• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberian fasilitas untuk pengembang energi terbarukan sebagai dukungan Pemerintah

Dalam dokumen ISSN : INFO KAJIAN (Halaman 88-93)

Perhitungan statistik uji

C. Pemberian fasilitas untuk pengembang energi terbarukan sebagai dukungan Pemerintah

Fasilitas yang sangat diprioritaskan dan diperlukan untuk memecahkan solusi saat ini adalah mengenai pengaturan harga. Mekanisme subsidi dan Feed in Tariff perlu dipertimbangkan penerapannya dengan terlebih dahulu dilakukan uji skema pelaksanaannya. FiT akan mewajibkan perusahaan jaringan listrik nasional maupun daerah untuk membeli listrik energi terbarukan dengan harga berdasarkan biaya pembangkitan (cost-based prices) itu memungkinkan beragam proyek terbarukan dibangun dan memungkinkan investor untuk meraih imbal hasil yang memadai dalam investasi energi terbarukannya. Mekanisme FiT untuk energi terbarukan skala besar perlu dijadikan opsi fasilitas yang perlu diberikan kepada pengembang energi terbarukan sebagaimana efek FiT untuk skala kecil yang telah dilakukan (Permen ESDM No 31 tahun 2009). Selain FiT, subsidi diusulkan diberikan untuk beberapa jenis energi terbarukan yang masih memiliki biaya produksi lebih tinggi daripada biaya produksi dari minyak seperti BBN, energi surya dan energi arus.

Daftar PUstaKa

Abdulgani-Knapp, Retnowati. 2006. Soeharto - The Life and Legacy of Indonesia’s Second President. Marshall Cavendish Editions, Singapura

Dinas Peternakan Jawa Timur. 2010. Penerapan Dan Pengembangan Teknologi Biogas Di Jawa Timur. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010)

Ditjen Migas, KESDM. 2010. Asumsi Makro Sub Sektor Migas Volume BBM, BBN, Dan LPG. Bahan Presentasi. Jakarta. Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian. 2010. Peluang Pemanfaatan Biogas Pada Perkebunan Rakyat Kelapa Sawit Untuk Mendukung Kebijakan DME. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010)

Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press. Jakarta. International Energy Agency (IEA). 2008. Energy Policy Review of Indonesia. IEA Publications. Paris.

Ikbal. 2010. Pengembangan Dan Penerapan Teknologi Biogas. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010). Balai Teknologi Lingkungan, BPPT

Junus, M. 2010. Analisis Ekonomi, Penerapan Teknologi Gas Bio Dari Limbah Ternak Untuk Mendukung Desa Mandiri Energi. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010). Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

Kementerian ESDM. 2010. Pedoman Dan Pola Tetap Pengembangan Industri Kepanasbumian Nasional (Draft). Bahan Presentasi (dapat diunduh di www.energiterbarukan.net). Jakarta

Luthan, Fauzi. 2010. Kebijakan Pengembangan Biogas Untuk Mendukung Ketersediaan Energy Alternative Di Pedesaan. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010). Direktorat Budidaya Ternak Ruminansia.

Osborne, D & Plastrik, P. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government. Addison-Wesley, Reading, Massachusetts

Pattijalal, Dino. 2008. Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY. Red & White Publishing. Jakarta PLN (Persero). 2010. Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik Tahun 2010-2019. Jakarta

Puslitbang Peternakan, Balitbang Pertanian, Kementerian Pertanian. 2010. Kontribusi Litbang Peternakan Pada Desa Mandiri Energi. Bahan Presentasi (disampaikan pada Rapat Koordinasi Nasional Pengembangan Desa Mandiri Energi Berbasis Biogas Surabaya, 26 Agustus 2010)

Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2006. Instruksi Presdiden. No 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri ESDM No. 31 Tahun 2009 tentang Pembelian Tenaga Listrik Oleh PT PLN (Persero) Dari Pembangkit Listrik Yang Menggunakan Energi Baru Terbarukan Skala Kecil Dan Menengah Atau Kelebihan Tenaga Listrik. Sekretaris Kabinet. Jakarta.

Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Sekretaris Kabinet. Jakarta. Sumiarso, Luluk. 2010. Panas Bumi Pada Kawasan Hutan. Bahan Presentasi. Ditjen EBTKE, KESDM. Jakarta

The Boston Consulting Group. 2010. Indonesia Economic Development Corridors II (WA5a : Geothermal Development Support in Indonesia). Bahan Presentasi. Jakarta

Tim Pengembangan EBTKE KESDM. 2010. Blueprint Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Konsep rev. 3/ 3 Juni 2010). Bahan Presentasi (dapat diunduh di www.energiterbarukan.net). Jakarta

imidap.mikrohidro.net www.detikfinance.com www.detiknews.com www.indobiofuel.com www.majalahtambang.com www.migas.esdm.go.id

PenYUsUnan InDeKs efeKtIVItas

transPortasI PerIntIs UntUK

menDUKUng PengemBangan

WILaYaH

DIreKtorat transPortasI

email: azainudin@bappenas.go.id

aBstraK

Transportasi merupakan salah satu sektor infrastruktur yang berperan dalam mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya, sebagai katalisator untuk mengakselerasi tumbuhnya sektor-sektor perekonomian lainnya di suatu wilayah. Pemerintah pusat ataupun daerah, dengan segala keterbatasan yang ada, telah melakukan berbagai upaya untuk membuka akses beberapa wilayah yang terisolir, terpencil, dan perbatasan melalui penyediaan sarana dan prasarana transportasi perintis. Pembukaan akses dimaksudkan sebagai stimulus, selanjutnya peranan masyarakat dan swasta lah untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kapasitas transportasi guna melancarkan aktivitas ekonomi wilayah. Hal yang mengemuka pada penyediaan transportasi perintis tersebut adalah sejauh mana telah memenuhi kebutuhan masyarakat, peran serta masyarakat serta efisiensi dan efektivitas dari transportasi perintis tersebut.

Berdasarkan penilaian common indicator di setiap moda angkutan perintis pada tahun 2008, dapat diketahui bahwa nilai CI moda angkutan penyeberangan memiliki nilai tertinggi (67.535) dibandingkan moda angkutan perintis lainnya, yaitu 28.859, 31.3735, dan 18.517 berturut-turut, untuk jalan, laut, dan udara. Nilai ini, secara umum, memberikan gambaran kinerja yang baik dalam konteks penilaian umum yang melibatkan aspek anggaran, jumlah trayek atau armada serta permintaan perjalanan (penumpang dan barang). Mengacu pada aspek keperintisan dan karakteristik wilayah Indonesia yang membutuhkan subsidi, yang merupakan wilayah kepulauan, maka angkutan perintis penyeberangan menunjukkan kinerja yang paling baik atau sesuai dengan karakteristik wilayah yang dilayaninya (relatif dibandingkan moda angkutan perintis lainnya).

Nilai indeks efisiensi pada masing-masing moda angkutan perintis secara umum cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya. Sedangkan nilai indeks efektifitas, pada moda angkutan jalan tingkat efektifitas keperintisan cenderung mengalami penurunan dari 34.217 (2000) menjadi 24.681 pada tahun 2008. Pada moda penyeberangan indeks efektifitas (dari permintaan perjalanan penumpang) juga mengalami penurunan dari 5.963 (2000) menjadi 7.373 pada tahun 2009.

Indeks efekstifitas dan efesiensi dengan analisis ICOR menunjukkan nilai ICOR yang lebih dari satu untuk sektor transportasi (23,95 pada tahun 2009). Nilai ICOR perintis darat dari tahun ke tahun menunjukkan nilai ICOR yang semakin besar (5,96 (2005) menjadi 40,17 (2009)). Demikin juga terjadi pada perintis udara (15,62 (2005) menjadi 27,61 (2009)), sedangkan transportasi perintis laut malah semakin mengecil dan minus nilai ICORnya (4,96 (2005) menjadi -0,46 (2009)). Ini berarti bahwa investasi di transportasi perintis bisa dikatakan tidak efisien karena hanya memberikan NTB (nilai tambah bruto) kurang dari satu. Namun demikian, transportasi perintis masih memberikan NTB bagi perekonomian walaupun nilainya kurang dari satu . Oleh karena itu, hal ini menjadi bukti bahwa transportasi perintis secara keseluruhan masih menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan subsidi. Jika nilai ICOR sudah berada diantara nol dan satu, maka transportasi perintis tersebut dapat dilepas dan dikembangkan menjadi transportasi komersil.

I. PenDaHULUan

1.1 Latar BeLaKang

berbeda satu sama lain, seperti berbeda dari sisi luasan kepulauan, densitas dan jumlah penduduk, potensi sumber daya alam, pendapatan daerah, infrastruktur, dan sebagainya. Jika dipotret dalam intern per pulaunya itu sendiri, ada wilayah provinsi, kabupaten/kota, sampai wilayah yang paling terkecil adalah Rukun Tetangga (RT). Tentunya, masing-masing wilayah tersebut memiliki karakteristik yang berbeda pula, baik dari sisi sosial, ekonomi, demografi, geografis, sumber daya alam, infrastruktur, fasilitas publik, dan sebagainya.

Hal yang paling penting adalah mobilisasi manusia dari satu tempat ke tempat lainnya tidak dapat dibatasi oleh selat ataupun lautan. Adanya aktivitas distribusi barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya mampu menginduksi aktivitas ekonomi di wilayah itu sendiri. Bahkan, aktivitas ekonomi pun berlanjut tidak hanya untuk wilayah itu sendiri melainkan jika terjadi ekses demand dan supply, otomatis interaksipun melibatkan satu wilayah dengan wilayah lainnya, baik antar desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, ataupun dengan negara lain.

Distribusi barang dan jasa, yang menimbulkan dampak ekonomi terhadap suatu wilayah, tidak akan berjalan dengan efektif dan efisien jika infrastruktur transportasinya tidak memadai. Transportasi merupakan salah satu sektor infrastruktur yang berperan dalam mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan kata lain, sektor transportasi adalah sebagai katalisator untuk mengakselerasi tumbuhnya sektor-sektor perekonomian lainnya di suatu wilayah.

Sektor transportasi yang mencakup prasarana dan sarana angkutan jalan raya, angkutan kereta api, angkutan sungai dan danau, angkutan laut, serta angkutan udara merupakan salah satu komponen pokok kegiatan ekonomi suatu bangsa. Percepatan pembangunan infrastruktur di sektor transportasi ditujukan untuk lebih meningkatkan pelayanan secara efisien, handal, berkualitas, aman dan terjangkau, serta untuk mewujudkan sistem transportasi nasional yang terpadu secara intermoda dan terpadu dengan pembangunan wilayah serta sektor sektor lainnya. Namun demikian, dalam rangka memberikan dukungan terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional, pembangunan sektor transportasi masih dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain: (1) terjadinya penurunan kualitas dan keberlanjutan pelayanan infrastruktur transportasi yang ada akibat masih terbatasnya sumber daya dalam memenuhi kebutuhan standar pelayanan minimal jasa pelayanan prasarana dan sarana transportasi; (2) belum optimalnya dukungan infrastruktur dalam peningkatan daya saing sektor riil dan daya saing jasa transportasi yang mandiri; (3) belum optimumnya peran serta masyarakat dan swasta untuk berpartisipasi dalam pembangunan infrastruktur transportasi; (4) masih terbatasnya aksesibilitas pelayanan transportasi dalam mengurangi kesenjangan antar wilayah, meningkatkan pengembangan wilayah perbatasan, serta memberikan dukungan dalam penanganan bencana di berbagai wilayah, (5) masih rendahnya aksesibilitas terhadap pelayanan transportasi khususnya untuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di kawasan yang terpencil, terisolir dan perbatasan, (6) belum efisienya biaya transportasi dalam komponen biaya produksi maupun biaya distribusi serta pemasaran akibat aksesibilitas yang rendah, (Bappenas, 2009).

Berdasarkan berbagai kendala yang telah disebutkan di atas, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya persoalan-persoalan di sektor transportasi, yaitu (1) keterbatasan sumber pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, (2) prioritas pendanaan masih bersifat dikriminatif khususnya bagi wilayah atau sektor yang menghasilkan pendapatan yang besar, sedangkan wilayah-wilayah marginal, seperti wilayah terpencil, terisolir dan perbatasan lebih cenderung di nomerduakan, dan (3) tidak match-nya perencanaan pembangunan antara pusat dan daerah sehingga pembangunan infrastruktur transportasi pun bisa terhambat.

Walaupun dengan berbagai keterbatasannya, pemerintah pusat ataupun daerah telah melakukan berbagai upaya untuk membuka akses beberapa wilayah yang dinyatakan terisolir atapun terpencil dengan berbagai pembangunan infrastruktur transportasi, seperti jalan, angkutan darat, angkutan sungai, danau, dan pelabuhan, angkutan kereta api, angkutan laut, dan angkutan udara. Pembukaan akses bagi wilayah-wiyalah terisolir, terpencil, dan perbatasan merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana dan prasarana transportasi perintis melalui pendanaan subsidi karena dana yang harus disediakan cukup besar. Tentunya, pemerintah hanya menyediakan dana stimulus saja untuk membuka akses tersebut, selanjutnya peranan masyarakat dan swastalah untuk menjaga, melestarikan, dan meningkatkan kapasitas transportasi guna melancarkan aktivitas ekonomi wilayah. Yang menjadi pertanyaan adalah pembangunan sektor transportasi perintis tersebut telah sesuai dengan keinginan masyarakat? Bagaimana peran serta masyarakat dalam pembangunan sektor transportasi perintis tersebut? Bagaimana efisiensi dan efektivitas dari transportasi perintis tersebut? Secara ekonomi, apakah transportasi perintis tersebut bisa memberikan “delivered price” yang optimum bagi wilayah yang terpencil, terisolasi, ataupun perbatasan? Dampak ekonomi lain apakah yang muncul dari tersedianya transportasi perintis tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut digunakan sebagai panduan untuk mengkaji “Penyusunan Indeks Efektivitas Transportasi Perintis untuk Mendukung Pengembangan Wilayah”.

II. tUjUan

Tujuan kajian ini adalah untuk mengembangkan indikator yang dapat digunakan untuk mengukur efisiensi dan efektifitas kebijakan pelaksanaan pemberian subsidi transportasi perintis di sektor transportasi dalam kaitannya dengan pengembangan wilayah. Indeks yang disusun diharapkan bisa dijadikan rumusan untuk menyusun kebijakan strategis tentang pemberian subsidi yang akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi bagi penyelenggaraan pelayanan transportasi untuk masyarakat di daerah terpencil atau pelayanan transportasi bagi warga miskin (kelas ekonomi).

III. rUang LIngKUP

Ruang lingkup kajian meliputi:

Identifikasi permasalahan pelaksanaan pemberian subsidi operasi transportasi perintis; 1.

inventarisasi dan analisa kebijakan pemberian subsidi operasi transportasi perintis bagi pengembangan suatu 2.

wilayah/daerah;

Mengevaluasi tingkat ketersediaan dan pemenuhan subsidi perintis yang telah dilaksanakan, terutama apa yang telah 3.

direncanakan itu dapat direalisasikan dan berkesinambungan pelayanannya serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau sasaran pelayanan tersebut (target groupnya);

Analisis kelayakan indikator efektivitas melalui perumusan indeks Pemberian Subsidi Operasi Transportasi Perintis 4.

yang dikaitkan dengan indikator lainnya;

Analisis estimasi kebutuhan program penanganan dan besaran dana yang diperlukan beserta altematif rencana 5.

mobilisasi pendanaannya Pemberian Subsidi Operasi Transportasi Perintis dan Pemberian Dana PSO;

Rekomendasi penilaian efektivitas Pemberian Subsidi Operasi Transportasi Perintis dan Pemberian Dana PSO bagi 6.

suatu pengembangan wilayah/daerah.

IV. KerangKa anaLIsIs

Pada dasarnya sektor transportasi dapat berfungsi sebagai akselelator dalam mendukung pertumbuhan wilayah, pertumbuhan ekonomi, distribusi barang dan penumpang, serta sebagai alat pemersatu bangsa. Secara khusus, peranan dari sektor transportasi ini sebagai fungsi perangsang bagi tumbuh kembangnya sub sektor-sub sektor perekonomian lainnya. Di samping itu, fungsi lainnya adalah sektor transportasi bisa membuka akses wilayah-wilayah yang terisolasi dan terpencil. Dengan dibukanya akses diharapkan adanya stimulus aktivitas ekonomi di wilayah terpencil dan terisolasi tersebut.

Dalam konteks ekonomi secara luas, tujuan pembangunan sektor transportasi di wilayah terpencil atau terisolasi antara lain berorientasi pada aspek-aspek (a) mendorong pemerataan pembangunan, (b) mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah pedalaman dan terpencil, (c) melayani kebutuhan masyarakat luas dengan harga terjangkau, (d) untuk melancarkan mobilitas distribusi barang dan jasa, dan (e) mendorong pertumbuhan sub sektor-sub sektor ekonomi nasional. Dengan demikian pembangunan transportasi diarahkan untuk meningkatkan pelayanan jasa transportasi secara efisien, andal, berkualitas, aman dan dengan harga terjangkau, terutama melancarkan jaringan transportasi antara desa-kota atau daerah produksi-pemasaran.

Dalam konteks penyusunan indeks efektivitas transportasi perintis di suatu wilayah, tidak hanya melihat satu indeks saja untuk menentukan kelayakan transportasi perintis di suatu wilayah melainkan ada indikator lain yang juga berperan besar dalam penentuan transportasi perintis. Adapun kerangka umum kajian ini seperti pada gambar 1. Kerangka umum ini dijadikan patokan dalam penyusunan metodologi penelitian dan penulisan laporan.

Kerangka Umum Kajian

Inventarisasi Transportasi Perintis Koleksi Data dan Informasi Analisis Data Kondisi Umum (case study) Identifikasi

Masalah Evaluasi Pendanaan Wilayah PDRB Demografi Potensi dan Aglomerasi Ekonomi Moda Transportasi SDA Investasi Pemerintah Fasilitas Publik Indeks Ekonomi Kinerja Transportasi Perintis Indeks Pusat Pelayanan Indeks Investasi Transportasi Pemerintah Kinerja Subsidi Transportasi Perintis

V. metoDe KajIan

5.1 metode Pelaksanaan

Metode pelaksanaan yang dilakukan dalam menyusun kajian ini sebagai berikut: Mengidentifikasi kebutuhan data dan metode analisis yang dibutuhkan; 1.

Pengolahan data; 3.

Melakukan analisis terhadap hasil pengolahan data; 4.

Penentuan indeks transportasi perintis

Dalam dokumen ISSN : INFO KAJIAN (Halaman 88-93)