 jo 129).

2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 140 (3), 340.

3. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2).

4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444).

Disamping itu, sesungguhnya pemberat KUHP sendiri telah memberikan suatu isarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan.

b. Pidana Penjara

Dibawah ini dapat disimak beberapa hal sehubungan dengan ketentuan pidana penjara yang dapat menjadi jus constituendum, yaitu sebagai berikut.

a. Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu. Waktu tertentu paling lama dijatuhkan lima belas tahun atau paling singkat satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

b. Jika dipilih pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, atau jika ada pemberatan atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara lima belas tahun maka pidana penjara bisa dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut.

36

(46)

c. Jika pidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, mentri kehakiman dapat mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima belas tahun.

c. Pidana kurungan

Dalam beberapa hal pidana kurungan sama dengan pidana penjara, yaitu sebagai berikut.

1. Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.

2. Mengenal maksimum 1 tahun umum, maksimum 1,4 tahun khusus dan minimum 1 tahun umum dan tidak mengenal minimum khusus. Maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karena alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan.

3. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalankan pekerjaan tertentu walaupun nara pidana kurungan lebih ringan dari pada nara pidana penjara.

4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (pasal 28). 5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak

(47)

d. Pidana Denda

Hal yang menarik dalam pidana denda antara lain ditetapkannya jumlah denda berdasarkan katagori dan pembayaran denda dapat diangsur. Pokok-pokok pidana denda sesuai rancangan KUHP yang dimaksud adalah sebagai berikut.37 a. Apabila tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit

seribu lima ratus rupiah.

b. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan katagori, yaitu: 1. Katagori 1, seratus lima puluh ribu rupiah,

2. Katagori II, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah, 3. Katagori III, tiga juta rupiah,

4. Katagori IV, tujuh juta lima puluh ribu rupiah, 5. Katagori V, tiga puluh juta rupiah,

6. Katagori VI, tiga ratus juta rupiah.

c. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah katagori lebih tinggi berikutnya.

d. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidan yang diancam dengan:

37

(48)

1. Pidana penjara paling banyak tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun adalah denda katagori V.

2. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun adalah katagori VI,

3. Pidana denda paling sedikit adalah katagori IV.

e. Pidana tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam pasal 10 KUHP melalui UU No. 20 tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang melakukan kejahatan itu cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim menentukan bahwa pidana penjara lebih tepat.

1.Jenis-jenis Pidana Tambahan

Sebagaimana telah disebut dimuka, berkaitan dengan pidana tambahan yang ternyata lebih banyak dibandingkan dengan KUHP.38

a. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Dari judul ini mudah dimengerti bahwa tidak dimungkinkan untuk mencabut semua hak-hak dari terdakwa. Dahulu telah dikenal diancamkan sebagai tindak pidana tambahan, bagi pelaku dari kejahatan sangat berat.

38

(49)

Walaupun pidana tambahan ini dicantumkan dalam buku I ketentuan umum, tidak berarti bahwa pidana tambahan ini dapat ditambahkan untuk setiap pemidanaan. Lihatlah kembali uraian pada no 217 a.

Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan (beroep) tertentu adalah pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang sebagai mata pencahariannya yang bukan merupakan jabatan dan pegawai negeri. Misalnya: tukang pangkas, tukang gambar, wartawan, pedagang dan lain sebagainya.

Hak-hak menjalankan kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas, pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri (ayat 1 sub ke-5) maupun atas orang lain (ayat 1 ke-4) dapat dicabut bila terjadi pemidanaan karena:

a. Pemegang hak tersebut dengan sengaja melakukan kejahatan bersama, sama dengan anak yang kurang cukup umur yang berada di bawah kekuasaannya.

b. Pemegang hak tersebut melakukan kejahatan penggelapan asal-usul, kesusilaan, meninggalkan seseorang padahal memerlukan pertolongan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa, atau penganiayaan terhadap anak yang kurang cukup umur yang berada dibawah kekuasaannya. Hak tersebut dapat juga dicabut apabila ditentukan secara tegas untuk sesuatu tindak pidana tertentu.

(50)

apabila terhadap terdakwa/terpidana berlaku aturan undang-undang hukum perdata terhadap pencabutan tersebut.

Hak memilih dan dipilih dapat dicabut adalah hak-hak yang diatur diadakan berdasarkan aturan-aturan umum seperti menjadi pemilik atau calon anggota perwakilan rakyat, pemilih atau calon pamongpraja dan lain sebagainya.39

Di luar hak-hak yang ditentukan dalam pasal 35 tersebut, hakim tidak berwenang mencabutnya sebagai pidana tambahan. Hak menjadi suami/istri hak memeluk suatu agama, hak berpolitik dan lain sebaginya tidak boleh dicabut.

b. Pidana Perampasan Barang-barang Tertentu.

Salah satu ketentuan yang menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana tambahan ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana hanya dikenakan tindakan.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan biaya pengumuman yang harus ditanggung oleh terpidana, namun apabila biaya pengumuman itu tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

B.Macam-macam Tindak Pidana

Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam macam-macam tertentu atau mengklasifikasikannya dapat sangat bermacam-macam sesuai

39

(51)

dengan kehendak yang mengklasifikasikannya atau mengelompokan, yaitu menurut dasar apa yang diinginkan demikian halnya dengan tindak pidana.

KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana dalam dua kelompok besar dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.40

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan adalah rumusan delikyang biasanya disebut delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat.

Tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan pelanggaran, semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelick atau delik Undang-undang. Delik hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh Undang-undang, misalnya saja keharusan mempunyai SIM bagi yang mengendarai kendaraan bermotor, atau mengenakan helm ketika mengendarai sepeda motor. Disini tidak tersangkut lagi masalah keadilan.

2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan yang selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.

40

(52)

Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya merupakan aksidentelia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal 362 (pencurian). Jika seorang telah melakukan perbuatan telah mengambil dan seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.

Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338 (pembunuhan), yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.

3. Delik Dolus dan Delik Kulpa

Dolus dan kulpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan dibicarakan tersendiri di belakang.

Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi mungkin dengan kata-kata lain yang senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya. Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.

(53)

4. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)

Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan, tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perjinahan misalnya, yang berkepentingan adalah suami dan istri yang bersangkutan.

Terdapat dua jenis delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relative di sini karena adanya hubungan istimewa antara pelaku dan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal 367 ayat (2) dan (3).)

C.Pertanggungjawaban Tindak Pidana 1. Kesalahan dalam Hukum Pidana

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak masuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.

(54)

berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.41

Berdasarkan hal tersebut di atas Sudarto, juga menyatakan hal yang sama, bahwa:

“dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang-undang tidak dibenarkan (an objective breach of a panel provision), namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.42

Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, di sini berlaku asas “tiada pidana tanpa kesalahan” Ruslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak ingin berbuat demikian.

Apabila dikaji lebih lanjut pengertian kesalahan menurut beberapa ahli hukum pidana ternyata terdapat beberapa pandangan.

41

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), h. 48.

42

(55)

Jonkers dalam keterangan tentang kesalahan membuat pembagian atas tiga bagian dalam pengertian kesalahan:

1. Selain kesengajaan dan kealpaan (opzet of schuld)

2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid), 3. Kemampuan bertanggungjawab (de toerekenbaarhed)

Sedangkan yang mempunyai pandangan yang memisahkan antara tindak pidana dan kesalahan dengan unsurnya masing-masing (pandangan dualistis), dapat dikemukakan pandangan dan Vos, yang memandang pengertian kesalahan mempunyai tiga tanda khusus yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaaheid van de dader),

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan,

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus tanggungjawab bagi si pembuat atas perbuatannya itu.

(56)

Ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat yakni. pertama pendekatan yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak seronoh yang di lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-ukuran tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan pertanggungjawaban sebagaimana ditegaskan ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:43

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim bisa memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

b. Kesalahan dan Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara, mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik dalam konsep maupun implementasi.

43

(57)

Baik Negara-negara Civil Law maupun Camman law, umumnya pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan.44

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang menentukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama berpengaruh pada hakim, hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif, hakim harus mempertimbangkan hal itu, sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya. Sebaliknya jika terdakwa melakukan pembelaan yang berdasarkan pada alasan yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih dalam. Dalam hal ini hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus dari peristiwa tersebut, yang kini diajukan sebagai alasan penghapus kesalahannya. Walaupun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasarkan alasan penghapus kesalahan perlu diperhatikan hal ini tidak ada pada diri terdakwa ketika melakukan tindak pidana.

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana hakim harus mempertimbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukan kedalam surat dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan pembelaan. hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan

44

(58)

mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materiil (KUHP), apalagi dalam hukum formalnya (KUHAP).

a. Kesengajaan

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.45

b. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya” tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.46

D.Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana (Recidive).

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan.47 Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan dasar yang memberatkan hukuman.

Ini merupakan dasar pemberat pidana. Pengertian residivis menurut Mahrus Ali, adalah kelakuan seseorang yang mengulang perbuatan pidana dan itu

45

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 66.

46

Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 72.

47

(59)

yang dijatuhkan pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu.48

Menurut doctrine, dari sudut sifatnya sistem residivis itu dapat dibagi dalam:49

1.Generale residivis atau (recidive umum).

Residivis umum adalah melakukan kejahatan terhadap kejahatan mana telah dijatuhkan hukuman maka apabila ia telah melakukan kejahatan lagi yang merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.

Contoh: A melakukan kejahatan pencurian, karenanya ia dijatuhkan hukuman. Setelah ia dijatuhkan hukuman itu, ia kembali dalam masyarakt. Akan tetapi A melakukan kejahatan kembali yaitu penganiayaan terhadap B. Berdasarkan residivis ini perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.

2. Special residivis atau (recidive khusus).

Residivis khusus adalah seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan oleh hakim. Kemudin ia melakukan kejahatan lagi yang sama (sejenis) dengan kejahatan pertama, maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk memberatkan hukuman.

Akan tetapi perlu pula diketahui, bahwa residivis harus memenuhi beberapa syarat.

48

Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h.139-140.

49

(60)

Dan syarat-syarat yang dimaksud adalah:

1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus telah ada keputusan hakim yang mengandung hukuman.

2. Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai keputusan akhir. Ini tidak berarti bahwa hukum ini harus sudah dijalani seluruhnya.

3. Didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama.

4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun. Pada tanggal 2 januari 1951, setelah ia menjalani hukuman seluruhnya, A dibebaskan.

Kemudian pada tanggal 1 Januari 1952, A melakukan perbuatan penggelapan. Dengan demikian jangka waktu antara tanggal 2 Januari 1951 dan saat perbuatan kedua masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal 486, hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatan yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiga.

(61)

Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi. Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat, berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakut-nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk melakukan sesuatu kejahatan.

Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid 1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175).

Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361 dan 412 dan sebagainya.

Gambar

Grafika, 2004), cet 1, h. 74.
Grafika), cet 1, h. 167.
Grafik, 2004), cet, 1, h. 164-166

Referensi

Dokumen terkait

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukan bahwa jenis dan komposisi nutrisi media tanam jamur tiram putih memberikan pengaruh yang nyata pada persentase

Penegakan hukum terhadap pidana di pasar modal yang dilakukan oleh badan otoritas di bidang pasar modal dan lembaga keuangan, Bapepam-LK sekarang ada pada Otoritas Jasa

Sejalan dengan hal tersebut, penulis menyarankan Perlu adanya kesadaran dari masing-masing pelaku pencurian energi listrik yang dilakukan didesa Gununganyar agar tidak

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, untuk membantu individu atau perusahaan yang secara online menjual sayuran dan buah dapat memahami perilaku konsumen maka

Abu Hassan Ali Al- Mawardi (1960), dalam al-Ahkam al Sultaniyyah, telah menyentuh aspek ketenteraan dan dihubungkan dengan aspek kepimpinan. Al-Mawardi menyebut

Berdasarkan hasil penelitian tentang Senandung Bertelur Kau Sinangin Pada Masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai (Studi Terhadap Bentuk Musik, Fungsi dan Makna), dapat

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan, maka penelitian ini menemukan hasil: kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, komite

Y dan perbedaan antara generasi X dan Y ketika melakukan kegiatan bepergian, namun pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa generasi X dan Y memiliki perbedaan yang