• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru."

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KETEPATAN ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI 

SPUTUM

 

INDUKSI

  

NaCl

 

3%

  

DENGAN

 

SITOLOGI

 

SPUTUM

 

POST

BRONKOSKOPI  SECARA FIKSASI SACCOMANNO  DALAM 

MEMBANTU PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER PARU 

 

TESIS 

Diajukan untuk Melengkapi Syarat Pendidikan Spesialisasi di Departemen Pulmonologi  dan Ilmu Kedokteran Respirasi 

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan

  

 

       IRENA  LOLU  PUTRIYA  SINAGA 

       

 

     

 

 

PROGRAM

 

PENDIDIKAN

 

DOKTER

 

SPESIALIS

 

DEPARTEMEN PULMONOLOGI DAN ILMU KEDOKTERAN RESPIRASI 

FAKULTAS KEDOKTERAN USU/RS. HAJI ADAM MALIK 

(2)

LEMBARAN PERSETUJUAN

Judul Penelitian : Perbandingan ketepatan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Nama : Irena Lolu Putriya Sinaga

Program Studi : Pendidikan Dokter Spesialis Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara/RS. Haji Adam Malik Medan

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K)

NIP. 19581202 199103 1 001

Pembimbing II Pembimbing III Pembimbing IV

Dr. Noni N.Soeroso, SpP Dr.Sumondang Pardede, Sp.PA Dr. Arlinda S.Wahyuni,M.Kes NIP.19781120200501 2002 NIP.19550329 198303 2 002 NIP.19690609 199903 2 001

Koordinator Penelitian Ketua Program Studi Ketua Departemen

Departemen Pulmonologi & Departemen Pulmonologi & Pulmonologi &Ilmu Ilmu Kedokteran Respirasi Ilmu Kedokteran Respirasi Kedokteran Respirasi

Prof. Dr.Tamsil S, SpP (K) Dr. Amira P.Tarigan, SpP Prof.Dr.H.Luhur Soeroso,SpP(K) NIP.19521101198003 1 001 NIP. 196911071999032 002 NIP. 19440715 197402 1 001

(3)

TESIS

PPDS DEPARTEMEN PULMONOLOGI & ILMU KEDOKTERAN

RESPIRASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA/

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK

MEDAN

__________________________________________________________________

 Judul Penelitian : PERBANDINGAN KETEPATAN

ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI

SPUTUM INDUKSI NaCl 3% DENGAN

SITOLOGI SPUTUM

POST-BRONKOSKOPI SECARA FIKSASI

SACCOMANNO DALAM MEMBANTU

PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER

Departemen Pulmonologi dan Ilmu

(4)

DAFTAR ISI

1.2. Perumusan Masalah ………..

1.3. Hipotesis ………...

1.4. Tujuan Penelitian ………..

1.4.1. Tujuan Umum ………

1.4.2. Tujuan Khusus ………

1.5. Manfaat Penelitian ………..

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………...

2.1. Definisi Kanker Paru ………...

2.2. Epidemiologi Kanker Paru ……….

2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru ……….

2.4. Diagnosis Kanker Paru ………

2.4.1. Manifestasi Klinis ………..

2.4.2. Pemeriksaan Fisik ………..

2.4.3. Pemeriksaan Radiologi ………..

(5)

2.4.3.4. PET (Positron Emission Tomography) Scan………

2.4.4. Sitologi Sputum ………...

2.4.5. Bronkoskopi ………

2.5. Klasifikasi Kanker Paru ……….

2.6. Sitologi Kanker Paru ………..

2.6.1. Karsinoma Sel Skuamosa ………

2.6.2. Adenokarsinoma ……….

2.6.3. Karsinoma Sel Besar ………...

2.6.4. Karsinoma Sel Kecil ………...

BAB 3 BAHAN DAN METODA ……….

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ………...

(6)

4.2. Pembahasan ……….

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN ………

5.1. Kesimpulan ………..

5.2. Saran ………

DAFTAR PUSTAKA ………..

77  77  78 

 

79 

 

70 

 

(7)

DAFTAR SINGKATAN

ACTH : Adrenocorticotrophic hormone

ADH : Anti Diuretic Hormone

BAL : Broncho Alveolar Lavage

BSOL : Bronkoskopi Serat Optik Lentur

CT Scan : Computerized Tomographic Scans

FNAB : Fine Needle Aspirasion Biopsy

FOB : Fiber Optic Bronchoscopy

HPOA : Hypertrophic Pulmonary Osteo-Arthropathy

IASLC : International Association for The Study of Lung

Cancer

IDT : Instalasi Diagnostik Terpadu

KGB : Kelenjar Getah Bening

KPKBSK : Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil

KPKSK : Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil

MRI : Magnetic Resonance Imaging Scans

NSCLC : Non Small Cell Lung Carcinoma

OAT : Obat Anti Tuberkulosis

PA : Postero Anterior

PET : Positron Emission Tomography Scans

SCLC : Small Cell Lung Carcinoma

TBNA : Trans Bronchial Needle Aspiration

TNM : Tumor-Nodus-Metastasis

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik………..

Tabel 2. Gambaran Foto Toraks Berdasarkan Tipe Histologi

Kanker Paru ……….

Tabel 3. Karakteristik pasien berdasarkan umur dan jenis kelamin……

Tabel 4. Distribusi kasus sesuai letak tumor dan pemeriksaan

sitologi sputum induksi NaCl 3%...

Tabel 5. Distribusi kasus berdasarkan letak tumor dan pemeriksaan

sitologi sputum post bronkoskopi……….

Tabel 6. Distribusi kasus berdasarkan letak tumor dan pemeriksaan

sitologi BAL dan/atau brushing……….

Tabel 7. Tabel 2 x 2 yang menunjukkan hasil sitologi sputum induksi

NaCl 3% dan sitologi BAL dan/atau brushing………..

Tabel 8. Tabel 2 x 2 yang menunjukkan hasil sitologi sputum post

bronkoskopi dan/atau brushing……….

(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Sitologi Sputum ………

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)………..

Gambar 3. Percabangan Bronkus yang Dapat Dilihat Bronkoskopi

padaPosisi Pasien Telentang (Supine)………

Gambar 4. Perubahan Inflamasi pada Bronkitis Kronis ………….………..

Gambar 5. Sitologi Karsinoma Sel Skuamosa……….……..

Gambar 6. Sitologi Adenokarsinoma……….

Gambar 7. Sitologi Karsinoma Sel Besar (pewarnaan Papanicolaou)……...

Gambar 8. Kelompok sel dengan sitoplasma yang sedikit, nuclear

molding, dan kromatin bergranular halus, nukleolus tidak ada, formasi rosette yang baru jadi ………..

36

37

42

44

46

47  

 

 

(10)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur dan terima kasih saya ucapkan ke hadirat Tuhan Yang

Maha Esa, sebab berkat rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan

penelitian ini dengan judul “Perbandingan Ketepatan Antara Pemeriksaan Sitologi

Sputum Induksi NaCl 3% Dengan Sitologi Sputum Post Bronkoskopi Secara

Fiksasi Saccomanno Dalam Membantu Penegakan Diagnosis Kanker Paru” yang

merupakan persyaratan akhir pendidikan spesialisasi di Departemen Pulmonologi

dan Ilmu Kedokteran Respirasi Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam

Malik Medan.

Adapun keberhasilan saya dalam menyelesaikan penelitian ini tidaklah

terlepas dari bantuan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak baik semua

supervisor saya, teman sejawat asisten Departemen Pulmonologi dan Ilmu

Kedokteran Respirasi FK USU, tenaga paramedis dan non medis serta dorongan

dari pihak keluarga. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan penghargaan

dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Prof. Dr. H. Luhur Soeroso, SpP (K) sebagai Ketua Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan, yang dengan penuh kesabaran dan tiada henti-hentinya memberikan

bimbingan ilmu pengetahuan, senantiasa menanamkan disiplin, ketelitian, dan

perilaku yang baik serta pola berpikir dan bertindak ilmiah, yang sangat berguna

bagi saya untuk masa yang akan datang. Begitu juga karena telah membantu saya

dalam melakukan pemeriksaan bronkoskopi terhadap pasien-pasien tumor paru

yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Dr. Pantas Hasibuan, SpP (K) sebagai Sekretaris Bagian Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan dan Pembimbing I penulis, yang penuh kesabaran dan kebaikan

memberikan bimbingan dan masukan selama saya menjalani Program Pendidikan

Dokter Spesialis ini dan mengerjakan penelitian ini sampai selesai.

Dr. H. Zainuddin Amir, SpP (K) sebagai Ketua TKP PPDS FK USU dan

(11)

disiplin, ketelitian, pola berpikir, dan wawasan ilmiah, serta bimbingan kepada

saya, yang sangat berguna untuk menyempurnakan tugas penelitian ini.

Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, SpP (K) sebagai Koordinator Penelitian

Ilmiah di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU dan

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia cabang Sumatera Utara yang telah

banyak memberikan dorongan, bimbingan, pengarahan, dan masukan dalam

rangka penyusunan dan penyempurnaan penelitian ini.

Dr. Amira Permatasari Tarigan, SpP sebagai Ketua Program Studi

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H.

Adam Malik Medan, yang telah memberikan dukungan moral, semangat,

motivasi, bimbingan, dan masukan kepada saya selama menjalani pendidikan

spesialisasi dan menyelesaikan penelitian ini sampai selesai.

Dr. Noni Novisari Soeroso, SpP sebagai Sekretaris Program Studi

Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi dan Pembimbing II

saya, yang telah membimbing, menolong, memberikan masukan, motivasi,

didikan, dan bantuan kepada saya untuk mengerjakan penelitian ini dari awal

sampai akhir, termasuk dalam pengerjaan tindakan bronkoskopi terhadap

pasien-pasien tumor paru yang menjadi sampel dalam penelitian ini.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya saya

sampaikan kepada supervisor saya Dr. Hilaluddin Sembiring, SpP (K),

DTM&H, Prof. Dr. R.S. Parhusip, SpP (K), (alm) Dr. Sumarli, SpP (K),

(alm) Dr. Sugito, SpP (K), dan Dr. Usman, SpP, yang telah banyak

memberikan bimbingan, nasihat, ilmu pengetahuan dan pengalaman klinis beliau

selama mengabdi pada Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi

FK USU yang sangat berguna bagi saya selama menjalani pendidikan spesialisasi

ini.

Penghargaan dan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya saya

sampaikan kepada Dr. Widirahardjo, SpP (K), Dr.PS. Pandia, SpP (K), Dr.

Fajrinur Syarani, SpP (K), Dr. Parluhutan Siagian, SpP, Dr. Bintang YM.

Sinaga, SpP, Dr. Setia Putra Tarigan, SpP, Dr. Ucok Martin, SpP, dan Dr.

(12)

masukan, dan pengarahan selama saya menjalani pendidikan dan mengerjakan

penelitian ini sampai selesai.

Dr. Sumondang Pardede, SpPA sebagai Kepala Instalasi Bagian/SMF

Patologi Anatomi RSUP H. Adam Malik Medan dan pembimbing tesis saya dari

bagian Patologi Anatomi, yang dengan sabar telah memberikan bimbingan,

bantuan, masukan, motivasi, dan pengertian di bidang sitologi sputum, serta

membantu penyelesaian hasil penelitian ini sampai akhirnya penelitian ini dapat

terlaksana dengan baik.

Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes sebagai pembimbing statistik saya,

yang telah banyak memberikan bantuan, bimbingan, dan dukungan, serta

pengetahuan di bidang statistika kepada saya dalam menyelesaikan dan mengolah

hasil yang didapat dalam penelitian ini.

Izinkanlah saya mengucapkan rasa terima kasih kepada Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Direktur RSUP H. Adam Malik Medan,

yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan kepada saya selama menjalani

pendidikan spesialisasi ini.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada para teman sejawat saya

residen paru yang terkasih di Program Pendidikan Dokter Spesialis Departemen

Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK USU/RSUP H. Adam Malik

Medan, pegawai tata usaha, perawat/petugas poliklinik, ruang IDT/bronkoskopi,

ruang rawat inap Rindu A3 Paru, analis dan pegawai di Instalasi Patologi Anatomi

RSUP H. Adam Malik Medan, perawat RS. Tentara Kesdam I/BB Tk. II dan RS.

Tembakau Deli Medan, yang telah bekerjasama dan membantu saya dalam

menyelesaikan penelitian ini.

Dengan rasa hormat, kasih saying, dan ucapan terima kasih yang tiak

terbalas saya sampaikan kepada kedua orang tua saya tercinta yaitu ayahanda Kol

(Purn). Dr. Jarudi Sinaga, SpP dan ibunda Selli Deliana Herawati Purba, yang

dengan sabar membesarkan, mendidik, memotivasi, mendukung, dan setia

mendoakan saya selama saya menjalani masa pendidikan spesisalisasi ini sampai

sekarang. Demikian juga kepada mertua saya (alm) Drs. B.T. Manurung dan ibu

(13)

dukungan, semangat, bantuan kepada saya selama saya menjalani pendidikan

spesialisasi ini.

Demikian juga dengan rasa hormat, cinta kasih, dan terima kasih yang

sebesar-besarnya saya ucapkan kepada suami saya yang tercinta, dr. Edward

Sugito Manurung, karena telah setia menemani, membantu, mendorong, dan

mendoakan saya selama saya menjalani pendidikan ini sampai akhirnya

menyelesaikan tugas penelitian ini. Begitu juga saya ucapkan rasa terima kasih

yang tidak terbalas kepada saudara kandung saya yaitu abang saya Jove Meldi

Priyatama, S.T., M.Sc., dan ketiga adik-adik saya Irani Ruth Julita Sinaga, S.T.,

Penta Josua Putra Sinaga, S.T., dan Anggian Heksa Efraim, S.Psi., yang juga telah

memberikan dorongan dan semangat, doa, dan bantuannya kepada saya selama ini

sampai akhirnya dapat menyelesaikan tugas pendidikan ini dengan maksimal.

Akhirnya pada kesempatan ini perkenankanlah saya untuk menyampaikan

permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan, kekhilafan, dan

kesalahan yang saya perbuat selama ini. Semoga ilmu, keterampilan dan

pembinaan kepribadian yang saya dapatkan selama ini dapat bermanfaat bagi

agama, nusa dan bangsa dan mendapat restu dari Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, September 2011

Penulis

(14)

PERNYATAAN

PERBANDINGAN KETEPATAN ANTARA PEMERIKSAAN SITOLOGI

SPUTUM INDUKSI NaCl 3% DENGAN SITOLOGI SPUTUM POST

BRONKOSKOPI SECARA FIKSASI SACCOMANNO DALAM

MEMBANTU PENEGAKAN DIAGNOSIS KANKER PARU

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi,

dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang

pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam

naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, September 2011

Peneliti

(15)

Telah diuji pada :

Tanggal 15 September 2011

Panitia Penguji Tesis

Ketua : Dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P

Sekretaris : Dr. Noni Novisari Soeroso, Sp.P

Anggota Penguji : - Prof. Dr. Luhur Soeroso, Sp.P (K)

- Prof. Dr. Tamsil Syafiuddin, Sp.P (K)

- Dr. Hilaluddin Sembiring, DTM & H, Sp.P (K)

- Dr. H. Zainuddin Amir, Sp.P (K)

- Dr. Pandiaman Pandia, Sp.P (K)

(16)

ABSTRAK

Tujuan : Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl

3% dengan sitologi sputum post bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam

membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Metode : Studi analitik, yang dilakukan secara observasional, dengan pendekatan

cross-sectional yang bersifat uji diagnostik.

Hasil : Penderita rawat inap yang dicurigai menderita kanker paru dalam

penelitian ini adalah sebanyak 55 orang dengan proporsi pasien laki-laki sebesar

80.0% dan perempuan sebesar 20.0%. Kasus paling banyak ditemukan pada

pasien dengan kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebesar 60.0%, baik laki-laki

maupun perempuan, dengan umur yang paling tua adalah 81 tahun dan yang

paling muda adalah 38 tahun. Secara radiologi kasus tumor letak sentral adalah

sebesar 61.8% dan tumor letak perifer sebesar 38.2%. Jumlah kasus yang

menunjukkan hasil sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno

sebesar 47.3%, dimana tumor letak sentral sebesar 36.4% dan tumor letak perifer

sebesar 10.9% dengan jenis karsinoma sel skuamosa paling banyak (36.4%) dan

karsinoma sel kecil (10.9%). Sedangkan proporsi sitologi sputum post

bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dengan kasus tumor

sentral 34.5% (jenis karsinoma sel skuamosa 23.6%, karsinoma sel kecil 9.1%,

adenokarsinoma 1.8%) dan tumor letak perifer sebesar 12.7% (jenis karsinoma

sel skuamosa). Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl

(17)

pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno adalah

44.1%.

Kesimpulan : Ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan

fiksasi Saccomanno tidak berbeda secara signifikan dengan ketepatan

(sensitivitas) sitologi sputum post bronkoskopi.

Kata Kunci : sitologi sputum induksi NaCl 3%, sputum post bronkoskopi, kanker

(18)

ABSTRAK

Tujuan : Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl

3% dengan sitologi sputum post bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno dalam

membantu penegakan diagnosis kanker paru.

Metode : Studi analitik, yang dilakukan secara observasional, dengan pendekatan

cross-sectional yang bersifat uji diagnostik.

Hasil : Penderita rawat inap yang dicurigai menderita kanker paru dalam

penelitian ini adalah sebanyak 55 orang dengan proporsi pasien laki-laki sebesar

80.0% dan perempuan sebesar 20.0%. Kasus paling banyak ditemukan pada

pasien dengan kelompok umur 41-60 tahun yaitu sebesar 60.0%, baik laki-laki

maupun perempuan, dengan umur yang paling tua adalah 81 tahun dan yang

paling muda adalah 38 tahun. Secara radiologi kasus tumor letak sentral adalah

sebesar 61.8% dan tumor letak perifer sebesar 38.2%. Jumlah kasus yang

menunjukkan hasil sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno

sebesar 47.3%, dimana tumor letak sentral sebesar 36.4% dan tumor letak perifer

sebesar 10.9% dengan jenis karsinoma sel skuamosa paling banyak (36.4%) dan

karsinoma sel kecil (10.9%). Sedangkan proporsi sitologi sputum post

bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno sebesar 47.3%, dengan kasus tumor

sentral 34.5% (jenis karsinoma sel skuamosa 23.6%, karsinoma sel kecil 9.1%,

adenokarsinoma 1.8%) dan tumor letak perifer sebesar 12.7% (jenis karsinoma

sel skuamosa). Ketepatan (sensitivitas) pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl

(19)

pemeriksaan sitologi sputum post bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno adalah

44.1%.

Kesimpulan : Ketepatan (sensitivitas) sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan

fiksasi Saccomanno tidak berbeda secara signifikan dengan ketepatan

(sensitivitas) sitologi sputum post bronkoskopi.

Kata Kunci : sitologi sputum induksi NaCl 3%, sputum post bronkoskopi, kanker

(20)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kanker paru merupakan kasus keganasan yang paling sering

ditemukan di seluruh dunia dewasa ini (12.6% dari seluruh kasus baru

kanker, 17.8% dari kematian karena kanker).1,2 Diperkirakan sekitar 1.2 juta

kasus baru kanker paru dan 1.1 juta kematian akibat kanker paru terjadi pada

tahun 2000, dengan perbandingan rasio terjadinya antara laki-laki :

perempuan sekitar 2.7.2 Sedangkan pada tahun 2007, secara global

diperkirakan sekitar 1.5 juta kasus baru kanker paru.3 Kanker paru menjadi

penyebab paling sering dari kasus kematian akibat kanker pada laki-laki di

Amerika Utara dan hampir di semua negara-negara Eropa Timur maupun

Eropa Barat, dan semakin sering menjadi penyebab kematian di

negara-negara berkembang di Asia, Amerika Latin, dan Afrika, meskipun data-data

yang berkualitas tinggi untuk perbandingan belum tersedia dari kebanyakan

populasi tersebut.1

Selama berabad-abad, telah diketahui bahwa sel-sel keganasan dapat

ditemukan pada sekresi bronkus pasien kanker paru. Sitologi merupakan

salah satu pendekatan penting selain pemeriksaan histologi dan sering

menjadi metode diagnosis yang baik. Apabila sitologi sputum yang

(21)

ditegakkan dari bahan yang diambil selama tindakan bronkoskopi serat lentur

(fiberoptic bronchoscopy) yaitu dari sitologi sikatan bronkus (bronchial

brushing), bilasan bronkus (bronchial washing), ataupun dari sputum post-bronkoskopi.4 Pasien dengan sitologi sputum mencurigakan (atipik berat

atau sel keganasan) sebaiknya dilakukan tindakan bronkoskopi serat lentur

dan pemeriksaan radiologi lainnya. Menurut European Respiratory Journal

2003 sitologi sputum terutama dapat mendeteksi karsinoma skuamosa di

saluran nafas sentral. Sitologi sputum positif untuk adenokarsinoma stadium

≥ IIIA pada 82.4% kasus. Dibandingkan dengan CT scan toraks, kekerapan

“false-positive” sitologi sputum untuk deteksi dini karsinoma skuamosa

sangat rendah.5

Sitologi sputum memiliki spesifitas 99% dan sensitivitas 66%, tetapi

sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral (71%) dibandingkan dengan lesi

perifer (49%).6 Pada penelitian Siagian (2002) yang dilakukan pada 38 orang

pasien yang dirawat atau berobat jalan di Bagian/SMF Paru RS. Haji Adam

Malik, didapatkan sensitifitas sitologi sputum sebesar 26.3% (10 orang),

dengan jenis skuamosa sebanyak 80% dan adenokarsinoma sebanyak 20%.7

Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran

sputum, kepositifan sitologi sputum dapat ditingkatkan. Tujuan induksi

sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas individu

(22)

mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing)

tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8

Sedangkan pengumpulan sputum post-bronkoskopi memerlukan

kerjasama yang baik dari pasien ditambah dengan bantuan dari perawat dan

personil laboratorium. Sputum post-bronkoskopi diekspektorasikan dalam 24

jam setelah bronkoskopi.4

Diagnosis kanker paru dengan sputum induksi dapat menjadi

alternatif dari pemeriksaan bronkoskopi. Dari penelitian Khajotia (2009), 25

pasien dari kelompok sputum induksi didiagnosis menderita kanker paru

primer; sputum induksi positif ditemukan sel-sel keganasan terdapat pada 21

orang (84%), sedangkan bronkoskopi positif pada 23 orang (92%) (tidak

berbeda secara signifikan). Sebagai perbandingan, dari sputum spontan

didapatkan positif pada 15 dari 29 orang (52%) yang didiagnosis menderita

kanker paru primer, sedangkan bronkoskopi positif pada 28 (97%)

(p<0.001).9

Dari penelitian Astowo (1994) pada 50 orang (44 orang laki-laki dan

6 orang perempuan) yang dilakukan teknik pengumpulan sputum spontan

(langsung dibatukkan) dan sputum induksi inhalasi NaCl 3% di UPF Paru

RS. Persahabatan Jakarta, didapatkan hasil kepositifan sitologi sputum

spontan sebanyak 16% dan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3%

sebanyak 26%. Perbedaan ini bermakna secara statistik (p<0.05) dan tidak

(23)

Dari penelitian Rizzo dkk. (1990) yang melibatkan 249 orang yang

diambil secara consecutive sampling, didapatkan hasil bahwa lebih banyak

sel yang dapat didiagnosis dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan

dengan fiksasi Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak

informasi diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila

menggunakan fiksasi Saccomanno.11

Penelitian Salman (2002) melibatkan 93 orang yang memenuhi

kriteria inklusi (78 orang laki-laki dan 15 orang perempuan). Penelitian ini

membandingkan kepositifan antara pemeriksaan sitologi sputum induksi

NaCl 3% yang tidak difiksasi (teknik langsung) dengan sitologi sputum

induksi NaCl 3% yang difiksasi dengan Saccomanno, dan didapatkan hasil

peningkatan kepositifan sitologi sputum induksi NaCl 3% dengan fiksasi

Saccomanno (18.3%) dibandingkan dengan teknik langsung (4.3%) dalam

menegakkan diagnosis kanker paru di RS. Persahabatan Jakarta. Penelitian

ini menggunakan pemeriksaan bronkoskopi (bilasan, sikatan, biopsi aspirasi

jarum maupun biopsi), trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal

lung biopsy (TTLB), biopsi jarum halus kelenjar getah bening, sitologi cairan pleura, dan biopsi pleura sebagai baku emas (gold standard) penelitiannya.12

Penelitian Purnomo (2009-2010) yang dilakukan di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta melibatkan 57 orang yang memenuhi kriteria inklusi (40

orang laki-laki dan 17 orang perempuan) dan menggunakan trans thoracal

(24)

getah bening, dan sitologi cairan pleura sebagai baku emas. Didapatkan hasil

sensitivitas yang lebih tinggi (10.5%) pada sitologi sputum induksi NaCl 3%

tiga hari berturut-turut dengan fiksasi Saccomanno dibandingkan dengan

sensitivitas 3.5% pada sitologi sputum induksi NaCl 3% satu kali dengan

fiksasi alkohol. Sedangkan bilasan bronkus dengan fiksasi alkohol memiliki

sensitivitas sebesar 24.6%.13

Blocking dkk. telah menunjukkan bahwa sensitivitas sitologi sputum

dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14

Sedangkan pemeriksaan sitologi post-bronkoskopi pernah dilaporkan

dalam enam buah penelitian sebelumnya, yaitu penelitian Kvale dkk. (1976)

menunjukkan sensitivitas dari sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 14%,

penelitian Chopra dkk. (1977) 48%, penelitian Chandhary dkk. (1978) 51%,

penelitian Mori dkk. (1989) 21%, penelitian de Gracia dkk. (1993) 30%, dan

penelitian Wongsurakiat dkk. (1998) menunjukkan sensitivitas 8%. Dari

kumpulan penelitian tersebut, didapatkan sensitivitas sitologi sputum

post-bronkoskopi berkisar antara 8-51%, dengan nilai rata-rata 35% (Schreiber

dan McCrory, 2003).6

Dari penelitian Cok dkk. (2006) di Turki, didapatkan sensitivitas

sitologi sputum post-bronkoskopi sebesar 33%, sedangkan dari sitologi BAL

(34.7%), sikatan bronkus/brushing (50.8%), TBNA (43.4%), biopsi aspirasi

(25)

biopsi aspirasi menunjukkan cakupan diagnostik yang lebih tinggi pada

kanker paru sentral atau tumor endobronkial.Ditemukan diagnosis pasti pada

11 orang pasien dengan sputum post-bronkoskopi, dan pada 10 orang tidak

ditemukan lesi endobronkial.15

Penelitian Funahashi, dkk. (1979) melibatkan 273 orang pasien yang

dilakukan tindakan bronkoskopi dan dipantau selama 27 bulan, didapatkan

hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan sputum post

bronkoskopi meningkat dari 41% (17 orang menunjukkan hasil positif dari 41

pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi) menjadi 61% (25

orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara

bronkoskopi).16

Namun pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976) yang meneliti

tindakan bronkoskopi fleksibel pada 228 pasien untuk menentukan jenis

spesimen mana yang memberikan nilai diagnostik terbanyak, didapatkan

sitologi sputum post-bronkoskopi positif pada 40% kasus, kombinasi sikatan

bronkus dan biopsi (65%), dan yang paling akurat adalah kombinasi sikatan

bronkus dengan biopsi bronkus (79%).17

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil uraian dan latar belakang tersebut, peneliti ingin

(26)

dengan pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi

Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

1.3. Hipotesis

Pemeriksaan sitologi sputum induksi NaCl 3% berbeda dengan

pemeriksaan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi Saccomanno

dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Membandingkan ketepatan pemeriksaan sitologi sputum induksi

NaCl 3% dengan sitologi sputum post-bronkoskopi secara fiksasi

Saccomanno dalam membantu penegakan diagnosis kanker paru.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk memperoleh gambaran karakteristik (umur dan jenis

kelamin) pasien yang dicurigai menderita kanker paru yang

termasuk dalam criteria inklusi penelitian yang dirawat di

beberapa rumah sakit di Medan (RS. Adam Malik, RS.

Tembakau Deli, dan RS. Tentara Putri Hijau Kesdam

Tk.II/BB).

2. Untuk mengetahui distribusi kasus kanker paru yang sesuai

dengan gambaran radiologi (foto toraks, CT scan toraks) dan

pemeriksaan patologi anatomi pada penderita kanker paru

(27)

3. Untuk mengetahui ketepatan pemeriksaan sitologi sputum

induksi NaCl 3% dengan fiksasi Saccomanno.

4. Untuk mengetahui ketepatan sitologi sputum

post-bronkoskopi dengan fiksasi Saccomanno.

1.5. Manfaat Penelitian

Pemeriksaan sitologi sputum yang diinduksi dengan NaCl 3% dan

difiksasi dengan larutan Saccomanno belum lazim dilakukan di rumah

sakit-rumah sakit di Medan, sehingga kalau penelitian ini berhasil diharapkan

teknik ini dapat menjadi salah satu pemeriksaan diagnostik non invasif yang

dapat diandalkan untuk membantu penegakan diagnosis kanker paru,

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Kanker Paru

Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,

mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari

luar paru (metastasis tumor di paru). Namun dalam penelitian ini, yang

dimaksud dengan kanker paru adalah kanker paru primer, yaitu tumor ganas

yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus (bronchogenic

carcinoma).18

2.2. Epidemiologi Kanker Paru

Kanker paru masih menjadi salah satu keganasan yang paling sering,

berkisar 20% dari seluruh kasus kanker pada laki-laki dengan risiko terkena 1

dari 13 orang dan 12% dari semua kasus kanker pada perempuan dengan

risiko terkena 1 dari 23 orang. Di Inggris rata-rata 40.000 kasus baru

dilaporkan setiap tahun. Perkiraan insidensi kanker paru pada laki-laki tahun

2005 di Amerika Serikat adalah 92.305 dengan rata-rata 91.537 orang

meninggal karena kanker.19 American Cancer Society mengestimasikan kanker paru di Amerika Serikat pada tahun 2010 sebagai berikut :20

- Sekitar 222.520 kasus baru kanker paru akan terdiagnosa (116.750 orang

(29)

- Estimasi kematian karena kanker paru sekitar 157.300 kasus (86.220 pada

laki-laki dan 71.080 pada perempuan), berkisar 28% dari semua kasus

kematian karena kanker.

Risiko terjadinya kanker paru sekitar 4 kali lebih besar pada laki-laki

dibandingkan perempuan dan risiko meningkat sesuai dengan usia: di Eropa

insidensi kanker paru 7 dari 100.000 laki-laki dan 3 dari 100.000 perempuan

pada usia 35 tahun, tetapi pada pasien >75 tahun, insidensi 440 pada laki-laki

dan 72 pada perempuan. Variasi insidensi kanker paru secara geografik yang

luas juga dilaporkan dan hal ini terutama berhubungan dengan kebiasaan

merokok yang bervariasi di seluruh dunia.19

Di Indonesia data epidemiologi belum ada. Di Rumah Sakit

Persahabatan jumlah kasus tumor ganas intratoraks cukup sering ditemukan.

Kekerapan kanker paru di rumah sakit itu merupakan 0.06% dari jumlah

seluruh penderita rawat jalan dan 1.6% dari seluruh penderita rawat inap.18

2.3. Faktor Risiko dan Etiologi Kanker Paru

Banyak penelitian menyatakan bahwa merokok merupakan penyebab

utama kanker paru, dengan periode laten antara dimulainya merokok dengan

terjadinya kanker paru adalah 15-50 tahun. Selain itu, jumlah pack rokok

dalam 1 tahun yang dihabiskan dan usia dimulainya merokok, sangat erat

dihubungkan dengan risiko terjadinya kanker paru. Variasi geografik dan pola

(30)

berhubungan dengan kebiasaan merokok. Di Asia kebiasaan merokok masih

tinggi, tetapi angka kebiasaan merokok pada laki-laki berkurang. Angka

kebiasaan merokok pada perempuan Asia masih rendah, tetapi sekarang

semakin meningkat pada perempuan-perempuan usia muda.21

Penyebab lain dari kanker paru adalah polusi udara, paparan terhadap

arsen, asbestos, radon, chloromethyl ethers, chromium, mustard gas, penghalusan nikel, hidrokarbon polisiklik, beryllium, cadmium, dan vinyl

chloride. Insidensi kanker paru yang lebih tinggi juga ditemukan pada industri-industri gas-batu bara, proses penghalusan logam. Predisposisi

genetik juga memegang peranan dalam etiologi kanker paru.19

2.4. Diagnosis Kanker Paru

2.4.1. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis baik tanda maupun gejala kanker paru sangat

bervariasi. Faktor-faktor seperti lokasi tumor, keterlibatan kelenjar getah

bening di berbagai lokasi, dan keterlibatan berbagai organ jauh dapat

mempengaruhi manifestasi klinis kanker paru.22

Manifestasi klinis kanker paru dapat dikategorikan menjadi :19,22

2.4.1.1. Manifestasi Lokal Kanker Paru (Intrapulmonal Intratorakal)

Gejala yang paling sering adalah batuk kronis dengan/tanpa produksi

(31)

bronkoalveolar (bronchoalveolar cell carcinoma). Hemoptisis (batuk darah)

merupakan gejala pada hampir 50% kasus. Nyeri dada juga umum terjadi dan

bervariasi mulai dari nyeri pada lokasi tumor atau nyeri yang lebih berat oleh

karena adanya invasi ke dinding dada atau mediastinum. Susah bernafas

(dyspnea) dan penurunan berat badan juga sering dikeluhkan oleh pasien

kanker paru. Pneumonia fokal rekuren dan pneumonia segmental mungkin

terjadi karena lesi obstruktif dalam saluran nafas. Mengi unilateral dan

monofonik jarang terjadi karena adanya tumor bronkial obstruksi. Stridor

dapat ditemukan bila trakea sudah terlibat.

2.4.1.2. Manifestasi Ekstrapulmonal Intratorakal

Manifestasi ini disebabkan oleh adanya invasi/ekstensi kanker paru ke

struktur/organ sekitarnya. Sesak nafas dan nyeri dada bisa disebabkan oleh

keterlibatan pleura atau perikardial. Efusi pleura dapat menyebabkan sesak

nafas, dan efusi perikardial dapat menimbulkan gangguan kardiovaskuler.

Tumor lobus atas kanan atau kelenjar mediastinum dapat menginvasi atau

menyebabkan kompresi vena kava superior dari eksternal. Dengan demikian

pasien tersebut akan menunjukkan suatu sindroma vena kava superior, yaitu

nyeri kepala, wajah sembab/plethora, lehar edema dan kongesti, pelebaran

vena-vena dada. Tumor apeks dapat meluas dan melibatkan cabang simpatis

superior dan menyebabkan sindroma Horner, melibatkan pleksus brakialis dan

menyebabkan nyeri pada leher dan bahu dengan atrofi dari otot-otot kecil

(32)

yang berjalan di atas arcus aorta dan menyebabkan suara serak dan paralisis

pita suara kiri. Invasi tumor langsung atau kelenjar mediastinum yang

membesar dapat menyebabkan kompresi esophagus dan akhirnya disfagia.

2.4.1.3. Manifestasi Ekstratorakal Non Metastasis

Kira-kira 10-20% pasien kanker paru mengalami sindroma

paraneoplastik. Biasanya hal ini terjadi bukan disebabkan oleh tumor,

melainkan karena zat hormon/peptida yang dihasilkan oleh tumor itu sendiri.

Pasien dapat menunjukkan gejala-gejala seperti mudah lelah, mual, nyeri

abdomen, confusion, atau gejala yang lebih spesifik seperti galaktorea (galactorrhea). Produksi hormon lebih sering terjadi pada karsinoma sel kecil

dan beberapa sel menunjukkan karakteristik neuro-endokrin. Peptida yang

disekresi berupa adrenocorticotrophic hormone (ACTH), antidiuretic

hormone (ADH), kalsitonin, oksitosin dan hormon paratiroid. Walaupun kadar peptide-peptida ini tinggi pada pasien-pasien kanker paru, namun hanya

sekitar 5% pasien yang menunjukkan sindroma klinisnya. Jari tabuh (clubbing

finger) dan hypertrophic pulmonary osteo-arthropathy (HPOA) juga termasuk manifestasi non metastasis dari kanker paru. Neuropati perifer dan sindroma

neurologi seperti sindroma miastenia Lambert-Eaton juga dihubungkan

(33)

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik19

Sering terjadi Jarang terjadi

Secara umum

Systemic Lupus Erythematosus

Kulit

Acanthosis nigricans

Iktiosis didapat

Keratoderma palmoplantar

didapat

Dermatomiositis

Eritema annulare

Dermatitis eksfoliatif

(34)

Neurologi

2.4.1.4. Manifestasi Ekstratorakal Metastasis

Penurunan berat badan >20% dari berat badan sebelumnya (bulan

sebelumnya) sering mengindikasikan adanya metastasis. Pasien dengan

metastasis ke hepar sering mengeluhkan penurunan berat badan. Kanker paru

umumnya juga bermetastasis ke kelenjar adrenal, tulang, otak, dan kulit.

Keterlibatan organ-organ ini dapat menyebabkan nyeri local. Metastasis ke

tulang dapat terjadi ke tulang mana saja namun cenderung melibatkan tulang

iga, vertebra, humerus, dan tulang femur. Bila terjadi metastasis ke otak, maka

akan terdapat gejala-gejala neurologi, seperti confusion, perubahan

(35)

anterior dapat terlibat pada 25% pasien dan sebaiknya dinilai secara rutin

dalam mengevaluasi pasien kanker paru.

2.4.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik sangat penting dalam mendiagnosis suatu penyakit.

Tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran

normal pada pemeriksaan fisik. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila

disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau

penekanan vena kava akan memberikan hasil yang informatif. Pada pasien

kanker paru dapat ditemukan demam, kelainan suara pernafasan pada paru,

pembesaran pada kelenjar getah bening, pembesaran hepar, pembengkakan

pada wajah, tangan, kaki, atau pergelangan kaki, nyeri pada tulang, kelemahan

otot regional atau umum, perubahan kulit seperti rash, daerah kulit

menghitam, atau bibir dan kuku membiru, pemeriksaan fisik lainnya yang

mengindikasikan tumor primer ke organ lain.22

2.4.3. Pemeriksaan Radiologi

2.4.3.1. Foto toraks

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila

massa tumor berukuran >1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi

yang ireguler, disertai indentasi pleura, tumor satelit, dan lain-lain. Pada foto

toraks juga dapat ditemukan invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi

(36)

Pemberian OAT pada penderita golongan risiko tinggi yang tidak

menunjukkan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus

menimbulkan pemikiran kemungkinan kanker paru dan melakukan

pemeriksaan penunjang lain sehingga kanker paru dapat disingkirkan.

Pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik

selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan tumor di

balik pneumonia tersebut.18

Tabel 2. Gambaran foto toraks berdasarkan tipe histologi kanker paru.2

(37)

2.4.3.2. CT scan toraks

CT scan toraks (Computerized Tomographic Scans) dapat mendeteksi

tumor yang berukuran lebih kecil yang belum dapat dilihat dengan foto toraks,

dapat menentukan ukuran, bentuk, dan lokasi yang tepat dari tumor oleh

karena 3 dimensi. CT scan toraks juga dapat mendeteksi pembesaran kelenjar

getah bening regional.22 Tanda-tanda proses keganasan tergambar dengan

baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial,

atelektasis, efusi pleura yang tidak massif dan telah terjadi invasi ke

mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Demikian juga

ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner. Pemeriksaan

CT scan toraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat mendeteksi

ada/tidak adanya pembesaran KGB adrenal.18

2.4.3.3. MRI (Magnetic Resonance Imaging Scans)

MRI tidak rutin digunakan untuk penjajakan pasien kanker paru. Pada

keadaan khusus, MRI dapat digunakan untuk mendeteksi area yang sulit

diinterpretasikan pada CT scan toraks seperti diafragma atau bagian apeks

paru (untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke

vertebra).22

2.4.3.4. PET scan (Positron Emission Tomography)

PET scan merupakan teknologi yang relatif baru. Molekul glukosa

(38)

scan diambil. Banyaknya radiasi yang digunakan sangat kecil. Sel-sel kanker mengambil lebih banyak glukosa daripada sel yang normal karena sel-sel

kanker bertumbuh dan bermultiplikasi dengan cepat. Oleh karena itu, jaringan

dengan sel kanker tampak lebih terang daripada jaringan yang normal. Tumor

primer, kelenjar getah bening dengan sel-sel keganasan, dan tumor metastasis

tampak sebagai spot yang terang pada PET scan.22

PET scan tidak rutin digunakan sebagai tes diagnostik lini pertama

untuk kanker paru, kadang digunakan setelah foto toraks atau CT scan toraks

untuk membedakan antara tumor jinak dan ganas. PET scan khusus digunakan

untuk mendeteksi penyebaran tumor ke kelenjar getah bening regional dan

metastasis jauh. Bagaimanapun, terdapat beberapa kondisi yang lain dari

kanker yang juga dapat menyebabkan gambaran positif PET scan. Gambaran

PET scan sebaiknya diinterpretasikan dengan hati-hati dan dikorelasikan

dengan hasil pemeriksaan penunjang lainnya.22

2.4.4. Sitologi Sputum

Sputum adalah sekret abnormal yang berasal/diekspektorasikan dari

sistem bronkopulmoner. Sputum bukanlah air liur (saliva) dan bukan pula

berasal dari nasofaring. Sputum yang dibatukkan oleh seorang pasien

mengindikasikan adanya suatu proses patologis pada sistem bronkopulmoner

yang sedang berlangsung. Sputum terdiri dari material seluler, non seluler,

dan non pulmoner tergantung dari proses patologis yang mendasarinya.

(39)

saluran nafas, sel-sel bronkial dan alveolar yang dieksfoliasikan, atau sel-sel

keganasan dari tumor paru. Sel-sel non pulmoner seperti sel-sel skuamosa

orofaring atau sisa-sisa makanan yang dapat menjadi bagian dari sputum

apabila mengalami aspirasi ke paru dan kemudian dibatukkan. Air merupakan

komponen utama dari sputum (90%), selebihnya terdiri dari protein, enzim,

karbohidrat, lemak, dan glikoprotein. Yang dapat dievaluasi dari sputum

adalah karakteristik fisiknya, mikroorganismenya, adanya sel-sel keganasan,

proses inflamasi, dan perubahan patologis dari mukosa bronkus.23

Analisa sputum dapat melengkapi pemeriksaan CT scan toraks, oleh

karena sel-sel tumor yang terletak di saluran nafas sentral akan ber-eksfoliatif

ke dalam sputum lebih banyak dibandingkan sel-sel tumor yang berada di

perifer.24 Dasar dari gambaran sitologi sel-sel epitel bronkus mengalami

eksfoliatif ke dalam sputum dapat memprediksikan risiko terjadinya kanker

paru yaitu dari pemikiran bahwa perubahan sitologi sel epitel bronkus karena

sel-sel mengalami progresi melalui tahapan-tahapan dari inflamasi menjadi

kanker paru. Dasar ini dibuktikan dengan sering ditemukannya gambaran

metaplasia skuamosa bronkus dan sel-sel atipik pada kanker paru yang invasif,

dan penemuan dari beberapa kasus bahwa pasien-pasien dengan sitologi

sputum yang jelek atau atipik sedang memiliki risiko yang tinggi untuk

menderita kanker paru.25

Pemeriksaan sitologi sputum saat ini menjadi satu-satunya metode non

(40)

dini. Walaupun spesifitas sitologi sputum konvensional sangat tinggi (98%),

namun sensitivitasnya sangat rendah.24 Sitologi sputum memiliki spesifitas

99% dan sensitivitas 66%, tetapi sensitivitas lebih tinggi pada lesi-lesi sentral

(71%) dibandingkan dengan lesi perifer (49%).6,14 Jenis sel tumor, lokasi, dan

ukuran tumor mempengaruhi sensitivitas sitologi sputum. Cakupan diagnostik

paling tinggi pada karsinoma skuamosa dan karsinoma sel kecil, tetapi paling

rendah pada adenokarsinoma. Tumor yang lokasinya di sentral atau berada di

lobus bawah dan berdiameter >2 cm memiliki cakupan yang lebih tinggi.

Sitologi sputum memiliki akurasi 50-80% tergantung dari derajat diferensiasi

sel-sel tumor. Tumor berdiferensiasi buruk akan lebih sulit untuk menentukan

subtipe-nya. Pada pasien-pasien dengan tumor perifer yang berukuran kecil

yang dapat dideteksi dengan CT scan toraks, hanya sekitar 4-11% kasus yang

dapat dideteksi dengan sitologi sputum saja, dan 7-15% kasus dapat terdeteksi

dengan kedua modalitas tersebut.24,26 Pemeriksaan sitologi sputum sangat

bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan sampel sputum yang

adekuat, yang mencakup elemen-elemen seluler saluran nafas bawah. Akurasi

diagnostik dari sitologi sputum, bagaimanapun, tergantung dari pengambilan

sampel (minimal 3 sampel) dan teknik pengumpulan sputum, serta lokasi

(sentral atau perifer) dan ukuran tumor. Blocking dkk. telah menunjukkan

bahwa sensitivitas sitologi sputum dari 1 sampel berkisar 68%, dari 2 sampel

berkisar 78%, dan dari ≥3 sampel berkisar 85-86%.14 Cara yang paling mudah adalah dengan cara batuk spontan di pagi hari, dengan mengumpulkan tiga

(41)

sekuensial II selama 3 hari, untuk mendapatkan sputum yang sama adekuat

dengan sputum induksi NaCl 3%. Sampel sputum sekuensial II dapat

mencakup lebih banyak kelainan dibandingkan dengan sekuensial I, oleh

karena pasien sudah belajar membatukkan. Pada pasien-pasien yang tidak

dapat mengeluarkan sputum secara spontan, induksi dengan NaCl 3% dapat

lebih efektif. Perkusi dan vibrasi dada juga dapat meningkatkan cakupan

diagnostik sputum.25,27 Sputum pertama di pagi hari atau sputum setelah/post

bronkoskopi cenderung memiliki cakupan diagnostik yang lebih tinggi.

Cakupan diagnostik dari hanya satu sampel sputum berkisar 40%, namun

dengan pengumpulan yang berulang dapat mencapai >80% dari 4 sampel

sputum. Bila ditangani oleh tenaga yang terampil, maka kekerapan terjadinya

“false-postive” tidak melebihi dari 1%.26

Terdapat dua metode untuk mengumpulkan/fiksasi sputum untuk

pemeriksaan sitologi sputum, yaitu teknik pick-and-smear (sputum

langsung/segar) dan teknik Saccomanno (blended). Teknik pick-and-smear

merupakan metode yang cepat, sederhana, dan murah untuk mengumpulkan

sputum, dimana sputum yang segar diperiksakan fragmen-fragmen

jaringannya, darah, atau keduanya. Apusan dibuat dengan segera dan difiksasi

dalam etanol 95%. Modifikasi dari metode ini adalah teknik fiksasi

Saccomanno, dimana sputum dikumpulkan dalam larutan etanol 50% dan

polietilen glikol (carbowax) 2%. Sputum yang terkumpul kemudian

dihomogenisasi dalam blender dan dikonsentrasikan dengan menggunakan

(42)

Beberapa sediaan apus (smears) dapat dibuat dari material seluler yang telah

dikonsentrasikan (sedimen), dengan menggunakan dua buah kaca objek,

dikeringkan di udara ruangan selama minimal 1 jam, kemudian diwarnai

dengan teknik Papanicolaou. Larutan fiksasi Saccomanno yang mengandung

carbowax lebih efektif/superior dibandingkan dengan hanya menggunakan

etanol saja. Keuntungan dari teknik fiksasi Saccomanno ini adalah

pengumpulan sampel sputum yang homogen, pengawetan sel-sel yang lama,

dan preparasi sel yang tipis (thin-layer cell preparation). Sedangkan

kekurangannya adalah pemecahan agregat-agregat sel dan fragmen-fragmen

jaringan sewaktu homogenisasi, serta membutuhkan tenaga laboran yang

terampil.25,27,28

Pada penelitian Rizzo dkk., lebih banyak sel yang dapat didiagnosis

dan ditemukan pada sputum yang dikumpulkan dengan teknik fiksasi

Saccomanno daripada teknik pick-and-smear. Lebih banyak informasi

diagnostik dan lebih sedikit terjadinya negatif palsu bila menggunakan teknik

Saccomanno.11

Kategori diagnostik untuk pemeriksaan sitologi meliputi :28

a. Tidak dapat didiagnosis (non-diagnostic specimens)

Bila pada spesimen tidak terdapat materi seluler, hanya ditemukan adanya

sel-sel darah atau artefak-artefak sewaktu preservasi. Termasuk dalam

(43)

(epitel, makrofag, sel-sel inflamasi). Dalam hal ini harus dikemukakan

alasan kenapa dimasukkan ke dalam kategori ini.

b. Lesi jinak spesifik (specific benign lesions)

Kategori ini meliputi semua neoplasma jinak, proses inflamasi, dan apusan

pada proses infeksi (jamur, mycobacterium, dan bakteri), serta harus

dideskripsikan secara spesifik, seperti jinak-hamartoma, jinak-inflamasi

granuloma yang sesuai dengan tuberculosis, dan lain sebagainya.

c. Atipikal, kemungkinan jinak (atypical cells present, probably benign)

Kategori ini digunakan bila ditemukan komponen epitel atau mesenkim

dengan inti atipik (nuclear atypia) sebagai perubahan yang reaktif atau

reparatif (reparative). Diagnosis ini tidak berdiri sendiri tetapi

membutuhkan korelasi patologi klinik dan pemeriksaan tambahan bila ada

indikasi secara klinis.

d. Atipikal, curiga keganasan (atypical, suspicious malignancy)

Kategori ini meliputi specimen yang menunjukkan gambaran atipik yang

diyakini berisiko tinggi terjadinya keganasan (sel-sel sangat abnormal).

e. Keganasan (malignancy)

Kategori ini dibuat bila ditemukan adanya diagnosis definitif keganasan,

(44)

keganasan berasal dari epital atau non-epitel, dan bila berasal dari epitel,

harus dijabarkan lebih lanjut apakah sel kecil (small cell) atau bukan sel

kecil (non small cell) ataukah metastasis. Oleh karena itu sangat

dibutuhkan korelasi dengan klinis.

Sitologi sputum telah dipublikasikan sebagai metode untuk mengetahui

risiko terjadinya kanker paru. Saccomanno dkk. melaporkan progresi dari

perubahan sitologi sampai menjadi karsinoma pada populasi risiko tinggi di

Colorado Barat. Perubahan morfologi sitologi ini dapat mendeteksi dini

kanker paru dan perubahan lesi-lesi pre-keganasan dapat terdeteksi beberapa

tahun sebelum diagnosis kanker paru ditegakkan secara klinis.6,18 Telah

dilaporkan dalam beberapa penelitian bahwa atipik berat akan berisiko 45%

berkembang menjadi kanker paru dalam 2 tahun. Pada penelitian Johns

Hopkins dalam National Cancer Institute Cooperative Early Lung Cancer

Detection Project, dinyatakan bahwa atipik sedang juga berisiko berkembang menjadi kanker paru. Sebanyak 40% pasien dengan atipik sedang berkembang

menjadi kanker paru dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan 3% pasien

(45)

Gambar 1A Gambar 1B

Gambar 1. Sitologi sputum27

Keterangan :

1A. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus yang normal pada

sputum, dengan inti yang eksentrik dan sitoplasma apical yang

banyak.

1B. Pewarnaan Papanicolaou dari sel-sel bronkus pada sputum dengan

atipik sedang, sel eosinofilik dengan rasio inti : sitoplasma besar,

membran inti ireguler, dan nukleolus yang berbeda.

Induksi sputum

Sputum yang didapatkan menggambarkan bagian bronkus. Sputum

berisi hasil sekresi dari sel-sel epitel dan submukosa pernafasan. Dengan

(46)

sputum juga mengandung saliva, transudat, dan larutan sodium klorid. Tujuan

induksi sputum adalah mengumpulkan sampel yang cukup dari saluran nafas

individu yang tidak dapat mengeluarkan sputum secara spontan. Induksi

sputum dapat menstimulasi batuk yang lebih produktif.23 Sputum induksi

mempunyai korelasi dengan BAL dan kumbah bronkus (bronchial washing)

tetapi lebih kecil dibandingkan dengan biopsi bronkus.8

Belum ada metode standar untuk induksi sputum. Prinsip yang ada

pada berbagai metode ialah :8

1. Pengobatan awal dengan bronkodilator (salbutamol) kerja singkat

2. Monitoring faal paru

3. Nebulisasi dengan nebulizer ultrasonik/jet nebulizer

4. Konsentrasi cairan saline umumnya 3%, 4%, atau 5%.

Efek samping dari nebulisasi jarang terjadi, umumnya berupa pusing

(dizziness) karena hiperventilasi atau mual (nausea) karena larutan saline

hipertoniknya.29 Selain itu dapat terjadi juga bronkospasme terutama pada

pasien-pasien dengan riwayat asma, dapat dicegah dengan pemberian

bronkodilator (salbutamol 2.5 mg) sebelum pemberian cairan saline.

Pemberian saline hipertonik lebih efektif dibandingkan saline normal dalam

hal menginduksi pengeluaran sputum. Tidak ada perbedaan hasil komposisi

sel akibat perbedaan konsentrasi saline. Penggunaan nebulizer ultrasonik lebih

(47)

sputum dapat dilakukan dengan inhalasi NaCl 3% selama 20 menit (disertai

dengan 2.5 mg Salbutamol dalam 20 ml NaCl 3%).30

Pada kondisi normal, sel-sel epitel yang melapisi pohon

trakeobronkial berdampingan (koheren) dengan ketat dan tidak dapat

dieksfoliasikan dengan mudah ke dalam sputum. Oleh karena itu, pertanda

yang paling baik dari batuk yang dalam (sputum adekuat) adalah adanya

fagosit alveolar. Sebaliknya, air liur (saliva) ditandai oleh adanya sel-sel

skuamosa superfisial dari mukosa mulut, sering dengan partikel-partikel

makanan dan debris-debris seluler dan aselular. Kadang air liur pasti

menyertai/bercampur dengan sputum; seorang ahli harus dapat

mengidentifikasi dan memisahkan sputum dari air liur sebelum pemrosesan.29

Sputum Post Bronkoskopi

Ada beberapa teknik diagnostik yang biasanya dilakukan pada

tindakan bronkoskopi, terutama bronkoskopi serat optik lentur/fleksibel, yaitu

washing, sikatan bronkus/brushing, bronchoalveolar lavage/BAL, biopsi

bronkus, dan juga sitologi sputum post bronkoskopi. Penelitian-penelitian

terdahulu menyatakan sputum post bronkoskopi merupakan diagnostik yang

valid.31

Pada penelitian Kvale, Bode, dan Kini (1976), tindakan bronkoskopi

dilakukan pada 228 orang pasien. Penelitian bersifat prospektif untuk

(48)

cakupan diagnostik paling besar dalam mendiagnosis kanker paru, apakah

sputum post bronkoskopi masih menjadi metode yang paling akurat, seperti

waktu hanya bronkoskopi kaku (rigid bronchoscopy) yang tersedia.

Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan sitologi dilakukan dari sikatan

bronkus (brushing), biopsi bronkus, sikatan bronkus dalam larutan saline,

cucian bronkus (washing), dan tiga buah sampel sputum post bronkoskopi

selama 16-20 jam setelah tindakan post bronkoskopi. Sikatan bronkus dan

biopsi bronkus memiliki cakupan diagnostik yang tinggi (65%), sedangkan

sputum post bronkoskopi kurang (40%). Kombinasi sikatan bronkus dan

biopsi bronkus memberikan akurasi yang paling optimal (79%). Sedangkan

kombinasi washing dan sputum post bronkoskopi tidak meningkatkan cakupan

diagnostik yang bermakna. Namun ada peneliti-peneliti lainnya yang

memikirkan bahaya terjadinya hipoksemia oleh karena instilasi larutan saline

ke dalam saluran napas pada saat bronkoskopi. Spesimen sputum post

bronkoskopi dapat menempati peranan tersendiri. Walaupun pasien yang

koperatif dapat melakukannya sendiri di rumah atau rumah sakit, tetapi

tanggung jawab tersebut tetap berada pada tenaga paramedis.17

Penelitian Funahashi dkk. (1979) melakukan tindakan bronkoskopi

pada 273 orang pasien untuk menentukan juga peranan aspirasi bronkus dan

sputum post bronkoskopi (setelah prosedur, dalam 4 jam setelah prosedur,

dan 24 jam setelah prosedur) dalam penegakan diagnosis kanker paru.

Didapatkan hasil sensitivitas kombinasi sitologi aspirasi bronkus dengan

(49)

positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya secara bronkoskopi)

menjadi 61% (25 orang positif dari 41 pasien yang tidak tampak kelainannya

secara bronkoskopi). Sedangkan kombinasi biopsi forseps dan sikatan

bronkus memiliki cakupan sebesar 97% (61 orang positif dari 63 orang

pasien dengan tumor yang terlihat secara bronkoskopi).16

Larutan Fiksasi Saccomanno

Saccomanno merupakan larutan fiksasi yang terdiri dari etanol 50%

dan polietilen glikol (carbowax) 2%. Etanol dapat diencerkan dari cairan

etanol 96% dengan perbandingan 26 ml etanol 96% ditambah dengan 24 ml

akuades. Polietilen glikol (PEG) atau yang disebut juga dengan

carbowax/carbowax sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E. PEG adalah produk

polimerasi dari etilen oksida atau produk kondensasi dari etilen glikol.

Pemilihan kondisi reaksinya diperoleh produk dengan tingkat polimerasi yang

berbeda, yang dinyatakan dengan berat molekul rata-rata. Dalam penelitian ini

yang dipakai sebagai campuran Saccomanno adalah PEG 400, yang memiliki

rumus kimia :

H-(O-CH2-CH2)nOH dengan n = 8.2 dan 9.1

PEG 400 adalah cairan kental jernih, tidak berwarna, praktis tidak berwarna,

bau khas lemah, agak higroskopik, larut dalam air, etanol 95%, aseton, dan

(50)

beberapa bulan tidak perlu mengkhawatirkan adanya pencemaran bakteri, oleh

karena itu tidak diperlukan pengawetan sediaan.32

2.4.5. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan medis yang bertujuan untuk melakukan

visualisasi trakea dan bronkus, melalui bronkoskop, yang berfungsi dalam

prosedur diagnostik dan terapi penyakit paru.33 Bronkoskopi dengan tujuan

diagnostik dapat diandalkan untuk mengambil jaringan atau bahan agar dapat

dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya massa intra

bronkus atau perubahan mukosa saluran nafas, seperti terlihat kelainan

mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltratif, mudah

berdarah. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar

getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat

pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus.Tampakan

yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding

bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.18

Jenis Bronkoskopi

Berdasarkan bentuk dan sifat alat bronkoskopi, saat ini dikenal dua

macam bronkoskopi, yaitu Bronkoskopi Kaku (Rigid) dan Bronkoskopi Serat

(51)

Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL)/Fleksibel

Bronkoskopi ini mulai diperkenalkan oleh Shigeta Ikedo pada

International Congress on Diseases of The Chest ke-9 di Kopenhagen tahun 1966.33 Bronkoskopi serat optik lentur (BSOL) juga dikenal sebagai Fiber

Optic Bronchoscopy (FOB), atau Flexible Bronchoscopy (FB) umumnya digunakan untuk diagnostik invasif dan tindakan terapeutik.33,34

Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL).34

Indikasi BSOL/FB baik untuk diagnostik antara lain adalah

hemoptisis/batuk darah, adanya wheezing/stridor, infiltrat paru yang tidak

diketahui etiologinya, kolaps paru yang tidak diketahui penyebabnya, curiga

karsinoma paru, massa mediastinal/hilus, trauma dada/ruptur saluran nafas

(52)

a. Kontraindikasi absolut (hipoksemia yang tidak dapat dikoreksi, pasien

inkooperatif, kurangnya keterampilan operator maupun fasilitas/peralatan,

unstable angina, aritmia yang tidak terkontrol).

b. Kontraindikasi relatif (hiperkarbia yang berat, asma yang tidak terkontrol,

koagulopati yang tidak terkoreksi, unstable cervical spine, membutuhkan

pengambilan spesimen dalam jumlah banyak, debilitas, usia lanjut,

malnutrisi).

Pengambilan Spesimen

Dengan menggunakan bronkoskop dapat dilakukan berbagai teknik

pengambilan spesimen untuk dilakukan pemeriksaan sitologi ataupun

histopatologi yang sangat penting untuk membantu menegakkan diagnosa.

Spesimen dapat diambil dengan cara, seperti :35

1. Cucian bronkus (bronchial washing)

Manfaat cucian bronkus ini kebanyakan adalah untuk diagnosis

penyakit saluran napas termasuk tumor paru primer ataupun sekunder dan

infeksi jamur atau mikobakterium. Cucian bronkus merupakan

pengambilan spesimen yang paling mudah tetapi memiliki cakupan

diagnostik yang paling kecil dalam tindakan bronkoskopi (sensitivitas

27-90%), dengan cakupan yang paling besar untuk lesi-lesi sentral.

2. Sikatan bronkus (bronchial brushing)

Pertama kali diperkenalkan tahun 1973 dan menunjukkan cakupan

(53)

Umumnya sikatan bronkus ini positif pada 72% kasus kanker paru sentral

dan 45% kasus kanker paru perifer, tetapi bila dikombinasikan dengan

biopsi endobronkial lesi sentral akan mencakup 79-96% kasus. Biasanya

sikatan bronkus dilakukan setelah semua spesimen diambil untuk

mencegah terjadinya perdarahan atau distorsi sel yang akan mengaburkan

interpretasi sewaktu tindakan bronkoskopi.

3. Protected Specimen Brush

Pertama kali diperkenalkan tahun 1979 oleh Wimberley dkk.

sebagai suatu teknik pengambilan untuk mendapatkan diagnosis yang

akurat pada pasien-pasien pneumonia. Pada kasus VAP

(Ventilator-associated pneumonia), sensitivitasnya berkisar antara 58-86% dan spesifisitasnya 71-100%. Namun sekarang, teknik ini kurang dipopulerkan

lagi.

4. Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Teknik ini merupakan prosedur standar diagnostik pada semua

pasien yang dicurigai mengalami kelainan paru difus (infeksi, non infeksi,

imunologik, atau keganasan). BAL mencakup komponen seluler maupun

non seluler dari lapisan cairan alveolus dan permukaan epitel saluran

napas bawah, mewakili proses inflamasi dan status imun dari saluran

napas bawah dan alveoli. BAL dianjurkan bila ada kemungkinan

terjadinya perdarahan saat dilakukannya sikatan bronkus, biopsi

transbronkial, aspirasi jarum transbronkial, ataupun bila tidak ada fasilitas

(54)

dengan cakupan diagnostik sekitar 33-69%, bronkoalveolar carcinoma,

maupun lymphangitic carcinomatosis.

5. Biopsi endobronkial

Teknik ini sangat penting dan sederhana untuk mendiagnosis

kanker paru, dilakukan pada lesi-lesi yang jelas terlihat selama

bronkoskopi. Biopsi endobronkial memiliki cakupan diagnostik berkisar

antara 51-97%. Tiga sampel biopsi yang diambil dari lesi endobronkial

akan memberikan cakupan sebesar 97%, tetapi bisa menunjukkan hasil

yang negatif palsu bila terdapat nekrosis perifer.

6. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA merupakan teknik yang sensitif, akurat, aman, dan efektif

secara finansial untuk diagnosis maupun penentuan stadium kanker paru.

Pada beberapa kasus juga dapat digunakan untuk lesi-lesi benign (jinak).

Prinsipnya tidak ada kontraindikasi absolut dari TBNA. Sindroma vena

kava superior (SVKS) merupakan kontraindikasi relatif TBNA oleh karena

dapat menyebabkan risiko perdarahan. Penegakan diagnosis dan staging

karsinoma bronkogenik dapat menggunakan jarum sitologi ukuran 21-22

gauge, tetapi untuk lesi jinak dan limfoma menggunakan jarum yang lebih

besar (19-gauge). Pada kanker paru TBNA memiliki sensitivitas 60-90%,

spesifisitas 98-100%, dan akurasi 60-90%. Sedangkan untuk mediastinal

staging TBNA memiliki sensitivitas 50%, spesifisitas 96%, dan akurasi 78%. TBNA juga aman dipakai pada pasien-pasien yang menggunakan

(55)

7. Biopsi transbronkial

Teknik ini menggunakan forseps yang fleksibel yang diposisikan

ke lesi-lesi perifer (parenkim paru) melalui bronkoskop fleksibel. Pada

beberapa keadaan teknik ini dapat menggantikan biopsi paru terbuka (open

lung biopsy). Teknik ini memiliki sensitivitas berkisar antara 38-79% (rata-rata 52%) tergantung dari kelainan yang mendasarinya. Biasanya

dibuat 6-10 sampel dengan menggunakan tuntunan fluoroskopi. Bila

dilakukan bersamaan dengan sikatan bronkus dan aspirasi jarum

transbronkial (TBNA) maka akan meningkatkan cakupan diagnostik untuk

kanker paru yang perifer.

Penilaian visualisasi saluran trakeobronkial (tracheobronchial system) :36

1. Normal

Gambar 3. Percabangan bronkus yang dapat dilihat bronkoskopis pada

(56)

2. Perubahan inflamasi

Inflamasi dapat bersifat generalisata (generalized) seperti pada bronkitis

kronis, atau terlokalisasi (localized) misalnya inflamasi di sekitar benda asing

(corpus alineum). Dapat juga bersifat akut (pneumonia segmental) atau kronis

(tuberkulosis). Perubahan inflamasi meliputi :

a. Mukosa hiperemis dan vaskuler bertambah (merah gelap atau beefy-red).

Mukosa bronkus yang normal berwarna merah muda kepucatan (palepink)

atau peach-coloured.

Gambar 4. Perubahan inflamasi pada bronkitis kronis.36

b. Pembengkakan (swelling)

Pada inflamasi yang ringan, sudut karina dapat sedikit tumpul atau

kabur, atau hilangnya kontur kartilago bronkus. Sedangkan pada inflamasi

(57)

c. Sekresi

Mukosa yang normal hanya memproduksi sedikit mukus yang

jernih untuk tujuan pembersihan. Pada inflamasi, sekresi dapat menjadi

kental, misalnya mukoid berlebihan (bronkitis kronis), mukus kental dan

tebal, membentuk plug (asma), secret purulen (infeksi berat, bronkitis

purulen).

d. Perubahan lokal (localized changes)

Reaksi lokal mendukung pada kemungkinan adanya pneumonia,

abses paru, tuberkulosis, inhalasi benda asing, bronkiektasis, kanker paru,

dan lain-lain.

e. Perubahan lainnya (associated changes)

Terutama dapat terlihat pada pasien-pasien PPOK (Penyakit Paru

Obstruktif Kronis), yang meliputi atrofi submukosa, hipertrofi dinding

membran bronkiolus-bronkiolus kecil.

f. Tuberkulosis

Dapat terlihat inflamasi endobronkial atau distorsi lumen

(58)

g. Tumor paru

Secara bronkoskopi, tumor paru dapat terlihat dalam tiga bentuk

utama :

- Distorsi dari bronkus karena tekanan dari luar pada pohon bronkus;

limfadenopati sekunder mengakibatkan karina melebar, dinding

trakea/bronkus utama menonjol.

- Keterlibatan dinding bronkus dengan distorsi lokal atau ulserasi mukosa.

- Pertumbuhan intralumen bisa berasal dari tumor itu sendiri, perluasan dari

massa tumor, atau rupturnya kelenjar getah bening ke dinding bronkus.

Pertumbuhan intralumen dapat terjadi sebagian atau total menutupi lumen

bronkus.

Karakteristik bronkoskopi :

- Tampak massa berlobus-lobus atau nekrotik dan berwarna putih/krem,

bercak-bercak darah dan pelebaran pembuluh darah di permukaan mukosa

bronkus.

2.5. Klasifikasi Kanker Paru

Klasifikasi kanker paru secara histologi dibagi menjadi 4 jenis untuk

kebutuhan klinis, yaitu :18

1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)

(59)

3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)

4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)

Dalam 1554 data-data yang dikombinasikan dari penelitian-penelitian

di Cancer Incidence in Five Continents, dinyatakan bahwa karsinoma sel kecil

berkisar 20% dari seluruh kasus dan karsinoma sel besar/undifferentiated

sekitar 9%. Namun tipe histologi lainnya berbeda berdasarkan jenis kelamin,

yaitu: karsinoma sel skuamosa sekitar 44% dari seluruh kasus kanker paru

pada laki-laki dan 25% pada perempuan, sedangkan adenokarsinoma sekitar

28% pada laki-laki dan 42% pada perempuan.2

Karsinoma sel skuamosa merupakan tipe histologi kanker paru yang

paling sering pada laki-laki. Insidensinya pada laki-laki menurun sejak awal

tahun 1980-an, berbeda dengan adenokarsinoma, insidensinya semakin

meningkat sampai tahun 1990-an. Pada pertengahan tahun 1990-an

adenokarsinoma menjadi tipe histologi kanker paru yang paling banyak pada

laki-laki di Amerika Serikat. Di negara-negara barat lainnya, karsinoma sel

skuamosa masih menjadi tipe yang paling banyak pada laki-laki. Pada

perempuan, adenokarsinoma menjadi tipe yang paling sering (± 1/3 kasus),

demikian juga insidensinya semakin meningkat.21 Adenokarsinoma terutama

banyak ditemukan pada perempuan-perempuan Asia (72% dari kasus kanker

di Jepang, 65% di Korea, 61% di Cina Singapura).2 Perbedaan tipe histologi

tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan kebiasaan merokok secara

Gambar

Tabel 1. Sindroma Paraneoplastik19
Karsinoma Gambaran sel Adenokar
Gambar 1. Sitologi sputum27
Gambar 2. Bronkoskopi Serat Optik Lentur (BSOL).34
+7

Referensi

Dokumen terkait