• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses pembuatan sosis dibagi atas dua tahap, yaitu proses pembuatan surimi dan proses pembuatan sosis ikan dari bahan baku surimi. Menurut Suzuki (1981) ada empat tahapan prinsip dalam proses pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan, dan pembekuan.

Proses pembuatan surimi dimulai dengan penyiangan kepala, ekor, sirip, kulit, dan jeroan ikan patin. Setelah itu ikan patin difillet dan langsung digiling menggunakan penggiling daging (grinder). Menurut Forrest et al. (1975), daging segar (pre-rigor) adalah daging yang diperoleh setelah pemotongan hewan tanpa mengalami proses penyimpanan. Dengan perlakuan fisik dan kimia, jumlah protein yang dapat terekstrak dari daging pada fase pre-rigor lebih besar daripada post-rigor. Menurut Amano (1965), tahap rigor mortis pada ikan umumnya terjadi lebih cepat daripada proses rigor mortis yang terjadi pada mamalia. Proses rigor mortis pada ikan terjadi 1-7 jam setelah kematian. Oleh karena itu, ikan yang baru difillet langsung digiling agar protein miofibril (aktin dan miosin) yang terekstrak cukup banyak.

Setelah penggilingan, dilakukan pencucian daging ikan. Daging ikan giling dicuci dengan air dingin (10oC) sebanyak tiga kali selama masing- masing 10 menit. Perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Ditambahkan garam sebanyak 0.3% pada pencucian terakhir ikan menggunakan air dingin. Menurut Lee et al. (1988), pencucian daging ikan dilakukan sekitara 9-12 menit. Jika terlau lama, daging ikan dapat menyerap air yang berlebihan sehingga pengeluaran air akan sulit dilakukan. Pencucian ikan sebaikanya dilakukan lebih dari dua kali karena dapat meningkatkan kekuatan gel dengan mengekstrak protein miofibril dan menghilangkan bau amis ikan, di mana perbandingan air dengan daging ikan yang digunakan adalah 3 : 1. Menurut Grantham (1981) yang dikutip Erdiansyah (2006), pencucian daging ikan dilakukan tiga sampai lima kali. Biasanya air pencuci yang terakhir mengandung NaCl sebanyak 0.01-0.3 % untuk memudahkan pembuangan air, karena pencucian yang berulang-ulang akan meningkatkan

sifat hidrofilik daging ikan. Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu 5-10oC. Pencucian dengan air kran (suhu kamar) dapat merusak tekstur dan mempercepat degradasi lemak sedangkan pencucian dengan air laut dapat meningkatkan kehilangan protein.

Daging giling yang telah dicuci dengan air kemudian disaring dan ditekan sehingga kadar air di dalam daging giling menjadi < 80%, karena menurut Lee (1984) yang dikutip Rahmawati (2005), kadar air maksimal untuk daging ikan lumat sebaiknya berkisar antara 78-80%. Daging giling yang telah disaring ini dinamakan surimi. Surimi ini kemudian ditimbang dan dibandingkan dengan berat ikan utuh dan berat fillet sehingga rendemen surimi dapat diketahui. Perhitungan rendemen surimi dilakukan dengan membagi berat surimi dengan berat ikan utuh (% rendemen surimi berdasarkan berat ikan utuh) atau membagi berat surimi dengan berat fillet (% rendemen surimi terhadap fillet). Rendemen surimi yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 32.76 % (terhadap ikan utuh) dan 63.20 % (terhadap fillet) (Lampiran 6). Perbandingan rendemen surimi dari dua sumber dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel12. Rendemen surimi

a

Mc Donald dan Lanier, 1988 yang dikutip oleh Lee et al., 1988

b

Latifa (2003)

Perbedaan rendemen ikan sangat bervariasi tergantung jenis ikan, bentuk tubuh, dan umur ikan (Suzuki, 1981). Ikan patin merupakan jenis ikan yang memiliki kandungan lemak sedang. Semakin banyak kandungan lemak pada suatu ikan maka rendemen surimi akan semakin rendah, karena dalam pembuatan surimi dilakukan pemisahan terhadap protein larut air dan juga lemak. Menurut Koswara (2006), pada pembuatan surimi, untuk ikan yang

Rendemen surimi terhadap ikan utuh (%)

Rendemen surimi terhadap fillet (%)

26.00 a 38.00 a

33.12 b 63.75b

berlemak tinggi, lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah tengik.

Karena surimi yang dibuat tidak langsung digunakan, maka harus disimpan pada suhu beku untuk mencegah kerusakan surimi akibat panas maupun mikroba. Sebelum disimpan beku, ditambahkan bahan krioprotektan berupa sorbitol 4%, sukrosa 4%, dan STPP 0.3% yang berfungsi untuk mengurangi kerusakan protein pada surimi akibat pembekuan. Menurut Afrianto (1995), sukrosa dan sorbitol berfungsi meningkatkan tegangan permukaan air sehingga proses pembentukan kristal es dan migrasi es dari protein menjadi terhambat sedangkan polifosfat berfungsi menghambat, mencegah pelunakan, dan mempertahankan kestabilan emulsi. Menurut Erdiansyah (2006) sebagai sumber acuan dalam pembuatan surimi, penambahan STPP pada pembuatan surimi adalah sebanyak 0.2%. Tetapi pada penelitian ini dilakukan modifikasi terhadap prosedur tersebut, dengan penambahan STPP lebih banyak, yaitu 0.3%. Hal ini dilakukan karena menurut Suzuki (1981), jumlah bahan antidenaturasi yang biasa ditambahkan untuk mu-en surimi adalah 4% sorbitol, 4 % sukrosa, dan 0.3% Na-Polifosfat. Surimi yang dibuat pada penelitian ini adalah jenis mu-en surimi yang merupakan surimi yang dibuat tanpa penambahan garam.

Surimi yang telah ditambahkan bahan krioprotektan dikemas dalam plastik PE (polyethilene) lalu disimpan beku pada freezer bersuhu -18oC. Modifikasi terhadap prosedur Erdiansyah (2006) juga dilakukan terhadap proses pengemasan dan bahan pengemas yang digunakan pada surimi. Surimi tidak divakum dan dibungkus dengan plastik PP (Polypropilene), tetapi dibungkus dengan plastik PE (Polyetilene). Hal ini dilakukan karena menurut Suzuki (1981), surimi yang siap dibekukan dimasukkan ke dalam plastik Polyetilene menggunakan mesin pengisi, tanpa proses pemvakuman.

Proses pembuatan sosis ikan dimulai dengan proses thawing (pencairan) surimi beku. Proses ini dilakukan agar surimi beku mudah dipotong menjadi bagian yang kecil-kecil sehingga mempermudah proses cutting. Menurut Erdiansyah (2006), tahap thawing dilakukan pada suhu dingin di dalam

refrigerator selama 1 malam. Tetapi pada penelitian ini tidak dilakukan karena menurut Suzuki (1981) surimi beku harus dithawing sebelum digunakan dengan cara membiarkannya pada suhu ruang sampai surimi cukup lunak untuk dipotong menggunakan pisau menjadi bentuk yang kecil, kemudian diolah dengan cutter. Surimi beku pada penelitian ini tidak dithawing sampai mencair, tetapi dithawing separuh beku sampai surimi beku dapat dipotong menggunakan pisau. Menurut Amano (1965), surimi beku tidak perlu dithawing sempurna hingga mencair, cukup separuh beku saja karena kristal es yang tersisa pada surimi beku dapat mengurangi kerusakan protein miofibril akibat panas yang dihasilkan saat proses cutting.

Proses cutting terbagi atas 3 tahap, yaitu cutting 1, cutting 2 dan cutting 3. Pada proses cutting 1, surimi yang telah dipotong dicutter bersama garam sebanyak 2%, dan es sebanyak 10%. Penambahan garam dan es ini berfungsi mengekstrak dan melarutkan protein miofibil sehingga diperoleh daya pembentukan gel yang baik, karena protein miofibril akan larut pada air dingin dan larut pada larutan garam. Menurut Kramlich (1971), untuk keberhasilan pembuatan sosis, maka ketersediaan garam untuk melarutkan protein daging merupakan kebutuhan utama.

Pada proses cutting 2, yaitu setelah penambahan es, adonan ditambahkan minyak sebanyak 15%. Penambahan minyak ini dilakukan karena surimi sebagai bahan baku pembuatan sosis telah mengalami pencucian dan pemisahan lemak. Produk sosis yang kekurangan lemak dapat menyebabkan teksturnya menjadi keras. Menurut penelitian Hapsari (2002), sosis patin terbaik menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15%. Maksud dari penambahan minyak pada pembuatan sosis adalah untuk mendapatkan sosis ikan yang kompak, tekstur yang empuk, rasa, dan aroma sosis yang lebih baik (Amano, 1965). Setelah itu, ditambahkan bahan pengikat berupa isolat protein kedelai dan susu skim. Bahan pengikat ini ditambahkan sebagai emulsifier yang menstabilkan emulsi antara lemak dengan air. Selain itu, penambahan susu skim ini dimaksudkan untuk mempertegar pembentukan gel oleh kappa-karagenan akibat adanya kappa- kasein dan ion kalium serta iota-karagenan akibat adanya kalsium.

Ditambahkan pula sisa es sebanyak 5% untuk menjaga suhu agar tetap dingin. Menurut Erdiansyah (2006), sisa es pertama ditambahkan setelah penambahan bumbu. Tetapi pada penelitian ini, penambahan sisa es pertama dilakukan setelah penambahan minyak dan bahan pengikat dengan tujuan menurunkan suhu adonan karena kenaikan suhu akibat penambahan minyak pada proses cutting cukup cepat. Proses cutting dapat menghasilkan panas yang dapat mendenaturasi protein miofibril (aktin dan miosin) sehingga penting untuk menjaga suhu selama proses cutting.

Pada proses cutting 3, yaitu setelah penambahan es, ditambahkan bumbu sebanyak 2% untuk meningkatkan cita rasa sosis. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroba merugikan (Soeparno,1994). Selain bumbu, ditambahkan bahan pengisi berupa tapioka sebanyak 6%, dan karagenan yang banyaknya berkisar antara 0-2%. Jumlah karagenan yang ditambahkan tergantung dari rancangan formula yang diberikan program Design Expert version 7. Tepung tapioka dipilih sebagai bahan pengisi karena menurut Nurhayati (1996), penambahan tepung tapioka berpengaruh nyata terhadap aroma, tekstur, dan rasa sosis ikan. Sosis yang menggunakan tapioka sebagai bahan pengisi mempunyai penerimaan terbaik. Terakhir, ditambahkan sisa es sebanyak 5% yang bertujuan menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu sehingga dapat tersebar lebih merata.

Menurut Erdiansyah (2006), cutting 1 dilakukan selama 10 menit, cutting 2 selama 5 menit, dan cutting 3 selama 5 menit, dengan suhu akhir adonan 12oC. Tetapi, pada penelitian ini dilakukan modifikasi di mana tiap proses cutting ini dilakukan hingga adonan tercampur merata. Lamanya tiap proses cutting tidak dapat diseragamkan karena jumlah surimi, air, karagenan, dan susu skim yang digunakan tiap formula berbeda-beda. Bila proses cutting ini dilakukan terlalu lama, maka protein dapat terdenaturasi akibat panas yang dihasilkan cutter, sehingga pembentukan emulsinya rusak. Suhu akhir adonan

yang dicutter pada tiap formula dipertahankan 6-8oC. Menurut Karmlich et al. (1973), pada tahap penggilingan, bahan kuring (serpihan es atau air dingin, garam dapur, bahan pengikat dan bahan tambahan lain) ditambahkan sehingga dapat terdistribusi secara merata dan suhu adonan yang terbentuk dipertahankan serendah mungkin sekitar 3-11 oC agar diperoleh stabilitas emulsi maksimum.

Setelah adonan dicutting secara merata, dilakukan proses stuffing, yaitu proses pengisian adonan ke dalam casing. Pengisian ini menggunakan stuffer manual. Hal ini berbeda dengan prosedur yang dilakukan Erdiansyah (2006), di mana pengisian adonan ke dalam sosis dilakukan menggunakan mesin stuffer. Stuffer yang digunakan pada penelitian ini bukan mesin stuffer melainkan stuffer manual karena kapasitas adonan yang tidak cukup banyak untuk dimasukkan ke dalam mesin stuffer. Diusahakan sebisa mungkin tidak ada udara yang terjebak pada saat pengisian adonan ke dalam casing. Saat sosis dimasak, udara yang terjebak pada adonan menguap dan menyisakan lubang-lubang pada permukaan dan bagian dalam sosis sehingga dapat merusak penampakan tekstur.

Setelah dimasukkan ke dalam casing, sosis dimasak. Pemasakan sosis ini bertujuan menyatukan komponen utama adonan sosis (Lawrie, 1961), mengompakkan sosis karena denaturasi protein dan dehidrasi sebagian, serta mempasteurisasi sosis (Kramlich, 1971). Pasteurisasi adalah proses pemanasan yang dilakukan pada suhu 72oC selama 15 menit (Lewis dan Happell, 2000).

Menurut Erdiansyah (2006), perebusan sosis dilakukan pada suhu 80oC selama 15 menit, tetapi pada penelitian ini dilakukan modifikasi, yaitu perebusan sosis dilakukan pada suhu 80-83oC selama 20 menit. Kisaran suhu perebusan yang digunakan pada penelitian ini lebih lebar dan waktu perebusan yang dilakukan lebih lama agar tercapai kecukupan panas pada titik coldest point sosis yaitu sebesar 72-75oC sehingga produk sosis aman dikonsumsi (Pearson dan Tauber, 1984). Berdasarkan hasil pengukuran suhu internal pada sosis dengan pemasakan di dalam waterbath bersuhu 80-83oC, pencapaian suhu internal sosis 72oC pada coldest point terjadi pada menit

kedua sampai menit ketiga sehingga bila memperhitungkan kecukupan pasteurisasi, maka perebusan sosis pada suhu 80-83oC selama 20 menit sudah cukup untuk mempasteurisasi sosis. Menurut Heinrickson (1978), pemasakan sosis paling baik dilakukan pada kisaran suhu optimal 70-80 oC dengan waktu yang sesingkat mungkin sehingga sosis matang. Pemasakan sosis sampai suhu 80oC akan meningkatkan kekenyalan sosis dan pemasakan sosis sampai lebih dari 100oC akan menurunkan elastisitas atau sosis menjadi rapuh dan lemak akan keluar (Amano, 1965). Setelah sosis dimasak, sosis didinginkan dengan diangin-anginkan.

Dokumen terkait