• Tidak ada hasil yang ditemukan

TAP.COM - SKRIPSI OPTIMASI FORMULASI SOSIS ... - IPB REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TAP.COM - SKRIPSI OPTIMASI FORMULASI SOSIS ... - IPB REPOSITORY"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN

(Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS

Oleh:

NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(2)

OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN

(Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016

2007

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

OPTIMASI FORMULASI SOSIS BERBAHAN BAKU SURIMI IKAN PATIN (Pangasius pangasius) DENGAN PENAMBAHAN KARAGENAN

(Eucheuma sp.) DAN SUSU SKIM UNTUK MENINGKATKAN MUTU SOSIS

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh:

NI WAYAN TRI WULANDHARI F24103016

Dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1985 di Jakarta

Tanggal lulus : 30 Agustus 2007

Menyetujui, Bogor, September 2007

Ir. Budi Nurtama, M.Agr Ir. Elvira Syamsir, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(4)

Ni Wayan Tri Wulandhari. F24103016. Optimasi Formulasi Sosis Berbahan Baku Surimi Ikan Patin (Pangasius pangasius) dengan Penambahan Karagenan (Eucheuma sp.) dan Susu Skim untuk Meningkatkan Mutu Sosis. Di bawah bimbingan Budi Nurtama dan Elvira Syamsir.

RINGKASAN

Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi perikanan yang cukup tinggi, termasuk potensi budidaya ikan patin. Tetapi, potensi perikanan ini baru dimanfaatkan sekitar 20 persen. Ikan patin ini dapat diolah menjadi sosis yang merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia. Permasalahan yang muncul adalah karena daya pembentukan gel ikan patin yang merupakan ikan air tawar lebih rendah daripada ikan air laut dan rendemen surimi yang cukup rendah, yaitu 26% dari bobot ikan utuh. Karagenan merupakan salah satu potensi alternatif yang melimpah di Indonesia, yang berfungsi sebagai bahan pengisi sekaligus pembentuk tekstur pada sosis yang belum termanfaatkan.

Penelitian ini bertujuan mengoptimasi penggunaan surimi, air, karagenan, dan susu skim dalam pembuatan sosis ikan patin sehingga diperoleh respon biaya (RM cost), respon subyektif (tekstur dan rasa) serta respon obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan yang optimal. Selain itu, penelitian ini bertujuan mengetahui posisi produk sosis ikan patin formula optimum jika dibandingkan produk sosis ikan komersil yang berada di pasaran.

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan penelitian pendukung. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk penetapan bumbu, penentuan jenis karagenan, range maksimum dan minimum surimi, air, karagenan, dan susu skim. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan optimasi formula menggunakan program Design Expert version 7 dengan range maksimum dan minimum yang diperoleh pada penelitian pendahuluan. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian pendukung dengan melakukan uji proksimat, uji mikrobiologi terhadap sosis formula optimum, dan uji hedonik sosis formula optimum dengan sosis ikan komersil yang beredar di pasaran. Dilakukan perhitungan harga jual sosis ikan formula optimum secara kasar dan dibandingkan dengan harga jual sosis ikan komersil.

Formula sosis ikan patin optimum yang terpilih melalui program Design Expert version 7 adalah sosis dengan komposisi surimi sebanyak 37.08%, air sebanyak 27.92%, karagenan (campuran 25% kappa-karagenan dengan 75% iota-karagenan) sebanyak 2%, dan susu skim sebanyak 5% dengan nilai desirability sebesar 0.602. Sosis formula optimum menghabiskan biaya (RM cost) sebesar Rp. 7307.93 (350 g), dengan nilai kesukaan terhadap tekstur sebesar 9.2 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai kesukaan terhadap rasa sebesar 9.8 (berkisar antara netral hingga agak suka), nilai air bebas yang dikeluarkan sebesar 79.55 mg H2O, nilai cooking loss sebesar 3.74%, nilai daya iris sebesar 483.0 gf, dan nilai kekenyalan sebesar 409.7 gf.

(5)

Sosis ikan K3 memiliki nilai kesukaan terendah untuk semua atribut, yaitu atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall. Secara statistik dari segi tekstur, kesukaan sosis ikan formula optimum sama dengan sosis ikan K1 dan K2. Kesukaan terhadap aroma sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan sosis K1 dan berada di atas sosis ikan komersil lainnya, sedangkan dari segi rasa dan overall, kesukaan terhadap sosis ikan formula optimum berada pada posisi kedua setelah sosis K1. Kesukaan terhadap warna sosis ikan formula optimum tidak berbeda dengan warna sosis ikan komersil lainnya. Secara keseluruhan jika dilihat dari segi atribut tekstur, rasa, aroma, warna, dan overall, kesukaan sosis ikan patin formula optimum berada pada kisaran antara netral hingga agak suka.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ni Wayan Tri Wulandhari, dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1985 sebagai anak pertama dari Bapak I Wayan Budiastra dan Ibu Ni Nyoman Suyodhari. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi 4 Bogor pada tahun 1997. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan selesai pada tahun 2000. Penulis mengikuti pendidikan tingkat menengah atas di SMU 1 Bogor dan lulus pada tahun 2003. Bulan Juli 2003, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB melalui jalur USMI.

Selama masa kuliah, penulis aktif di berbagai kegiatan intra dan ekstra kampus. Penulis adalah anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Komunitas Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB (2003-2007), anggota Brahmacarya Bogor (2003-2007), Anggota Remaja Hindu Dharma (Rehida) Bogor (2005-2007), anggota Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia, anggota dari Music Agricultural Expression (MAX) (2005-2006).

Penulis juga aktif dalam beberapa kepanitiaan diantaranya menjadi Penanggung Jawab Keluarga (PJK) Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Angkatan 41 IPB (2004), Koordinator Acara Penerimaan Anggota Baru Brahmacarya Bogor (2004), menjadi anggota Tata Tertib (Tatib) Kegiatan Pengenalan Departemen ITP kepada mahasiswa angkatan 41 (2005), Koordinator Acara Bazar yang diselenggarakan Brahmacarya Bogor (2005), anggota panitia National Student’s Paper Competition (NSPC 2006). Penulis juga mengikuti beberapa seminar dan pelatihan, diantaranya adalah Konferensi Internasional IDF yang diselenggarakan FGW Student Forum for Milk and Milk Products tahun 2005, Seminar Buah Merah tahun 2005, Presenter dalam National Student’s Paper Competition (NSPC 2006), dan Pelatihan Auditor Hazzard Analytical Critical Control Point (HACCP) tahun 2006.

(7)
(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas segala nikmat, kemudahan, petunjuk, dan berbagai hal yang telah dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Optimasi Formulasi Sosis Berbahan Baku Surimi Ikan Patin (Pangasius pangasius) dengan Penambahan Karagenan (Eucheuma sp.) dan Susu Skim untuk Meningkatkan Mutu Sosis. Skripsi ini penulis susun dibawah bimbingan Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si. Penulis sadar dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan. Ucapan terima kasih ingin penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Papa, Mama, Yuko, Ayu, atas segala dukungan, kasih sayang, perhatian, dan

doa kepada penulis selama ini. Penulis bersyukur telah dilahirkan dalam keluarga ini.

2. Ir. Budi Nurtama, M.Agr dan Ir. Elvira Syamsir, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, bimbingan, dan saran kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.

3. Dr. Ir. Sukarno, M.Si selaku dosen penguji atas kesediaannya menguji, memberikan masukan, saran, dan koreksinya kepada penulis.

4. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Mbak Ari, Mas Edi, Teh Ida, Pak Wahid, Bu Antin, Pak Sidik, Pak Rozak, Pak Sobirin, Pak Nurwanto, Bi Cacih, Pak Taufik, dan teknisi serta laboran Departemen ITP dan SEAFAST atas segala bantuan, kesediaan untuk berbagi ilmu dan pengalaman dengan penulis selama penelitian.

5. Bli Juli, yang telah memberikan dukungan, kasih sayang, perhatian, doa, dan bantuan selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas kesabaran dan kebesaran cintanya dalam menghadapi sifat ego dari penulis.

6. Sahabat-sahabat terbaikku “Genta”; Ade, Chietra, Mona, Aan, Widhi, dan Zano yang setia menemaniku dengan sabar dalam suka dan duka selama 4 tahun ini. Hidup penulis jadi lebih bermakna karena kalian.

(10)

8. Bi Mumun, Ira, Teh Nia, Iis, Mbak Melvi, Bu Hernius, Mbah, Om Jamal, Umi Ade, yang banyak memberikan bantuan tenaga serta moril.

9. Mbak Asih, Martin, Dion, Lasty, Rina, Tathan, Kaninta, Oneth, Andrea, Rahmat, Meiko, Agnes, Fena, Dennya, Gilang, Angel, Hendi, Noor, Agus, Aji, Vina, Ari, Bos Lita, Dini, Herher, Mbak Dhani, Mbak Dorkas, Mbak Leni yang berjuang bersama-sama menyelesaikan penelitian dalam lab yang sama. 10.Teman-teman ITP 40; Idham, Tya, Jeng Yeni, Susanto, Yoga, Gading, Iin,

Astuti, Helmi, Paula, Erick, Eneng, Aca, Ados, Hanifah, Mitoel, Arga, Ekus, Hayuning, Andini, yang telah memberikan dorongan dan semangat.

11.Teman-teman ITP 41; Hans, Sucen, Tomi, Yuke, Shinta, atas kesediaannya membantu menyelesaikan penelitian ini dan semuanya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas semua kenangan indah selama ini.

Bogor, Agustus 2007

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

DAFTAR LAMPIRAN... ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. IKAN PATIN (Pangasius pangasius) ... 4

B. SOSIS IKAN ... 7

C. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN ... 10

D. KARAGENAN ... 17

1. Karakteristik Karagenan... 17

2. Karagenan sebagai Bahan Pengisi dan Pembentuk Tekstur pada Sosis Ikan... 23

E. SUSU SKIM... 26

1. Karakteristik Susu Skim... 26

2. Susu Skim pada Pembuatan Sosis... 28

F. MIXTURE EXPERIMENT... 28

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 32

A. BAHAN DAN ALAT ... 32

B. METODE PENELITIAN ... 32

1. Penelitian pendahuluan ... 32

2. Penelitian Utama ... 35

3. Penelitian Pendukung... 39

C. PROSEDUR ANALISIS... 39

1. Analisis Proksimat... 39

(12)

b. Kadar Abu Total dengan Metode Pengabuan Kering ….. 40

c. Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl-mikro... 40

d. Kadar Lemak dengan Metode Soxhlet …... 41

e. Kadar Karbohidrat dengan Metode By Difference.……... 41

2. Pengukuran Daya Iris dan Kekenyalan... 41

3. Penentuan Air Bebas yang Dikeluarkan ... 43

4. Penentuan Susut Masak (Cooking loss) ... 44

5. Penentuan Rendemen ... 44

6. Analisis Biaya Bahan Baku ... 45

7. Analisis Mikrobiologi terhadap Total Plate Count (TPC)... 45

8. Uji Organoleptik... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

A. PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN ... 47

B. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 53

1. Penetapan Bumbu ... 53

2. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Penambahan Surimi dan Air... 54

3. Penentuan Perbandingan Kappa- dan Iota-Karagenan ... 55

4. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Penambahan Karagenan ... 56

5. Penentuan Batas Minimum dan Maksimum Penambahan Susu Skim... 57

C. PENELITIAN UTAMA... 58

1. Rancangan Formulasi... 58

2. Analisis Respon... . 59

a. Analisis Respon Biaya ... 61

b. Analisis Respon Tekstur ... 66

c. Analisis Respon Rasa ... 70

d. Analisis Respon Air Bebas yang Dikeluarkan ... 74

e. Analisis Respon Cooking loss ... 79

f. Analisis Respon Daya Iris... 83

(13)

3. Optimasi Formula... 93

4. Uji Coba Formula Optimum ... 97

D. PENELITIAN PENDUKUNG ... 98

1. Uji Proksimat dan Uji Mikrobiologi ... 98

2. Uji Hedonik ... 101

a. Atribut Tekstur ... 102

b. Atribut Rasa ... 103

c. Atribut Aroma ... 104

d. Atribut Warna ... 105

e. Atribut Overall ... 106

3.Perkiraan Harga Jual Sosis Formula Optimum... 107

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 110

A. KESIMPULAN ... 110

B. SARAN ... 111

DAFTAR PUSTAKA... 112

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin... 6

Tabel 2. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak... 6

Tabel 3. Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995... 8

Tabel 4. Syarat mutu karagenan... 18

Tabel 5. Sifat-sifat karagenan... 20

Tabel 6. Kandungan protein pada susu skim... 27

Tabel 7. Nilai gizi susu skim... 27

Tabel 8. Formulasi bumbu... 33

Tabel 9. Formula sosis dengan variasi persentase surimi dan air... 33

Tabel 10. Formulasi perbandingan kappa- dan iota-karagenan... 34

Tabel 11. Setting kondisi pengukuran daya iris dan kekenyalan pada Texture Analyzer TA-XT2i... 42

Tabel 12. Rendemen surimi... 48

Tabel 13. Hasil keseluruhan respon (biaya, tekstur, rasa, WHC, cooking loss, daya iris, kekenyalan) pada 19 formula... 60

Tabel 14. Harga bahan baku sosis ikan patin………... 62

Tabel 15. Nilai respon yang diprediksikan program Design Expert version 7 98 Tabel 16. Hasil analisis proksimat dan uji TPC sosis formulaoptimum... 99

Tabel 17. Rincian biaya pembuatan sosis ikan patin formula optimum... 108

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Ikan patin (Pangasius pangasius)... 4 Gambar 2. Struktur Struktur kappa-, iota-, dan lambda-karagenan (Imeson,

2000)……….. 19 Gambar 3. Diagram alir pembuatan surimi (modifikasi dari Erdiansyah,

2006) ……… 37 Gambar 4. Diagram alir pembuatan sosis ikan patin (modifikasi dari

Erdiansyah, 2006)………. 38 Gambar 5. Probe pisau dan probe tumpul... 43 Gambar 6. Grafik pengukuran daya iris dan kekenyalan dengan Texture

Analyzer TA-XT2i... 43 Gambar 7. Uji hedonik terhadap parameter rasa pada variasi persentase

bumbu... 54 Gambar 8. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi

persentase surimi dan air... 55 Gambar 9. Uji hedonik terhadap parameter tekstur pada variasi

perbandingan jenis karagenan... 56 Gambar 10. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi

persentase karagenan... 57 Gambar 11. Uji penerimaan terhadap parameter tekstur pada variasi

persentase susu skim... 58 Gambar 12. Grafik kenormalan Internally Student Residual respon biaya

(RM cost)………... 64

Gambar 13. Grafik countour plot hasil uji respon biaya (RM cost)………….. 65 Gambar 14. Grafik tiga dimensi hasil uji respon biaya (RM cost)……… 65 Gambar 15. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon

(16)

Gambar 20. Grafik tiga dimensi hasil uji respon rasa………... 73

Gambar 21. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon air bebas yang dikeluarkan ...………. 77

Gambar 22. Grafik countour plot hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan 78 Gambar 23. Grafik tiga dimensi hasil uji respon air bebas yang dikeluarkan.. 78

Gambar 24. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon cooking loss………... 82

Gambar 25. Grafik countour plot hasil uji respon cooking loss………... 82

Gambar 26. Grafik tiga dimensi hasil uji respon cooking loss………. 83

Gambar 27. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon daya iris……….. 86

Gambar 28. Grafik countour plot hasil uji respon daya iris………. 87

Gambar 29. Grafik tiga dimensi hasil uji respon daya iris………... 88

Gambar 30. Grafik kenormalan Internally Studentized Residual respon kekenyalan……… 91

Gambar 31. Grafik countour plot hasil uji respon kekenyalan………. 92

Gambar 32. Grafik tiga dimensi hasil uji respon kekenyalan... 92

Gambar 33. Grafik countour plotdesirability formula optimum………. 96

Gambar 34. Grafik tiga dimensi desirability formula optimum... 97

Gambar 35. Sosis ikan patin formula optimum (O) dengan sosis ikan komersil (K1, K2, K3)... 101

Gambar 36. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan komersil untuk atribut tekstur... 102

Gambar 37. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut rasa... 103

Gambar 38. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut aroma... 104

Gambar 39. Hasil uji hedonik sosis optimum dan komersil untuk atribut warna... 105

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil uji hedonik pada penetapan bumbu... 119

Lampiran 2. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan surimi dan air... 119

Lampiran 3. Skor kesukaan pada penetapan perbandingan jenis karagenan... 119

Lampiran 4. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum penambahan karagenan... 120

Lampiran 5. Hasil uji penerimaan pada penetapan kisaran maksimum dan minimum susu skim... 120

Lampiran 6. Hasil perhitungan rendemen surimi ikan patin... 120

Lampiran 7. Hasil uji proksimat dan uji mikrobiologi sosis formula optimum 120 Lampiran 8. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon biaya (RM cost)... 121

Lampiran 9. Fits summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon tekstur... 122

Lampiran 10.Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon rasa respon rasa... 123

Lampiran 11.Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon air bebas yang dikeluarkan... 124

Lampiran 12.Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon cooking loss... 125

Lampiran 13.Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon daya iris... 126

Lampiran 14.Fit summary, ANOVA, dan persamaan polinomial respon kekenyalan... 127

Lampiran 15.Numerical optimation sosis formula optimum……….. 128

Lampiran 16. Point Prediction sosis formula optimum……….. 129

Lampiran 17. Form uji hedonik sosis ikan patin pada tahap optimasi... 130

(18)

Lampiran 19. Form uji hedonik sosis ikan formula optimum dengan sosis ikan

komersil untuk atribut overall... 132

Lampiran 20. Hasil uji hedonik sosis formula optimum dan sosis K1 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna... 133

Lampiran 21. Hasil uji hedonik sosis K2 dan sosis K3 untuk atribut tekstur, rasa, aroma, dan warna... 134

Lampiran 22. Hasil uji hedonik atribut overall sosis optimum, sosis K1, sosis K2, dan sosis K3... 135

Lampiran 23. Tabel ANOVA untuk atribut tekstur………. 136

Lampiran 24. Tabel ANOVA untuk atribut rasa………. 137

Lampiran 25. Tabel ANOVA untuk atribut aroma……….. 138

Lampiran 26. Tabel ANOVA untuk atribut warna……….. 139

(19)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia adalah negara kepulauan dengan potensi perikanan yang yang

cukup besar. Budidaya ikan air tawar, terutama ikan patin termasuk salah satu

diantara sekian banyak potensi perikanan di Indonesia yang menyumbang

produksi ikan yang cukup besar. Produksi total perikanan budidaya secara

nasional pada 2004 mencapai 1.48 juta ton, di mana produksi ikan patin di

Indonesia pada tahun 2004 sebesar 24000 ton dari total produksi perikanan

budidaya air tawar yang mencapai 488000 ton (Anonim, 2006 (c)).

Ikan patin merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidayakan

sepanjang aliran sungai, danau dan perairan umum lainnya di Indonesia dan

banyak di jumpai di daerah Jambi, Riau dan Sumatera Selatan. Dari hasil

evaluasi di lapangan menunjukan bahwa ikan ini mempunyai karakter yang

menguntungkan untuk budidaya dan bisa mencapai ukuran yang lebih besar

dari 20 kg bobot badan. Oleh karenanya ikan patin mulai diproduksi massal

sejak tahun 2002 sehingga budidaya patin jambal dapat dijadikan alternatif

komoditi air tawar untuk di masa mendatang. Secara teknis pemeliharaan

ikan ini tidak sulit, sehingga dapat dibudidayakan semua orang (Anonim,

2006 (b)).

Namun, produk yang melimpah ternyata belum dikelola dengan baik.

Justru kecendrungan persaingannya makin ketat yang juga makin tak sehat

karena segmen pasar ikan segar amat terbatas. Padahal, potensi perikanan

budidaya maupun perikanan tangkap di Riau hingga saat ini baru

dimanfaatkan sekitar 20 persen. Selama ini hasil budidaya ikan patin hanya

dipasarkan di kota-kota di Riau dan terjauh hanya sampai Provinsi Jambi.

Ikan patin dipasarkan berupa ikan segar sehingga daya tahan fisiknya amat

terbatas (Anonim, 2006 (b)).

Pemilihan pengolahan ikan patin menjadi produk sosis karena sosis

merupakan salah satu produk olahan daging yang cukup populer di kalangan

masyarakat Indonesia. Sosis merupakan produk olahan daging yang digiling

(20)

1984). Sosis yang digemari oleh masyarakat Indonesia adalah sosis segar

yang dimasak (digoreng) dan disajikan panas sebelum dikonsumsi.

Sayangnya karakteristik daging ikan berbeda dengan daging sapi

maupun daging ayam. Daging ikan memiliki tekstur yang lebih lembut

sehingga sosis yang dihasilkan pun berbeda daripada sosis yang dikenal

masyarakat. Ada beberapa karakteristik yang harus dipenuhi untuk dapat

dikatakan sosis yang baik. Sosis umumnya memiliki memiliki tekstur kenyal,

cooking lost rendah, WHC yang tinggi sehingga memiliki juiceness yang baik, daya irisnya baik, dan memiliki rasa yang dapat diterima oleh

konsumen. Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan paling penting bagi

konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita rasa, flavor, atau warna

(Lawrie, 1961).

Karagenan merupakan salah satu potensi alternatif bahan pengisi

sekaligus pembentuk tekstur pada sosis yang belum termanfaatkan.

Karagenan adalah polisakarida berantai lurus yang diekstrak dari berbagai

rumput laut merah (Rhodophycae). Jenis Rhodophycae yang umum digunakan dalam produksi komersial karagenan adalah Eucheuma sp. termasuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum (Imeson, 2000). Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas dengan potensi pertumbuhan

rumput laut yang cukup besar. Daerah-daerah yang berpotensi menghasilkan

rumput laut adalah Kepulauan Seribu, perairan pantai di Kepulauan Riau,

Bengkulu, Bangka, Sumatera Barat, Kepulauan Sulawesi tenggara, Bali

Selatan dan Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Maluku, Lombok

dan Irian (Darmajana et al., 2007). Produksi rumput laut di Indonesia pada tahun 2006 mencapai 1.07 juta ton (Anonim, 2007 (c)). Rumput laut yang

banyak dibudidayakan di Indonesia adalah jenis Eucheuma cottoni yang merupakan penghasil karagenan (Atmadja, 1988 yang dikutip Herminiati et al. 2007). Oleh karena itu, karagenan dapat diperoleh dalam jumlah melimpah dengan harga murah.

Karagenan banyak digunakan sebagai bahan tambahan dalam industri

makanan, minuman, farmasi, keramik, tekstil, dan kosmetik (Herminiati et al.,

(21)

yang sedikit untuk memperoleh efek yang besar sebagai bahan pengental

maupun pembentuk gel (Nussinovitch, 1997).

Karagenan memiliki sifat yang unik, yaitu dapat membentuk gel yang

baik bila berinteraksi dengan ion K+ dan Ca2+ sehingga banyak digunakan

sebagai pengental, pensuspensi, pembentuk tekstur emulsi dan penstabil pada

berbagai makanan dan minuman, termasuk produk olahan daging (Imeson,

2000).

Pemilihan karagenan sebagai bahan pengisi sosis ikan patin dirasa tepat

karena secara alami, ikan patin tersebut memiliki kandungan K+ dan Ca2+

yang cukup bagi karagenan untuk membentuk gel (Depkes RI, 2001).

Penambahan susu skim dapat lebih memperkuat pembentukan gel sekaligus

dapat meningkatkan nilai gizi, kehalusan, dan flavor dari sosis karena kandungan laktosa dalam susu bubuk skim dapat memperbaiki dan

melengkapi aroma dari sosis sedangkan protein kasein dan albumin dari susu

bubuk skim dapat meningkatkan nilai gizi dan aroma sosis (Karmas, 1976).

Jenis karagenan yang digunakan pada penelitian ini adalah dari golongan

Eucheuma sp. yaitu kappa-karagenan dan iota-karagenan. Iota-karagenan bereaksi secara kuat dengan adanya kation kalsium membentuk gel elastis

yang lunak dan tidak mengalami sineresis sedangkan kappa-karagenan dapat

mengembang bila bereaksi dengan ion Ca2+ dan K+ (Fardiaz, 1989).

Pemanfaatan sifat pengembangan ini dapat mengefisienkan penggunaan

bahan baku ikan sehingga dapat mengurangi cost industri sekaligus meningkatkan mutu fisik dan mutu organoleptiknya.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengoptimasi penggunaan surimi, air,

karagenan, dan susu skim dalam pembuatan sosis ikan patin sehingga

diperoleh respon biaya (RM cost), respon subyektif (tekstur dan rasa), respon obyektif (air bebas yang dikeluarkan, cooking loss, daya iris, dan kekenyalan) yang optimal, serta mengetahui posisi produk formula optimum jika

(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. IKAN PATIN (Pangasius pangasius)

Ikan patin merupakan ikan berkumis air tawar yang terdapat di seluruh

Asia Selatan dan Asia Tenggara. Ikan patin memiliki badan memanjang

berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan.

Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar

untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin relatif kecil dengan mulut

terletak agak di sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan

golongan catfish atau keluarga lele. Pada sudut mulutnya terdapat terdapat dua pasang sungut yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri, 1996).

Gambar 1. Ikan patin (Pangasius pangasius)

Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi

patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari

lunak sirip punggung terdapat enam atau tujuh buah. Terdapat sirip lemak

pada punggungnya yang berukuran sangat kecil. Sirip ekornya berbentuk

cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak memiliki sisik. Sirip duburnya

panjang, terdiri dari 30-33 jari-jari lunak sedangkan sirip perutnya memiliki

enam jari lunak. Sirip dada memiliki 12-13 jari lunak dan sebuah

jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil (Susanto

(23)

Menurut Susanto dan Amri (1996), ikan patin bersifat nokturnal

(melakukan aktivitas di malam hari hari) sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Selain itu, ikan patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi

sungai habitat hidupnya. Hal yang membedakan patin dengan ikan catfish pada umumnya yaitu sifat patin yang termasuk omnivora atau golongan ikan

pemakan segala. Di alam, makanan ikan ini antara lain ikan-ikan kecil

lainnya, cacing, detrifus, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil, dan

molusca. Ikan patin termasuk ikan dasar. Hal ini bisa dilihat dari bentuk

mulutnya yang agak ke bawah.

Klasifikasi dan identifikasi ikan patin menurut Saanin (1984) adalah

sebagai berikut :

Phyllum : Chordata

Sub Phyllum : Vertebrata

Kelas : Pisces

Sub Kelas : Teleostei

Ordo : Ostariophysi

Sub Ordo : Siluroidea

Famili : Pangasidae

Genus : Pangasius

Spesies : Pangasius pangasius

Habitat dari ikan patin ini adalah di sungai-sungai besar dan

muara-muara sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Menurut

Khairuman dan Sudenda (2002), di Indonesia saat ini sedikitnya terdapat dua

jenis ikan patin yang populer dan banyak dipelihara di kolam budidaya, yaitu

patin lokal (Pangasius pangasius) dan patin siam (Pangasius hypotalamus). Patin lokal terdiri atas patin jambal (Pangasius djambal Bleeker) dan patin kunyit (ditemukan di sungai-sungai besar Riau).

Komposisi kimia ikan bervariasi tergantung dari spesies, jenis kelamin,

umur, musim penangkapan, kondisi ikan, dan habitat (Zaitsev et al.,1969). Komposisi kimia ikan patin per 100 gram daging ikan dapat dilihat pada

(24)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan protein ikan patin sebesar 17% dan kandungan lemaknya 6.6%. Bila dilihat dari kandungan

komposisi protein dan lemaknya, ikan patin tergolong ikan berprotein tinggi

dan berlemak sedang. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan

lemaknya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin Komposisi Kimia %bb

Air 74.4

Protein 17

Lemak 6.6

Abu 0.9

Sumber : Depkes RI, 2001

Tabel 2. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan protein dan lemak Tipe Protein

B. Protein tinggi, lemak sedang 15-20 5-15 Salmon

C. Protein rendah, lemak tinggi <5 >15 Trout

D. Protein sangat tinggi, lemak rendah >20 <5 Tuna

E. Protein rendah, lemak rendah <15 <5 Oyster

Sumber : Junianto, 2003

Daging ikan patin memiliki karakteristik rasa yang sangat khas. Dari

semua jenis ikan keluarga lele-lelean, rasa daging patin termasuk yang paling

enak, sangat gurih, dan lezat sehingga digemari olah masyarakat. Penyebaran

konsumen penggemar daging patin tidak hanya sebatas di Indonesia saja

tetapi sudah sampai ke negara-negara Eropa, Amerika, dan beberapa negara

Asia, sehingga ikan ini berpeluang untuk diekspor (Khairuman dan Sudenda,

2002).

Selama ini, untuk memenuhi permintaan konsumen di luar negeri hanya

(25)

dalam bentuk fillet (Khairuman dan Sudenda, 2002). Dengan menerapkan teknologi pengolahan pangan yang kita miliki, peluang tersebut dapat kita

manfaatkan, tidak hanya dalam bentuk fillet, tetapi juga dalam bentuk produk olahan ikan patin lainnya.

B. SOSIS IKAN

Sosis atau sausage awalnya berasal dari kata Latin ”salsus” yang berarti menggiling dengan garam. Istilah tersebut sesuai dengan tujuan awal

pembuatan sosis yaitu untuk mengawetkan daging segar. Sosis adalah daging

cincang atau daging giling yang diberikan sedikit pengawet berupa garam lalu

ditambahkan bahan-bahan lainnya seperti bumbu-bumbu, bahan pengikat, dan

air yang kemudian dibentuk dengan ukuran yang sama dengan menggunakan

casing sehingga membentuk silinder (Bull, 1951).

Menurut Kramlich et al.(1973) sosis adalah produk daging olahan yang diberi garam dan kadang-kadang ditambahkan bumbu. Menurut Bukle et al. (1987) sosis adalah bahan pangan yang berasal dari potongan kecil-kecil

daging yang digiling dan diberi bumbu, yang dapat langsung disiapkan dan

segera dimasak untuk dimakan. Menurut BSN (1995), yang dimaksud dengan

sosis daging adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran daging

halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati

dengan atau tanpa penambahan bumbu dan bahan tambahan makanan lain

yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam selubung sosis. Syarat mutu sosis

daging menurut SNI 01-3820-1995 dapat dilihat pada Tabel 3.

Sosis dapat dibuat dari berbagai macam daging, antara lain daging sapi,

babi, dan ayam (Pawitan, 1974), ikan tongkol (Ismargini, 1975), ikan cucut

(Effie, 1980) yang digiling, ditambah lemak, air, dan bumbu sehingga

membentuk emulsi sosis. Hampir semua jenis ikan dapat dibuat sosis.

Ikan-ikan ini dipilih karena kemampuannya untuk dijadIkan-ikan sosis dan jumlahnya

yang banyak. Daging ikan yang biasa digunakan berbentuk lempengan atau

lembaran yang biasa disebut fillet, daging lumat, dan surimi (Erdiansyah, 2006). Sosis yang dibuat pada penelitian ini adalah sosis ikan yang terbuat

(26)

Tabel 3. Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

7 Bahan tambahan makanan

Sesuai dengan SNI

01-0222-10.2 Bakteri pembentuk koli APM/g Maks 10

10.3 Eschericia coli APM/g <3

10.4 Enterococci Koloni/g 102

10.5 Clostridium perfringens - Negatif

10.6 Salmonella - Negatif

10.7 Staphilococcus aureus Koloni/g Maks 102

(27)

Menurut Departemen Pertanian dan Kehutanan Jepang, yang disebut

sosis ikan adalah daging ikan giling atau campuran daging ikan giling dengan

daging babi, sapi, domba, kuda, kelinci, atau ayam, dengan penambahan

lemak, bumbu, pati, dimasukkan ke dalam casing kemudian dikukus atau direbus, dapat diasap atau tidak diasap (Tanikawa, 1971).

Soeparno (1994) membagi sosis menjadi beberapa jenis, yaitu (1) sosis

segar yang dibuat daging segar, tidak dikuring (tidak dilakukan

penggaraman), dicacah, dilumatkan atau digiling, diberi garam dan

bumbu-bumbu, dimasukkan dan dipadatkan di dalam selongsong serta harus dimasak

sebelum dimakan, (2) sosis masak yang dibuat dari daging segar, bisa

dikuring atau tidak, dimasukkan dan dipadatkan dalam selongsong, tidak

diasap, dan setelah dibuat harus segera dimakan, (3) sosis spesialis daging

masak yang dibuat dari daging khusus, dikuring atau tidak dikuring, dimasak

dan jarang diasap, sering dibuat dalam bentuk batangan atau daging loaf, dan

biasa dijual dalam bentuk irisan-irisan yang dipak atau dibungkus, dapat

dikonsumsi dalam keadaan dingin, (4) sosis kering dan agak kering yang

dibuat dari daging yang dikuring dan dikeringkan udara, dapat diasap

sebelum pengeringan, serta dapat dikonsumsi dalam keadaan dingin atau

setelah masak.

Menurut Taylor (2002) yang dikutip Erdiansyah (2006) sosis ikan dibuat

menyerupai pembuatan sosis yang terbuat dari daging. Pada dasarnya

pencampuran daging ikan yang didapat dari lembaran fillet ikan, ditambahkan dengan bumbu dan bahan-bahan aditif ke dalam casingnya.

Sosis merupakan salah satu produk emulsi minyak dalam air (o/w)

dengan protein sebagai emulsifier. Pada suatu emulsi, biasanya terdapat tiga bagian utama, yaitu bagian yang terdispersi yang terdiri dari butir-butir

lemak, bagian kedua disebut media pendispersi yang dikenal sebagai

continous phase, biasanya terdiri dari air, dan bagian ketiga adalah emulsifier yang berfungsi menjaga agar butir minyak tadi tetap tersuspensi di dalam air.

Molekul-molekul emulsifier mempunyai afinitas terhadap kedua cairan tersebut. Daya afinitasnya harus parsial dan tidak sama terhadap kedua cairan

(28)

Pada sistem emulsi daging ikan, protein yang paling berperan sebagai

emulsifier adalah protein larut garam dan protein larut air. Protein yang larut garam pada daging ikan adalah protein miofibril yang terdiri atas protein

struktural (aktin, miosin, dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin,

tropomiosin, dan aktinin). Protein miofibril merupakan bagian terbesar

protein ikan yaitu sekitar 66-77% dari total protein ikan dan bila

dibandingkan daging mamalia dan unggas, daging ikan mengandung protein

miofibril yang terbanyak. Miofibril ini sangat berperan dalam penggumpalan

dan pembentukan gel pada daging ikan (Suzuki, 1981).

Sedangkan menurut Suzuki (1981), protein yang larut air adalah

sarkoplasma yang mengandung miogen. Kandungan protein sarkoplasma

pada ikan tergantung pada jenis ikan dan biasanya terdapat dalam jumlah

sekitar 10% dari total protein ikan. Protein ini harus dihilangkan karena dapat

menghambat pembentukan gel.

Setiap globula lemak dalam emulsi daging diselimuti protein daging

yang terlarut. Protein akan membentuk suatu matriks yang menyelubungi

butiran lemak sehingga globula lemak tidak mudah terpisah dari sistem

(Wilson et al., 1981).

C. BAHAN-BAHAN PEMBUATAN SOSIS IKAN PATIN

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging

ikan patin, es batu, garam, lemak nabati, bahan pengikat (isolat protein

kedelai, susu skim), bahan pengisi (tepung tapioka, tepung kappa- dan

iota-karagenan), fosfat (STPP), bumbu-bumbu (bawang putih, bawang merah,

jahe, pala, merica, dan MSG) dan casing.

Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan sosis ikan adalah daging

ikan. Berbagai ikan tuna banyak digunakan karena warna dagingnya yang

tetap bertahan pada produk akhir (Suzuki, 1981). Tapi sayangnya ikan tuna

relatif mahal sehingga pembuatannya dapat menghabiskan banyak cost. Sebagai pengganti tuna, dapat digunakan ikan patin yang tersedia cukup

melimpah dengan harga terjangkau dan memiliki rasa daging yang enak,

(29)

daging ikan putih yang telah dipisahkan dan dibersihkan dari kepala, kotoran,

sirip, dan tulang (Erdiansyah, 2006).

Daging ikan merupakan bahan utama dalam pembuatan sosis sehingga

peranannya sangat menentukan produk sosis yang dihasilkan. Protein daging

ikan yang larut dalam larutan garam (protein miofibril) lebih berperan dalam

pembentukan emulsi dibandingkan protein yang larut dalam air murni.

Pembuatan sosis ikan didahului pembuatan surimi yang merupakan

produk antara yang kemudian akan diolah lebih lanjut menjadi sosis ikan.

Menurut BSN (1992), surimi adalah produk olahan perikanan berupa sayatan

daging ikan yang telah mengalami proses pencucian (leaching), pengurangan kandungan air, penambanahan bahan tambahan, dan umumnya mengalami

proses pengepakan, pembekuan, dan penyimpanan beku. Menurut Suzuki

(1981) , surimi merupakan produk olahan yang terbuat dari daging ikan lumat

yang telah diekstrak dengan air dan diberi bahan anti denaturasi, lalu

dibekukan. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan bahan mentah hampir

dari semua jenis ikan, sehingga sangat bermanfaat dalam pengolahan

ikan-ikan bernilai ekonomi rendah (Koswara, 2006).

Surimi merupakan produk antara atau bahan baku untuk pembuatan

produk selanjutnya, antara lain bakso, sosis, kamaboko, ham ikan, “chikuwa”,

“fish stick”, “agemono”, “detemaki”, dan beberapa produk imitasi seperti

telur, kaki atau daging kepiting, udang, daging kerang, daging sapi dan

lain-lain (Koswara, 2006). Sebagai bahan penyusun produk olahan, surimi

merupakan sumber protein bernutrisi yang berkualitas dan sangat fungsional

(Lee et al., 1988). Surimi juga merupakan sumber protein yang murah (Anonim, 2006 (a)). Menurut Suzuki (1981), ada dua tipe surimi yang biasa

dibuat, yaitu surimi yang dibuat tanpa penambahan garam (mu-en surimi) dan

surimi yang dibuat dengan penambahan garam (ka-en surimi). Pembuatan

surimi terlebih dahulu sebelum diolah menjadi sosis ikan sangat penting

karena mampu menekan cooking loss hingga 0.21-0.27%, meningkatkan nilai kekerasan hingga 17.89-16.53%, dan meningkatkan nilai kekenyalan hingga

15.27-15.42%. Bahkan setelah surimi mengalami penyimpanan beku sampai

(30)

kekenyalan, yang tidak dapat dipertahankan oleh fillet dan daging giling (Erdiansyah, 2006).

Surimi yang dikehendaki adalah yang berwarna putih, mempunyai

flavor (cita rasa) yang baik dan berelastisitas tinggi (Koswara, 2006).

Kemampuan pembentukan gel dari ikan merupakan sifat yang paling penting

dalam pemilihan bahan baku surimi (Claus et al., 1994).

Meskipun semua jenis ikan dapat diolah menjadi surimi, tetapi ada

beberapa syarat bahan baku ikan yang disarankan, yaitu hidup diperairan

dingin, ikan demersal lebih baik digunakan, dan ikan air tawar pada

umumnya tidak sesuai untuk dibuat surimi, dan lebih baik jika digunakan

daging putih ikan (Koswara, 2006).

Selain itu makin segar ikan yang digunakan, elastisitas teksturnya makin

tinggi. Nilai pH ikan yang terbaik untuk surimi adalah 6.5 – 7.0 dan

sebaiknya ikan tersebut berlemak rendah. Untuk ikan yang berlemak tinggi,

lemak tersebut harus diekstrak atau dikeluarkan lebih dulu karena akan

berpengaruh terhadap daya gelatinisasi dan menyebabkan produk mudah

tengik (Koswara, 2006 ).

Hasil-hasil perikanan mudah mengalami kerusakan disebabkan

terjadinya autolisis dan akibat adanya pertumbuhan mikroba. Aktifitasnya

menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya menurun. Penggunaan

suhu rendah dapat digunakan untuk mempertahankan kesegaran serta

mempertahankan sifat-sifat asli dari ikan (Hadiwiyoto, 1993). Oleh karena

itu, surimi yang juga merupakan hasil olahan produk perikanan perlu

dilakukan penyimpanan suhu rendah untuk menjaga kesegaran, terutama

untuk surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk akhir.

Surimi yang tidak langsung diolah dan mengalami penyimpanan beku

yang lama, protein miofibrilarnya mudah terdenaturasi yang menyebabkan

kerusakan kemampuan gel. Maka dari itu perlu ditambahkan bahan

antidenaturasi (kryoprotektan). Umumnya bahan antidenaturasi yang

digunakan pada pembuatan surimi yang cukup lama disimpan untuk diolah

menjadi sosis berupa sukrosa, sorbitol, dan polifosfat. Penambahan sukrosa

(31)

polifosfat berfungsi mengurangi drip, mengurangi penyusutan pemasakan dan menstabilkan emulsi. Jumlah bahan antidenaturasi yang biasa ditambahkan

adalah 4-5% sorbitol, 4-5% sukrosa, dan 0.2-0.3% Na-Polifosfat (Suzuki,

1981).

Bahan lain yang ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan adalah garam.

Garam merupakan salah satu faktor penting dalam pembuatan sosis untuk

menghasilkan emulsi, di mana protein daging berupa miosin dilarutkan dan

dikeluarkan dari serat-serat daging sehingga dapat mempertinggi daya ikat

pertikel daging. Menurut Wilson et al. (1981), larutan garam mempercepat kelarutan protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Tanpa

penambahan garam, tidak akan terbentuk emulsi sosis dan biasanya sosis

mengandung garam 1-5% atau 3% (Kramlich, 1971). Garam pada konsentrasi

yang cukup juga bersifat sebagai pengawet, membentuk tekstur produk,

menambah cita rasa dan flavour yang diinginkan (Soeparno, 1994).

Air merupakan salah satu komponen dalam pembuatan sosis dengan

kandungan sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung jumlah cairan

yang ditambahkan dan macam daging (Soeparno, 1994). Penambahan air atau

es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan

pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil (Lawrie, 1961).

Protein miosin ini hanya dapat larut pada suhu 4-5 oC sehingga sangat penting

menggunakan air dingin atau air es (Kramlich et al., 1973) . Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih

merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan

penampakan (Winarno, 1979).

Penambahan lemak dalam pembuatan sosis bertujuan membentuk sosis

yang kompak, meningkatkan keempukan sosis, melembutkan tekstur sosis

dan meningkatkan flavor. Menurut Swift et al. (1968) yang dikutip Hapsari (2002) penambahan lemak secara perlahan-lahan dapat memperbaiki stabilitas

emulsi yang dihasilkan. Minyak nabati maupun minyak hewani dapat

(32)

emulsi daripada lemak hewani karena lemak nabati lebih banyak mengandung

asam lemak tidak jenuh (oleat, linoleat) daripada lemak hewani.

Jumlah lemak yang ditambahkan harus seimbang. Lemak yang terlalu

banyak akan menghasilkan sosis yang tidak enak dengan permukaan sosis

menjadi keriput setelah dimasak karena sebagian lemak terpisah dari emulsi

sedangkan penggunaan lemak yang terlalu sedikit akan menghasilkan sosis

yang keras dan kering. Menurut Romans et al. (1994), jumlah penambahan lemak dalam pembuatan sosis dibatasi untuk mempertahankan tekstur selama

pengolahan dan penanganannya, lemak yang ditambahkan tidak boleh lebih

dari 30% bobot daging. Penambahan lemak untuk pembuatan sosis ikan

rata-rata 5 % (Amano, 1965) sedangkan menurut Tanikawa (1971) lemak yang

dapat ditambahkan dalam pembuatan sosis ikan antara 7-10 %. Menurut

penelitian Hapsari (2002), penggunaan kadar minyak nabati (10%, 15%,

20%) pada sosis ikan patin berpengaruh nyata terhadap warna dan rasa sosis

tapi tidak berpengaruh nyata terhadap tekstur dan aroma. Sosis patin terbaik

menurut penilaian panelis adalah sosis patin dengan kadar minyak 15%.

Karena biasanya daging ikan yang digunakan untuk membuat sosis ikan

pada umumnya daging kurus yang mempunyai kandungan lemak rendah

maka lemak biasa ditambahkan ke dalam emulsi daging (Amano, 1965).

Penahanan lemak selama sosis dimasak tergantung dari komposisi sosis dan

cara pembuatannya dan bukan akibat dari fosfat yang ditambahkan (Sherman,

1961 yang dikutip Effie, 1980). Penambahan minyak ke dalam pasta ikan

akan menurunkan elastisitas pasta ikan (Tanikawa, 1971) dan juga dapat

menurunkan elastisitas sosis ikan yang dihasilkan.

Maksud penambahan bahan pengikat dan bahan pengisi dalam

pembuatan sosis adalah untuk meningkatkan stabilitas emulsi, meningkatkan

daya ikat air, meningkatkan flavor, mengurangi pengerutan selama

pemasakan, meningkatkan karakteristik irisan produk, dan mengurangi biaya

produksi (Kramlich et al., 1973). Bahan pengisi yang biasa digunakan adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung terigu, dan tepung beras sedangkan

bahan pengikat yang biasa digunakan adalah kasein, albumin, susu skim, dan

(33)

bahan pengikat dan bahan pengisi terletak pada kemampuannya mengemulsi

lemak. Bahan pengikat mengandung protein lebih besar dibandingkan dengan

bahan pengisi yang mengandung lebih banyak kerbohidrat.

Bahan pengisi berfungsi sebagai pengisi ruang antar globula lemak

sehingga sistem emulsi akan menjadi lebih stabil. Bahan pengisi ini dalam

proses gelatinisasi dapat mengikat lebih banyak air, sedangkan air dapat

membantu melarutkan garam dan meningkatkan jumlah protein yang

terekstrak. Dengan demikian, produk yang dihasilkan akan menjadi tampak

lebih berisi, bertekstur baik, dan menarik perhatian konsumen (Soeparno,

1994).

Menurut Kramlich (1971) bahan pengikat dapat diklasifikasikan menurut

asalnya, yaitu dari hewan serta dan tumbuhan. Bahan pengikat dari hewan

antara lain susu bubuk tanpa lemak (skim), susu bubuk tanpa lemak tapi

kalsiumnya dikurangi, sodium caseinat, tepung darah sedangkan bahan

pengikat yang berasal dari tumbuhan biasanya adalah produk olahan kedelai.

Menurut Soeparno (1994), produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat

dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan

pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini

dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk.

Pemilihan bahan pengikat dan pengisi yang digunakan dilakukan

berdasarkan daya serap yang baik terhadap air, rasanya yang enak,

pembentukan warna yang baik, dan harga yang relatif murah (Wilson, 1960).

Penambahan bahan pengisi dalam pembuatan sosis ikan sebanyak 10 %

(Tanikawa, 1971) dan menurut Amano (1965) sebanyak 5-10 %. Tepung

tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam

pembuatan sosis. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena di

samping harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna

terang pada produk sosis (Radley, 1976). Menurut Hermawan (2002),

berdasarkan uji oeganoleptik, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10%

tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna,

tekstur, aroma, dan rasa dari produk kamaboko ikan lele dumbo. Menurut

(34)

0%, 2.5%, 5%, 7.5%, dan 10% tidak memberikan pengaruh yang nyata

terhadap nilai kekenyalan gel kamaboko ikan tambakan. Menurut Anggraini

(2002), semakin tinggi konsentrasi tapioka yang ditambahkan belum tentu

meningkatkan kekenyalan gel kamaboko. Baik perlakuan setting, konsentrasi

tepung tapioka (0%, 5%, 15%) dan interaksi keduanya tidak memberikan

pengaruh yang nyata terhadap kekenyalan produk kamaboko ikan bawal air

tawar. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati

tidak meningkatkan elestisistas gel (Niwa, 1992).

Polifosfat (STPP) berfungsi memperbaiki stabilitas warna, mengurangi

kehilangan cairan selama pemasakan, mengurangi waktu pemasakan,

melarutkan protein larut garam sehingga memperbaiki sifat emulsifikasi,

meningkatkan water holding capacity (WHC), dan memperbaiki pengikatan protein ketika pemanasan. Penambahan polifosfat pada gel ikan mentah

bertujuan memperbaiki kekenyalan pada produk akhir. Konsentrasi polifosfat

sebesar 0.2-0.5% dari berat daging ikan cukup efektif dalam memberikan efek

terhadap tekstur sosis ikan (Amano, 1965). Polifosfat jika ditambahkan pada

produk sosis akan meningkatkan daya ikat air dan daya ikat lemak dari gel

yang terbentuk (Schmidt, 1988 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Pengaruh

penambahan polifosfat ini bervariasi tergantung pada suhu pemasakan.

Kekenyalan meningkat bila suhu pemasakan di bawah 80oC dan menurun

tajam pada suhu pemasakan 90oC akibat denaturasi protein daging pada suhu

yang lebih tinggi (Amano, 1965).

Bumbu-bumbu yang ditambahkan dalam pembuatan sosis dimaksudkan

untuk menambah cita rasa sesuai selera konsumen. Bumbu yang digunakan

dalam pembuatan sosis adalah merica, bawang putih, bawang merah, pala,

jahe, dan MSG. Menurut Soeparno (1994), penambahan bahan penyedap dan

bumbu, terutama ditujukan untuk menambah atau meningkatkan rasa, karena

bahan penyedap dapat meningkatkan dan memodifikasi flavour yang berbeda. Beberapa bumbu ini bersifat sebagai antioksidan sehingga dapat menghambat

ketengikan serta memiliki aktivitas antimikroba sehingga dapat menghambat

(35)

Casing berfungsi sebagai wadah pembentuk sosis dan menentukan bentuk dan ukuran sosis. Karakteristik casing akan berpengaruh terhadap kualitas sosis yang dihasilkan. Casing yang umum digunakan dalam industri adalah casing sintesis dan casing collagen. Penggunaan casing ini menggantikan casing alami dari usus hewan yang bersifat kurang awet dan keseragaman ukuran yang rendah. Casingcollagen terbuat dari agar-agar atau kulit hewan sehingga dapat dimakan sedangkan casing sintesis umumnya terbuat dari plastik polyamid sehingga tidak dapat dimakan. Ada juga casing sintesis yang terbuat dari film vinylidene kloroda dan rubber hidroklorida yang bisa tahan pada suhu pemasakan 100oC selama 1-2 jam. Film vinylidene kloroda bersifat kurang permeable, transparan, dan tidak bereaksi secara kimia tetapi kurang tahan terhadap kerusakan mekanik. Film rubber hidroklorida lebih elastis dan kuat tetapi tidak transparan dan kurang permeable terhadap gas (Suzuki, 1981). Penggunaaan casing-casing sintesis ini lebih menguntungkan karena karakteristiknya (pori, ketahanan panas)

dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, dapat diprinting atau diwarnai, dan keseragaman ukurannya tinggi.

D. KARAGENAN

1. Karakteristik Karagenan

Karagenan adalah polisakarida berantai lurus dari D-galaktosa dan

3,6-anhidro-D-galaktosa yang mengandung sulfat yang diekstrak dari

berbagai rumput laut merah (Fardiaz, 1989). Menurut Towle (1973) yang

dikutip Nussinovitch (1997), karagenan dihasilkan dari rumput laut yang

diekstraksi dengan air atau larutan alkali panas yang diikuti proses

dekolorisasi dan pengeringan. Karagenan diekstrak dari spesies tertentu

kelas Rhodophyceae (alga merah), umumnya dari marga Eucheuma, yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma spinosum, dan Chondrus crispus.

Menurut Hellebust et al. (1978) yang dikutip Mukti (1987), karagenan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks

intraselulernya dan karagenan merupakan bagian penyusun yang terbesar

(36)

Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida

Rhodophyceae. Karagenan yang boleh diaplikasikan dalam makanan adalah ekstrak dari Rhodophyceae dengan kandungan ester sulfat sebanyak sama atau lebih dari 20%, dengan ikatan α-(1,3) dan -(1,4) glikosidik

(Nussinovitch, 1997). Food Chemical Codex III (1981) yang dikutip

Mukti (1987) menyatakan bahwa karagenan seharusnya mempunyai

sifat-sifat seperti yang tercantum pada Tabel 4.

Karagenan serta garam-garamnya diklasifikasikan dalam kategori

GRAS (21 CFR 182.7255) dan telah disetujui oleh Food and Drug

Administration (FDA) sebagai bahan tambahan pangan (21 CFR 172.620).

Karagenan ini digunakan pada taraf GMP (Good Manufacturing Practice) yaitu suatu jumlah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan tidak lebih

dari jumlah yang dibutuhkan untuk mendapatkan pengaruh yang

diinginkan (Nussinovitch, 1997).

Tabel 4. Syarat mutu karagenan

Kandungan Batas

Arsenik (As) Tidak boleh lebih dari 3 ppm (0.0003%)

Abu (tidak larut asam) Tidak lebih dari 1.0%

Abu (total) Tidak lebih dari 35.0%

Logam berat (Pb) Tidak boleh lebih dari 40 ppm (0.004%)

Timah hitam Tidak boleh lebih dari 10 ppm (0.001%)

Kehilangan pada pengeringan Tidak lebih dari 12%

Sulfat Antara 18 dan 40% (berat kering)

Kekentalan dari larutan 1.5% Tidak kurang dari 5 cps pada 75o

Sumber : Food Chemical Codex III, 1981 yang dikutip Mukti, 1987

Karagenan terutama terdiri dari ester-ester kalium, natrium,

magnesium, kalsium, dan amonium sulfat dari polimer galaktosa dan

3,6-anhidrogalaktosa. Heksosa-heksosa ini secara bergantian terikat dalam

polimer melalui ikatan α-1,3 dan -1,4 (Fardiaz, 1989).

Karagenan terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu Kappa-karagenan,

(37)

karagenan ini tergantung pada sumber rumput laut yang digunakan untuk

ekstraksi karagenan. Spesies Chondrus crispus yang hidup di perairan dingin menghasilkan tipe kappa- dan lambda-karagenan, Eucheuma sp. yang hidup di perairan hangat menghasilkan kappa- dan iota-karagenan,

dan Gigartina sp. yang hidup di perairan dingin menghasilkan kappa- dan lambda-karagenan. Rumput laut yang hidup di perairan dingin dipanen

setahun sekali sedangkan rumput laut yang hidup di perairan hangat

dipanen tiga bulan sekali (Thomas, 1992 yang dikutip Nussinovitch,

1997).

Karagenan yang diekstrak dari berbegai spesies rumput laut merah

secara prinsipil berbeda satu sama lainnya dalam jumlah

3,6-anhydro-D-galaktosa (3,6-AG) yang dikandung, serta nomor, dan posisi grup ester

sulfat. Kandungan rata-rata grup ester sulfat dan 3,6-anhidrogalaktosa

pada kappa-karagenan berturut-turut adalah 25% dan 34% sedangkan

untuk iota-karagenan berturut-turut adalah 32% dan 30% (Imeson 2000).

Kappa-karagenan mempunyai ikatan glikosidik α-1,3-D-galaktosa-4-sulfat

yang berikatan dengan (1,4)-3,6-anhydro-D-galaktosa. Iota-karagenan

mempunyai ikatan α-1,3-D-galaktosa-4-sulfat yang berikatan dengan

(1,4)-3,6-anhydro-D-galaktosa-2-sulfat. Lambda- karagenan (λ

-karagen-an) mempunyai ikatan α-1,3-D-galaktosa-2-sulfat yang berikatan dengan

(1,4)-D-galaktosa-2,6-disulfat (Glicksman, 1969). Lambda-karagenan

merupakan tipe karagenan yang tidak dapat membentuk gel dari ketiga

tipe karagenan (Fardiaz, 1989). Struktur kappa-, iota-, dan lambda-

karagenan dapat dilihat pada Gambar 2.

(38)

Semua karagenan larut dalam air panas, susu panas, sedangkan

dalam air dingin dan larutan garam Na, hanya kappa- dan iota-karagenan

yang larut. Dan dalam susu dingin, hanya Lambda- karagenan yang

mempunyai kelarutan yang tinggi. Lambda- karagenan larut sepenuhnya

dalam air dingin dan larutan garam tidak tergantung pada kation yang

hadir. Iota- karagenan peka terhadap ion-ion kalsium dan membentuk

dispersi thixotropic, yang membuatnya sangat baik sebagai pensuspensi (Glicksman, 1969). Sifat-sifat ketiga fraksi karagenan dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Sifat-sifat karagenan

Sifat Karagenan

Kappa- Iota- Lambda-

Pembentukan gel Kasar Elastis -

Stability in acid Hidrolisis larutan, didukung panas ; Gelnya stabil

Hidrolisis

Sinergi dengan pati Tidak Ya Tidak

Reaktivitas protein Spesifik dengan kappa-kasein

(39)

Kappa- dan iota-karagenan tidak larut dalam larutan garam dari

kation-kation lain seperti K+ atau Ca2+, dan hanya menunjukkan

pembengkakan mulai dari pembengkakan terbatas sampai pembengkakan

besar. Hal ini tergantung dari tipe dan tingkat kation yang ada, densitas

partikel karagenan, suhu, pH, adanya ion penghambat dan lain-lain

(Glicksman, 1969).

Larutan iota- dan lambda- karagenan dapat mentolerir elektrolit kuat

berkonsentrasi tinggi, misalnya NaCl 20-25% sementara kappa-karagenan

akan mengalami salting out. Kappa- dan iota-karagenan mempunyai kemampuan untuk membentuk gel pada saat larutan panas mendingin.

Proses ini bersifat reversibel, artinya gel mencair pada pemanasan dan

cairan membentuk gel kembali pada pendinginan (Glicksman, 1969).

Karagenan yang membentuk gel dalam sistem aqueous terjadi karena

adanya formasi “double helix”. Baik kappa- maupun iota-karagenan tidak akan membentuk gel atau formasi “double helix” dengan ion Na+ (Imeson, 2000).

Konsistensi gel karagenan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara

lain jenis dan tipe karagenan, konsentrasi, adanya ion-ion serta pelarut

yang menghambat pembentukan hidrokoloid (Towle, 1973 yang dikutip

Nussinovitch, 1997). Kappa- dan iota-karagenan hanya akan membentuk

gel bila terdapat ion-ion tertentu. Kappa-karagenan akan membentuk gel

yang tegar dan keras bila terdapat salah satu ion seperti NH4+, K+ , Rb+,

dan Cs+ (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch, 1997). Gel

kappa-karagenan akan mengalami getas dan sineresis karena pengkerutan bila

bertemu dengan kation kalsium (Fardiaz, 1989).

Sedangkan iota- karagenan bereaksi secara kuat dengan adanya

kation kalsium membentuk gel elastis yang lunak dan tidak mengalami

sineresis. Bentuknya hampir sama dengan gel gelatin tetapi dengan suhu

pembentukan gel dan titik cair yang lebih tinggi, dan tidak membutuhkan

refrigerasi untuk pembentukan dan mempertahankan gelnya. Dengan ion

kalium atau amonium, iota karagenan juga akan membentuk gel tapi lebih

(40)

Iota- karagenan tidak mengalami sineresis bila ada ion Ca2+ (Glicksman

1969).

Menurut Imeson (2000) dengan menaikkan konsentrasi kation dalam

larutan akan menaikkan suhu pembentukan gel. Gel kappa-karagenan

selama pembentukan gel dan thawing kurang stabil dibandingkan gel iota-karagenan karena mengalami perubahan tekstur gel dengan membebaskan

sejumlah air.

Larutan karagenan bersifat viscous dan viskositasnya tergantung pada konsentrasi, suhu, adanya molekul-molekul lain, tipe karagenan, dan

berat molekulnya. Pembentukan gel terjadi pada konsentrasi karagenan

0.5%, 1%, dan 1.5% pada suhu 25oC, 40oC, atau 75oC dengan adanya ion

seperti ion kalium. Jika konsentrasi larutan karagenan meningkat, maka

viskositasnya akan meningkat secara logaritmik (Towle, 1973 yang

dikutip Nussinovitch, 1997).

Garam-garam kation monovalen mempunyai efek kecil terhadap

viskositas larutan karagenan sedangkan kation-kation divalen mempunyai

kecenderungan mengurangi viskositas secara nyata pada konsentrasi yang

lebih tinggi tetapi meningkatkan viskositas pada konsentrasi yang lebih

rendah (Towle, 1973 yang dikutip Nussinovitch,1997).

Karagenan paling stabil pada pH netral dan alkalis. Penurunan pH

menyebabkan hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan

kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel. Hidrolisa

dipercepat oleh panas pada pH rendah (Imeson, 2000).

Kemampuan karagenan untuk dapat bereaksi dengan protein

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi karagenan, tipe

protein, suhu, pH, dan titik isoelektrik dari protein. Kemampuan ini juga

dipengaruhi grup 3,6-anhydro-D-galaktosa. Glicksman (1969) melaporkan

bahwa terdapat korelasi antara kekuatan menstabilkan dengan persentase

dari 3,6-anhydro-D-galaktosa, pada percobaan stabilisasi susu.

Karagenan tidak mempunyai nilai gizi yang berarti karena

strukturnya berupa polisakarida kompleks yang sukar dicerna. Hawkins

(41)

cerna terhadap karagenan berkisar antara 9.4-16.1%. Kandungan kalorinya

pun sangat rendah bahkan mencapai nol. Walaupun demikian, karagenan

banyak digunakan sebagai bahan penstabil, pengental, dan pembentuk gel

pada produk-produk susu, daging, dan ikan (Nussinovitch, 1997).

2. Karagenan Sebagai Bahan Pengisi dan Pembentuk Tekstur pada Sosis Ikan

Sosis ikan yang dihasilkan paling tidak dapat memenuhi karakteristik

mutu untuk dapat dikatakan sebagai sosis, antara lain memiliki tekstur

kenyal, cooking lost rendah, WHC yang tinggi sehingga memiliki juiceness yang baik, daya irisnya baik, dan memiliki rasa yang dapat diterima oleh konsumen. Tekstur dan keempukan mempunyai tingkatan

paling penting bagi konsumen dan dicari walaupun mengorbankan cita

rasa, flavor, atau warna (Lawrie, 1961).

Ikan patin yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan sosis

merupakan ikan air tawar yang memiliki daya pembentukan gel yang

rendah. Claus et al. (1994) juga menyatakan pada umumnya ikan air tawar dan daging merah dari ikan memiliki sifat pembentukan gel yang lebih

rendah daripada ikan air laut dan daging putih dari ikan. Hal ini dapat

mempengaruhi mutu dari produk akhir yang dihasilkan. Untuk ikan yang

mempunyai elastisitas yang rendah dapat ditingkatkan elastisitasnya

dengan menambahkan daging ikan dari spesies yang lain, dilakukan

penambahan gula, pati atau protein nabati (Koswara, 2006).

Pembentukan matriks gel dari protein miofibrilar dari surimi

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi protein miofibrilar,

jumlah air, tipe ionik dan kekuatannya, waktu atau suhu pencincangan,

pH, dan interaksi antara protein miofibrilar dengan bahan tambahan

pangan (Lee et al. 1988).

Menurut Lee et al. (1988), dalam pembuatan produk olahan surimi, bahan penyusun dengan surimi akan membentuk suatu interaksi yang akan

mempengaruhi tekstur dan karakteristik lain dari produk akhir.

(42)

ditambahkan, yang dapat memberikan suasana pembentukan gel dengan

mempengaruhi pH, ketersediaan air, dan mempengaruhi

gabungan-gabungan protein penyusun protein miofibril.

Karagenan telah banyak diaplikasikan untuk industri kosmetik,

obat-obatan, dan pada industri pangan. Karagenan memiliki kontribusi yang

besar terhadap industri karena hanya dengan penambahan konsentrasi

yang kecil dapat memberikan efek pembentukan gel yang kokoh.

Produk-produk karagenan umumnya cocok bereaksi dan berfungsi baik dengan

pati, gula, gum, dan lain-lain sehingga banyak diaplikasikan untuk produk

pangan seperti digunakan sebagai penstabil pada berbagai produk olahan

susu dan daging (Imeson, 2000).

Bahan pengisi yang baik untuk sosis umumnya sebagian besar

mengandung karbohidrat, harga tidak mahal, dan rasa tidak mengganggu

rasa sosis (Wilson, 1960). Karagenan dapat digunakan sebagai bahan

pengisi pada sosis karena berasal dari golongan polisakarida (karbohidrat),

stabil pada pH netral di mana daging umumnya juga memiliki pH yang

netral, karagenan dapat bereaksi dengan protein membentuk emulsi dan

harganya murah. Karagenan mudah didapatkan di pasaran dengan harga

yang cukup murah, yaitu 0.5 g-1.5g karagenan memiliki harga Rp.750-900

(Anonim, 2003).

Karagenan dapat membentuk gel menyerupai tekstur daging

sehingga sangat cocok sebagai bahan pengisi pada sosis, sehingga dapat

mengurangi pemakaian daging ikan tanpa mengubah mutu sosisnya

(Anonim, 2003). Hal ini sangat penting untuk mengefisienkan penggunaan

daging ikan mengingat yield surimi sebagai bahan baku pembuatan sosis ikan patin sangat rendah, yaitu 26% dari bobot total ikan (Mc Donald dan

Lanier, 1988 yang dikutip oleh Lee et al.,1988). Selain itu, menurut Hapsari (2002) penggunaan daging ikan di atas 55% pada pembuatan sosis

ikan patin memberikan sifat sensori yang tidak disukai oleh panelis.

Menurut Imeson (2000), penambahan karagenan pada produk daging dapat

(43)

Pada ikan lunak, karagenan (kappa- dan iota-) dan kombinasinya

dengan LBG (Locust Bean Gum) ditambahkan untuk membantu mencapai flavor dan tekstur yang diinginkan (Glicksman, 1969). Karagenan juga

diketahui cocok digunakan sebagai agen pengikat air pada hamburger

rendah lemak dan sosis berkadar garam rendah (Egbert et al., 1991 yang dikutip Xiong et al., 1999).

Menurut Xiong et al. (1999) iota- dan kappa-karagenan dapat mengurangi cooking lost, meningkatkan kekerasan, meningkatkan kekuatan ikatan pada sosis berkadar garam 1% dan 2.5%. Selain itu,

penambahan karagenan juga dapat meningkatkan moisture retention produk daging, tanpa adanya penurunan mutu dari sifat fisiko-kimianya,

sifat organoletik, dan keamanan mikrobiologisnya tetap terjaga jika

disimpan pada suhu dingin (4±1oC) selama 21 hari dalam kemasan aerobik

dan 35 hari dalam kemasan vakum.

Menurut Towle (1973) yang dikutip Nussinovitch (1997), kappa- dan

iota-karagenan pada konsentrasi 0.2-0.5% dengan garam kalium dan

kadang kombinasinya dengan locus bean gum efektif sebagai pembentuk gel pada produk daging.

Menurut Hsu dan Chung (2001), penambahan kappa-karagenan

kurang dari 2% pada produk daging secara signifikan berefek pada

peningkatan cooking yield, kekerasan, adesi, daya kunyah, kekenyalan, dan viskositas dengan penambahan air 23%. Menurut Trius et al. (1994) penggunaan kappa-karagenan dapat meningkatkan kekerasan dari produk

daging tanpa lemak (kadar lemak 4%) dan tanpa air sedangkan iota-

karagenan dapat meningkatkan kekerasan gel daging dengan penambahan

lemak (kadar lemak 8%) dan penambahan air. Menurut Ziprin, et al. (1994) yang dikutip Hsu dan Chung (2001), penggunaan karagenan dapat

mempengaruhi tekstur sosis emulsi.

Menurut Huffman et al.(1992), sosis babi segar yang terbuat dari 15% lemak, 0.5% karagenan, dan 20-30% air memiliki karakteristik

sensori keseluruhan yang sama dengan kontrol yang menggunakan 40%

(44)

Kombinasi kappa- dan iota-karagenan bersama dengan TSPP

membantu dalam menginduksi terjadinya pembentukan gel dan

meningkatkan kehalusan serta creaminess dari produk. Penggunaan karagenan, pati, protein susu dan protein kedelai pada bologna rendah

lemak dengan kandungan air yang tinggi dapat meningkatkan penerimaan

sosis secara overall (Dexter et al. 1993 yang dikutip Nussinovitch, 1997).

E. SUSU SKIM

1. Karakteristik Susu Skim

Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil

sebagian atau seluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi

dari susu yang tidak dipisahkan, kecuali lemak dan vitamin-vitamin yang

larut dalam lemak (Buckle et al., 1987).

Karena telah dipisahkan dari lemaknya, maka susu skim hanya

mengandung 0.5-2% lemak (Varnam dan Sutherland, 1994). Protein susu

merupakan penyusun terbesar pada susu skim. Protein susu dapat

diklasifikasikan menjadi dua grup utama, yaitu kasein dan protein whey.

Kasein merupakan fraksi utama protein yang mengendap saat susu segar

diasamkan pada pH 4.6 pada suhu 20oC. Kasein menyusun 76-86% dari

total protein susu skim dan terdapat pada susu dalam bentuk partikel

koloidal, misel, yang mengandung kalsium, fosfat, sitrat, dan magnesium

(Thomphson et al., 1965).

Protein non-kasein yang tertinggal setelah pengendapan kasein

disebut protein whey atau serum protein. Whey protein ini menyusun

14-24% dari total protein susu skim (Thomphson et al., 1965). Protein whey bersifat labil terhadap panas di mana denaturasi protein terjadi pada suhu

80oC. Hal ini berbeda dengan kasein yang stabil pada suhu diatas 140oC.

Kandungan protein pada susu skim dapat dilihat pada Tabel 6.

Penggunaan susu skim dalam berbagai produk makanan memiliki keuntungan yaitu (1) mudah dicerna dan dapat dicampur dengan makanan

Gambar

Gambar 1. Ikan patin (Pangasius pangasius)
Tabel 1. Komposisi kimia ikan patin
Tabel 3.  Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995
Gambar 3. Diagram alir pembuatan surimi (modifikasi dari Erdiansyah, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, vaksin inaktif AI H5N1 clade 2.1.3 komersial, memberikan perlindungan pada itik dari klinis dan kematian sebesar 67-100% terhadap infeksi virus AI H5N1

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui kebijakan seleksi koleksi pada perpustakaan dan untuk mengetahui masalah yang dihadapi Perpustakaan dalam melakukan

Namun pada masa sekarang ini hal tersebut sudah jarang terjadi karena banyak remaja yang mendapatkan pasangannya sendiri tanpa melalui tahap tersebut, jadi prosesi

Nilai dari kemampuan cuci tangan responden kemungkinan dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, lama sekolah, ataupun kemampuan kognitif, namun pada anak tunagrahita

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah metode discovery : (1) dapat mengaktifkan siswa kelas X di SMA Stella Duce 1 Yogyakarta dalam

[r]

Jabatan : Kepala Seksi Pengembangan Kawasan Tanaman

Pedoman ini disusun untuk meningkatkan kualitas pelaksanaan peningkatan minat berkarya sastra tenaga kebahasaan dan kesastraan serta pengguna bahasa yang