• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Tahun 1988-1992

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 74-83)

Masa jabatan Gubernur Riau periode pertama berakhir tahun 1985. Dalam pemi1ihan berikutnya, gubernur yang sudah melak-sanakan jabatannya itu dicalonkan kembali dengan dua orang calon dari daerah. Pemilihan pada periode ini terjadi peristiwa yang meli-batkan pemerintah pusat dan daerah, dalam tulisan ini disebut Kasus I. Setelah menduduki posisi sebagai Gubernur Riau untuk periode tahun 1985-1990, diadakanlah acara rukun kembali antara elite pusat di daerah dengan elite lokal, terutama mereka yang dianggap telah keluar dari kesepakatan semula.14

Acara rukun kembali di atas, pada mulanya bertujuan untuk mempertemukan kedua belah pihak untuk dapat menyadari kekeliruan yang telah mereka lakukan, karena kekeliruan itu membawa kedua belah pihak ke dalam suasana yang tidak menguntungkan. Namun demikian acara rukun kembali tersebut tidak membawa kepuasan bagi elite lokal. Hal ini disebabkan momen ini diiringi oleh keinginan elite pusat untuk me-recall elite lokal dari status sebagai Anggota DPRD Riau. Akibat peristiwa tersebut konflik antara elite pusat di daerah dengan elite lokal terlihat masih berlangsung dalam kepemimpinannya periode tahun 1985-1990.

Gubernur Riau yang dilantik tahun 1985 berhalangan melaksana-kan tugasnya sebagai Gubernur Kepala Daerah, sehingga jabatannya berakhir tahun 1987. Untuk mengisi kekosongan jabatan tersebut,

pemi1ihan Gubernur Riau berikutnya dilaksanakan tahun 1988 untuk periode tahun 1988-1992.

Untuk mengisi beberapa jabatan dalam struktur pemerintahan daerah, selama menduduki jabatan tahun 1985-1987, gubernur me-rekrut elite politik 1okal dari kelompok yang menjadi pendukungnya. Rekrutmen politik didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kepentingan kelompok, sedangkan kelompok tersebut terbentuk cenderung atas dasar persamaan kedaerahan dan sistim nilai yang mereka anut. Rekrutmen politik yang didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan emosional itu menimbulkan kecemburuan elite lokal lainnya terhadap kelompok elite lokal yang direkrut oleh Gubernur Kepala Daerah. Dalam hal ini, ketidakpuasan kelompok elite lokal tidak saja tertuju kepada Gubernur Kepala Daerah, tetapi juga ter-hadap kelompok elite lokal lainnya.

Sehubungan dengan pemilihan Gubernur Kepala Daerah, gejala-gejala konflik dalam kelompok elite lokal pertama kali muncul di kala-ngan elite lokal di luar lembaga DPRD. Sebagian kelompok elite lokal memberikan penilaiannya tentang profil pimpinan yang dibutuhkan masyarakat Riau. Mereka meninjau dari berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat, memberi penilaian keberhasilan daerah lainnya yang dipimpin oleh aktor dari daerahnya, dan memberikan penilaian ke-gagalan Riau selama dipimpin oleh elite politik yang didatangkan dari pusat, khususnya kegagalan gubernur yang baru melaksanakan tugas-nya di Riau.

Kelompok elite lokal lainnya tidak setuju dengan penilaian ke-lompok elite pertama, keke-lompok kedua ini memberikan penilaian se-baliknya. Mereka memberikan penilaian tentang kemajuan Riau selama kepemimpinan elite pusat di daerah. Baik kelompok elite pusat di daerah maupun masing-masing kelompok elite lokal tersebut berusaha

untuk mempengaruhi elite politik di DPRD untuk dapat mempertim-bangkan keinginan mereka.

Di dalam tubuh DPRD Riau, khususnya Fraksi Karya Pemba-ngunan pada umumnya yang mengisi kedudukan tersebut berasal dari kelompok pendukung elite pusat di daerah. Keadaan seperti ini terjadi, karena pemilihan umum untuk mengisi jabatan perwakilan rakyat diadakan sebelum pemilihan Gubernur Riau tanun 1988.

Melihat perpecahan yang terjadi antara kelompok elite lokal di luar lembaga formal tersebut, elite politik yang ada di DPRD Riau ti-dak mengajukan calon kepada pemerintah pusat. Ini diduga karena adanya kekhawatiran pusat akan terjadi peristiwa seperti tahun 1985, sehingga pusat menekan elite politik di DPRD untuk tidak mengajukan calon pendamping dari daerah dalam pemilihan tahun 1988. Disamping itu, kekhawatiran elite lokal yang ada di lembaga dewan itu sendiri ter-hadap calon dari daerah jika mendapat dukungan terbanyak dari anggota dewan yang mengakibatkan kedudukan mereka akan ter-ganggu.

Mereka yang menginginkan aktor lokal sekaligus wakil gubernur menjadi calon gubernur dalam pemilihan tahun 1988, pada umumnya kelompok elite lokal yang berbeda pendapat dengan elite pusat di daerah. Sedangkan yang tidak menghendaki aktor lokal dicalonkan dalam pemilihan tersebut adalah kelompok elite lokal yang menjadi pendukung elite pusat di daerah pada kepemimpinan kepala daerah sebelumnya.

Menurut penulis, kelompok elite lokal yang menghendaki aktor lokal dicalonkan sebagai calon Gubernur Kepala Daerah bertujuan agar mereka terlepas dari pembatasan-pembatasan atau tekanan-tekanan yang dilakukan elite pusat di daerah terhadap keinginannya. Sedangkan sebagian kelompok elite lokal yang tidak setuju dengan dicalonkannya aktor lokal sebagai calon kepala daerah, bertujuan untuk

menghindari tekanan dari aktor lokal jika terpilih sebagai Gubernur Kepala Daerah. Karena itu mereka tetap berusaha untuk mendukung elite pusat menjadi Gubernur Riau.

Selain adanya kecurigaan akan terjadinya tekanan, juga adanya kekhawatiran kelompok pendukung elite pusat di daerah terhadap aktor lokal akan melakukan rekrutmen politik yang didasarkan atas sistim nepotisme atau atas dasar ikatan primordial. Oleh karena itu, mereka tetap berusaha untuk menggagalkan keinginan kelompok pertama untuk mengajukan aktor lokal dalam pemilihan calon Gubernur Kepala Daerah tahun 1988.

Dilihat dari sisi kelompok elite lokal yang menghendaki aktor lokal dicalonkan dalam pemilihan kemungkinannya untuk diterima keci1 sekali, karena aktor tersebut adalah wakil gubernur sekaligus Ketua DPD Golkar Riau di dalam penilaian pusat gagal dalam me-nempuh karir politiknya.

Kegagalan tersebut di atas dianggap berperan aktif dalam me-nggalang kekuatan di DPRD Riau, khususnya Fraksi Karya Pem-bangunan untuk menyingkirkan elite pusat di daerah dalam pemilihan tahun 1985. Sekurang-kurangnya gagal dalam mengkoordinir anggota dewan dalam Fraksi Karya Pembangunan untuk memberikan duku-ngan suara kepala calon yang mendapat restu dari pemerintah pusat. Dilihat dari sisi pemerintah pusat, dilaksanakannya rekrutmen melalui mekanisme pengendalian pada tahap pencalonan agar tidak berlangsungnya konf1ik sesama kelompok elite lokal. Bila tidak di-kendalikan pada tahap pencalonan kemungkinannya akan terjadi perpecahan suara lembaga DPRD dalam memberikan dukungan te-rhadap calon pusat. Pengendalian tersebut juga berfungsi untuk me-wujudkan integrasi politik di Riau.

Dari sisi elite lokal, khususnya kelompok pertama pengendalian tersebut marupakan pembatasan partisipasi politik lokal dalam peran

politik aktif. Pendapat ini ditandai dengan tidak adanya kesempatan bagi mereka untuk menyalurkan keinginannya dalam proses rekrutmen politik.

Selanjutnya jika ditinjau dari sifat di laksanakannya, rekrutmen politik seperti itu menunjukkan bahwa sifatnya tertutup dalam pe-ngertian tidak semua aktor dapat dicalonkan untuk mengisi jabatan politik. Ini dimaksudkan untuk membatasi masuknya paham kelompok kepentingan dalam sistim politik yang mungkin akan menganggu ke-langsungan sistim itu sendiri.

Dari segi integrasi menunjukkan, bahwa strategi yang dilak-sanakan pemerintah pusat merekrut elite politik yang berasal dari luar daerah merupakan usaha pemerintah pusat untuk mewujudkan integrasi melalui pengendalian kepemimpinan politik. Masyarakat pada suatu daerah dapat menerima kepemimpinan elite politik dari daerah lainnya di Indonesia.

Mekanisme pengendalian yang dilaksanakan pusat dalam me-nengahi konflik yang terjadi sesama kelompok kepentingan dalam pemilihan Calon Gubernur Riau dilaksanakan secara arbitrasi. Peme-rintah pusat merekrut elite politik yang berasal dari luar daerah untuk kelompok masyarakat yang sedang da lam suasana konflik.

Dari uraian sebelumnya terlihat bahwa rekrutmen politik yang didasarkan atas pertimbangan kepentingan kelompok selama tahun 1985-1987 menjadi sebab terjadinya konflik sesama kelompok ke-pentingan dalam menentukan calon Gubernur Riau dalam pemilihan tahun 1988.

Selain itu, rekrutmen politik yang dilaksanakan di Riau lebih menekankan kepada kharisma seseorang dalam kelompoknya tanpa memperhatikan peran apa yang dapat dilaksanakan oleh mereka yang direkrut tersebut dalam masyarakat sekitarnya. Banyak terlihat bahwa

mereka yang direkrut tidak sesuai dengan basis kegiatannya. Setelah mereka menempati jabatan politis terlihat bahwa mereka ini tidak mampu menghasilkan sesuatu yang berarti dalam masyarakat Riau yang heterogen dalam berbagai hal.***

POLITIK LOKAL

DAN STRATEGI

PUSAT

Sebagaimana yang diketengahkan pada bab terdahulu, ketika Riau masih menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah (1957), elite lokal menuntut pembentukan provinsi tersendiri sehingga bisa di-pimpin oleh elite Riau. Keinginan untuk melepaskan dari provinsi tersebut didasarkan pada ekonomi, sosial, dan kultural yang berbeda dengan Sumatera Tengah terutama masalah sumber penghidupan, orientasi ekonomi, pemilikan tanah, dan adat istiadat yang berbeda dengan daerah lainnya dalam provinsi itu.

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, elite lokal Riau meng-inginkan wilayahnya dipimpin oleh elite ysng berasal dari daerah sendiri. Menurut mereka, Riau yang spesifik dari sisi ekanomi dan budaya itu menghendaki pemimpin yang berasal dari Riau. Tuntutan elite lokal itu disampaikan dalam bentuk pernyataan kepada pemerintah pusat sebagai tanggapan elit lokal Riau atas rencana pusat untuk menempat-kan elite pusat di Riau.

Akhir-akhir ini, tuntutan serupa terulang kembali dalam proses dan sistim politik yang sudah berubah. Dalam peristiwa pertama, tuntutan

POLITIK LOKAL

DAN STRATEGI PUSAT

itu didasarkan pada pertimbangan sumber penghidupan dan orientasi ekonomi yang berbeda, peristiwa terakhir menuntut perhatian yang lebih besar dari pusat atas sumber penghidupan masyarakat yang semakin sempit. Riau yang memberi sumbangan besar kepada pusat, tetapi penduduknya berada di bawah garis kemiskinan. Hasil penelitian Mubyarto menunjukkan, Riau menyumbangkan 64 persen dari APBN, tetapi perekonomian masyarakat Riau sangat terbelakang.1

Melihat adanya tuntutan elite lokal Riau untuk melepaskan Riau dari kepemimpinan elite pusat di daerah, pusat menanggapinya dengan jalan tetap melantik elite pusat menjadi Gubernur Kepala Daerah di Riau. Tanggapan tersebut untuk menjaga kewibawaan pemerintah pusat terhadap elite lokal daerah lainnya yang akan melakukan tun-tutan dalam proses yang serupa. Tindakan itu juga merupakan usaha pusat untuk mewujudkan integrasi nasional, sehingga elite dari suatu daerah dapat ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 74-83)

Dokumen terkait