• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4.3.1. Foto toraks

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. Pada foto toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner.22

Pemberian OAT pada penderita golongan risiko tinggi yang tidak menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menimbulkan pemikiran kemungkinan kanker paru dan melakukan pemeriksaan penunjang lain sehingga kanker paru dapat disingkirkan. Pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor di balik pneumonia tersebut.18

Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru.2

Gambaran radiologi Karsinoma sel skuamosa Adenokar sinoma Karsinoma sel kecil Karsinoma sel besar Nodul ≤4 cm 14% 46% 21% 18% Lokasi perifer 29% 65% 26% 61% Lokasi sentral 64% 5% 74% 42% Massa hilar/perihilar 40% 17% 78% 32% Kavitas 5% 3% 0% 4% Keterlibatan pleura/dinding dada 3% 14% 5% 2% Adenopati hilar 38% 19% 61% 32% Adenopati mediastinum 5% 9% 14% 10%

2.4.3.2. CT scan toraks

CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat mendeteksi tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat dilihat dengan foto toraks, dapat menentukan ukuran, bentuk, dan lokasi yang tepat dari tumor oleh karena 3 dimensi. CT scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening regional.22 Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan CT scan toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi ada/tidak adanya pembesaran KGB adrenal.18

2.4.3.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging Scans)

MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker paru. Pada keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi area yang sulit diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti diafragma atau bagian apeks paru (untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke vertebra).22

2.4.3.4. PET scan (Positron Emission Tomography)

PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul glukosa yang memiliki komponen radioaktif diinjeksikan ke dalam tubuh kemudian

scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa daripada sel yang normal karena sel-sel kanker bertumbuh dan bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan dengan sel kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor metastasis tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.22

PET scan tidak rutin digunakan sebagai tes diagnostik lini pertama untuk kanker paru, kadang digunakan setelah foto toraks atau CT scan toraks untuk membedakan antara tumor jinak dan ganas. PET scan khusus digunakan untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional dan metastasis jauh. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi yang lain dari kanker yang juga dapat menyebabkan gambaran positif PET scan. Gambaran PET scan sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan dikorelasikan dengan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.22

2.4.4. Sitologi Sputum

Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan pula berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang pasien mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem bronkopulmoner yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material seluler, non seluler, dan non pulmoner tergantung dari proses patologis yang mendasarinya. Komponen seluler terdiri dari sel-sel inflamasi atau sel darah merah dari

saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel keganasan dari tumor paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa orofaring atau sisa-sisa makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum apabila mengalami aspirasi ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan komponen utama dari sputum (90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim, karbohidrat, lemak, dan glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum adalah karakteristik fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan, proses inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.23

Analisa sputum dapat melengkapi pemeriksaan CT scan toraks, oleh karena sel-sel tumor yang terletak di saluran nafas sentral akan ber-eksfoliatif ke dalam sputum lebih banyak dibandingkan sel-sel tumor yang berada di perifer.24 Dasar dari gambaran sitologi sel-sel epitel bronkus mengalami eksfoliatif ke dalam sputum dapat memprediksikan risiko terjadinya kanker paru yaitu dari pemikiran bahwa perubahan sitologi sel epitel bronkus karena sel-sel mengalami progresi melalui tahapan-tahapan dari inflamasi menjadi kanker paru. Dasar ini dibuktikan dengan sering ditemukannya gambaran metaplasia skuamosa bronkus dan sel-sel atipik pada kanker paru yang invasif, dan penemuan dari beberapa kasus bahwa pasien-pasien dengan sitologi sputum yang jelek atau atipik sedang memiliki risiko yang tinggi untuk menderita kanker paru.25

Pemeriksaan sitologi sputum saat ini menjadi satu-satunya metode non invasif yang dapat mendeteksi kanker paru dan lesi-lesi pre-keganasan secara

dini. Walaupun spesifitas sitologi sputum konvensional sangat tinggi (98%), namun sensitivitasnya sangat rendah.24 Sitologi sputum memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral (71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%).6,14 Jenis sel tumor, lokasi, dan ukuran tumor mempengaruhi sensitivitas sitologi sputum. Cakupan diagnostik paling tinggi pada karsinoma skuamosa dan karsinoma sel kecil, tetapi paling rendah pada adenokarsinoma. Tumor yang lokasinya di sentral atau berada di lobus bawah dan berdiameter >2 cm memiliki cakupan yang lebih tinggi. Sitologi sputum memiliki akurasi 50-80% tergantung dari derajat diferensiasi sel-sel tumor. Tumor berdiferensiasi buruk akan lebih sulit untuk menentukan subtipe-nya. Pada pasien-pasien dengan tumor perifer yang berukuran kecil yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks, hanya sekitar 4-11% kasus yang dapat dideteksi dengan sitologi sputum saja, dan 7-15% kasus dapat terdeteksi dengan kedua modalitas tersebut.24,26 Pemeriksaan sitologi sputum sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan sampel sputum yang adekuat, yang mencakup elemen-elemen seluler saluran nafas bawah. Akurasi diagnostik dari sitologi sputum, bagaimanapun, tergantung dari pengambilan sampel (minimal 3 sampel) dan teknik pengumpulan sputum, serta lokasi (sentral atau perifer) dan ukuran tumor. Blocking dkk. telah menunjukkan bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14 Cara yang paling mudah adalah dengan cara batuk spontan di pagi hari, dengan mengumpulkan tiga buah sampel sputum sekuensial I selama 3 hari dan 3 buah sampel sputum

sekuensial II selama 3 hari, untuk mendapatkan sputum yang sama adekuat dengan sputum induksi NaCl 3%. Sampel sputum sekuensial II dapat mencakup lebih banyak kelainan dibandingkan dengan sekuensial I, oleh karena pasien sudah belajar membatukkan. Pada pasien-pasien yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan, induksi dengan NaCl 3% dapat lebih efektif. Perkusi dan vibrasi dada juga dapat meningkatkan cakupan diagnostik sputum.25,27 Sputum pertama di pagi hari atau sputum setelah/post bronkoskopi cenderung memiliki cakupan diagnostik yang lebih tinggi. Cakupan diagnostik dari hanya satu sampel sputum berkisar 40%, namun dengan pengumpulan yang berulang dapat mencapai >80% dari 4 sampel sputum. Bila ditangani oleh tenaga yang terampil, maka kekerapan terjadinya “false-postive” tidak melebihi dari 1%.26

Terdapat dua metode untuk mengumpulkan/fiksasi sputum untuk pemeriksaan sitologi sputum, yaitu teknik pick-and-smear (sputum langsung/segar) dan teknik Saccomanno (blended). Teknik pick-and-smear merupakan metode yang cepat, sederhana, dan murah untuk mengumpulkan sputum, dimana sputum yang segar diperiksakan fragmen-fragmen jaringannya, darah, atau keduanya. Apusan dibuat dengan segera dan difiksasi dalam etanol 95%. Modifikasi dari metode ini adalah teknik fiksasi Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dalam larutan etanol 50% dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Sputum yang terkumpul kemudian dihomogenisasi dalam blender dan dikonsentrasikan dengan menggunakan sentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 15 menit. Supernatan dibuang.

Beberapa sediaan apus (smears) dapat dibuat dari material seluler yang telah dikonsentrasikan (sedimen), dengan menggunakan dua buah kaca objek, dikeringkan di udara ruangan selama minimal 1 jam, kemudian diwarnai dengan teknik Papanicolaou. Larutan fiksasi Saccomanno yang mengandung carbowax lebih efektif/superior dibandingkan dengan hanya menggunakan etanol saja. Keuntungan dari teknik fiksasi Saccomanno ini adalah pengumpulan sampel sputum yang homogen, pengawetan sel-sel yang lama, dan preparasi sel yang tipis (thin-layer cell preparation). Sedangkan kekurangannya adalah pemecahan agregat-agregat sel dan fragmen-fragmen jaringan sewaktu homogenisasi, serta membutuhkan tenaga laboran yang terampil.25,27,28

Pada penelitian Rizzo dkk., lebih banyak sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan teknik fiksasi Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan teknik Saccomanno.11

Kategori diagnostik untuk pemeriksaan sitologi meliputi :28

a. Tidak dapat didiagnosis (non-diagnostic specimens)

Bila pada spesimen tidak terdapat materi seluler, hanya ditemukan adanya sel-sel darah atau artefak-artefak sewaktu preservasi. Termasuk dalam kategori ini adalah specimen yang terdiri dari elemen-elemen seluler jinak

(epitel, makrofag, sel-sel inflamasi). Dalam hal ini harus dikemukakan alasan kenapa dimasukkan ke dalam kategori ini.

b. Lesi jinak spesifik (specific benign lesions)

Kategori ini meliputi semua neoplasma jinak, proses inflamasi, dan apusan pada proses infeksi (jamur, mycobacterium, dan bakteri), serta harus dideskripsikan secara spesifik, seperti jinak-hamartoma, jinak-inflamasi granuloma yang sesuai dengan tuberculosis, dan lain sebagainya.

c. Atipikal, kemungkinan jinak (atypical cells present, probably benign)

Kategori ini digunakan bila ditemukan komponen epitel atau mesenkim dengan inti atipik (nuclear atypia) sebagai perubahan yang reaktif atau reparatif (reparative). Diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi membutuhkan korelasi patologi klinik dan pemeriksaan tambahan bila ada indikasi secara klinis.

d. Atipikal, curiga keganasan (atypical, suspicious malignancy)

Kategori ini meliputi specimen yang menunjukkan gambaran atipik yang diyakini berisiko tinggi terjadinya keganasan (sel-sel sangat abnormal).

e. Keganasan (malignancy)

Kategori ini dibuat bila ditemukan adanya diagnosis definitif keganasan, disertai dengan jenis histologi karsinoma. Harus dideskripsikan apakah

keganasan berasal dari epital atau non-epitel, dan bila berasal dari epitel, harus dijabarkan lebih lanjut apakah sel kecil (small cell) atau bukan sel kecil (non small cell) ataukah metastasis. Oleh karena itu sangat dibutuhkan korelasi dengan klinis.

Sitologi sputum telah dipublikasikan sebagai metode untuk mengetahui risiko terjadinya kanker paru. Saccomanno dkk. melaporkan progresi dari perubahan sitologi sampai menjadi karsinoma pada populasi risiko tinggi di Colorado Barat. Perubahan morfologi sitologi ini dapat mendeteksi dini kanker paru dan perubahan lesi-lesi pre-keganasan dapat terdeteksi beberapa tahun sebelum diagnosis kanker paru ditegakkan secara klinis.6,18 Telah dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa atipik berat akan berisiko 45% berkembang menjadi kanker paru dalam 2 tahun. Pada penelitian Johns Hopkins dalam National Cancer Institute Cooperative Early Lung Cancer Detection Project, dinyatakan bahwa atipik sedang juga berisiko berkembang menjadi kanker paru. Sebanyak 40% pasien dengan atipik sedang berkembang menjadi kanker paru dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan 3% pasien non atipik.27

Gambar 1A Gambar 1B

Gambar 1. Sitologi sputum27

Keterangan :

1A. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus yang normal pada sputum, dengan inti yang eksentrik dan sitoplasma apical yang banyak.

1B. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus pada sputum dengan atipik sedang, sel eosinofilik dengan rasio inti : sitoplasma besar, membran inti ireguler, dan nukleolus yang berbeda.

Induksi sputum

Sputum yang didapatkan menggambarkan bagian bronkus. Sputum berisi hasil sekresi dari sel-sel epitel dan submukosa pernafasan. Dengan induksi didapatkan sputum yang adekuat dari saluran nafas bawah. Induksi

sputum juga mengandung saliva, transudat, dan larutan sodium klorid. Tujuan induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Induksi sputum dapat menstimulasi batuk yang lebih produktif.23 Sputum induksi mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing) tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8

Belum ada metode standar untuk induksi sputum. Prinsip yang ada pada berbagai metode ialah :8

1. Pengobatan awal dengan bronkodilator (salbutamol) kerja singkat 2. Monitoring faal paru

3. Nebulisasi dengan nebulizer ultrasonik/jet nebulizer 4. Konsentrasi cairan saline umumnya 3%, 4%, atau 5%.

Efek samping dari nebulisasi jarang terjadi, umumnya berupa pusing (dizziness) karena hiperventilasi atau mual (nausea) karena larutan saline hipertoniknya.29 Selain itu dapat terjadi juga bronkospasme terutama pada pasien-pasien dengan riwayat asma, dapat dicegah dengan pemberian bronkodilator (salbutamol 2.5 mg) sebelum pemberian cairan saline. Pemberian saline hipertonik lebih efektif dibandingkan saline normal dalam hal menginduksi pengeluaran sputum. Tidak ada perbedaan hasil komposisi sel akibat perbedaan konsentrasi saline. Penggunaan nebulizer ultrasonik lebih berhasil dibandingkan dengan nebulizer jet.8,27 Menurut Marek dkk. induksi

sputum dapat dilakukan dengan inhalasi NaCl 3% selama 20 menit (disertai dengan 2.5 mg Salbutamol dalam 20 ml NaCl 3%).30

Pada kondisi normal, sel-sel epitel yang melapisi pohon trakeobronkial berdampingan (koheren) dengan ketat dan tidak dapat dieksfoliasikan dengan mudah ke dalam sputum. Oleh karena itu, pertanda yang paling baik dari batuk yang dalam (sputum adekuat) adalah adanya fagosit alveolar. Sebaliknya, air liur (saliva) ditandai oleh adanya sel-sel skuamosa superfisial dari mukosa mulut, sering dengan partikel-partikel makanan dan debris-debris seluler dan aselular. Kadang air liur pasti menyertai/bercampur dengan sputum; seorang ahli harus dapat mengidentifikasi dan memisahkan sputum dari air liur sebelum pemrosesan.29

Sputum Post Bronkoskopi

Ada beberapa teknik diagnostik yang biasanya dilakukan pada tindakan bronkoskopi, terutama bronkoskopi serat optik lentur/fleksibel, yaitu

washing, sikatan bronkus/brushing, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi

bronkus, dan juga sitologi sputum post bronkoskopi. Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan sputum post bronkoskopi merupakan diagnostik yang valid.31

Pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976), tindakan bronkoskopi dilakukan pada 228 orang pasien. Penelitian bersifat prospektif untuk menentukan teknik pengambilan spesimen yang mana yang memberikan

cakupan diagnostik paling besar dalam mendiagnosis kanker paru, apakah sputum post bronkoskopi masih menjadi metode yang paling akurat, seperti waktu hanya bronkoskopi kaku (rigid bronchoscopy) yang tersedia. Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dilakukan dari sikatan bronkus (brushing), biopsi bronkus, sikatan bronkus dalam larutan saline, cucian bronkus (washing), dan tiga buah sampel sputum post bronkoskopi selama 16-20 jam setelah tindakan post bronkoskopi. Sikatan bronkus dan biopsi bronkus memiliki cakupan diagnostik yang tinggi (65%), sedangkan sputum post bronkoskopi kurang (40%). Kombinasi sikatan bronkus dan biopsi bronkus memberikan akurasi yang paling optimal (79%). Sedangkan kombinasi washing dan sputum post bronkoskopi tidak meningkatkan cakupan diagnostik yang bermakna. Namun ada peneliti-peneliti lainnya yang memikirkan bahaya terjadinya hipoksemia oleh karena instilasi larutan saline ke dalam saluran napas pada saat bronkoskopi. Spesimen sputum post bronkoskopi dapat menempati peranan tersendiri. Walaupun pasien yang koperatif dapat melakukannya sendiri di rumah atau rumah sakit, tetapi tanggung jawab tersebut tetap berada pada tenaga paramedis.17

Penelitian Funahashi dkk. (1979) melakukan tindakan bronkoskopi pada 273 orang pasien untuk menentukan juga peranan aspirasi bronkus dan sputum post bronkoskopi (setelah prosedur, dalam 4 jam setelah prosedur, dan 24 jam setelah prosedur) dalam penegakan diagnosis kanker paru. Didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil

positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi) menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi). Sedangkan kombinasi biopsi forseps dan sikatan bronkus memiliki cakupan sebesar 97% (61 orang positif dari 63 orang pasien dengan tumor yang terlihat secara bronkoskopi).16

Larutan Fiksasi Saccomanno

Saccomanno merupakan larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 50% dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Etanol dapat diencerkan dari cairan etanol 96% dengan perbandingan 26 ml etanol 96% ditambah dengan 24 ml akuades. Polietilen glikol (PEG) atau yang disebut juga dengan carbowax/carbowax sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E. PEG adalah produk polimerasi dari etilen oksida atau produk kondensasi dari etilen glikol. Pemilihan kondisi reaksinya diperoleh produk dengan tingkat polimerasi yang berbeda, yang dinyatakan dengan berat molekul rata-rata. Dalam penelitian ini yang dipakai sebagai campuran Saccomanno adalah PEG 400, yang memiliki rumus kimia :

H-(O-CH2-CH2)nOH dengan n = 8.2 dan 9.1

PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berwarna, bau khas lemah, agak higroskopik, larut dalam air, etanol 95%, aseton, dan hidrokarbon aromatik. PEG bersifat bakterisida, penyimpanannya selama

beberapa bulan tidak perlu mengkhawatirkan adanya pencemaran bakteri, oleh karena itu tidak diperlukan pengawetan sediaan.32

2.4.5. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan visualisasi trakea dan bronkus, melalui bronkoskop, yang berfungsi dalam prosedur diagnostik dan terapi penyakit paru.33 Bronkoskopi dengan tujuan diagnostik dapat diandalkan untuk mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya massa intra bronkus atau perubahan mukosa saluran nafas, seperti terlihat kelainan mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltratif, mudah berdarah. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus.Tampakan yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.18

Jenis Bronkoskopi

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel.33

Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel

Bronkoskopi ini mulai diperkenalkan oleh Shigeta Ikedo pada International Congress on Diseases of The Chest ke-9 di Kopenhagen tahun 1966.33 Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber Optic Bronchoscopy (FOB), atau Flexible Bronchoscopy (FB) umumnya digunakan untuk diagnostik invasif dan tindakan terapeutik.33,34

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL).34

Indikasi BSOL/FB baik untuk diagnostik antara lain adalah hemoptisis/batuk darah, adanya wheezing/stridor, infiltrat paru yang tidak diketahui etiologinya, kolaps paru yang tidak diketahui penyebabnya, curiga karsinoma paru, massa mediastinal/hilus, trauma dada/ruptur saluran nafas sentral, dan lain-lain. Sedangkan kontraindikasinya adalah :35

a. Kontraindikasi absolut (hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi, pasien inkooperatif, kurangnya keterampilan operator maupun fasilitas/peralatan, unstable angina, aritmia yang tidak terkontrol).

b. Kontraindikasi relatif (hiperkarbia yang berat, asma yang tidak terkontrol, koagulopati yang tidak terkoreksi, unstable cervical spine, membutuhkan pengambilan spesimen dalam jumlah banyak, debilitas, usia lanjut, malnutrisi).

Pengambilan Spesimen

Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosa. Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti :35

1. Cucian bronkus (bronchial washing)

Manfaat cucian bronkus ini kebanyakan adalah untuk diagnosis penyakit saluran napas termasuk tumor paru primer ataupun sekunder dan infeksi jamur atau mikobakterium. Cucian bronkus merupakan pengambilan spesimen yang paling mudah tetapi memiliki cakupan diagnostik yang paling kecil dalam tindakan bronkoskopi (sensitivitas 27- 90%), dengan cakupan yang paling besar untuk lesi-lesi sentral.

2. Sikatan bronkus (bronchial brushing)

Pertama kali diperkenalkan tahun 1973 dan menunjukkan cakupan diagnostik yang cukup tinggi pada kebanyakan kasus kanker paru.

Umumnya sikatan bronkus ini positif pada 72% kasus kanker paru sentral dan 45% kasus kanker paru perifer, tetapi bila dikombinasikan dengan biopsi endobronkial lesi sentral akan mencakup 79-96% kasus. Biasanya sikatan bronkus dilakukan setelah semua spesimen diambil untuk mencegah terjadinya perdarahan atau distorsi sel yang akan mengaburkan interpretasi sewaktu tindakan bronkoskopi.

3. Protected Specimen Brush

Pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Wimberley dkk. sebagai suatu teknik pengambilan untuk mendapatkan diagnosis yang akurat pada pasien-pasien pneumonia. Pada kasus VAP (Ventilator- associated pneumonia), sensitivitasnya berkisar antara 58-86% dan spesifisitasnya 71-100%. Namun sekarang, teknik ini kurang dipopulerkan lagi.

4. Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Teknik ini merupakan prosedur standar diagnostik pada semua pasien yang dicurigai mengalami kelainan paru difus (infeksi, non infeksi, imunologik, atau keganasan). BAL mencakup komponen seluler maupun non seluler dari lapisan cairan alveolus dan permukaan epitel saluran napas bawah, mewakili proses inflamasi dan status imun dari saluran napas bawah dan alveoli. BAL dianjurkan bila ada kemungkinan terjadinya perdarahan saat dilakukannya sikatan bronkus, biopsi transbronkial, aspirasi jarum transbronkial, ataupun bila tidak ada fasilitas fluoroskopi. BAL juga dapat mendiagnosis kanker paru primer perifer

dengan cakupan diagnostik sekitar 33-69%, bronkoalveolar carcinoma, maupun lymphangitic carcinomatosis.

5. Biopsi endobronkial

Teknik ini sangat penting dan sederhana untuk mendiagnosis kanker paru, dilakukan pada lesi-lesi yang jelas terlihat selama bronkoskopi. Biopsi endobronkial memiliki cakupan diagnostik berkisar antara 51-97%. Tiga sampel biopsi yang diambil dari lesi endobronkial akan memberikan cakupan sebesar 97%, tetapi bisa menunjukkan hasil yang negatif palsu bila terdapat nekrosis perifer.

6. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA merupakan teknik yang sensitif, akurat, aman, dan efektif secara finansial untuk diagnosis maupun penentuan stadium kanker paru. Pada beberapa kasus juga dapat digunakan untuk lesi-lesi benign (jinak). Prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut dari TBNA. Sindroma vena kava superior (SVKS) merupakan kontraindikasi relatif TBNA oleh karena dapat menyebabkan risiko perdarahan. Penegakan diagnosis dan staging karsinoma bronkogenik dapat menggunakan jarum sitologi ukuran 21-22

Dokumen terkait