Menurut Syaiful Bakhri, pengertian pembuktian adalah sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan di dalam persidangan dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan
berdasar keadilan. 42 Menurut M. Yahya Harahap pembuktian merupakan
ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Kebenaran harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang
41
Masruchin Rubai, op. cit. hlm. 28-29.
secara limitatif sebagaimana disebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).43
Istilah “proof” dan “evidence” dalam kosa kata bahasa Inggris yang mana apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti bukti. Menurut Ian Dennis, evidence memiliki arti yaitu informasi sebagai dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Proof dalam wancana hukum mengacu pada hasil dari proses evaluasi dan penarikan kesimpulan dari evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu pada proses itu sendiri. Dari apa yang dikemukakan oleh Ian Dennis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah “evidence” lebih mengacu kepada pengertian alat bukti sedangkan istilah “proof” lebih mengacu kepada pembuktian yang mengarah pada suatu proses. Terdapat pula istilah hukum pembuktian yang menurut Bambang Poernomo adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam
perkara pidana.44
Tujuan utama dalam Hukum Acara Pidana ialah menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) dalam rangka menegakkan keadilan dan mempertahankan hukum dengan sifat mewujudkan kepentingan umum (algemene
43
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2012,
hlm. 274.
belangen). Menemukan kebenaran materril tersebut tergantung pada berbagai aspek dan dimensi. R. Wirjono Projodikoro menegaskan bahwa:
Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi Hakim untuk menyatakan atas keadaan-keadaan itu. Karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikkan lagi, kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh Hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenarannya, tidak mungkin dicapai. Sebetulnya acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan Hakim dan kebenaran sejati. Untuk mendapat keyakinan ini, Hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan
yang sudah lampau itu.45
Pembuktian berdasarkan hal tersebut diatas dapat ditegaskan bahwa meliputi dimensi:
a. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh Hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau itu (opsomming van bewijsmiddelen);
b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan (bewijsvoering);
c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti itu
(bewijskracht der bewijsmiddelen).46
Ketiga dimensi tersebut diatas termasuk di dalam sistem pembuktian. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hakim dalam menerapkan
pembuktian bertitik tolak pada sistem pembuktian. 47 Terdapat empat teori
mengenai sistem pembuktian, yaitu:
45Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis, dan Praktik, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 116.
46 Ibid, hlm. 116.
47 M. Yahya Harahap (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), op. cit. hlm. 276.
a. sistem pembuktian conviction-in time
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinan hakim. Hakim dapat menarik keyakinannya tersebut berdasarkan alat-alat bukti yang diperiksanya atau mengabaikan alat-alat bukti tersebut dan langsung menarik keyakinan berdasarkan keterangan terdakwa atau pengakuan terdakwa. Kelemahan dari sistem pembuktian ini ialah hakim dapat leluasa membebaskan terdakwa selama hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa walaupun alat-alat bukti telah cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa.48
b. sistem pembuktian conviction-raisonee
Sistem pembuktian raisonee hampir sama dengan conviction-in time yaitu dalam menentukan kesalahan terdakwa berdasar pada keyakconviction-inan hakim, namun keyakinan hakim dalam sistem ini tidak sebebas pada sistem conviction-in time dikarenakan keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan-alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan alasan-alasan tersebut
haruslah berdasar alasan yang logis dan dapat diterima akal.49
c. sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie)
Menurut sistem pembuktian ini dalam menentukan kesalahan terdakwa, keyakinan hakim harus bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana ditentukan secara limitatif oleh undang-undang. Peraturan perundang-undangan dengan demikian telah menentukan alat-alat bukti mana saja yang dapat dipakai dalam
48 Ibid, hlm. 277.
acara peradilan dan digunakan untuk menentukan keyakinan hakim. Peraturan perundang-undangan pun telah mengatur hakim untuk mempergunakan alat-alat bukti tersebut, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Menurut D. Simons, sistem ini ditujukan untuk menyingkirkan pertimbangan subjektif hakim dan mengikat
hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.50
d. sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila ada alat bukti yang disebutkan secara limitatif dalam undang-undang dengan didukung keyakinan hakim atas eksistensi alat-alat bukti tersebut. Sistem pembuktian ini merupakan kombinasi dari sistem pembuktian menurut undang-undang secara
positif dan sistem pembuktian conviction-raisonee.51
Pembuktian merupakan unsur yang sangat esensial dikarenakan yang dicari dalam perkara pidana ialah kebenaran materiil. Pembuktian perkara pidana telah dimulai sejak tahap pedahuluan, yaitu pada saat penyelidikan dan penyidikan. Penyelesaian perkara pidana di Indonesia meliputi beberapa tahap, yaitu penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara tingkat pertama di pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung. Pembuktian dalam
perkara pidana melibatkan institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.52
50
Lilik Mulyadi, op. cit. hlm. 117.
51 Ibid, hlm. 120.
Sistem pembuktian di pengadilan sangat menentukan keputusan hakim, dalam KUHAP Pasal 183 ditentukan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang harus mendasarkan keyakinannya pada minimal dua alat bukti. Ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan terdakwa bersalah diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim berdasarkan alat bukti tersebut. Sistem pembuktian di Indonesia berdasarkan hal tersebut maka cenderung pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif.53 Penyidikan sebagai tindakan pertama dalam proses peradilan pidana
yang juga salah satu tujuannya adalah mengumpulkan alat bukti yang digunakan dalam persidangan harus berdasar pada sistem pembuktian yang ada.
53 M. Yahya Harahap, (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), op. cit. hlm. 280.
BAB III