• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemerintahan Birokratis

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 35-44)

Sebelum menjawab pertanyaan mengapa rekrutmen politik di-laksanakan seperti itu di Riau. Terlebih dahulu perlu dilihat gambaran umum hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah selama orde baru. Hubungan yang dimaksudkan akan dilihat melalui konsep Bureucratic

Polity.

39 Ibid.

40 Alfian, Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia, Pusat Studi Politik Indonesia, Jakarta, 1980, hal., 7.

41 Daniel S. Lev dalam Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988, hal., 95.

Karl D Jackson dalam tulisannya tentang “Bureucratic Polity:

A Theorical Framework for Analysis of Power and Communications

in Indonesia” berpendapat bahwa, sekurang-kurangnya sejak tahun

1957, saat demokrasi parlementer berakhir dengan deklarasi hukum martial (suasana perang), bentuk dasar pemerintahan belumlah berubah secara mendasar. Walaupun pelaku utama dan titik berat politik telah berubah dan kekuasaan sejak tahun 1970-an lebih ter-pusat di tangan Presiden dibandingkan sebelumnya, namun Indonesia masih merupakan pemerintahan birokratis. Suatu sistim politik dimana kekuasaan dan peran serta dalam keputusan-keputusan nasional hampir seluruhnya terbatas pada pejabat-pejabat pemerintah, khususnya kelompok pejabat dan jajaran birokrasi tertinggi, men-cakup spesialisasi yang sangat terlatih dan dikenal sebagai kelompok teknokrat.42

Menurut Jackson, pemerintahan birokratis tidak mendukung bentuk-bentuk peran serta massa demokratis ataupun totaliter. Partai-partai politik tidak mengontrol birokrasi pusat atau secara efektif mengorganisir massa pada tingkat lokal. Pada dasarnya, pemerintahan birokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana tidak ada peran serta atau mobilisasi rakyat secara tetap.43

Sejak pemerintahan orde baru, stabilitas merupakan suatu tema konstan yang mempengaruhi semua program dan kebijaksanaan pemerintah. Penekanan pada masalah stabilitas menimbulkan pemu-satan perhatian pada soal keteraturan politik. Keduanya diperlukan untuk menunjang pembentukan suatu pemerintahan yang mampu menjalankan kekuasaan yang efektif di seluruh wilayah-wilayah yang

42 Karl. D. Jackson, Burcaucratic Polity; A Theoretical Framework for the

Analysis of Power and Communications in Indonesia, University of

California, Los Angeles, 1978, hal., 2. 43 Ibid., hal., 4.

diwarnai oleh lingkungan, budaya, dan sosialnya yang beraneka-ragam.44

Penekanan pada pengendalian pusat dari permulaan program pembangunan dari tingkat pusat dalam birokrasi pemerintah meng-hasilkan prestasi yang mengesankan, baik secara ekonomis maupun politis.45 Oleh karena itu, terdapat kecenderungan untuk meneruskan penumpuan diri pada pendekatan-pendekatan yang telah berhasil pada masa lalu.

Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi sebuah pemerintah baru yang mempunyai komitmen pada pembangunan ekonomi secara radikal adalah bagaimana menjalankan program-program pemerintah secara efektif tanpa diganggu birokrasi.46 Supaya pemerintahan yang baru mampu menjalankan program pembangunan ekonomi diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap terhadap eksekutif tinggi. Untuk tujuan tersebut, pada masa orde baru pembaruan terhadap birokrasi suatu prioritas utama.

Sehubungan dengan pemerintah daerah, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 merupakan gerakan untuk mengurangi peranan peme-rintah pusat. Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyebabkan berbaliknya kembali kecenderungan pemerataan kekuasaan ke daerah. Bahkan, pemerintahan demokrasi terpimpin mempunyai komitmen kepada sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Pada tahun 1965, undang-undang untuk memajukam sentralisasi disahkan.47

44 Michael Morfit, “Strengthening The Capacities of Local Government: Political And Contraints”, dalam Collin MacAndrews, Central Government

and Local Development in Indonesia, (ed), Singapore, Oxford University

Press, Oxford New York, 1986, hal., 56. 45 Ibid.

46 Mochtar Mas’oed, “Restrukturisasi Masyarakat oleh Pemerintah Orde Baru di Indonesia”, Prisma, No. 7 Tahun 1989, hal., 20.

Dalam arti tertentu, para pemimpin orde baru hanya meneruskan proses tersebut di atas. Bagi pemimpin tersebut, pembaruan birokrasi mengandung arti: pertama, harus diarahkan kepada pemindahan wewenang administratif kepada eselon teratas dalam hierarchi birok-rasi. Tindakan ini menyebabkan sentralisasi semua proses pembuatan kebijakan umum tertinggi. Kedua, menjadi birokrasi tanggap kepada pemimpin pusat. Strategi ini menyebabkan makin terlibatnya peranan militer dan tekhnokrasi sipil ke dalam departemen dan badan peme-rintahan. Ketiga, memperluas wewenang pemerintahan baru dalam mengkonsolidasikan kontrolnya atas daerah. Tindakkan ketiga ini mengawali proses penetapan orang-orang yang ditunjuk oleh Jakarta pada posisi pemerintahan daerah sebagai gubernur atau bupati. Yang biasanya paling percaya pemerintah pusat adalah perwira ABRI.48

Dalam kaitannya dengan birokrasi pada masa orde baru, Liddle berpendapat bahwa, Indonesia telah berhasil dalam mewujudkan birokrasi yang mampu dan efektif. Tetapi harus diakui, bahwa Indonesia belum lepas dari gejala-gejala birokrasi gaya dunia ketiga, termasuk efisiensi yang kurang dan korupsi yang sulit diberantas.49 Tetapi di-bandingkan dengan Birokrasi tahun 50-an dan 60-an, orde baru patut membanggakan prestasinya dalam bidang ini.

Keberhasilan dalam membangun birokrasi yang kuat, menjadikan pemerintah orde baru relatif stabil. Ini merupakan indikasi keber-hasilannya, dimana pemberontakan daerah dan konflik-konflik karena perbedaan sosio-kultural tidak lagi mengancam stabilitas negara.

Dalam hal ini, Burhan D. Magenda melihat konflik yang di-maksudkan dari sisi kultur dan geopolitik Indonesia. Menurut Ma-genda, geopolitik seperti Indonesia membuat kesatuan sebagai suku

48 Ibid., hal., 21.

49 R. William Liddle, “Merekayasa Demokrasi di Indonesia”, Kompas, 6

sangat kuat ikatannya. Mobilitas geografis dari penduduk sangat di-hambat oleh sulitnya komunikasi. Masalah yang ditimbulkan oleh geopolitik tersebut adalah usaha-usaha mencari keseimbangan antara kecenderungan sentralisasi dan desentralisasi. Berbagai undang-undang pokok pemerintah daerah dibuat sejak kemerdekaan selalu meng-hadapi kesulitan dalam masalah ini. Kalau sentralisasi terlalu kuat, maka reaksi daerah akan timbul. Desentralisasi terlalu kuat timbulnya ke-khawatiran pemerintah pusat akan timbulnya propinsialisme yang sempit.50

Bila sebelumnya, mobilitas geografis penduduk dan adanya kekhawatiran pusat melaksanakan desentralisasi sangat dipengaruhi oleh hambatan komunikasi, pada masa pemerintahan orde baru terdapat peningkatan dalam mengatasi hal tersebut, pada periode ini, pemerintah cepat bergerak mengatasi masalah geografi yang ditimbulkan oleh ke-ragaman geografis itu. Perubahan serupa termasuk pengendalian terhadap pemerintahan di daerah.

Undang-undang tersebut di atas, mengemukakan gagasan tentang daerah otonom di Indonesia. Pada hakekatnya otonomi daerah lebih merupakan kewajiban dari pada haknya, yaitu kewajiban daerah untuk berpartisipasi dalam melakukan pembangunan sebagai sarana untuk mencari kemakmuran rakyat. Dalam memenuhi kewajiban tersebut, kewenangan pemerintah daerah hanya menyelenggarakan kekuasaan yang diberikan kepada mereka oleh pusat. Pada setiap saat kewenangan pusat tetap lebih menentukan dan daerah memiliki hak yaitu disahkan dan diwajibkan untuk mengelola urusan mereka sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu yang telah di-tentukan oleh pusat.51

50 Burhan D. Magenda, dikutip dalam Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik

dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni,

Bandung, 1983, hal., 267. 51 Morfit, Op.Cit, hal., 59.

Dalam hal otonomi, Ichlasul Amal berpendapat bahwa kemung-kinan memberikan otonomi kepada rakyat sesungguhnya mengandung dilema, sebab antara otonomisasi dan konsep negara sangat kontra-diktif. Secara sederhana corak otonomi yang dapat mendinamikkan kegiatan adalah melalui program. Tetapi yang disebut program itu ba-tasnya tidak mudah ditarik, dari masa ke masa baba-tasnya masih fluktuatif.52

Amal melihat masalah di atas dari sisi “dinamika kelompok pedagang dan pengusaha”. Menurut Amal, bahwa kelompok pedagang

dan pengusaha di daerah hanya bisa berkembang bila mempunyai patron pejabat daerah. Selama ini proyek-proyek pembangunan tersebar keseluruh pelosok daerah, sehingga menempatkan kepala daerah dalam posisi penting. Kelompok pedagang dan pengusaha harus berhubungan dengan mereka bila ingin mencari pesanan proyek. Karena itu, kelompok pengusaha tak segan-segan mencari patron pejabat daerah.53

Selanjutnya amal mengatakan, antara pejabat daerah dan pejabat tingkat pusat terjalin suatu kaitan kuat. Bagi elite di pusat, pejabat

daerah merupakan “Bumper” yang mengamankan kepentingannya

dalam menghadapi keguncangan politik.54 Jalinan hubungan antara elite di pusat dengan pejabat di daerah yang dimaksudkan Amal, berkaitan erat dengan peran yang diberikan pusat terhadap pejabatnya di daerah. Supaya kepentingannya di daerah tetap terpenuhi, ia tidak berhubungan dengan kelompok lain. Dalam hal ini, pusat berhubungan dengan kelompoknya sendiri, yaitu dengan menempatkan elite yang ada di pusat ke daerah.

52 Ichlasul Amal, “Dinamika Kelompok Pedagang dan Pengusaha”, Prisma,

No. 11 Tahun 1985, hal., 56. 53 Ibid, hal., 58.

Untuk menempatkan elite yang ada di pusat ke daerah, pusat harus terlibat lansung dalam proses pemilihan calon kepala daerah. Berkaitan dengan pemilihan calon kepala daerah Riau, jalan untuk menuju yang dimaksudkan dengan mengendalikan elite politik lokal dalam proses rekrutmen politik.***

ELITE LOKAL

DAN POLITIK

ETNIK

Untuk membahas persoalan rekrutmen politik di Riau, kita harus punya gambaran tentang konteks sosio-kultural masalah politik ter-sebut. Dalam bab ini hendak diajukan argumen bahwa persoalan rekrutmen politik yang muncul akhir-akhir ini punya akar yang jauh kebelakang. Salah satu akar itu adalah persoalan etnik.

Sementara elite lokal ingin mengurus wilayahnya sendiri, kaum elite terpecah-pecah karena perbedaan etnik. Akibatnya kekuatan elite politik lokal dengan mudah bisa diimbangi oleh elite pendatang. Karena itu dalam bab ini hendak diuraikan: (1) Kondisi sosio-kultural masyarakat Riau terutama persoalan etnik, (2) Persaingan antar etnik dalam politik di Riau.

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 35-44)

Dokumen terkait