• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Data Kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Untuk Penyidikan Tindak Pidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Yuridis Data Kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik Untuk Penyidikan Tindak Pidana"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)1. BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Ahli sejarah menyayangkan hilangnya dan rusaknya dokumen milik Departemen Kepolisian Amerika pada abad ke 19 dan 20 yang penyebab utamanya adalah kebakaran dan pembusukan kertas. Penyimpanan file kepolisian pun pada masa tersebut biasa ditumpuk dan disimpan di dalam kardus-kardus berdebu dan lembab di ruang tanpa cahaya di kantor polisi. Hal ini disebabkan karena kurangnya ruang penyimpanan file dalam bentuk kertas yang begitu banyak dihasilkan setiap tahunnya serta minimnya keahlian dalam penyimpanan dokumen secara profesional.1 Terhadap dokumen yang secara hukum harus disimpan dalam bentuk aslinya oleh Departemen Kepolisian Amerika, seluruh penyimpanan seharusnya dilakukan dalam bentuk mikroproses. Seluruh dokumen direduksi melalui berbagai proses yang tersedia pada sistem kepustakaan modern seperti: mikrofilm, mikrofice, atau penyimpanan elektronik dalam bentuk file hasil komputer. Diperlukan juga resesi (periode) penyimpanan khusus untuk seluruh dokumen. Terdapat masalah dalam hal efisiensi biaya dalam segi penyimpanan dan pencarian kembali dokumen yaitu: (1) peraturan perlu dirubah, (2) biaya pemerosesan dokumen ke dalam bentuk mikrofilm harus dikurangi dan (3) biaya sistem pencarian kembali termasuk pembaca dan mesin untuk menghasilkan foto kopi dan microcopy harus diturunkan. Biaya untuk sistem semacam ini menurun 1. Thibault Edward A., Lynch Lawrence M., & McBride R. Bruce, Kunarto (Pen), Proactive Police Management (Manajemen Kepolisian Proaktif), edisi keempat, Cipta Manunggal, Jakarta, 2001, hlm. 349-350..

(2) 2. ketika semakin banyak riset perpustakaan membuat sistem menggunakan mikroproses dari bahan riset. Pemerintah Amerika telah mendorong dan mensponsori berbagai proyek penelitian untuk mengurangi biaya pemerosesan dan penggunaan bahan mikro. Teknologi citra (imaging technology) yang dapat mengkopi dokumen ke dalam disket komputer dimana sangat menjanjikan dalam mengurangi jumlah kertas yang disimpan Departemen Kepolisian.2 Penyimpanan data berbasis elektronik seperti penyimpanan dengan menggunakan komputer ataupun email dirasa lebih efisien karena akan lebih memudahkan dalam pencarian data serta kapasitas ruang penyimpanan maya yang tidak terbatas atau dapat diperluas. Tingkat ketahanan dan keamanan data juga lebih terjamin dibandingkan penyimpanan data melalui cara tradisional, karena data rentan pada kerusakan, hilang ataupun tempat penyimpanan yang terbatas. Pemanfaatan penyimpanan data berbasis elektronik ini salah satunya diaplikasikan pada sistem database Kartu Tanda Penduduk elektronik atau biasa disebut e-KTP oleh khalayak umum atau dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Kartu Tanda Penduduk elektronik disingkat menjadi KTP-el. Melalui program KTP-el yang beberapa waktu lalu telah dilaksanakan, pemerintah memiliki sumber data kependudukan yang telah terkoordinasi dan terintegrasi serta berbasis teknologi. 3 Program KTP-el dan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) mencakup database kependudukan berupa. 2. Ibid, hlm. 350. Anton Hartono, 2013, Manfaatkan E-KTP, Kemendagri Gandeng PPATK-Polri (online), http://nasional.inilah.com/read/detail/2015765/manfaatkan-e-ktp-kemendagri-gandeng-ppatk-polri (18 November 2013). 3.

(3) 3. data wilayah, data keluarga, biodata penduduk, data pencatatan sipil, pasphoto, sidik jari tangan, iris mata dan tanda tangan penduduk dikumpulkan melalui perekaman data menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan sebagaimana diterangkan pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian, Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. Penerapan KTP-el yang saat ini dilaksanakan sebagaimana penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 merupakan bagian dari upaya untuk mempercepat serta mendukung akurasi terbangunnya database kependudukan di kabupaten/kota, provinsi maupun database kependudukan secara nasional. Penerapan KTP-el ditujukan agar setiap Penduduk tidak dimungkinkan lagi dapat memiliki KTP-el lebih dari satu dan/atau dipalsukan KTP-elnya, mengingat dalam KTP-el tersebut telah memuat kode keamanan dan rekaman elektronik data penduduk yang antara lain berupa iris mata maupun sidik jari Penduduk. Program KTP-el merupakan kelanjutan dari program SIAK. Pengertian SIAK menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 1 butir 21 adalah sebagai berikut: Sistem Informasi Administrasi Kependudukan, selanjutnya disingkat SIAK, adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan. SIAK berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2011 terdiri atas beberapa unsur-unsur yaitu: a. b. c. d.. database kependudukan; perangkat teknologi informasi dan komunikasi; sumber daya manusia; pemegang hak akses;.

(4) 4. e. f. g. h. i. j.. lokasi database kependudukan; pengelolaan database kependudukan; pemeliharaan database kependudukan; pengamanan database kependudukan; pengawasan database kependudukan; dan data cadangan dan pusat data pengganti.. Apabila terdapat kegagalan fungsi pada pusat data maka ketersediaan data tetap terjamin dengan adanya data cadangan dan pusat data pengganti sementara. Dewasa ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah melakukan penandatanganan nota kesepahaman pemanfaatan KTP-el dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Bareskrim Polri. Kerja sama antara pihak Kemendagri dengan PPATK dan Bareskrim Polri ditujukan agar PPATK dan Bareskrim Polri dapat langsung mengakses data KTP-el.Tanggal 24 desember 2013 lalu telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 dimana dimuat mengenai pemanfaatan data kependudukan KTP-el pada Pasal 58 ayat (4) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai berikut: (4) Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang digunakan untuk semua keperluan adalah Data Kependudukan dari Kementerian yang bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dalam negeri, antara lain untuk pemanfaatan: a. pelayanan publik; b. perencanaan pembangunan; c. alokasi anggaran; d. pembangunan demokrasi; dan e. penegakan hukum dan pencegahan kriminal. Penjelasan huruf e pasal tersebut adalah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan ”pemanfaatan penegakan hukum dan pencegahan kriminal”, antara lain untuk memudahkan pelacakan pelaku kriminal, mencegah perdagangan orang, dan/atau mencegah pengiriman tenaga kerja illegal. Proses penyidikan yang digunakan selama ini khususnya dalam hal mengungkap pelaku tindak pidana yang tidak diketahui identitasnya namun.

(5) 5. didapat gambaran wajah pelaku atau pun sidik jarinya, maka penyidik bermodalkan data mantan narapidana, residivis ataupun buronan. Apabila tidak ada data yang cocok dengan identitas pelaku, maka kepolisian akan memasukkannya ke dalam daftar pencarian orang.4Begitu pula dengan PPATK, sebelum adanya KTP-el, KTP mudah sekali untuk dipalsukan sehingga orang dapat membuat akun rekening dengan menggunakan KTP palsu, begitu pula dalam kasus Gayus Tambunan dimana ia dapat pergi ke Singapura meski dalam statusnya sebagai buronan dengan memakai KTP palsu atas nama Soni Laksono sehingga ia dapat membuat paspor. Maka dari itu dengan adanya satu KTP untuk satu orang ini akan turut mempermudah dalam menangkap buronan ataupun mencegah buronan lari ke luar negeri.5 Data kependudukan yang terdapat pada KTP-el sebagaimana disebutkan pada Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 terdiri atas Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama pemilik KTP-el, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el. Kerjasama antara Kemendagri dan Bareskrim Polri tentunya akan sangat membantu dalam tahap penyidikan. Penyidikan merupakan tahapan dalam hukum acara pidana setelah penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan tindakan. 4. Mirna Rahmaniar, Prosedur Penanganan Rekaman CCTV Oleh Penyidik Dalam Kasus Tindak Pidana Pencurian (Studi di Polresta Malang), Laporan Kuliah Kerja Lapangan tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2013, hlm. 40. 5 Jpnn.com, 2013, PPATK Bisa Akses Data E-KTP (online), http://www.jpnn.com/read/2013/07/30/184286/PPATK-Bisa-Akses-Data-e-KTP-(18 November 2013)..

(6) 6. penyidikan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 6 Tindakan penyidikan dilakukan setelah peristiwa tersebut dapat dipastikan sebagai tindak pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya.7 Data kependudukan yang dimiliki pemerintah melalui proses KTP-el merupakan data kependudukan yang sangat akurat.. KTP-el adalah dokumen. kependudukan yang memuat sistem keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. Autentikasi Kartu Identitas (e-ID) dalam kartu tanda penduduk elektronik biasanya menggunakan biometrik yaitu verifikasi dan validasi sistem melalui pengenalan karakteristik fisik atau tingkah laku manusia. Banyak pengamanan yang dilakukan dengan cara ini, antara lain sidik jari (fingerprint), retina mata, DNA, bentuk wajah, dan bentuk gigi.8 Autentikasi Kartu Identitas dalam KTP-el tidak hanya dengan menggunakan gambar wajah dan sidik jari melainkan juga iris mata sehingga data KTP-el terjamin lebih akurat dan sulit untuk digandakan atau dipalsukan. Jika sebelumnya penyimpanan sidik jari yang paling canggih adalah pada pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yaitu disimpan dengan format JPEG, pada KTP-el sidik jari tidak hanya disimpan dalam format JPEG, melainkan juga dapat dikenali. 6. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 119. 7 Ibid, hlm. 120. 8 Achmad Arianto, Persiapan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Probolinggo dalam Mewujudkan Penggunaan E-KTP Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2010, Skripsi tidak diterbitkan, Malang, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2012, hlm. 68..

(7) 7. melalui chip yang terpasang pada KTP-el. 9 Selain itu data kependudukan yang sekarang ini dapat mengakses identitas seseorang hingga keturunannya. Sistem database kependudukan yang lebih maju tersebut akan dapat lebih memudahkan dalam mengakses data kependudukan.10 Kerjasama antara pihak Kemendagri dengan Bareskrim Polri membuat Bareskrim Polri memiliki sumber data akurat terhadap hampir seluruh penduduk di Indonesia. Selama ini masih banyak ditemukan kesulitan dalam melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana yang identitas tersangka atau korbannya tidak diketahui sehingga dengan adanya kerjasama ini seharusnya proses penyidikan pada kasus tindak pidana yang terjadi akan lebih mudah karena Bareskrim Polri memiliki akses menuju data seluruh sidik jari, foto wajah, nama dan alamat setiap pemilik KTP-el. Sidik jari dapat ditemukan pada proses penyidikan yang dapat dimungkinkan sebagai sidik jari tersangka ataupun wajah pelaku yang terekam melalui kamera CCTV namun dengan hanya bermodalkan sidik jari dan wajah pelaku tetap tidak mudah untuk menangkap pelaku karena tidak diketahui identitas pelaku secara pasti seperti nama dan dimana ia bertempat tinggal, karenanya diperlukan data pembanding untuk menentukan pemilik dari sidik jari yang ditemukan. penyidik ataupun wajah yang sama seperti yang. tertangkap pada rekaman kamera CCTV. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penyidik menggunakan data mantan narapidana, residivis ataupun buronan dan apabila tidak ada data yang cocok dengan identitas pelaku, maka kepolisian akan memasukkannya ke dalam daftar pencarian orang. Data. 9. Ibid, hlm. 68. Anton Hartono, 2013, PPATK: E-KTP Mampu Deteksi Kejahatan(online), http://nasional.inilah.com/read/detail/2015781/ppatk-e-ktp-mampu-deteksi-kejahatan, (18 November 2013). 10.

(8) 8. pembanding tersebut tentunya tidak selengkap data kependudukan KTP-el yang mencakup data seluruh pemilik KTP-el, selain itu pula sistem penyimpanan data pada KTP-el saat ini adalah yang terbaik dibandingkan sistem penyimpanan data kependudukan lainnya dimana hal tersebut akan lebih memudahkan dalam pencarian data. Pencarian data dapat dipermudah dengan adanya teknologi biometrik. “The term ‘biometric’ has come to be used for the study of automated methods for the identification or authorization of individuals using physiological or behavioral characteristics.”. 11. Terjemahan bebasnya yaitu bahwa biometrik. digunakan untuk mempelajari metode otomatis untuk mengidentifikasi individu dengan menggunakan ciri-ciri fisik atau sifatnya. Sistem ini biasa digunakan untuk mengidentifikasi manusia. Obyek yang menjadi tujuan diantaranya adalah iris mata, sidik jari, wajah bahkan tanda tangan. Contoh pemanfaatan sistem ini dalam kehidupan sehari-hari adalah pada mesin absensi elektronik. Fungsi utama dari sistem ini adalah untuk mengidentifikasi obyek dengan mencocokkannya dengan obyek lainnya yang datanya telah dimiliki dan disimpan dalam sistem. Biometrik memiliki manfaat yang sangat besar apabila diterapkan dalam proses penyidikan, terutama dalam hal mengidentifikasi korban maupun tersangka. “Pemanfaatan biometrik. ini dapat digunakan pada proses penyidikan ketika. didapat rekaman CCTV dari suatu peristiwa tindak pidana pencurian yang mana dalam rekaman tersebut didapat gambar wajah pelaku, namun, walaupun didapat gambar wajah pelaku namun tetap tidak mudah untuk menangkap pelaku karena tetap tidak diketahui identitas pelaku tersebut seperti nama dan dimana ia 11. Howell, A. Jonathan, Introduction to Face Recognition, Jain, L.C., Halici, U., Hayashi, I., Lee, S.B., & Tsutsui, S. (Eds.), Intelligent Biometric Techniques in Fingerprint and Face Recognition, Boca Raton, CRC Press, 1999, hlm. 219..

(9) 9. tinggal,”12 maka dari itu diperlukan kegiatan membandingkan gambar wajah yang didapat dari rekaman CCTV dengan data foto yang dimiliki oleh penyidik untuk mengetahui identitas pemilik wajah tersebut, biometrik disini berfungsi untuk mempercepat kegiatan membandingkan tersebut karena sistem ini dapat bekerja secara otomatis. Pemanfaatan data kependudukan KTP-el tersebut yang juga dapat dipadukan dengan teknologi biometrik yang dapat membuat terang mengenai identitas tersangka suatu tindak pidana yang juga merupakan salah satu tujuan dalam penyidikan. KTP-el seharusnya memiliki tiga data biometrik yaitu sidik jari, gambar wajah dan iris mata namun sistem identifikasi pada SIAK yang digunakan saat ini hanya terbatas sistem identifikasi berupa Automated Fingerprint Indentification System (AFIS) hal itu disebutkan pada Pasal 15 ayat (2) huruf f Permen 25 Tahun 2011. Pengaturan pada peraturan menteri yang terbatas tersebut dapat membuat pemanfaatan KTP-el tersebut kurang maksimal, karena pada prakteknya telah dilakukan perekaman data biometrik berupa iris mata yang tentunya memakan biaya. Perekaman iris mata tersebut pada prakteknya menjadi salah satu alasan timbulnya dugaan korupsi terhadap program KTP-el. “Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan bahwa terdapat perbedaan teknologi yang dijanjikan dalam kontrak tender dengan kenyataan di lapangan yaitu pada proposal disebutkan bahwa terdapat teknologi pemindai mata (iris technology) namun yang banyak dilakukan selama ini adalah teknologi AFIS.”13 Kepolisian Resort Malang di Kepanjen sebagai salah satu lembaga kepolisian yang telah menandatangani perjanjian dengan Bupati Kabupaten 12 13. Mirna Rahmaniar, loc. cit. Kompas, 25 April 2014, KPK Yakini Bukti-bukti, hlm. 4..

(10) 10. Malang mengenai pemanfaatan data kependudukan KTP-el pada tahun 2013 lalu telah menangani kasus pembunuhan berencana terhadap seorang wanita di daerah Bantur dengan memanfaatkan data kependudukan tersebut.14 Tujuan dilakukan kegiatan penyidikan adalah untuk mengumpulkan bukti untuk dilakukan proses hukum acara pidana selanjutnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur pada Pasal 183 mengenai pembuktian dimana sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada seseorang. Alat bukti yang sah itu dijelaskan pada Pasal 184 ayat (1) dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan latar belakang di atas tersebut, maka disusun proposal penelitian skripsi ini, yaitu mengenai analisis yuridis data kependudukan kartu tanda penduduk elektronik untuk penyidikan tindak pidana.. B. Perumusan Masalah Beradasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Apa data kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dapat digunakan untuk penyidikan tindak pidana? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian data kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik?. 14. Hasil wawancara dengan Kaur Yanmin Satuan Reskrim Polres Malang Aiptu Darta W. Pada hari Rabu 5 Juni 2014, pukul 13.30 WIB..

(11) 11. C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini antara lain : 1. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis penggunaan data kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik untuk penyidikan tindak pidana. 2. Untuk mengetahui, mengidentifikasi dan menganalisis kekuatan pembuktian data kependudukan Kartu Tanda Penduduk Elektronik dalam proses peradilan pidana Indonesia.. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan maksud, tujuan, dan alasan yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini diharapkan mempunyai beberapa kegunaan sebagai berikut: 1.. Manfaat teoritis Sebagai sumbangan pengetahuan dan pemikiran yang bermanfaat di bidang ilmu hukum. Selain itu, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan di bidang penegakan hukum yang berkaitan dengan upaya penanggulangan baik oleh kepolisian maupun oleh masyarakat dalam mengurangi tindak pidana yang jumlahnya terus meningkat.. 2.. Manfaat aplikatif 1.. Bagi aparat penegak hukum dan pemerintah Sebagai bahan rujukan untuk menyegerakan pengambilan tindakan oleh aparat penegak hukum maupun pemerintah untuk memfasilitasi. dan. melaksanakan. pemanfaatan. data.

(12) 12. kependudukan untuk. menangani kasus tindak pidana dalam. rangka penegakan hukum serta memelihara keamanan dan ketertiban. masyarakat. sesuai. dengan. tujuan. peraturan. perundang-undangan yang terkait.. 2.. Bagi masyarakat Sebagai refrensi bagi pembaca dan masyarakat luas agar dapat mengetahui. manfaat. data. kependudukan. KTP-el. untuk. penyidikan tindak pidana serta dapat membantu masyarakat untuk terhindar dari resiko menjadi korban tindak pidana, sehingga masyarakat dapat merasa lebih aman.. 3.. Bagi mahasiswa Sebagai sumbangan pemikiran dalam bidang hukum sebagai upaya untuk mempelajari manfaat perkembangan teknologi dalam upaya menangani kasus tindak pidana serta sebagai rujukan bagi mahasiswa dalam membuat karya tulis berkenaan dengan KTP-el. atau yang berkaitan dimana saat ini masih. sangat minim.. 4.. Bagi penulis Sebagai partisipasi penulis dalam upaya agar proses penyidikan tindak pidana yang jumlahnya semakin meningkat dapat lebih.

(13) 13. efisien dan dapat memperdalam pengetahuan penulis terhadap tema penelitian yang diangkat.. E. Sistematika Penulisan Agar skripsi ini dapat dengan mudah dipahami dan dimengerti, maka penulis menyusunnya secara sistematis yaitu uraian di dalamnya terdiri dari beberapa bab dan sub bab. Telah menetapkan sistematikanya sebagai berikut:. BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Latar Belakang masalah memuat alasan pentingnya penelitian yang akan dilakukan dan faktor-faktor yang mendorong dilakukannya penelitian berdasarkan tema yang diangkat yaitu berkaitan dengan pemanfaatan KTPel dalam penyidikan tindak pidana. B. Perumusan Masalah Berisi masalah yang akan diteliti yang mana dirumuskan dengan jelas, fokus dan spesifik. Masalah yang dikaji penulis harus orisinil, aktual dan memiliki nilai guna dalam masyarakat. Masalah dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yang jumlahnya tergantung pada kedalaman dan luasnya masalah. C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian memuat pernyataan singkat tentang apa yang hendak dicapai dalam penelitian. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi, mendeskripsikan,. menganalisis,. merumuskan,. membuktikkan. membandingkan sistem hukum yang menjadi fokus penelitian.. serta.

(14) 14. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian menguraikan dan menjelaskan kegunaan teoritik dan aplikatif dari penelitian yang dilakukan baik itu manfaat teoritis maupun manfaat praktis dari hasil penelitian mengenai pemanfaatan KTP-el untuk penyidikan tindak pidana. E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan mendiskripsikan secara singkat, padat, jelas serta runtut substansi penulisan skripsi berdasarkan banyaknya bab dan sub bab yang digunakan.. BAB II : KAJIAN PUSTAKA Kajian Pustaka adalah argumentasi ilmiah yang berasal dari refrensi yang sahih maupun hasil penelitian mengenai pemanfaatan KTP-el untuk penyidikan tindak pidana yang telah diuji kebenarannya yang akan dipergunakan sebagai pisau analisis data maupun bahan hukum yang dihasilkan dari penelitian.. BAB III : METODE PENELITIAN Metode penelitian menguraikan cara pelaksanaan penelitian, mulai dari merumuskan pendekatan penelitian yang digunakan hingga bagaimana menganalisis hasil penelitian. Metode penelitian yang digunakan bergantung kepada jenis penelitian yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif..

(15) 15. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini dituliskan laporan rinci penelitian dalam mencapai hasil penelitian mengenai pemanfaatan KTP-el untuk penyidikan tindak pidana, terhadap bahan hukum berikut hasil-hasil kajiannya. Selanjutnya ditampilkan analisis keterkaitan antara kajian pustaka dengan fakta-fakta yuridis dan bahan hukum yang telah diperoleh dalam upaya pengambilan kesimpulan.. BAB V : PENUTUP Kesimpulan dan saran merupakan bab terakhir yang umumnya terdiri atas dua sub bab yaitu kesimpulan dan saran. A. Kesimpulan Kesimpulan merupakan uraian jawaban dari rumusan masalah yang telah dijabarkan di dalam pembahasan.. B. Saran Setiap saran yang ditulis setidak-tidaknya harus mengungkapkan (a) kepada siapa saran itu diberikan, (b) apa saran yang diberikan dan (c) mengapa saran tersebut diberikan..

(16) 16. BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Dasar Administrasi Kependudukan 1. Dasar Yuridis Administrasi Kependudukan Perlindungan hak-hak asasi penduduk merupakan amanat konstitusi yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945). Pemerintah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pasal-pasal mengenai hak asasi yang ada dalam UUDNRI Tahun 1945 dan menerapkannya pada peraturan perundang-undangan dibawahnya. Salah satu hak yang diatur dalam UUDNRI Tahun 1945 adalah hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum yang diatur pada Pasal 28 D ayat (1). Indonesia merupakan bangsa yang besar dimana terdapat berbagai macam suku, ras dan agama. “Penjajahan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda telah menimbulkan diskriminasi terhadap penduduk pribumi di bidang ekonomi, sosial, politik, hukum dan budaya. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dan setelah itu penduduk pribumi mulai ditempatkan pada posisi yang wajar dalam hukum. Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang sudah banyak langkah yang dilakukan pemerintah untuk menghapuskan diskriminasi terutama dalam hal pembuatan hukum positif yang berlandaskan sikap anti diskriminasi dan dengan diratifikasinya perjanjian atau instrumen internasional di bidang hak asasi manusia.”15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dimana terdapat pengaturan mengenai warga negara dan penduduk serta hak asasi 15. Herlin Wijayati, Hukum Kewarganegaraan dan Keimigrasian, Bayumedia Publishing, Malang, 2011, hlm. 122..

(17) 17. manusia dan ratifikasi konvensi-konvensi internasional terkait hak asasi manusia merupakan dasar pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif. yang membeda-bedakan suku, keturunan dan agama. dikatakan pada penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bahwa hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI 1945. Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan UUDNRI 1945 memiliki kewajiban untuk mernberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk yang berada di dalam ataupun di luar negeri. Pengadministrasian kependudukan dalam prakteknya masih mengalami kendala berupa sumber data kependudukan yang belum terkoordinasi dan terintegrasi, serta terbatasnya cakupan pelaporan yang belum terwujud dalam suatu sistem administrasi kependudukan yang utuh dan optimal. Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan pula bahwa kondisi yang demikian harus diakhiri dengan suatu sistem administrasi kependudukan yang sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi tuntutan masyarakat atas pelayanan kependudukan yang profesional. Seiring dengan perkembangan teknologi, muncul gagasan untuk mengembangkan Sistem Informasi dan Administrasi Kependudukan (SIAK) yang terintegrasi dan sesuai dengan perkembangan teknologi sebagaimana tersuratkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. “Program SIAK yang diagendakan selesai pada tahun 2011 dilanjutkan dengan program.

(18) 18. Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) yang telah diagendakan selesai pada tahun 2012 walaupun pada pelaksanaannya telah mengalami keterlambatan.”16 Pelaksanaan program KTP-el mengakibatkan beberapa pengaturan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak sesuai lagi dengan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan sebagaimana dijelaskan pada konsideran UndangUndang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Ketidaksesuaian itulah yang menjadi latar belakang diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tersebut. Secara garis besar perubahan undang-undang tersebut mengatur mengenai perubahan terhadap pasal-pasal pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 mengenai Kartu Tanda Penduduk (KTP), dimana pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 istilah KTP tersebut diubah menjadi KTP-el sesuai dengan perubahan sistem pengadaan KTP dari manual menjadi terkomputerisasi begitu pula dengan sistem penyimpanan data kependudukannya. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 juga mengatur mengenai instansi pelaksana penyelenggaraan administrasi kependudukan yaitu berkaitan dengan kewajiban dan prosedur pelaksanaannya serta sanksi pidana bagi pelanggarannya. Pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 selain pasal yang mengalami perubahan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013, masih tetap berlaku dan. 16. Kompas, 6 November 2013, NIK, E-KTP, dan DPT, hlm. 5..

(19) 19. dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan pengaturan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.. 2. Fungsi dan Tujuan Administrasi Kependudukan Unsur terpenting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah didasarkan pada asas kejelasan tujuan, kedayagunaan dan kehasilgunaan. Peraturan perundang-undangan tidak mungkin dibentuk tanpa adanya tujuan tertentu karena tujuan itulah yang menjadi alasan dibentuknya suatu peraturan perundang-undangan. Secara yuridis Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 ataupun Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 dibentuk dengan berdasarkan pada amanat yang terkandung pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945). UUDNRI 1945 mengatur mengenai hak asasi manusia anti diskriminasi dan tanggung jawab negara yang tertuang pada beberapa pasal seperti Pasal 26, Pasal 28B ayat (1), 28D ayat (4), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I, Pasal 29 ayat (1), Pasal 34 ayat (1) dan ayat (3). Pasalpasal tersebut menjadi dasar utama dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 disamping tujuan secara yuridis pada penjelasan umum undang-undang tersebut tertera mengenai arah dan tujuan pembentukan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yaitu sebagai berikut: Administrasi Kependudukan diarahkan untuk: 1. memenuhi hak asasi setiap orang di bidang Administrasi Kependudukan tanpa diskriminasi dengan pelayanan publik yang profesional; 2. meningkatkan kesadaran Penduduk akan kewajibannya untuk berperan serta dalam pelaksanaan Administrasi Kependudukan;.

(20) 20. 3. memenuhi data statistik secara nasional mengenai Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting; 4. mendukung perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan secara nasional, regional, serta lokal; dan 5. mendukung pembangunan sistem Administrasi Kependudukan.. 1.. 2. 3.. 4. 5.. Penyelenggaraan administrasi Kependudukan bertujuan untuk: memberikan keabsahan identitas dan kepastian hukum atas dokumen Penduduk untuk setiap Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk; memberikan perlindungan status hak sipil Penduduk; menyediakan data dan informasi kependudukan secara nasional mengenai Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil pada berbagai tingkatan secara akurat, lengkap, mutakhir, dan mudah diakses sehingga menjadi acuan bagi perumusan kebijakan dan pembangunan pada umumnya; mewujudkan tertib Administrasi Kependudukan secara nasional dan terpadu; dan menyediakan data Penduduk yang menjadi rujukan dasar bagi sektor terkait dalam penyelenggaraan setiap kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 merupakan kelanjutan dari. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, tujuan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 menjadi landasan dari tujuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tersebut untuk memperkuat bahwa tidak ada diskriminasi antar sesama penduduk maupun antara warga negara Indonesia maupun warga negara asing serta untuk mendorong tertib administrasi. Pembentukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 berdasarkan konsiderannya adalah dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan. Hal tersebut sejalan dengan fungsi administrasi kependudukan yang disebutkan pada konsideran Undang-Undang.

(21) 21. Nomor 23 Tahun 2006 yaitu untuk memberikan perlindungan, pengakuan, penentuan status pribadi dan status hukum setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh penduduk Indonesia dan Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri, perlu dilakukan pengaturan tentang administrasi kependudukan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 juga merupakan penyesuaian terhadap perkembangan zaman dan teknologi yang sudah tidak sesuai dengan apa yang diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006. Warga negara ialah mereka yang berdasarkan hukum atau aturan merupakan anggota dari suatu negara sedangkan yang bukan merupakan anggota adalah orang asing. Setiap wilayah negara di dalamnya selalu terdapat warga negara dan orang asing yang keduanya sama-sama disebut penduduk, namun status keduanya berbeda dalam hubungannya dengan negara sehingga dimungkinkan terjadi diskriminasi terhadap perlakuan terhadap keduanya, maka dari itu tujuan dari undang-undang mengenai administrasi kependudukan adalah untuk mencegah terjadinya diskriminasi antara warga negara Indonesia dan warga negara asing terutama dibidang pelayanan publik untuk menjamin bahwa negara menjamin akan memberikan perlindungan terhadap setiap orang yang ada dan hidup di wilayah Indonesia mengingat di zaman modern sekarang ini perkembangan dinamika hubungan antar negara sangat terbuka maka hubungan itu harus dijaga dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang berpihak pada sikap anti diskriminasi terhadap warga negara ataupun orang asing.17. 17. Herlin Wijayati, op. cit. hlm.55-57..

(22) 22. 3. Mekanisme atau Prosedur Pelaksanaan KTP-el Pengertian Kartu Tanda Penduduk Elektronik, selanjutnya disingkat KTPel, pada Pasal 1 butir 14 pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi chip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana. Instansi pelaksana tersebut dijelasakan lebih lanjut pada butir 7 yaitu perangkat pemerintah kabupaten atau kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Administrasi Kependudukan. Setiap KTPel memiliki Nomor Induk Kependudukan tunggal yang berlaku seumur hidup. Nomor Induk Kependudukan, selanjutnya disingkat NIK dijelaskan butir 12 pada adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional Pasal 1 butir 3 diatur bahwa KTP berbasis NIK adalah KTP yang memiliki spesifikasi dan format KTP nasional dengan sistem pengamanan khusus yang berlaku sebagai identitas resmi yang diterbitkan oleh instansi pelaksana. KTP-el adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan dan pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada database kependudukan nasional. 18 Masyarakat biasa menyebut Kartu Tanda Penduduk Elektronik dengan singkatan e-KTP, namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan singkatan KTP-el dengan berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Perubahan atas. 18. Achmad Arianto, op. cit., hlm. 30..

(23) 23. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 102 dimana disebutkan bahwa pada saat undang-undang tersebut berlaku, maka semua singkatan “KTP” sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan harus dimaknai sebagai “KTP-el”. KTP-el sebagaimana telah disebutkan sebelumnya merupakan kelanjutan dari program SIAK. SIAK berdasarkan Pasal 1 butir 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 adalah sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi pengelolaan informasi administrasi kependudukan di tingkat Penyelenggara dan Instansi Pelaksana sebagai satu kesatuan. Unsur SIAK pada Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian (Permendagri Nomor 25 Tahun 2011), Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan salah satunya terdiri atas database kependudukan, sedangkan database kependudukan tersebut dijelaskan pada Pasal 4 yaitu salah satunya memuat biodata penduduk. Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Pasal 1 butir 9, data kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. Berdasarkan kegiatan pendaftaran dan pencatatan sipil tersebut setiap penduduk memiliki NIK yang berlaku seumur hidup. “Kamus kependudukan memberikan pengertian bahwa data kependudukan adalah kumpulan elemen data penduduk yang terstruktur yang diperoleh dari hasil pendaftaran penduduk.”19 Pasal 1 butir. 19. Bisri Mustofa, Kamus Kependudukan, Panji Pustaka, Jogjakarta, 2008, hlm. 69..

(24) 24. 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 selanjutnya menjelaskan pendaftaran penduduk sebagai pencatatan biodata penduduk, pencatatan atas pelaporan peristiwa. kependudukan. dan. pendataan. penduduk. rentan. administrasi. kependudukan serta penerbitan dokumen kependudukan berupa kartu identitas dan surat keterangan penduduk, dengan demikian biodata penduduk yang berasal dari KTP-el juga termasuk ke dalam database SIAK. Data kependudukan sebagaimana disebutkan pada Pasal 58 ayat (2) terdiri atas data perseorangan dan/atau data agregat penduduk. Data perseorangan tersebut meliputi: a. nomor KK; b. NIK; c. nama lengkap; d. jenis kelamin; e. tempat lahir; f. tanggal/bulan/tahun lahir; g. golongan darah; h. agama/kepercayaan; i. status perkawinan; j. status hubungan dalam keluarga; k. cacat fisik dan/atau mental; l. pendidikan terakhir; m. jenis pekerjaan; n. NIK ibu kandung; o. nama ibu kandung; p. NIK ayah; q. nama ayah; r. alamat sebelumnya; s. alamat sekarang; t. kepemilikan akta kelahiran/surat kenal lahir; u. nomor akta kelahiran/nomor surat kenal lahir; v. kepemilikan akta perkawinan//buku nikah; w. nomor akta perkawinan/buku nikah x. tanggal perkawinan; y. kepemilikan akta perceraian; z. nomor akta perceraian/surat cerai; aa. tanggal perceraian; bb. sidik jari; cc. iris mata; dd. tanda tangan; dan.

(25) 25. ee. elemen lainnya yang merupakan aib seseorang. Sedangkan data agregat meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data agregat yang dimaksud dijelaskan pada ayat (3) yaitu meliputi himpunan data perseorangan yang berupa data kuantitatif dan data kualitatif. Data kependudukan yang terdapat pada KTP-el disebutkan pada Pasal 64 ayat (1) meliputi Nomor Induk Kependudukan (NIK), nama, tempat tanggal lahir, jenis kelamin, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku KTP-el, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tanda tangan pemilik KTP-el. Tidak semua penduduk didaftarkan pada KTP-el, Pasal 63 ayat (1) memberikan limitasi bahwa yang dapat memiliki KTP-el adalah WNI dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau penduduk yang telah kawin atau pernah kawin. Masuknya data kependudukan KTP-el pada database SIAK menyebabkan data kependudukan KTP-el dapat digunakan untuk pemanfaatan tertentu. Hal tersebut berdasarkan Pasal 62 Permendagri Nomor 25 Tahun 2011 dimana data kependudukan dapat dimanfaatkan oleh pengguna data dengan syarat utama pengguna data tersebut harus memiliki izin dari penyelenggara yaitu Menteri Dalam Negeri, gubernur, atau bupati/walikota. Pengguna data yang dimaksud disebutkan pada Pasal 60 adalah: a. b. c. d. e.. lembaga negara; lembaga pemerintah/lembaga pemerintah non kementerian; lembaga non pemerintah; lembaga asing; dan/atau perorangan..

(26) 26. B. Penyelidik, Penyidik dan Komponen Pendukungnya 1. Penyelidik dan Penyidik Berdasarkan Pasal 1 butir 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Polri) atau pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undangundang untuk melakukan penyidikan. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya akan disebut Polri, menurut Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 1 butir 1 yaitu Kepolisian adalah segala halihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tugas pokok Polri yang diatur pada Pasal 6 adalah sebagai berikut: 1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2. menegakkan hukum; dan 3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Berdasarkan tugas-tugas pokok tersebut, Polri memiliki wewenang yaitu salah satunya berdasarkan Pasal 14 adalah untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penyelidik dalam Pasal 1 butir 4 diartikan sebagai “pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.” Berbeda dengan penyidik, penyelidik terdiri dari polisi negara saja. Fungsi dan wewenang penyelidik berdasarkan Pasal 5 KUHAP ayat (2) huruf a yaitu:.

(27) 27. a) Menerima laporan atau pengaduan, dalam hal ini apabila penyelidik menerima laporan atau pengaduan dari seseorang, maka penyelidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti. b) Mencari keterangan dan barang bukti yaitu sebagai persiapan menuju penyidikan untuk mendapatkan fakta, keterangan dan bahan bukti. c) Menyuruh berhenti orang yang dicurigai, kewenangan ini dapat langsung dilaksanakan oleh penyelidik untuk menanyakan identitas orang yang dicurigai tanpa perlu adanya surat perintah, walaupun demikian tetap dalam melaksanakan wewenang ini harus sopan dan tanpa merendahkan martabat orang yang dicurigai. d) Tindakan lain menurut hukum, pengertian dari wewenang ini terdapat pada penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 yaitu tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat tidak bertentangan dengan aturan hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukan tindakan jabatan dimana tindakan tersebut harus patut, masuk akal, termasuk dalam lingkungan. jabatannya,. dan. atas. pertimbangan. yang layak. berdasarkan keadaan memaksa serta menghormati hak asasi manusia.20 Penyelidik juga memiliki kewenangan lain atas perintah penyidik berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf b yaitu:. 20. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 103-106..

(28) 28. a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan; b. Pemeriksaan dan penyitaan surat; c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik Penyidik dari pejabat Polri terdiri atas pejabat penyidikdan penyidik pembantu. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (PP No. 27 Tahun 1983) telah mengatur mengenai syarat kepangkatan pejabat penyidik kepolisian. Pasal 2 PP No. 27 Tahun 1983 mengatur bahwa pangkat pejabat penyidik sekurangkurangnya Pembantu Letnan Dua namun apabila terdapat kekurangan tenaga personel di daerah-daerah atau kantor sektor kepolisian tertentu maka jabatan penyidik dapat dipangku oleh anggota kepolisian berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua. Pejabat penyidik tersebut ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian RI. Pasal 3 PP No. 27 Tahun 1983 mengatur bahwa pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai penyidik pembantu sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat minimal berpangkat Pengatur Muda (golongan II/a) yang mana penyidik pembantu tersebut diangkat oleh Kepala Kepolisian RI atas usul dari komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.21 Pengangkatan penyidik pegawai negeri sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahkan pegawai tersebut atas pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.. 22. Wewenang yang dimiliki oleh penyidik pegawai negeri sipil bersumber pada ketentuan undang-undang pidana khusus yang telah menetapkan sendiri 21 22. Ibid, hlm. 111. Andi Hamzah, op. cit. hlm 81..

(29) 29. pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal. Wewenang penyidik pegawai negeri sipil tersebut terbatas pada tidak pidana yang diatur pada undangundang yang menjadi landasan hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya tersebut penyidik pegawai negeri sipil berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri.23 Penyidik Polri karena kewajibannya berdasar Pasal 7 KUHAP mempunyai wewenang: a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b) Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f) Mengambil sidik jari dan memotret seorang; g) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i) Mengadakan penghentian Penyidikan; dan j) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.. 2. Penyelidikan dan Penyidikan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 huruf 5 memberikan definisi penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur menurut KUHAP.. 23. M. Yahya Harahap (Penyidikan dan Penuntutan), op. cit., hlm. 113..

(30) 30. Penyelidikan bukan bagian yang berdiri sendiri melainkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyidikan. Penyelidikan merupakan sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Fungsi dari penyelidikan adalah untuk menghidarkan cara-cara penegakan hukum secara tergesa-gesa yang dapat merugikan seserang yang diperiksa serta sebagai aksi untuk lebih berhati-hati dalam menegakkan hukum yaitu sebelum melakukan tindakan penyidikan. Apabila terjadi kesalahan dalam proses penyidikan karena tindakan tergesa-gesa dan akibatnya pada proses persidangan ditemukan bahwa terdakwa tidak bersalah maka hal itu dapat menjatuhkan kewibawaan aparat penegak hukum serta sangat merugikan karena terdakwa dapat menuntut ganti rugi dan rehabilitasi.24 Tindakan penyelidikan dapat dimulai karena adanya laporan/pengaduan atau karena tertangkap tangan. Berdasarkan Pasal 1 butir 24 KUHAP, laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi tindak pidana, sedangkan pengertian pengaduan berdasarkan Pasal 1 butir 25 KUHAP adalah pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Perbedaan antara laporan dan pengaduan adalah laporan lebih bersifat umum yaitu mengenai seluruh tindak pidana yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, sedangkan pengaduan. 24. Ibid, hlm. 102..

(31) 31. hanya pemberitahuan tentang tindak pidana aduan saja dan dilakukan oleh pihak yang dirugikan. KUHAP memberikan batasan mengenai siapa yang berhak menyampaikan laporan atau pengaduan pada Pasal 108 ayat (1), (2) dan (3), yaitu: (1) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun tertulis. (2) setiap orang yang mengetahui pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hak tersebut kepada penyelidik atau penyidik. (3) setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Tertangkap tangan dalam Pasal 1 butir 19 KUHAP dijelaskan sebagai: Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana tersebut. Definisi penyidikan berdasarkan KUHAP Pasal 1 butir 2 adalah serangkaian tindakan penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti sehingga membuat terang tindak pidana yang terjadi dan menemukan tersangkanya.. Bukti yang dimaksud dalam. ketentuan tersebut meliputi benda sitaan/barang bukti (Pasal 129 jo 181 KUHAP) serta alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. 25 Menurut de Pinto,. 25. HMA Kuffal,Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, UMM Press, Malang, 2010, Hlm. 47..

(32) 32. menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk melakukan pemeriksaan itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.26. C. Kajian Umum tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana hakikatnya merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaarfeit dalam bahasa Belanda. Kata strafbaarfeit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menerjemahkan kata strafbaarfeit oleh sarjana-sarjana Indonesia antara lain: tindak pidana, delict, perbuatan pidana. 27 Penulis dalam penelitian ini menggunakan istilah tindak pidana dikarenakan istilah ini lebih umum digunakan dan dapat dipahami maksudnya. Menurut Simons, tindak pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 28 Menurut J. Bauman, perbuatan/tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan. 29 Menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan yang diancam dengan pidana,. 26. Andi Hamzah, loc. cit. Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, UMM Press, Malang, 2012, hlm. 91. 28 Ibid, hlm. 93. 29 Ibid, hlm. 93. 27.

(33) 33. terhadap barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Terjadinya perbuatan atau tindak pidana harus dipenuhi unsur:30 a) adanya perbuatan (manusia) b) yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 ayat (1) KUHP) c) bersifat melawan hukum (hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan diikutinya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif).. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana Terdapat dua pandangan yang dikenal dalam mengkaji unsur-unsur tindak pidana, yaitu pandangan monistis dan pandangan dualistis. Menurut D. Simons yang menganut pandangan monistis, unsur-unsur strafbaar feit (dalam penelitian ini disebut dengan tindak pidana) adalah: 1. perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan), 2. diancam dengan pidana (stratbaar gesteld), 3. melawan hukum (onrechtmatig), 4. dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand), 5. oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).31. 30. Ibid, hlm. 93-94 Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan kedua, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hlm. 41. 31.

(34) 34. Menurut Van Hamel yang menganut pandangan monistis, unsur-unsur tindak pidana adalah: 1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, 2. melawan hukum, 3. dilakukan dengan kesalahan dan 4. patut dipidana.32 Menurut H.B. Vos yang menganut pandangan dualistis, unsur-unsur strafbaar beit adalah adanya kelakuan manusia dan diancam pidana dalam undang-undang. 33 Prof Moeljatno yang juga menganut pandangan dualistis menerangkan bahwa untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: 1. perbuatan (manusia); 2. yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); dan 3. bersifat melawan hukum (syarat materiil).34. 3. Jenis-jenis Tindak Pidana Tindak pidana dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Berikut ini akan dikemukakan jenis-jenis tindak pidana: a. Kejahatan dan Pelanggaran Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) membedakan tindak pidana menjadi tindak kejahatan dan tindak pidana pelanggaran. Tindak pidana kejahatan dirumuskan dalam Buku Kedua KUHP dan tindak pidana pelanggaran dirumuskan dalam buku ketiga KUHP. Kriteria pembagian demikian tidak 32. Ibid, hlm. 41 Ibid, hlm. 42. 34 Ibid, hlm. 43. 33.

(35) 35. dijelaskan dalam KUHP. Ilmu pengetahuan hukum pidana membedakan tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran yaitu yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif.35 Penganut pandangan yang bersifat kualitatif berpendapat bahwa kejahatan bersifat rechts delict dan tindak pidana pelanggaran bersifat wet delict. Rechtsdelict, maksudnya tindak pidana kejahatan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Arti dari wetdelict yaitu suatu perbuatan dipandang sebagai tindak pidana setelah adanya undang-undang yang mengatur sebagai tindak pidana. Penganut pandangan yang bersifat kuantitatif melihat kriteria pembagian tindak pidana kejahatan dengan tindak pidana pelanggaran dari segi kriminologi, yaitu tindak pidana kejahatan lebih berat jika dibandingkan dengan tindak pidana pelanggaran.36 b. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Tindak pidana ini telah selesai dengan dilakukannya perbuatan yang dirumuskan dalam undang-undang. Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini selesai apabila akibat yang dilarang itu terjadi.37. 35. Masruchin Rubai, Asas-asas Hukum Pidana, UM Press, Malang, 2001, hlm. 26 Ibid, hlm 26-27. 37 Sudarto, op. cit., hlm. 57. 36.

(36) 36. c. Tindak Pidana Commisionis, Tindak Pidana Omissionis, Tindak Pidana Commissionis per Omissionem Commissa Pembedaan ini didasarkan pada cara mewujudkan tindak pidana. Tindak pidana commisionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan, yaitu melakukan perbuatan yang dilarang. Tindak pidana omissionis adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuai dengan yang diperintahkan. Tindak pidana commissionis per omissionem commisa adalah tindak pidana yang berupa pelanggaran terhadap larangan, tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat.38 d. Tindak pidana dolus dan tindak pidana kulpa Perbedaan ini didasarkan pada sikap batin petindak. Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja. Tindak pidana kulpa adalah tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan.39 e. Tindak Pidana Aduan dan Tindak Pidana Bukan Aduan Pembedaan tindak pidana ini didasarkan pada dasar penuntutannya. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya baru dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang dirugikan atau korban. Tindak pidana bukan aduan adalah tindak pidana yang penuntutannya tidak mensyaratkan adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan atau korban untuk dilakukan penuntutan.40 f. Tindak Pidana Sederhana, Tindak Pidana Diperberat, Tindak Pidana Ringan Pembedaan tindak pidana ini didasarkan kepada kualitas tindak pidana yang mempunyai esensi atau nilai yang sama. Unsur-unsur yang dimiliki tindak pidana sederhana harus dimiliki pula oleh tindak pidana diperberat dan tindak 38. Masruchin Rubai, loc. cit. Ibid, hlm. 28. 40 Tongat, op. cit. hlm. 110 39.

(37) 37. pidana ringan. Tindak pidana sederhana adalah tindak pidana standar yang dilakukan tanpa adanya unsur tambahan lain. Tindak pidana diperberat adalah tindak pidana di samping memenuhi unsur-unsur tindak pidana sederhana ditambah ditambah unsur-unsur lain sehingga sifatnya menjadi lebih berat. Tindak pidana ringan adalah tindak pidana yang disamping harus memenuhi unsur-unsur yang disebut dalam tindak pidana sederhana harus ditambah unsur lain sehingga sifatnya menjadi lebih ringan.41. D. Pembuktian dalam KUHAP Menurut Syaiful Bakhri, pengertian pembuktian adalah sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang, membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang dipergunakan oleh hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan di dalam persidangan dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa dengan tanpa alasan yuridis dan berdasar keadilan.. 42. Menurut M. Yahya Harahap pembuktian merupakan. ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Kebenaran harus diuji dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti. Majelis hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang. 41 42. Masruchin Rubai, op. cit. hlm. 28-29. Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 4..

(38) 38. secara limitatif sebagaimana disebut dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).43 Istilah “proof” dan “evidence” dalam kosa kata bahasa Inggris yang mana apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti bukti. Menurut Ian Dennis, evidence memiliki arti yaitu informasi sebagai dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara itu, proof adalah suatu kata dengan berbagai arti. Proof dalam wancana hukum mengacu pada hasil dari proses evaluasi dan penarikan kesimpulan dari evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu pada proses itu sendiri. Dari apa yang dikemukakan oleh Ian Dennis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah “evidence” lebih mengacu kepada pengertian alat bukti sedangkan istilah “proof” lebih mengacu kepada pembuktian yang mengarah pada suatu proses. Terdapat pula istilah hukum pembuktian yang menurut Bambang Poernomo adalah keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk merekonstruksi suatu kenyataan yang benar pada setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.44 Tujuan utama dalam Hukum Acara Pidana ialah menemukan kebenaran materiil (materieele waarheid) dalam rangka menegakkan keadilan dan mempertahankan hukum dengan sifat mewujudkan kepentingan umum (algemene. 43. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 274. 44 Eddy O.S. Hiariej, op. cit. hlm. 2-5..

(39) 39. belangen). Menemukan kebenaran materril tersebut tergantung pada berbagai aspek dan dimensi. R. Wirjono Projodikoro menegaskan bahwa: Kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan yang tertentu yang sudah lampau. Makin lama waktu lampau itu, makin sukar bagi Hakim untuk menyatakan atas keadaan-keadaan itu. Karena roda pengalaman di dunia tidak mungkin diputarbalikkan lagi, kepastian seratus persen, bahwa apa yang akan diyakini oleh Hakim tentang suatu keadaan, betul-betul sesuai dengan kebenarannya, tidak mungkin dicapai. Sebetulnya acara pidana hanya dapat menunjukkan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan Hakim dan kebenaran sejati. Untuk mendapat keyakinan ini, Hakim membutuhkan alat-alat guna menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu.45 Pembuktian berdasarkan hal tersebut diatas dapat ditegaskan bahwa meliputi dimensi: a. Penyebutan alat-alat bukti yang dapat dipakai oleh Hakim untuk mendapatkan gambaran dari peristiwa yang sudah lampau itu (opsomming van bewijsmiddelen); b. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan (bewijsvoering); c. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat-alat bukti itu (bewijskracht der bewijsmiddelen).46 Ketiga dimensi tersebut diatas termasuk di dalam sistem pembuktian. Sistem pembuktian bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara yang sedang diperiksa. Hakim dalam menerapkan pembuktian bertitik tolak pada sistem pembuktian.. 47. Terdapat empat teori. mengenai sistem pembuktian, yaitu:. 45. Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif, Teoretis, dan Praktik, P.T. Alumni, Bandung, 2008, hlm. 116. 46 Ibid, hlm. 116. 47 M. Yahya Harahap (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), op. cit. hlm. 276..

(40) 40. a. sistem pembuktian conviction-in time Sistem pembuktian conviction-in time menentukan kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinan hakim. Hakim dapat menarik keyakinannya tersebut berdasarkan alat-alat bukti yang diperiksanya atau mengabaikan alat-alat bukti tersebut dan langsung menarik keyakinan berdasarkan keterangan terdakwa atau pengakuan terdakwa. Kelemahan dari sistem pembuktian ini ialah hakim dapat leluasa membebaskan terdakwa selama hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa walaupun alat-alat bukti telah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa.48 b. sistem pembuktian conviction-raisonee Sistem pembuktian conviction-raisonee hampir sama dengan convictionin time yaitu dalam menentukan kesalahan terdakwa berdasar pada keyakinan hakim, namun keyakinan hakim dalam sistem ini tidak sebebas pada sistem conviction-in time dikarenakan keyakinan hakim harus didukung dengan alasanalasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan terdakwa dan alasan-alasan tersebut haruslah berdasar alasan yang logis dan dapat diterima akal.49 c. sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijs theorie) Menurut sistem pembuktian ini dalam menentukan kesalahan terdakwa, keyakinan hakim harus bergantung pada alat-alat bukti sebagaimana ditentukan secara limitatif oleh undang-undang. Peraturan perundang-undangan dengan demikian telah menentukan alat-alat bukti mana saja yang dapat dipakai dalam 48 49. Ibid, hlm. 277. Ibid, hlm. 277-278.

(41) 41. acara peradilan dan digunakan untuk menentukan keyakinan hakim. Peraturan perundang-undangan pun telah mengatur hakim untuk mempergunakan alat-alat bukti tersebut, kekuatan alat bukti tersebut dan bagaimana hakim harus memutus terbukti atau tidaknya perkara yang sedang diadili. Menurut D. Simons, sistem ini ditujukan untuk menyingkirkan pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras.50 d. sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa apabila ada alat bukti yang disebutkan secara limitatif dalam undang-undang dengan didukung keyakinan hakim atas eksistensi alat-alat bukti tersebut. Sistem pembuktian ini merupakan kombinasi dari sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem pembuktian conviction-raisonee.51 Pembuktian merupakan unsur yang sangat esensial dikarenakan yang dicari dalam perkara pidana ialah kebenaran materiil. Pembuktian perkara pidana telah dimulai sejak tahap pedahuluan, yaitu pada saat penyelidikan dan penyidikan. Penyelesaian perkara pidana di Indonesia meliputi beberapa tahap, yaitu penyelidikan dan penyidikan di tingkat kepolisian, tahap penuntutan di kejaksaan, tahap pemeriksaan perkara tingkat pertama di pengadilan negeri, tahap upaya hukum di pengadilan tinggi serta Mahkamah Agung. Pembuktian dalam perkara pidana melibatkan institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.52. 50. Lilik Mulyadi, op. cit. hlm. 117. Ibid, hlm. 120. 52 Eddy O.S. Hiariej, op. cit., hlm. 96. 51.

(42) 42. Sistem pembuktian di pengadilan sangat menentukan keputusan hakim, dalam KUHAP Pasal 183 ditentukan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang harus mendasarkan keyakinannya pada minimal dua alat bukti. Ketentuan pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan terdakwa bersalah diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim berdasarkan alat bukti tersebut. Sistem pembuktian di Indonesia berdasarkan hal tersebut maka cenderung pada sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. 53 Penyidikan sebagai tindakan pertama dalam proses peradilan pidana yang juga salah satu tujuannya adalah mengumpulkan alat bukti yang digunakan dalam persidangan harus berdasar pada sistem pembuktian yang ada.. 53. M. Yahya Harahap, (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), op. cit. hlm. 280..

(43) 43. BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis penelitian Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian ilmiah yang dilakukan untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya yang di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 54 Kebenaran yang ingin ditemukan pada penelitian ini adalah mengenai apakah data kependudukan KTP-el dapat digunakan untuk penyidikan bahkan sebagai alat bukti di peradilan. Karakteristik penelitian yuridis normatif yaitu sumber datanya hanya terdiri dari data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri atas norma atau kaidah dasar, yaitu peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu terdiri atas bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.55 Sumber data yang digunakan peneliti terdiri atas bahan hukum primer yaitu berupa peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa literatur serta bahan hukum tertulis lainnya yang berkaitan dengan penyidikan dan administrasi kependudukan terutama yang terkait dengan data kependudukan KTP-el bahkan. 54. Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, hlm. 17. 55 Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.118-119..

(44) 44. dilakukan wawancara untuk dapat lebih memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.. B. Pendekatan Penelitian Berdasarkan jenis penelitian yang digunakan yaitu jenis penelitian yuridis normatif, maka pendekatan penelitian yang digunakan adalah: 1. Statute Approach (Pendekatan Perundang-undangan) Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani yaitu mengenai data kependudukan KTP-el untuk penyidikan. Pendekatan ini ditujukan untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu perundang-undangan dengan perundang-undangan lainnya.56 Penelitian ini akan menelaah peraturan undang-undangan yang berkaitan dengan data kependudukan KTP-el serta proses penyidikan dan pembuktian dikaitkan dengan isu hukum yang diangkat oleh peneliti.. 2.Case Approach (Pendekatan Kasus) Pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yaitu berkenaan dengan pemanfaatan KTP-el pada penyidikan. 57 Penelitian ini akan menelaah kasus pembunuhan berencana terhadap Nuryanti yang terjadi pada 10 Maret 2013 yang ditangani oleh Polres Malang di Kepanjen yang terjadi pada bulan Maret tahun 2013. Penelusuran terhadap kasus dilakukan dengan bersumber pada berkas acara pemeriksaan kasus 56. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm. 93. 57 Ibid, hlm 94..

(45) 45. pembunuhan Nuryanti serta wawancara langsung kepada pihak penyidik Polres Malang di Kepanjen.. C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. 58 Penelitian ini menggunakan aturan hukum, yaitu terdiri atas: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945). 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 6) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 7) Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.. 58. Ibid, hlm. 141..

(46) 46. 8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian, Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan. 9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2009 tentang Standar dan Spesifikasi Perangkat Keras, Perangkat Lunak dan Blanko Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional.. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah segala bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu berupa literatur, jurnal ilmiah, artikel baik dari media cetak maupun media internet yang berkaitan dengan KTP-el dan hukum acara pidana dan hasil wawancara terutama mengenai kasus yang berkaitan dengan pemanfaatan data kependudukan KTP-el, dalam hal ini wawancara dilakukan kepada pihak penyidik Polres Malang di Kepanjen mengenai kasus pembunuhan Nuryanti.. 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier yaitu segala bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.59 Bahan hukum tersier yang digunakan pada penelitian ini yaitu kamus hukum dan kamus kependudukan.. 59. Amiruddin & Zainal Asikin, loc.cit..

(47) 47. D. Teknik Penelusuran atau Pengumpulan Bahan Hukum Penelusuran bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier dilakukan melalui studi kepustakaan maupun studi dokumentasi terhadap bahan-bahan hukum yang terdapat pada pusat-pusat dokumentasi dan informasi hukum atau di perpustakaan-perpustakaan pada instansi yaitu berupa literatur, dan artikel yang terkait maupun penelusuran melalui internet. Penelusuran bahan hukum. juga dilakukan melalui wawancara untuk. memberikan pemahaman mendalam terhadap pendekatan kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Pengolahan dan perumusan bahan hukum secara sistematis dilakukan setelah semua bahan hukum dikumpulkan. Terhadap bahan hukum tersebut dilakukan pengutipan baik secara langsung maupun tidak langsung.. E. Teknik Analisis Bahan Hukum Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik interpretasi gramatikal dan analisis sistematis. Teknik interpretasi gramatikal yaitu teknik analisis bahan hukum dengan memberikan pengertian terhadap suatu istilah sesuai dengan bahasa sehari-hari atau bahasa hukum. 60 Penelitian ini menggunakan istilah yang lebih umum berdasarkan bahasa seharihari maupun penjelasan dalam perundang-undangan kemudian menganalisis bahan hukum tersebut terhadap penggunaan data kependudukan KTP-el untuk penyidikanuntuk dapat lebih memahami makna peraturan perundang-undangan yang menjadi sumber bahan hukum.. 60. Amiruddin & Zainal Asikin, op. cit. hlm. 164..

(48) 48. Teknik analisis sistematis, yaitu apabila suatu istilah digunakan lebih dari satu kali dalam suatu pasal atau suatu peraturan perundang-undangan maka pengertiannya pada pasal atau undang-undang lainnya juga harus sama. Penelitian ini ditulis secara sistematis dengan mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan KTP-el dan penyidikan secara cermat sehingga tidak terdapat makna ganda terhadap suatu istilah hukum.61. F. Definisi Konseptual a. Data kependudukan adalah data perseorangan dan/atau data agregat yang terstruktur sebagai hasil dari kegiatan pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil. b. Kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), adalah kartu tanda penduduk yang dilengkapi chip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mana terdiri atas data kependudukan berupa data wilayah, data keluarga, biodata penduduk, data pencatatan sipil, pasphoto, sidik jari tangan, iris mata dan tanda tangan penduduk dikumpulkan melalui perekaman data menggunakan sistem informasi administrasi kependudukan.. 61. Ibid, hlm. 164..

(49) 49. BAB IV PEMBAHASAN. A. Prinsip-prinsip atau Asas-asas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 1. Asas-asas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. KTP-el merupakan program yang dicanangkan pemerintah dalam rangka pemuktakhiran data kependudukan untuk mencegah terjadinya kartu tanda penduduk ganda serta ditujukan untuk pemanfaatan pada beberapa bidang sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan. Landasan hukum dari KTP-el adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2009 tentang Standar dan Spesifikasi Perangkat Keras, Perangkat Lunak dan Blanko Kartu Tanda Penduduk Berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 merupakan kelanjutan dari program pemerintah mengenai sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 25 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengkajian, Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Administrasi Informasi Kependudukan. “Program perekaman data untuk KTP-el.

(50) 50. merupakan program lanjutan dari program SIAK dimana untuk melaksanakan program perekaman data tersebut dianggarkan dana sebesar Rp 6,9 triliun dengan Rp 5,8 triliun diantaranya digunakan untuk perekaman dan pencetakan 172 juta KTP-el. Perekaman KTP-el tidak dilakukan terhadap setiap penduduk Indonesia maupun WNI di luar negeri, melainkan hanya terhadap penduduk yang memenuhi syarat yaitu berusia 17 tahun atau sudah kawin atau pernah kawin. Proses yang dilakukan selanjutnya untuk membuat KTP-el adalah mengajukan surat pengantar pembuatan KTP-el yang ditandatangani RT dan RW dan foto copy Kartu Keluarga (KK) kepada kelurahan setempat. Pengaju kemudian mengisi formulir dari kelurahan untuk kemudian dibuatkan surat pengantar oleh kelurahan untuk selanjutnya diajukan kepada kantor Kecamatan setempat. Kelengkapan syarat pengajuan selanjutnya diperiksa di kantor Kecamatan dan setelah dipastikan bahwa syarat telah lengkap, maka dibuat surat pengantar untuk selanjutnya pengaju dapat melakukan proses perekaman pada kantor pelayanan yang ditunjuk. 62 Proses selanjutnya adalah proses pengolahan hasil perekaman data penduduk oleh instansi pelaksana sebagaimana diatur oleh peraturan perundangundangandan pengaturan teknis pembuatan KTP-el yaitu berupa pencatatan hasil perekaman, identifikasi dan verifikasi data, dan proses memasukkan data ke dalam chip KTP-el dan SIAK untuk kemudian dilakukan proses pencetakan dan pendistribusian blanko KTP-el kepada pemiliknya.63. 62. Pemerintah Kabupaten Sumedang, Tata Cara dan Persyaratan Pembuatan KTP (online), http://www.sumedangkab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=118:tatacaradan-persyaratan-pembuatan-ktp-&catid=64:layanan-publik, (10 Juli 2014). 63 Pemerintah Kabupaten Temanggung, Cegah KTP Ganda, Cegah Kejahatan, Gema, 2012, hlm. 12..

(51) 51. Bagan 4.1 Proses Pendaftaran KTP-el. Sumber: bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, diolah, 2014.. Perekaman KTP-el menimbulkan perlunya beberapa perubahan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sehingga hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi.

Referensi

Dokumen terkait

Sevilla, et.al. Untuk memudahkan Penulis menganalisa penelitian ini, maka penulis mengurai beberapa definisi konsep yaitu 1) Produktivitas: Proses penggunaan e-KTP di

pelayanan Khususnya dalam Pengurusan KTP-el yang dijanjikan akan memuaskan masyarakat, cukup memuaskan meskipun masih ada yang tidak mengindahkan itu disebabkan tidak

Kebijakan pemerintah mengenai E-KTP ini dijalankan secara baik. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil sendiri menjalankan tugasnya.. sesuai arahan dan kebijakan dari

Pihak Kecamatan Regol bertanggung jawab dengan menyelesaikan dan memberikan KTP-el kepada masyarakat dan upaya dalam mengatasi hambatan yang muncul pada faktor tanggung

Cara yang pada umumnya digunakan pelaku pemalsu dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga dan akta kelahiran dan dokumen lainnya adalah dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi

Dapat dipertanggungjawabkan maksudnya ia ada pada suatu keadaan jiwa pembuat, yang memiliki cukup akal dan kemauan, oleh karena cukup mampu untuk mengerti arti perbuatannya dan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan bahwa dalam rangka menciptakan kepemilikan 1 (satu) e-KTP untuk 1 (satu) penduduk diperlukan

---; Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan dan Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas, PT Raja Grafindo