• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Pemberdayaan Masyarakat dan pembangunan Sosial

Makna dari Pemberdayaan Masyarakat adalah suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki dan yang tersedia di lingkungan sekitarnya yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya secara mandiri. Paradigma pemberdayaan sosial yang disusun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) oleh Pemerintah dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR) berisi 3 poin yang diprioritaskan:

1. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yaitu "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat" dan pasal 34 berbunyi "Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara."

2. Triple Tracks Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), Pro-Employment, Pro-Income, Pro-Growth dalam bentuk agenda pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan.

3. Strategi Pemberdayaan Sosial adalah pengurangan beban pengeluaran

beban pengeluaran rakyat dan peningkatan pendapatan rakyat yang diwujudkan dari Gerakan KUTABUNG (Kerja, Untung dan Tabung) Pemberdayaan sosial merupakan suatu upaya untuk membangun semangat hidup secara mandiri di kalangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

hidup masing-masing secara bersama-sama. Fakta ini sekaligus menjadi pertimbangan utama untuk tidak seharusnya membuat dikotomi di antara permasalahan sosial dan ekonomi. Setiap upaya perbaikan harus dilandasi oleh komitmen individu yang kuat dan mencakup aspek intelektual, spiritual dan emosional. Sasaran yang menjadi fokus penanggulangan kemiskinan melalui strategi pemberdayaan adalah penduduk miskin yang berusia produktif, yaitu berkisar antara 15 tahun hingga 55 tahun. Penduduk miskin pada kisaran usia ini yang sehat jasmani maupun rohani merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi besar untuk menjadi pelaku aktif dalam pembangunan.

Secara konseptual, pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment), berasal dari kata 'power' (kekuatan atau keberdayaan). Karenanya, ide utama pemberdayaan bersentuhan dengan konsep mengenai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dikaitkan dengan kemampuan kita untuk orang lain melakukan apa yang kita inginkan, terlepas dari keinginan dan minat mereka. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka

perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2009:58).

Menurut Kieffer, pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi partisipatif. Parsons juga mengakukan tiga dimensi yang merujuk pada:

1. Sebuah proses pembangunan yang bermula dari pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan sosial yang lebih besar.

2. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri dan orang lain.

3. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons, dalam Suharto, 2009: 63).

2.2.2 Model Pemberdayaan Masyarakat

Perencanaan dan pembuatan keputusan berkaitan dengan program pembangunan kerap kali dilakukan secara top down, tanpa melibatkan tokoh-tokoh maupun anggota masyarakat sendiri. Akibatnya, aktifitas yang menjadi muatan program pembangunan tersebut tidak efektif dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Ketidakefektifan tersebut disebabkan berbagai faktor, seperti :

1. Aktifitas pembangunan yang tidak sesuai dengan keperluan masyarakat setempat,

2. Pemimpin masyarakat tidak bertanggungjawab atas program,

3. Masyarakat kurang dilibatkan dalam berbagai aktifitas dan tidak bertanggungjawab atas program dan efektivitasnya,

4. Aktifitas yang dilakukan justru menciptakan ketergantungan yang lebih menyusahkan daripada meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Siagian, 2012 : 156-157)

Ginanjar Kartasasmita (dalam Siagian, 2012: 158) mengemukakan bahwa konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian pengembangan masyarakat dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community – based development). Menurut Ginanjar kartasasmita, pemberdayaan masyarakat adalah suatu aktifitas memampukan dan memandirikan masyarakat, dengan demikian masyarakat akan meningkatkan derajatnya.

Hardita (dalam Siagian, 2012: 158) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah proses meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menganalisis keadaan, kesanggupan, dan masalah-masalah aktual yang perlu mendapat penyelesaian. Menurutnya, prinsip pemberdayaan masyarakat adalah pengalaman dan pengetahuan masyarakat tentang keberadaannya yang sangat luas dan berguna serta harapan mereka untuk menjadi lebih baik. Sedangkan titik tolak pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan masyarakat agar mampu meningkatkan derajat hidupnya, mengoptimumkan pemanfaatan segala sumber daya yang ada pada mereka dan yang ada di lingkungan mereka dalam rangka peningkatan kualitas hidup mereka.

2.2.3 Pembangunan Sosial

Pembangunan sosial secara khusus memiliki pengertian sebagai pembangunan yang menyangkut aspek non ekonomi dan dalam rangka tercapainya hak asasi atau kehidupan warga masyarakat sesuai harkat martabatnya sebagai manusia. Dalam rumusan Pre-Conference Working Party dari

International Conference of Social Welfare, pembangunan sosial diartikan sebagai aspek keseluruhan pembangunan yang berhubungan dengan relasi-relasi sosial, sistem-sistem sosial dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hal itu (Sumarnogroho, 1984, dalam Soetomo, 2010:312). Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa pembangunan sosial memberi perhatian kepada keseimbangan kehidupan manusia dalam memperbaiki atau menyempurnakan kondisi-kondisi sosial mereka. Rumusan tersebut termasuk pengertian pembangunan sosial yang memiliki cakupan yang cukup luas.

Konsep pembangunan sosial juga dapat dilihat kaitannya dalam rangka mewujudkan cita-cita Negara Kesejahteraan (Welfare State). Konsep tersebut bersumber dari pemahaman tentang fungsi negara. Dalam welfare state, negara tidak lagi hanya bertugas memelihara ketertiban dan menegakkan hukum, tetapi terutama adalah meningkatkan kesejahteraan warganya (Ndraha, 1987, dalam Soetomo, 2010:313). Dalam pandangan tersebut, negara dituntut untuk berperan aktif dalam mengusahakan kesejahteraan rakyatnya, yang didorong oleh pengakuan atau kesadaran bahwa rakyat berhak memperoleh kesejahteraan sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam banyak hal, hak rakyat untuk memperoleh kesejahteraan ini juga akan terkait dengan Hak-Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu pembangunan sosial merupakan tanggung jawab negara.

Dokumen terkait