• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

POLITIK LOKAL &

INTEGRASI NASIONAL

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah)

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 (satu), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

(4)

Pengendalian Pemerintah Pusat

dalam Rekrutmen Elite Politik Lokal Masa Orde Baru

Ali Yusri

Penerbit Alaf Riau Pekanbaru

2013

POLITIK LOKAL

&

(5)

POLITIK LOKAL &

INTEGRASI NASIONAL

Penulis Ali Yusri Editor Adlin Sampul Syamsul Witra Perwajahan arnain_99 Cetakan I Desember 2013 Penerbit: ALAF RIAU

Jl. Pattimura No. 9 Gobah-Pekanbaru Telp. (0761) 7724831 Fax. (0761) 857397

E-mail: arnain_99@yahoo.com ISBN 978-602-9012-97-2

(6)

PRAKATA PENULIS

Buku ini berawal dari studi penulis pada Program Studi Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta tentang pengendalian pemerintah pusat dalam rekrutmen politik di Riau. Dikendalikannya rekrutmen di wilayah ini, karena telah terjadi konflik kepentingan antara elite lokal dan elite pusat di daerah. Karena itu, pengendalian diperlukan untuk menjamin bahwa elite pusat-lah yang akan dimenangkan.

Akar timbulnya konflik kepentingan di atas, karena adanya per-bedaan pandangan dalam melihat potensi daerah untuk pembangunan. Di satu pihak melihat potensi daerah itu untuk pembangunan secara nasional, di pihak lain merasa kepentingannya seolah-olah diabaikan dalam pembangunan yang dilaksanakan. Karena itu, masing-masing pihak berusaha untuk mendukung aktor yang dianggapnya dapat me-menuhi kepentingannya itu.

Daerah Riau dengan potensi yang dimilikinya memberikan sum-bangan besar kepada pusat, tetapi sebagian besar penduduknya ber-ada di bawah garis kemiskinan dan perekonomiannya terkebelakang. Dilaksanakannya berbagai proyek pembangunan ekonomi untuk

(7)

menghasilkan komoditi ekspor di daerah ini, mengakibatkan semakin sempit sumber penghidupan masyarakat. Karena itu, elite pusat di daerah menjadi sasaran ketidakpuasan elite lokal.

Dalam pemilihan calon Gubernur Riau tahun 1985, aktor pusat tidak mendapat dukungan terbanyak dalam pemilihan itu, tetapi pusat berusaha untuk merekrut aktornya menjadi gubernur. Dalam hal ini, pusat tetap berusaha agar untuk menempatkan elite yang datang dari pusat untuk menjadi kepala daerah.

Mengakhiri tulisan ini, penulis ingin mengucapkan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang berjasa atas terbitnya buku ini. Selanjutnya penulis menerima saran dan kritikan dari pembaca demi perbaikan di masa mendatang. Semoga kehadiran buku ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan baru bagi pembaca yang ber-minat pada kajian ilmu yang sama.

Pekanbaru, akhir Desember 2013

(8)

DAFTAR ISI

PRAKATA PENULIS ... 5 DAFTAR ISI ... 7 BAB I PENDAHULUAN ... 11 BAB II PENGELOMPOKAN ELITE DAN ETNIK-POLITIK . 19 A. Rekrutmen Politik ... 20 B. Pengelompokan Elite ... 22 C. Primodialisme ... 27 D. Etnik - Politik ... 31 E. Pemerintahan Birokratis ... 35 BAB III ELITE LOKAL DAN POLITIK ETNIK ... 43

A. Masuknya Unsur Budaya Luar ... 43

B. Sistem Kepemimpinan dalam Masyarakat Melayu .. 46

(9)

BAB IV

REKRUTMEN POLITIK DAN PENGENDALIAN PUSAT 59

A. Periode Tahun 1985-1990 ... 61

B. Periode Tahun 1988-1992 ... 73

BAB V POLITIK LOKAL DAN STRATEGI PUSAT ... 81

A. Politik Elite ... 82

B. Politik Lokal dan Rekrutmen Politik ... 87

C. Strategi Pusat dan Integrasi Nasional ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 95

(10)

PENDAHULUAN

(11)
(12)

Studi rekrutmen politik berusaha mengetahui bagaimana sese-orang atau sekelompok sese-orang memasuki peran politik aktif. Studi rekrutmen politik juga berkaitan dengan proses sosial dan politik, sehingga melalui proses rekrutmen peran tersebut dapat dicapai.

Dari sisi aktor yang melalui proses rekrutmen politik, rekrutmen politik merupakan : (1) transformasi dari peran non politik ke peran politik. (2) pengangkatan atau seleksi orang untuk peran politik tertentu. Karena itu, rekrutmen merupakan suatu indikator yang baik bagi nilai dan distribusi pengaruh politik.1

Secara analitis, lembaga yang memilih dan metode yang di-gunakan dalam pemilihan dapat dibedakan menurut sistem politik yang dianut oleh suatu masyarakat. Penganut teori demokrasi berasumsi bahwa kesamaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik

ter-PENDAHULUAN

Bab I

1 Lester G. Saligman, “ The Role of Elite”, dalam Jason L. Finke & Richard W. Gable, Political Development and Social Change, Second Edition, John

(13)

gantung pada kemampuan yang dimiliki.2 Asumsi yang mendasarinya,

yaitu tidak akan ada penghalang yang secara tidak sah mengesam-pingkan warga negara atau penghalang secara de facto tidak me-mungkinkan orang-orang tertentu untuk memegang jabatan admi-nistratif, baik yang dipilih maupun yang ditunjuk.

Di negara-negara demokrasi modern rekrutmen politik dila-kukan secara sistimatis dan biasanya dilatih oleh negara untuk me-menuhi peranan tertentu di dalam demokrasi. Rekrutmen pertama-tama didasarkan pada faktor-faktor kegunaan dan masuknya para calon kedalam birokrasi biasanya dicapai melalui beberapa bentuk ujian yang dibuat untuk menguji faktor-faktor tersebut. Selain itu cenderung pula untuk menekan masalah kemampuan, walaupun seringkali secara minimal menurut loyalitas kepada negara.3 Ini

me-nunjukkan bahwa mereka yang mempunyai kemampuan dan loyalitas yang tinggi yang akan direkrut untuk menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan.

Kebanyakan di negara-negara sedang berkembang, proses rekrutmen politik tidak dirumuskan secara formal dalam sistem politiknya. karena perkembangan organisasinya kurang ekstensif dan terpecah-pecah. Dalam pengertian teritorial, banyak negara-negara sedang berkembang memperlihatkan keadaan seperti itu sehingga setiap tekanan terhadap pengalaman eksekutif dan legislatif hampir-hampir tidak termungkinkan. Sedangkan transformasi gerakan kemerdekaan menjadi partai politik yang efektif seringkali menyodor-kan masalah rekrutmen yang banyak sekali.

2 Joseph La Palambora, Politics Within Nations, by. Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jarsey, 1974, hal., 47

3 Micheal Rush & Phillip Altoff, Pengantar Sosiologi Politik, alih bahasa,

(14)

Pengalaman sebagaimana di atas, dapat ditafsirkan dari segi perjuangan untuk mencapai kemerdekaan, namun setelah kemer-dekaan tercapai perjuangan untuk merebut kekuasaan tanggung jawab pemerintahan dan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik me-nimbulkan banyak ketegangan yang dapat memecahkan kesatuan gerakan kemerdekaan terdahulu. Rekrutmen mungkin dilakukan melalui saluran informal berdasarkan pada kelompok-kelompok tradisional, kesukuan, etnis, dan kedaerahan.4

Seperti negara berkembang lainnya, Indonesia telah dianggap melampaui klasifikasi akademik sebagai negara tradisional, tetapi belum dapat dikaitkan sebagai negara modern.5 Elite politik Indonesia memiliki

dua ciri fungsi pemimpin politik dan non-politik dari negara tradisional dan modern sekaligus. Di satu pihak pemimpin dan elite politiknya memperlihatkan ciri-ciri fungsi pemimpin politik yang nyata dengan batas-batas yang tegas, tetapi di pihak lain seringkali terlihat bahwa batas-batas sebagai pemimpin politik dan non-politik sangat kabur dan bahkan identik.

Ichlasul Amal dalam tulisannya mengenai pemilihan dan rekrutmen

politik mengatakan bahwa “keberhasilan suatu pemilihan dapat dilihat

dari apakah pemilihan tersebut menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang tidak hanya mampu me-manage konflik-konflik kepen-tingan diantara pendukungnya, tetapi juga mampu menjaga kelansungan sistim itu sendiri. Melalui pemilihan, profesionalisasi pemimpin-pemimpin politik akan terbuka. Dengan demikian, pemilihan akan berfungsi sebagai seleksi tingkat profesionalisasi pemimpin politik dan sebagai garis pemisah antara pemimpin politik dan pemimpin non-politik.6

4 Ibid, hal., 5.

5 Ichlasul Amal, Kedudukan dan Peran Partai Politik sebagai Komponen

Pelaksanaan Demokrasi Pancasila, Yogyakarta, 1988, hal., 3.

(15)

Pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan rekrutmen politik seperti di atas, dapat dijadikan sebagai kerangka berfikir untuk melihat proses rekrutmen politik dalam praktek politik.

Buku ini ingin melihat rekrutmen politik sebagai saluran peruba-han dalam sistem politik dan menghubungkan pemikiran tersebut dengan rekrutmen politik di Indonesia seperti yang dilaksanakan di Riau. Masalah ini menarik, karena rekrutmen yang dilaksanakan di daerah itu ternyata menimbulkan konflik kepentingan yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah.

Disatu pihak pemerintah pusat merekrut elite politik yang di-anggapnya dapat melaksanakan ketentuan yang telah digariskan dari pusat. Dipihak lain, elite lokal mendukung aktor politik yang dicalonkan dari daerah, yang dianggap dapat lebih memperhatikan kepentingan masyarakat daerah Riau. Dalam keadaan yang demikian itulah terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan elite lokal. Ka-rena itu, pelaksanaan rekrutmen politik di Riau merupakan kasus yang menarik untuk dipelajari.

Berkaitan dengan rekrutmen politik di Riau, dua pertanyaan pokok yang diajukan adalah :

1. Bagaimana rekrutmen dilaksanakan?

2. Mengapa rekrutmen dilaksanakan seperti itu?

Dalam upaya menjelaskan dua pertanyaan tersebut, buku ini mencoba melihat pengendalian dalam proses rekrutmen elite politik di Riau dalam pengertian peran integratif kepemimpinan politik. Bentuk kepemimpinan seperti apa yang dibutuhkan indonesia untuk mewujud-kan integritas nasionalnya.

Rekrutmen politik di Riau dilaksanakan melalui mekanisme pe-ngendalian. Pada tahap penyaringan, kriteria yang dipakai adalah ke-setiaan pada pemerintah pusat, yaitu tidak pernah terlibat langsung

(16)

atau tidak langsung dalam tindakan yang menentang pemerintahan yang sah.

Pada tahap pencalonan, karena terkandung makna bahwa aktor yang akan menduduki jabatan kepala daerah tersebut juga merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, pemerintah pusat mempunyai hak untuk menentukan calonnya sendiri. Dalam hal ini, yang diajukan daerah sebagai calon kepala daerah seharusnya calon yang karir politiknya tidak setara (setingkat) dengan calon yang diajukan pusat. Ini untuk menjamin bahwa calon pemerintah pusatlah yang akan menang.

Setelah diperoleh beberapa nama yang dianggap memenuhi syarat, proses selanjutnya adalah mengajukan nama-nama tersebut ke pemerintah pusat. Yang akan ikut dalam pemilihan adalah calon-calon yang disetujui pusat. Dan salah satu diantaranya adalah calon-calon yang mendapat “restu” pusat. Sebelum pemilihan diadakan, dewan pimpinan pusat golongan karya memberikan pengarahan kepada Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Riau, agar anggota dewan, khususnya Fraksi Karya Pembangunan memberikan dukungannya kepada aktor yang dicalonkan dari pusat itu.

Dilaksanakannya rekrutmen politik melalui mekanisme pengen-dalian di Riau, karena telah terjadi konflik antara elite pusat di daerah dengan politisi lokal. Menurut penilaian pusat, bila tidak dikendalikan, Riau akan dipimpin oleh aktor yang diusung oleh politisi lokal yang lebih mengutamakan kepentingan daerah. Oleh karena itu, pusat tetap merekrut elite politik yang dianggapnya dapat memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan dari pusat.

Perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dengan politisi lokal, disebabkan oleh adanya perbedaan kepentingan. Hal ini terlihat dari proses rekrutmen politik terhadap elite politik yang akan melak-sanakan kepentingan tersebut. Karena itu, masing-masing pihak

(17)

berusaha untuk menentukan pilihannya, elite politik mana yang dapat memenuhi kepentingannya itu.

Politisi lokal yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah mereka yang menempati posisi puncak di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Povinsi Riau. Mereka ini berasal dari para birokrat, politisi, cendikiawan (intelektual), pemimpin agama, pemimpin adat, baik secara formal maupun informal.

Dilihat dari sisi etnik, Riau ditempati oleh berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia. Kelompok etnik yang dominan dan dianggap asli adalah etnik Melayu Riau. Sedangkan etnik pendatang adalah Minangkabau, Bugis, Banjar, Jawa, Aceh dan Cina. Penge-lompokan etnik dalam buku ini didasarkan pada asal-usul dan sistim nilai yang mereka anut. Pembedaan ini penting, karena pada suatu waktu pembedaan tersebut mempengaruhi tumbuhnya konflik atau integrasi di Riau.

Untuk memperjelas sasaran yang akan diteliti, tulisan ini akan difokuskan pada rekrutmen politik tahun 1985 (kasus I) dan tahun 1988 (kasus II). Kasus rekrutmen tersebut menyebabkan timbulnya konflik yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, serta timbulnya kesenjangan hubungan elite-massa, baik secara vertikal maupun hori-zontal.

Secara vertikal terlihat adanya konflik antara elite pusat di daerah dengan elite lokal, yaitu terlihat dalam pemilihan calon gubernur pada tahun 1985. Terjadinya konflik tersebut diduga karena adanya benturan kepentingan. Secara ekonomis, kebijaksanaan pusat di daerah ber-benturan dengan kepentingan daerah. Daerah merasa seolah-olah kepentingannya diabaikan oleh pusat. Secara politis, pusat tetap ingin mempertahankan kedudukan elite politiknya di daerah, sehingga ke-pentingannya akan tetap terpenuhi.***

(18)

PENGELOMPOKAN

ELITE

DAN

ETNIK - POLITIK

(19)
(20)

Secara horizontal, terlihat adanya konflik sesama elite lokal, yaitu dalam pemilihan calon gubernur kepala daerah di Riau tahun 1985. Dalam pemilihan ini, elite dari suatu kelompok menginginkan agar aktor lokal dicalonkan, tetapi elite dari kelompok lain tidak meng-hendaki hal yang seperti itu.

Tidak adanya kehendak bersama antara sesama elite lokal dalam menentukan calon kepala daerah di Riau, diduga karena: (1) adanya kecurigaan akan terjadinya penekanan terhadap elite lainnya oleh kelompok yang memimpin. (2) kecurigaan akan terjadinya nepotisme dan primordialisme dalam rekrutmen untuk jabatan strategis dalam struktur pemerintahan daerah.

Untuk mewujudkan integrasi melalui pengendalian pemimpin politik, pada tahun 1985 pemerintah pusat merekrut elite politik yang berasal dari luar Riau. Rekrutmen politik tahun 1985, dimaksudkan sebagai usaha meredakan konflik politik yang terjadi antara sesama elite lokal.

PENGELOMPOKAN ELITE

DAN ETNIK - POLITIK

(21)

Pembahasan tentang konsep-konsep di atas pada dasarnya adalah untuk membuat argumen pokok bahwa pengendalian oleh pemerintah pusat terhadap rekrutmen politik di Riau bisa dikaitkan dengan upaya membangun ekonomi dan integrasi nasional.

Sebelum menjawab pertanyaan bagaimana rekrutmen politik dilaksanakan, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan rekrutmen politik dan bagaimana fungsinya dalam sistem politik.

A. Rekrutmen Politik

Moshe M. Czudnowski berpendapat, bahwa rekrutmen politik merupakan penghubung antara masyarakat dan sistem politik.1 Akibat

dari sifat ganda sistem politik, yaitu sebagai pencermin dan pengontrol perubahan sosial, menurut Czudnowski hubungan antara masyarakat dan sistem politik itu memuat 3 dilema dasar : (1) setiap tatanan politik membutuhkan kontinuitas institusional, namun kontinuitas juga berarti bergantian personil, (2) pembuatan kebijaksanaan pemerintah cen-derung menekankan relevansi, konsistensi dan efektifitas. Namun kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat cenderung selalu berubah, (3) pemerintah didasarkan pada otoritas, tetapi untuk memelihara otoritas pemerintah membutuhkan legitimasi. Untuk memperoleh legitimasi pemerintah harus menunjukkan tanggung jawab terhadap masyarakat.2

Menurut Czudnowski, cara penyelesaian dilema itu, dalam kurun waktu tertentu tergantung pada rekrutmen yang berlaku dan perubahan yang terjadi dalam rekrutmen tersebut.3 Oleh karena itu, rekrutmen

1 Moshe M. Czudnowski, “Political Recruitmen”, dalam Hand Book of Political

Science, non Government Politics, Volume 5, Ed. Greenstein & Nelson W.

Polsby, Addision – Wesley Publishing Company, Inc, 1975, hal., 156. 2 Ibid.

(22)

merupakan penghubung antara pemerintah dan masyarakat, rekrutmen berfungsi memelihara sistim dan menyalurkan perubahan yang utama, yaitu merekrut anggota-anggota masyarakat dan melibatkan mereka dalam peran tertentu.

Saligman, sebagai yang dikutip Czudnowski melihat rekrutmen itu terdiri dari : (1) penyaringan dan penyaluran politis yang layak dipilih

untuk pencalonan; (2) pencalonan – merupakan proses dua tahap

yang mensyaratkan inisiatif dan penguatan; (3) seleksi, yaitu pemilihan calon yang sebenarnya.4

Jacob, mengembangkan pendapat Saligman tersebut di atas dengan menambahkan ciri personalitas dan posisi-posisi yang relevan dengan rekrutmen. Dalam proses penyaringan, Jacob membedakan antara rekrutmen yang bersifat tertutup dengan bersifat terbuka.5

Rekrutmen yang tertutup berkaitan dengan organisasi partai yang kuat, sedangkan rekrutmen yang sifatnya terbuka apabila partai lemah dan memiliki kontrol yang lemah terhadap pemilihan calon.

Berkaitan dengan rekrutmen elite, Saligman berpendapat bahwa setiap sistim politik, peran politik harus didefenisikan, diisi dan dikosongkan. Rekrutmen politik mulai berfungsi apabila sosialisasi sudah selesai. Rekrutmen politik berfungsi merekrut anggota-anggota

sub-kultur tertentu – komunitas agama, status kelas, komunitas etnis

dan sejenisnya serta memasukkannya dalam peran khusus sistim politik.6

Menurut Saligman, pola rekrutmen politik mencerminkan dan sekaligus mempengaruhi masyarakat.7 Sebagai suatu faktor yang

dipengaruhi, rekrutmen menyatakan sistim nilai masyarakat; derajat

4 Saligman, dikutip dalam Czudnowski, Ibid, hal., 172. 5 Ibid.

6 Saligman, Op.Cit, hal., 240. 7 Ibid.

(23)

konsistensi dan kontradiksinya; derajat dan tipe perwakilan; basis stratifikasi sosial dan artikulasinya dengan sistim politik; struktur dan perubahan peran politik. Sebagai faktor yang mempengaruhi masya-rakat, pola rekrutmen menentukan jalan menuju peran serta dan status politik; mempengaruhi kebijaksanaan yang akan dilaksanakan; mempercepat atau memperlambat perubahan; menimbulkan distribusi dan prestise; serta mempengaruhi stabilitas sistim. Karena itu, sistim politik merupakan indikator perkembangan dan perubahan suatu masyarakat.

Berdasarkan beberapa pendapat yang diketengahkan, dapat ditegaskan bahwa rekrutmen politik merupakan suatu proses peru-bahan posisi seseorang atau sekelompok orang dari peran non-politik ke peran politik aktif. Pola rekrutmennya sejalan dengan sistim politik yang terdapat dalam masyarakat tersebut.

Karena rekrutmen politik menyangkut mengenai etnik, maka perlu membahas konsep-konsep tentang elite politik, primordialisme (pengelompokan politik berdasarkan ikatan primordial).

B. Pengelompokan Elite

Apakah suatu masyarakat dapat mempertahankan stabilitas dan perkembangannya, banyak tergantung pada integrasi elite pada masyarakat tersebut. Ini karena, elite berada pada posisi yang strategis untuk berbuat seperti itu dalam suatu masyarakat.

Pareto dalam Jangam berpendapat, bahwa setiap masyarakat memiliki kelompok-kelompok elite dengan jenis yang berbeda. Meskipun demikian, mereka ini sangat penting dan merekalah yang menentukan perkembangan atau kemajuan setiap masyarakat. Suatu kenyataan, apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka buat me-rupakan suatu kriteria penting untuk memutuskan suatu masyarakat

(24)

sedang mengalami kemajuan atau tidak. Jika mengalami kemajuan, ke arah mana dan seberapa cepat kemajuan tersebut.8

Sehubungan dengan perkembangan dan kemajuan tersebut di atas, Pareto mengatakan dua tipe elite atau pemimpin yang bertanggung jawab terhadap perubahan itu.9 Tipe pertama disebutnya spekulator,

yaitu merupakan orang-orang yang merupakan rekonstruktur atau reformer. Mereka ini berwawasan kedepan dan aktif untuk meningkat-kan perubahan dalam masyarakat. Tipe kedua disebutnya renteirs, yaitu golongan konservatif, mereka ini tidak sepakat terhadap peru-bahan atau inovasi yang terjadi dalam masyarakat. Karena inovasi atau perubahan itu akan diiringi oleh pergantian besar-besaran kaum elite lama dengan yang baru.

Pendapat yang mengatakan bahwa integrasi elite sangat me-nentukan perubahan dalam masyarakat dikemukakan oleh Raymon Aron yang melihat dari komposisinya. Menurut Aron, komposisi elite yang berkuasa mungkin akan berubah secara cepat, arti penting dari berbagai kelompok dalam elite mungkin akan berubah, namun suatu masyarakat hanya dapat bertahan hidup dan makmur jika terdapat kerjasama yang sejati antara kelompok-kelompok elite tersebut. De-ngan kata lain, harus ada satu kesatuan pendapat dan tindakan dalam tujuan utama elite itu.10

Untuk menjelaskan mengapa elite menentukan setiap perubahan dalam masyarakat, beberapa ahli sependapat bahwa dalam tangan kelompok ini terpusat kekuasaan politik. Eksistensi mereka tidak saja kebetulan, tetapi hasil dari berbagai kekuatan dalam masyarakat yang menciptakan beberapa bentuk stratifikasi sosial.

8 RT. Jangam, Political Sociology, Oxford & BH. Publishing co, New Delhi, Bombay, Calcutta, 1980, hal., 65.

9 Ibid, hal., 66.

(25)

Gaetano Mosca seperti yang dikutip Robert Michel mengatakan, dalam semua masyarakat dari masyarakat yang berkembangnya sangat minim dan baru mencapai fajar peradaban sampai pada yang paling maju dan sangat kuat, akan muncul dua kelas.11 Yaitu, kelas yang

ber-kuasa dan diber-kuasai. Mosca menyebutkan bahwa posisi yang dominan dari minoritas ini tidak hanya disebabkan oleh keuntungan organisasi saja, tetapi kelompok ini juga memiliki keunggulan lain yaitu individu-individu yang istimewa. Ia mengatakan kelompok minoritas ini sebagai kelas yang berkuasa, sedangkan Pareto menyebutkan sebagai elite politik.12

Dalam hal ini, Mosca dan Pareto mempunyai pandangan yang sama, bahwa terdapat batas pembagian yang jelas antara kelompok penguasa dan dikuasai, antara minoritas politik dan mayoritas politik dan posisi elite berkuasa itu dapat berubah pada suatu periode tertentu yaitu melalui pengrekrutan anggota-anggota non elite atau dengan jalan pembentukan elite tandingan. Pareto menyebut proses seperti ini se-bagai sirkulasi elite.13

Menurut Bottomore, elite adalah kelompok-kelompok yang mempunyai status tertinggi dalam suatu masyarakat. Ini adalah kelas politik yang terdiri dari semua kelompok yang melaksanakan ke-kuasaan politik dan langsung turut terlibat dalam perjuangan mem-perebutkan kepemimpinan politik dan suatu elite yang terdiri atas orang-orang yang sebenarnya melaksanakan kekuasaan politik pada suatu waktu tertentu.14

Joseph Lapalambora mendefenisikan elite politik tidak terbatas pada orang-orang yang menduduki posisi dalam pemerintahan formal

11 Rush & Altoff, Op.Cit, hal., 234 – 235. 12 Ibid.

13 Ibid.

(26)

dan yang mendapatkan otoritas jabatan resmi untuk membuat keputusan-keputusan politik, tetapi juga direktur utama perusahaan-perusahaan industri utama, pimpinan serikat dagang dan anggota utama dari berbagai partai politik.15 Keadaan yang demikian, karena mereka itu

berperan dalam proses pembuatan keputusan yang akan dilaksanakan. Mosca dalam kebanyakan karyanya mengemukakan teori yang lebih komplek dan halus. Ia mengatakan bahwa kelas politik itu sendiri dipengaruhi atau dikendalikan oleh berbagai kekuatan sosial (yang mewakili berbagai kepentingan dalam masyarakat), dan juga oleh kekuatan moral dari masyarakat itu secara keseluruhan yang dinyatakan dalam bentuk rule of law (pemerintahan secara hukum).16 Suatu elite

tidak memerintah begitu saja atas dasar kekerasan dan kesewenangan, tetapi mewakili beberapa hal kepentingan-kepentingan dan tujuan dari kelompok-kelompok yang penting dan berpengaruh dalam masyarakat. Dalam hal munculnya elite baru, Mosca menjelaskan bahwa pergeseran kelompok elite itu secara sosiologis maupun psikologis, sepanjang mengenai munculnya elite baru (atau munculnya elemen-elemen baru dalam elite itu) yang sebagian disebabkan oleh timbulnya kekuatan-kekuatan sosial yang membela kepentingan-kepentingan baru (kepentingan ekonomis dan teknologis) dalam masyarakat.17

Dalam tulisannya bersama Mosca, Pareto menyadari bahwa pada prinsipnya jumlah kaum elite adalah sebanyak macam kelompok kerja, tetapi ia lebih menitik beratkan pada elite politik dan perintah kepada kepentingan dari segi sosial dan sejarah. Secara khas Mosca

15 Lapalambora, Op.Cit, hal., 469.

16 Sartono Kartodirjo, (penyunting), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986, hal., 28.

17 Ibid, hal., 30 – 31.

18 Suzanne Keller, Penguasa dan Kelompok Elite, Peran Elite Penentu dalam

(27)

menulis: “di dalam masyarakat-masyarakat yang cukup padat

pen-dukungnya dan telah mencapai suatu tingkat peradaban tertentu, kelas-kelas penguasa tidak membenarkan kekuasaan mereka seeklusif

dimiliki secara de fakto”.18

Mengenai perkembangan elite, menurut Pareto elite berkembang disebabkan oleh empat proses sosial yang utama.Pertama, pertumbuhan penduduk; kedua, pertumbuhan spesialisasi; ketiga, pertumbuhan organisasi formal; keempat, perkembangan keragaman moral.19

Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite pun menjadi semakin banyak, semakin beranekaragam dan lebih bersifat otonom.

Pareto mempertegas teori Mosca, dengan mana kekuasaan elite telah diwujudkan sebagai suatu fakta kehidupan sosial yang universal, tidak berbeda dan tidak dapat diubah, eksistensinya tergantung pada perbedaan-perbedaan psikologis antar individu.20 Tetapi Mosca

mengkualifikasikan konsepsinya yang pertama itu dengan mengakui perubahan-perubahan historis dalam komposisi kaum elite, dan dalam hubungan antara penguasa dan yang dikuasai dapat terjadi dibawah

pengaruh berbagai “kekuatan sosial” yang menunjukkan sejumlah

kepentingan yang berbeda-beda di dalam masyarakat.21

Jika pembagian kekuasaan politik dalam masyarakat berkaitan erat dengan struktur kelas dan ketimpangan sosial, maka berarti tuntutan demokrasi yang ideal dan pembagian kekuasaan yang tidak merata dalam masyarakat berkaitan dengan tercapainya keadilan sosial yang ideal. Peraturan formal seperti apapun yang akan diterapkan untuk menjamin demokrasi politik, tidak akan menghilangkan ke-cenderungan bahwa kekuasaan akan terpusat dan digunakan hanya

19 Ibid, hal., 91.

20 Tom Bottomore, Sosiologi Politik, terjemahan Sahat Simamora, Bina Aksara, 1983, hal., x-xi.

(28)

untuk kepentingan kelas-kelas yang dominan.22 Melalui pengendalian

mereka terhadap sumber-sumber serta posisi-posisi kunci kekuasaan masyarakat yang dipegangnya, kelompok dominan secara sosial dan ekonomi akan menggunakan pengaruhnya dalam setiap proses pengambilan keputusan.

Dari beberapa pendapat ahli tentang elite dan peranannya dalam masyarakat yang telah dikemukakan, menunjukkan bahwa elite adalah mereka yang berada diposisi puncak dalam setiap struktur masyarakat dan mereka ini merupakan orang atau sekelompok orang yang paling menentukan arah dan perkembangan dalam suatu masyarakat.

C. Primordialisme

Clifford Geertz dalam tulisannya yang berjudul “ The integrative revolution : primordial sentimen and civil politics in the new states”

mengatakan bahwa, rakyat di negara-negara baru senantiasa digerakkan oleh dua motif yang berbeda bahkan seringkali berlawanan.23 Motif

pertama, yaitu mencari identitas dan tuntutan agar identitas tersebut secara umum diakui keberadaannya. Motif kedua berupa keinginan akan kemajuan, peningkatan standar hidup, tatanan politik yang lebih efektif, keadilan sosial yang lebih besar dan dapat memainkan peranan politik yang lebih luas serta berpengaruh terhadap bangsa lain. Kedua motif tersebut mempunyai hubungan yang kuat dan dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan, karena motif pertama berhubungan dengan masalah primordial, sedang motif kedua berhubungan dengan peran negara dalam mencapai tujuan bersama.

22 David Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Rajawali, Jakarta,

1982, hal., 230 – 231.

23 Clifford Geertz, “The Integrative Revolution: Primordial Sentiment and Civil

(29)

Ketegangan -ketegangan yang ditimbulkan hubungan primordial tersebut, terlihat kronis di negara-negara baru, karena rakyatnya masih terikat pada: persamaan darah, bahasa, ras, daerah dan tradisi. Di negara yang negaranya mempunyai peranan yang luas, hubungan seperti itu merupakan instrumen yang positif untuk mewujudkan tujuan bersama. Edward Shils, sebagaimana yang dikutip Geertz dalam bukunya

“Political development in new states” menyebutkan istilah yang lebih

tepat untuk sifat yang terlibat dalam masalah gerakan integrasi, dianggap sebagai masyarakat negara baru. Masyarakat tersebut rentan terhadap ketidakpuasan yang didasarkan pada ikatan primordial (primordial attachment).24 Ikatan primordial yang dimaksudkan

adalah ikatan yang diberikan atau berasal dari keberadaan sosial. Seseorang terikat pada kelompok keluarganya, tetangganya, sahabat yang dipercaya, bukan hanya sebagai akibat dari rasa senang atau kewajiban semata-mata, tetapi sebagian besar diberikan oleh masalah penting yang terkait pada ikatan itu sendiri.

Dalam masyarakat moderen, pengangkatan yang didasarkan pada ikatan-ikatan primordial pada tingkat supremasi politik, meskipun mungkin terjadi tetapi sangat disesalkan, karena dianggap sebagai patologis. Hingga pada tingkat yang lebih besar, kesatuan nasional dipertahankan bukan karena panggilan darah, tetapi oleh kesetiaan yang kabur dan penekanan ideologis.

Menurut Geertz, rasa ketidakpuasaan yang sesungguhnya cen-derung mengkristal beraneka ragam, dan dalam kasus tertentu be-berapa diantaranya saling berkaitan dan kadang-kadang saling bertalian kepentingan dengan yang lain. Hal yang demikian itu, berada dalam: (1) pertalian darah, (2) ras, (3) daerah, (4) bahasa, (5) agama, (6) dan adat.25 Selain jenis ikatan primordial tersebut yang pada suatu

24 Ibid, hal., 656. 25 Ibid, hal., 657 – 658.

(30)

tempat dan ditempat lain cenderung dipolitisir. Keragaman primordial dan konflik-konflik yang sebenarnya ada diberbagai negara, dan ikatan seperti itu merupakan bagiannya.

Sebagai negara yang tergolong kedalam negara baru, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua ciri yang bersifat unik.26 Secara

horizontal ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat, serta kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.

Pembedaan-pembedaan suku bangsa, agama dan kedaerahan seringkali disebut ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Suatu masyarakat bersifat majemuk adalah sejauh mana masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat bermacam-macam (diverse). Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, sebab berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuk relatif murni, serta disebabkan oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ke-tergantungan diantara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagiannya.27

Kenyataan menunjukkan bahwa di Indonesia pernah ber-kembang suku-suku bangsa secara terpisah, letak geografis dan proses sejarah, yang masing-masingnya mengembangkan kebudayaannya sendiri-sendiri. Keragaman kebudayaan Indonesia semakin besar

26 Nasikun, Sistim Sosial Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1988, hal., 30. 27 Ibid, hal., 35 – 36.

(31)

karena pengaruh kebudayaan asing yang pernah menyusup kedalam masyarakat Indonesia pada masa lalu. Oleh karena itu, proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dan mempersatukan seluruh pen-duduk menjadi satu bangsa. Ini telah menimbulkan berbagai tantangan dan kebutuhan, khususnya kebutuhan akan kebudayaan yang berfungsi sebagai pengikat persatuan dan kesatuan bangsa yang terwujud sebagai masyarakat majemuk.28

Tantangan sebagaimana yang dimaksud di atas, berkaitan dengan heterogenitas yang menjadi ciri masyarakat Indonesia. Dalam agama, kelompok etnis, pengalaman sejarah, dan kondisi geografis dan terdapat variasi yang besar antara berbagai kelompok penduduknya. Kesulitan dan tantangan seperti itu dipecahkan secara moral (artinya lebih merupakan komitmen moral dan konsensus politik dari pada suatu pemecahan kebudayaan yang kongkrit). Sumpah pemuda 28 Oktober 1928, yang mengikrarkan satu bangsa; bangsa Indonesia, satu bahasa; bahasa Indonesia, satu tanah air; tanah air Indonesia. Bobot ikrar tersebut terletak pada masalah persatuan yang tentu saja merupakan aset penting dalam perjuangan mencapai kemerdekaan.29

Hubungan personal kebangsaan dan masalah persatuan ini dengan persoalan tradisi terlihat pada dua isu.30Pertama,

kesadaran-kesadaran lokal-provinsial harus makin direlativisir untuk memberi tempat kepada kesadaran nasional. Sedangkan ideologi nasionalisme makin nyata peranannya dalam menumpang dan mempersatukan aliran-aliran yang ada. Kedua, kebudayaan daerah yang menjadi referensi kelompok-kelompok etnis harus diperlakukan sebagai sumber daya

28 S. Budhisantoso, “Pengembangan Kebudayaan Nasional dalam Pembinaan

Persatuan dan Kesatuan Bangsa”, dalam pertemuan Budaya Melayu Riau,

Pemda Tingkat I Riau, hal., 1.

29 Ignas Kleden, “Membangun Tradisi Tanpa Sikap Tradisional,” Prisma, No. 8, 1986, hal., 71.

(32)

bagi suatu kebudayaan persatuan yang masih harus dikembangkan, sedangkan puncak-puncak kebudayaan daerah tersebut menjadi unsur pembentuk kebudayaan nasional.

Dengan adanya kebudayaan sebagai kerangka acuan yang dapat memberikan pengertian untuk mencapai tujuan bersama, konflik yang terjadi karena ikatan-ikatan primordial dapat diperkecil. Dan ini juga mempercepat tercapainya integrasi antara berbagai sub-kebudayaan yang membentuk masyarakat Indonesia yang majemuk.

D. Etnik - Politik

Biasanya penalaran antropologi bersandar pada alasan bahwa ragam budaya tidak bersifat melanjut dan walaupun kondisi masyarakat beragam, tetap terdapat beberapa sifat budaya yang sama, sehingga selalu dapat dicari titik temu bagi perbedaan budaya antar kelompok tersebut. Ini karena, budaya merupakan suatu cara pemberian perilaku manusia, maka kelompok manusia dengan perilaku tertentu akan masuk kedalam suatu unit etnik dengan sifat budaya tertentu.31

Dikatakan sebagai kelompok etnik karena sebagai suatu popu-lasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang ditetapkan oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lain.32

Kelompok etnik dapat dipandang sebagai tatanan sosial bila dapat menentukan ciri khususnya sendiri yang dapat dilihat oleh

31 Fredrik Bart, Kelompok Etnik dan Batasannya, terjemahan Nining I.Soesilo, Penerbit UI-Press, hal., 10.

(33)

kelompok lain. Untuk menentukan seseorang berasal dari kelompok mana, dapat diperkirakan dari latar belakang asal-usulnya. Kelompok etnik terbentuk sebagai tatanan sosial apabila seseorang menggunakan identitas etnik dalam mengkategorikan dirinya dan orang lain untuk tujuan interaksi.33

Dalam kehidupan politik, orang-orang yang berlatar belakang etnik tertarik dalam politik untuk beberapa alasan sama dengan ke-lompok etnik lainnya.34 Mereka ini memiliki kepentingan yang dapat

dipengaruhi oleh aturan mempunyai pilihan pribadi diantara calon-calon dalam partai politik. Disamping itu ada alasan lain bagi etnik dalam berurusan dengan konflik etnik yang mengambil berbagai bentuk. Da-lam hal ini ada beberapa bidang kebijaksanaan setempat merupakan masalah khusus dengan kelompok etnik lainnya.

Robert E. Lane berpendapat, perubahan-perubahan dalam perspektif akan membawa kelompok etnik kedalam politik, tetapi kekuatan mempolitisir juga merupakan hal yang penting bagi kelompok etnik dari aktor politiknya. Dalam politik, pemimpin etnik mampu me-ngubah etnisitasnya menjadi keuntungan yang positif bila dibidang lain mereka dirugikan.35

Selanjutnya Lane mengatakan, terdapat beberapa implikasi dari sikap etnik dalam politik: (1) perubahan sosial dapat diterima atau sebagian diterima oleh seseorang. Dalam hal ini, keraguan seseorang menghargai orang lain menjadi dasar dorongan seseorang dalam politik; (2) anggapan status yang rendah pada suatu kelompok dapat menim-bulkan sikap lain dalam konsekwensi politik. Ini dapat menimmenim-bulkan seseorang menutup diri dari kontak dengan masyarakat luar; (3) bila

33 Ibid, hal. 14.

34 Robert E. Lane, Political Life, Why And How People Get Involved In

Politics, The Free Press, New York, 1966., hal.236.

(34)

terjadi hubungan dengan masyarakat lebih luas, kelompok etnik mulai melihat keluar dan melibatkan diri dalam kelompok sosial, yang kemu-dian menjadi peka terhadap refleksi status kelompok dan semangat memajukan kepentingan kelompok dengan semua sasaran yang dimiliki.36

Etnisitas seringkali merupakan basis pengelompokkan politik yang lain sangat menonjol.37 Hal seperti itu dapat ditemukan di Nigeria

dan negara-negara Afrika lainnya, di Filipina terlihat pengelompokkan yang sangat menonjol atas dasar suku Tagalog, Cagayan, Mindonau dan lain sebagainya.

Di Indonesia, pengelompokkan yang didasarkan pada ikatan etnik seperti di atas, seringkali dijadikan dasar pengelompokkan politik yang sangat menonjol disamping ikatan-ikatan lainnya. Dalam sejarah politik Indonesia, sejak demokrasi Parlementer sampai demokrasi terpimpin sering terlihat bahwa pengelompokkan politik didasarkan pada kesukuan atau etnisitas tersebut.

Banyak ahli ilmu politik mengatakan, pemimpin nasionalis cenderung pengabaikan peranan etnisitas. Seperti di India para pe-mimpinnya mengecilkan peranan etnisitas dalam politik, sehingga mereka mengabaikan perkara-perkara politik yang didasarkan pada rasa kesukuan. Akan tetapi para pemimpin tersebut didukung oleh suatu partai yang berakar kuat, sehingga mereka terpaksa mengakui peranan yang dimainkan etnisitas dalam politik.38

Makna rasa kesukuan bahkan lebih dramatis dalam masalah-masalah integratif yang timbul di negara-negara dimana masyarakatnya memiliki identitas yang sangat kuat, seperti Aceh, Tapanuli, Sumatera

36 Ibid, hal., 249.

37 Afant Gaffar, “Sentimen Primordial, Politik Lokal dan Rekruitmen Pemda di

Indonesia”, Kedaulatan Rakyat, 21 Maret 1990.

38 Nazaruddin Sjamsuddin, Integrasi Politik Di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1989, hal., 20-21.

(35)

Barat, Sulawesi Selatan dan lain sebagainya. Peranan yang dimainkan oleh faktor kesukuan dalam kehidupan politik yang cukup besar, baik di daerah-daerah yang memiliki identitas suku yang kuat maupun di daerah-daerah dimana penduduknya merupakan campuran dari pelbagai suku.39 Suatu kondisi lain yang berbahaya adalah bilamana

masyarakat memendam rasa kesukuan itu pada saat kekuasaan peme-rintah pusat begitu menonjol.

Kuatnya pengelompokkan politik atas dasar etnisitas tersebut terlihat dari hasil pemilu 1955. Umumnya partai-partai yang berhasil mendapat cukup banyak kursi keluar sebagai pemenang di daerah-daerah pemilihan yang berlainan. Kenyataan seperti itu sedikit ba-nyaknya menghubungkan partai-partai tertentu dengan aspirasi-aspirasi politik daerah atau suku bangsa tertentu yang merangsang perasaan kedaerahan dan memperlemah perasaan kesatuan nasional.40

Bersamaan dengan penyebaran etnik kedaerahan pada sistim kepartaian, dukungan terhadap partai juga cenderung mengikuti garis perbedaan sosial keagamaan, yang keadaan di Jawa telah diulas oleh Geertz, yaitu kelompok Islam santri, priyayi, dan abangan.41

E. Pemerintahan Birokratis

Sebelum menjawab pertanyaan mengapa rekrutmen politik di-laksanakan seperti itu di Riau. Terlebih dahulu perlu dilihat gambaran umum hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah selama orde baru. Hubungan yang dimaksudkan akan dilihat melalui konsep Bureucratic

Polity.

39 Ibid.

40 Alfian, Beberapa Masalah Pembaharuan Politik di Indonesia, Pusat Studi Politik Indonesia, Jakarta, 1980, hal., 7.

41 Daniel S. Lev dalam Ichlasul Amal, Teori-teori Mutakhir Partai Politik, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988, hal., 95.

(36)

Karl D Jackson dalam tulisannya tentang “Bureucratic Polity:

A Theorical Framework for Analysis of Power and Communications

in Indonesia” berpendapat bahwa, sekurang-kurangnya sejak tahun

1957, saat demokrasi parlementer berakhir dengan deklarasi hukum martial (suasana perang), bentuk dasar pemerintahan belumlah berubah secara mendasar. Walaupun pelaku utama dan titik berat politik telah berubah dan kekuasaan sejak tahun 1970-an lebih ter-pusat di tangan Presiden dibandingkan sebelumnya, namun Indonesia masih merupakan pemerintahan birokratis. Suatu sistim politik dimana kekuasaan dan peran serta dalam keputusan-keputusan nasional hampir seluruhnya terbatas pada pejabat-pejabat pemerintah, khususnya kelompok pejabat dan jajaran birokrasi tertinggi, men-cakup spesialisasi yang sangat terlatih dan dikenal sebagai kelompok teknokrat.42

Menurut Jackson, pemerintahan birokratis tidak mendukung bentuk-bentuk peran serta massa demokratis ataupun totaliter. Partai-partai politik tidak mengontrol birokrasi pusat atau secara efektif mengorganisir massa pada tingkat lokal. Pada dasarnya, pemerintahan birokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan dimana tidak ada peran serta atau mobilisasi rakyat secara tetap.43

Sejak pemerintahan orde baru, stabilitas merupakan suatu tema konstan yang mempengaruhi semua program dan kebijaksanaan pemerintah. Penekanan pada masalah stabilitas menimbulkan pemu-satan perhatian pada soal keteraturan politik. Keduanya diperlukan untuk menunjang pembentukan suatu pemerintahan yang mampu menjalankan kekuasaan yang efektif di seluruh wilayah-wilayah yang

42 Karl. D. Jackson, Burcaucratic Polity; A Theoretical Framework for the

Analysis of Power and Communications in Indonesia, University of

California, Los Angeles, 1978, hal., 2. 43 Ibid., hal., 4.

(37)

diwarnai oleh lingkungan, budaya, dan sosialnya yang beraneka-ragam.44

Penekanan pada pengendalian pusat dari permulaan program pembangunan dari tingkat pusat dalam birokrasi pemerintah meng-hasilkan prestasi yang mengesankan, baik secara ekonomis maupun politis.45 Oleh karena itu, terdapat kecenderungan untuk meneruskan

penumpuan diri pada pendekatan-pendekatan yang telah berhasil pada masa lalu.

Salah satu persoalan terbesar yang dihadapi sebuah pemerintah baru yang mempunyai komitmen pada pembangunan ekonomi secara radikal adalah bagaimana menjalankan program-program pemerintah secara efektif tanpa diganggu birokrasi.46 Supaya pemerintahan yang

baru mampu menjalankan program pembangunan ekonomi diperlukan sebuah birokrasi yang efektif dan tanggap terhadap eksekutif tinggi. Untuk tujuan tersebut, pada masa orde baru pembaruan terhadap birokrasi suatu prioritas utama.

Sehubungan dengan pemerintah daerah, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 merupakan gerakan untuk mengurangi peranan peme-rintah pusat. Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menyebabkan berbaliknya kembali kecenderungan pemerataan kekuasaan ke daerah. Bahkan, pemerintahan demokrasi terpimpin mempunyai komitmen kepada sentralisasi kekuasaan di Jakarta. Pada tahun 1965, undang-undang untuk memajukam sentralisasi disahkan.47

44 Michael Morfit, “Strengthening The Capacities of Local Government:

Political And Contraints”, dalam Collin MacAndrews, Central Government

and Local Development in Indonesia, (ed), Singapore, Oxford University

Press, Oxford New York, 1986, hal., 56. 45 Ibid.

46 Mochtar Mas’oed, “Restrukturisasi Masyarakat oleh Pemerintah Orde Baru

di Indonesia”, Prisma, No. 7 Tahun 1989, hal., 20.

(38)

Dalam arti tertentu, para pemimpin orde baru hanya meneruskan proses tersebut di atas. Bagi pemimpin tersebut, pembaruan birokrasi mengandung arti: pertama, harus diarahkan kepada pemindahan wewenang administratif kepada eselon teratas dalam hierarchi birok-rasi. Tindakan ini menyebabkan sentralisasi semua proses pembuatan kebijakan umum tertinggi. Kedua, menjadi birokrasi tanggap kepada pemimpin pusat. Strategi ini menyebabkan makin terlibatnya peranan militer dan tekhnokrasi sipil ke dalam departemen dan badan peme-rintahan. Ketiga, memperluas wewenang pemerintahan baru dalam mengkonsolidasikan kontrolnya atas daerah. Tindakkan ketiga ini mengawali proses penetapan orang-orang yang ditunjuk oleh Jakarta pada posisi pemerintahan daerah sebagai gubernur atau bupati. Yang biasanya paling percaya pemerintah pusat adalah perwira ABRI.48

Dalam kaitannya dengan birokrasi pada masa orde baru, Liddle berpendapat bahwa, Indonesia telah berhasil dalam mewujudkan birokrasi yang mampu dan efektif. Tetapi harus diakui, bahwa Indonesia belum lepas dari gejala-gejala birokrasi gaya dunia ketiga, termasuk efisiensi yang kurang dan korupsi yang sulit diberantas.49 Tetapi

di-bandingkan dengan Birokrasi tahun 50-an dan 60-an, orde baru patut membanggakan prestasinya dalam bidang ini.

Keberhasilan dalam membangun birokrasi yang kuat, menjadikan pemerintah orde baru relatif stabil. Ini merupakan indikasi keber-hasilannya, dimana pemberontakan daerah dan konflik-konflik karena perbedaan sosio-kultural tidak lagi mengancam stabilitas negara.

Dalam hal ini, Burhan D. Magenda melihat konflik yang di-maksudkan dari sisi kultur dan geopolitik Indonesia. Menurut Ma-genda, geopolitik seperti Indonesia membuat kesatuan sebagai suku

48 Ibid., hal., 21.

49 R. William Liddle, “Merekayasa Demokrasi di Indonesia”, Kompas, 6 Februari 1990.

(39)

sangat kuat ikatannya. Mobilitas geografis dari penduduk sangat di-hambat oleh sulitnya komunikasi. Masalah yang ditimbulkan oleh geopolitik tersebut adalah usaha-usaha mencari keseimbangan antara kecenderungan sentralisasi dan desentralisasi. Berbagai undang-undang pokok pemerintah daerah dibuat sejak kemerdekaan selalu meng-hadapi kesulitan dalam masalah ini. Kalau sentralisasi terlalu kuat, maka reaksi daerah akan timbul. Desentralisasi terlalu kuat timbulnya ke-khawatiran pemerintah pusat akan timbulnya propinsialisme yang sempit.50

Bila sebelumnya, mobilitas geografis penduduk dan adanya kekhawatiran pusat melaksanakan desentralisasi sangat dipengaruhi oleh hambatan komunikasi, pada masa pemerintahan orde baru terdapat peningkatan dalam mengatasi hal tersebut, pada periode ini, pemerintah cepat bergerak mengatasi masalah geografi yang ditimbulkan oleh ke-ragaman geografis itu. Perubahan serupa termasuk pengendalian terhadap pemerintahan di daerah.

Undang-undang tersebut di atas, mengemukakan gagasan tentang daerah otonom di Indonesia. Pada hakekatnya otonomi daerah lebih merupakan kewajiban dari pada haknya, yaitu kewajiban daerah untuk berpartisipasi dalam melakukan pembangunan sebagai sarana untuk mencari kemakmuran rakyat. Dalam memenuhi kewajiban tersebut, kewenangan pemerintah daerah hanya menyelenggarakan kekuasaan yang diberikan kepada mereka oleh pusat. Pada setiap saat kewenangan pusat tetap lebih menentukan dan daerah memiliki hak yaitu disahkan dan diwajibkan untuk mengelola urusan mereka sendiri sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu yang telah di-tentukan oleh pusat.51

50 Burhan D. Magenda, dikutip dalam Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik

dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni,

Bandung, 1983, hal., 267. 51 Morfit, Op.Cit, hal., 59.

(40)

Dalam hal otonomi, Ichlasul Amal berpendapat bahwa kemung-kinan memberikan otonomi kepada rakyat sesungguhnya mengandung dilema, sebab antara otonomisasi dan konsep negara sangat kontra-diktif. Secara sederhana corak otonomi yang dapat mendinamikkan kegiatan adalah melalui program. Tetapi yang disebut program itu ba-tasnya tidak mudah ditarik, dari masa ke masa baba-tasnya masih fluktuatif.52

Amal melihat masalah di atas dari sisi “dinamika kelompok pedagang dan pengusaha”. Menurut Amal, bahwa kelompok pedagang

dan pengusaha di daerah hanya bisa berkembang bila mempunyai patron pejabat daerah. Selama ini proyek-proyek pembangunan tersebar keseluruh pelosok daerah, sehingga menempatkan kepala daerah dalam posisi penting. Kelompok pedagang dan pengusaha harus berhubungan dengan mereka bila ingin mencari pesanan proyek. Karena itu, kelompok pengusaha tak segan-segan mencari patron pejabat daerah.53

Selanjutnya amal mengatakan, antara pejabat daerah dan pejabat tingkat pusat terjalin suatu kaitan kuat. Bagi elite di pusat, pejabat

daerah merupakan “Bumper” yang mengamankan kepentingannya

dalam menghadapi keguncangan politik.54 Jalinan hubungan antara elite

di pusat dengan pejabat di daerah yang dimaksudkan Amal, berkaitan erat dengan peran yang diberikan pusat terhadap pejabatnya di daerah. Supaya kepentingannya di daerah tetap terpenuhi, ia tidak berhubungan dengan kelompok lain. Dalam hal ini, pusat berhubungan dengan kelompoknya sendiri, yaitu dengan menempatkan elite yang ada di pusat ke daerah.

52 Ichlasul Amal, “Dinamika Kelompok Pedagang dan Pengusaha”, Prisma, No. 11 Tahun 1985, hal., 56.

53 Ibid, hal., 58. 54 Ibid.

(41)

Untuk menempatkan elite yang ada di pusat ke daerah, pusat harus terlibat lansung dalam proses pemilihan calon kepala daerah. Berkaitan dengan pemilihan calon kepala daerah Riau, jalan untuk menuju yang dimaksudkan dengan mengendalikan elite politik lokal dalam proses rekrutmen politik.***

(42)

ELITE LOKAL

DAN POLITIK

ETNIK

(43)
(44)

Untuk membahas persoalan rekrutmen politik di Riau, kita harus punya gambaran tentang konteks sosio-kultural masalah politik ter-sebut. Dalam bab ini hendak diajukan argumen bahwa persoalan rekrutmen politik yang muncul akhir-akhir ini punya akar yang jauh kebelakang. Salah satu akar itu adalah persoalan etnik.

Sementara elite lokal ingin mengurus wilayahnya sendiri, kaum elite terpecah-pecah karena perbedaan etnik. Akibatnya kekuatan elite politik lokal dengan mudah bisa diimbangi oleh elite pendatang. Karena itu dalam bab ini hendak diuraikan: (1) Kondisi sosio-kultural masyarakat Riau terutama persoalan etnik, (2) Persaingan antar etnik dalam politik di Riau.

A. Masuknya Unsur Budaya Luar

Di Riau, sekurang-kurangnya terdapat tujuh sub-kelompok etnik yang dominan dan dianggap asli (etnik Melayu). Sub-kelompok etnik ini merupakan warisan dari salah satu bagian kerajaan Melayu

ELITE LOKAL

DAN POLITIK ETNIK

(45)

di Riau sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Kerajaan tersebut seperti kerajaan Riau Lingga, Indragiri, Siak Sri Indrapura, Tambusai, Rambah, Pelalawan, Kampar dan Kuantan.

Kerajaan sub-etnik yang terdapat di Riau (asli) membawa implikasi terhadap kecenderungan dalam memilih lapangan kegiatan. Sub-etnik yang berasal dari kawasan Siak Sri Indrapura cenderung dalam lapangan pamong praja, dari kawasan kerajaan Kampar dalam lapangan pendidikan agama Islam, dari kawasan kerajaan Indragiri dalam lapangan pamong praja dan kepartaian, dari kawasan kerajaan Kuantan dalam lapangan pendidikan umum. Dari kawasan kerajaan lain, tidak terlihat mendominasi salah satu lapangan kegiatan, baik dalam lapangan pemerintahan maupun di luar pemerintahan.

Selain etnik Melayu, terdapat beberapa etnik pendatang. Etnik pendatang mayoritas yang turut berperan dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau, seperti Minangkabau, Bugis, Banjar dan Jawa.

Kedatangan etnik Minangkabau ke Riau dapat ditelusuri sejak kebesaran kerajaan Melayu Riau Lingga. Pada masa lalu telah terjadi hubungan dengan etnik Minangkabau terutama kerajaan Melayu yang berbatasan langsung dengan kawasan Minangkabau. Dalam perkem-bangannya, karena dorongan faktor persamaan keturunan, agama, ekonomi dan budaya, etnik ini jumlahnya semakin bertambah. Pada umumnya tinggal di kota-kota besar di Riau dan hidup sebagai peda-gang.1

Kehadiran etnik Bugis di Riau, berawal sejak kemaharajaan Melayu. Dalam kehidupan politik di Riau, etnik ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap perubahan penguasa di kerajaan-kerajaan Melayu di Riau dalam menghadapi serangan dari pengaruh luar, seperti peristiwa

1 Sejarah Daerah Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986, hal., 96.

(46)

tahun 1720-an, dimana raja dari kerajaan Melayu meminta bantuan dari etnik tersebut untuk menyerang Raja Kecil yang menjadi raja di salah satu kerajaan di Riau. Karena bantuan yang diberikannya kepada raja salah satu kerajaan Melayu tersebut, etnis Bugis mendapat men-dapat kedudukan yang pertama kali di daerah Melayu, yaitu sebagai yang Dipertuan Muda Riau.

Selain faktor politis, yaitu untuk mendapatkan kedudukan dalam struktur kerajaan Melayu, etnik ini hampir-hampir tidak mendapat halangan. Mereka membaur dengan masyarakat setempat dan me-ninggalkan adat kebiasaan yang dibawa dari negeri asalnya. Etnik ini pada umumnya menyebar di Riau Kepulauan.2

Etnik Banjar, banyak terlihat membaur dengan etnik Melayu di daerah Kepulauan Riau. Mereka ini masuk ke Riau sewaktu berdirinya kerajaan Indragiri. Pada mulanya datang sebagai pedagang di daerah perairan, kemudian beralih sebagai petani dan berkebun khususnya kelapa. Selain keberhasilan mereka di daerah Riau, ditambah dengan perubahan yang terjadi di daerah asal, yaitu terjadinya Perang Banjar pada tahun 1859 melawan Belanda, akibat dihapuskannya kerajaan Banjar oleh Belanda. Setelah terjadinya peristiwa tersebut sejumlah etnik ini bertambah banyak yang datang ke daerah Riau, terutama di Indragiri Hilir.3

Etnik mayoritas lainnya adalah Jawa. Etnik ini hampir merata ditemukan di daerah Riau, dapat ditelusuri sejak zaman penjajahan, baik Belanda maupun Jepang. Mereka ini pada umumnya didatang-kan kaum penjajahan sebagai tenaga perkebunan disamping etnik lokal.4

2 UU Hamidi dan Muchtar Ahmad, Masalah Sosial Budaya dan Tekhnologi

Transmigrasi Lokal di Daerah Riau, Bappeda, Pekanbaru, 1984, hal., 21.

3 Sejarah Daerah Riau, Op.Cit, hal., 137. 4 Ibid.

(47)

Walaupun pada umumnya daerah Riau dikenal sebagai wilayah budaya Melayu, tetapi dalam perkembangan terjadi pembauran dengan unsur budaya etnik pendatang seperti gambaran di atas. Dari beberapa enik pendatang yang pernah menanam pengaruhnya di Riau, terlihat pengaruh Minangkabau dan Bugis mewarnai kehidupan masyarakat Melayu Riau.

Pengaruh budaya etnik pendatang pada masa lalu yang terlihat sampai sekarang seperti masyarakat Melayu Riau yang ada di Riau Kepulauan mempunyai ikatan keturunan dengan Bugis, dan masyarakat Melayu Riau yang berbatasan dengan wilayah Minangkabau mempu-nyai ikatan dengan etnik Minangkabau.

Berkaitan dengan warna hubungan antar-etnik yang terjadi akhir-akhir ini, diperkirakan juga berkaitan dengan apa yang pernah terjadi pada masa lalu. Hubungan antar-etnik yang tidak harmonis pada masa sebelumnya merupakan akar perpecahan antar-kelompok yang satu dengan yang lainnya, terutama dalam kepemimpinan politik.

Gambaran sosio-kultural masyarakat Riau seperti di atas mungkin dapat menjadi instrumen untuk melihat persoalan rekrutmen politik yang terjadi baru-baru ini, khususnya untuk melihat rekrutmen politik tahun 1988. Dalam tulisan ini disebut kasus II.

B. Sistim Kepemimpinan dalam Masyarakat Melayu

Adat temenggung yang melandasi adat istiadat orang Melayu Riau sangat terbuka menyerap kebiasaan dan kepercayaan yang datang dari luar. Kebiasaan dan kepercayaan itu adalah Islam, Hindu, dan Barat. Karena terbukanya adat Melayu tersebut, maka ditemui berbagai pengaruh kebudayaan yang pernah menyusup dalam tata kehidupan orang Melayu.5 Kenyataan ini sejalan dengan pendapat Virginia

5 “Peranan Adat Melayu Riau dalam Pembangunan Indonesia”, makalah pada Pertemuan Budaya Riau, 1985, Pemda Tingkat I Riau, Pekanbaru, hal., 5.

(48)

Matheson yang mengatakan bahwa kegemilangan kebudayaan Riau berlaku pada abad ke-19, tetapi akar-akar kebudayaan itu disuburkan oleh berbagai kebudayaan, baik dari alam Melayu maupun dari luar alam Melayu.6

Etnik Melayu merupakan etnik asli yang mendiami daerah Riau. Pada saat ini terdapat dua golongan adat yang dianut dalam masyarakat tersebut. Pertama, masyarakat Melayu yang memakai adat istiadat yang dipengaruhi oleh adat Melayu asli. Mereka ini pada umumnya bermukim di Kabupaten Kepulauan Riau, sebagian di pesisir Kabu-paten Bengkalis, sebelah hilir KabuKabu-paten Indragiri dan bagian hilir Kabupaten Kampar. Kedua, masyarakat Melayu yang dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Mereka ini banyak dijumpai di Kabupaten Kampar bagian barat, Kabupaten Indragiri Hulu bagian utara dan ka-wasan yang berbatasan lansung dengan Sumatera Barat. Pada mas-yarakat yang dipengaruhi golongan adat yang pertama, berlaku sistim matrilineal,7 sedangkan dalam golongan yang kedua, berlaku sistem

patrilineal.8

Istilah klen dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh adat Melayu asli dimaksudkan adalah suku-suku. Kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat ini tidak memperlihatkan gambaran kehidupan berdasarkan kesukuan yang ketat, ini karena batas kelompok yang membentuk komunitas yang disebut suku itu sudah membaur sedemikian rupa de-ngan kelompok lainnya. Pimpinan masyarakat dalam klen merupakan suatu kedudukan sosial dan sekaligus proses sosial. Pimpinan yang tertinggi dalam komunitas ini dipegang oleh raja yang meliputi daerah kekuasaan kerajaan.

6 Virginia Matheson, Suasana Budaya Riau dalam Abad Ke-19: Latar

Belakang dan Pengaruh, Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1983, hal., 3

7 Sistim Kesatuan Hidup Setempat Daerah Riau, Pusat Penelitian Sejarah dan Kebudayaan, Jakarta, 1980, hal., 71.

(49)

Dalam masyarakat Melayu yang mendapat pengaruh dari adat istiadat minangkabau, terdapat suku-suku kecil yang merupakan pe-cahan dari suku besar, suku besar ini biasa disebut dengan suku induk. Pimpinan dalam suku induk dipegang oleh seseorang yang bergelar penghulu, sedang dalam suku kecil pimpinannya disebut ninik mamak.9

Dalam kehidupan kedua golongan masyarakat ini, pengendalian merupakan sesuatu yang tetap dipelihara. Pengendalian diperlukan agar setiap anggota masyarakat tersebut dapat berbuat sesuai dengan keyakinan yang dianut. Setiap tingkahlaku masyarakat melayu harus dapat sejalan dengan kehendak adat istiadat yang berlaku. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran yang dianut dapat tetap dilaksanakan dalam hidup sehari-hari. Pengendalian yang tercermin dalam bentuk penghormatan atau dengan menghargai orang lain. Ini tidak saja berlaku dalam anggota masyarakatnya, tetapi juga pada pimpinan yang ada dalam setiap tingkat masyarakat tersebut.

Nilai budaya Melayu, mencerminkan hubungan sesama manusia lebih bersifat demokratis. Sistim demokrasi dalam masyarakat selalu terkait dengan sistim nilai yang berlaku dalam masyarakatnya, sistim nilai yang tersebut berupa agama, tradisi dan adat. Refleksi sistim nilai tersebut tercermin dari panutan pikiran masyarakat setempat pada kebenaran, bukan kepada lembaga atau pimpinan. Hal ini terungkap

dari pepatah masyarakat melayu “raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah”.10

Dalam kepemimpinan tradisional, raja merupakan pusat dari segala kegiatan. Raja merupakan pemimpin pemerintahan dan me-rupakan pucuk pimpinan formal. Di bawah raja terdapat kelompok masyarakat yang berfungsi sebagai penasehat raja sekaligus tokoh

8 Ibid.

10 Kumpulan Makalah Temu Budaya Daerah Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah Riau, 1988, hal., 10.

(50)

masyarakat. Sehubungan dengan kepemimpinan dalam budaya Melayu lebih diwarnai oleh kemampuan intelektual yang berakar kuat pada nilai agama dan tradisi.11

Secara tradisional, pemimpin adat dan pemimpin agama ber-tanggung jawab atas terlaksananya upacara adat dan agama di ling-kungan masyarakat, namun dalam bidangnya ia merupakan pimpinan tertinggi.

Pada dasarnya setiap masyarakat mempunyai sistim nilai, se-hingga setiap tingkahlaku individu yang membentuk masyarakat tersebut dapat diukur dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu. Suatu sistim nilai pada dasarnya adalah semacam jaringan yang terdiri dari sejumlah norma-norma atau seperangkat kelaziman yang meliputi kehidupan suatu masyarakat. Jaringan tersebut sekaligus menjadi identitas untuk menandai masyarakat tersebut, sistim nilai itulah yang membedakan suatu masyarakat dari kelompok lainnya, sehingga masyarakat itu dipandang mempunyai eksistensi.12

Sehubungan dengan nilai dalam budaya Melayu, Tabrani ber-pendapat bahwa satu diantara nilai budaya Melayu adalah nilai kekuasaan, dalam kebudayaan melayu agama Islam dan adat istiadat memegang peranan penting. Pada mulanya adat istiadat tumbuh dalam upacara-upacara istana yang kemudian diteruskan kepada bangsawan, kepada pemegang kekuasaan dan akhirnya kepada orang kebanyakan atau rakyat jelata.13

Gambaran tentang sistim kepemimpinan dalam masyarakat Melayu Riau seperti diuraikan sebelumnya, tentulah sekarang ini telah

11 UU Hamidi, Sistim Nilai Masyarakat Pedesaan di Riau, Bumi Pustaka, Jakarta, 1983, hal., 21.

12 Ibid.

13 Pertemuan Ilmiah Kebudayaan Melayu, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Jakarta, 1985, hal., 19.

(51)

terjadi perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat anggota-nya, baik karena pengaruh yang datang dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri.

Walaupun telah terjadi perubahan dalam sistim nilai karena perkembangan masyarakat anggotanya, namun orientasi nilai budaya masyarakat melayu Riau masih memperlihatkan nilai-nilai yang di-berikan oleh agama Islam dan tradisi.

Berkaitan dengan nilai budaya Melayu pada saat ini, Muchtar Achmad berpendapat bahwa, orientasi Melayu pada saat ini sedemi-kian rumit dan berkait kelindan dalam berbagai ragam bidang kehi-dupan, dan sedemikian heterogen serta berbaurnya dengan berbagai kebudayaan yang tidak jelas lagi batasnya. Selanjutnya dikatakan, untuk melihat orientasi itu lebuh jelas terlihat pada masyarakat yang bermukim di pedesaan. Ini karena mayoritas masyarakat Melayu ber-ada di pedesaan, mungkin sekali tidak akan jauh terjadinya perubahan tersebut.14Dalam masyarakat pedesaan di Riau, terdapat tiga sistim

nilai.15Pertama, sistim nilai yang diberikan oleh agama Islam, kedua,

sistim nilai yang diberikan oleh adat, dan ketiga, sistim nilai yang di-berikan oleh tradisi. Karena itu, ulama berperan sebagai pemimpin dam sebagai politikus.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 membawa perubahan status kerajaan-kerajaan yang ada di Riau. Wilayah kerajaan tersebut menjadi bagian dari wilayah Negara Kesa-tuan Republik Indonesia, dan sistim kepemimpinan yang berjalan mengikuti struktur kepemimpinan seperti provinsi lainnya di Indo-nesia.

14 Mochtar Ahmad, dalam Kumpulan Makalah Temu Budaya Daerah Riau,

Op.Cit, hal., 5.

(52)

C. Persaingan antar-Etnik dalam Kepemimpinan Politik

Sebagaimana yang diungkapkan Matheson dalam makalahnya, bahwa pada masa lalu pernah terjadi perselisihan antara beberapa etnik pedagang di kawasan Johor, Riau, Selangor, Kedah dan Siak. Perselisihan itu berakhir pada tahun 1740-an.16 Hubungan antara etnis

yang berselisih tersebut mulai dibina setelah sultan Sulaiman Badrul

Alamsyah menjadi sultan pada kerajaan Siak dari tahun 1722 – 1761.17

Usaha yang dilakukan Sultan untuk mengadakan ikatan persahabatan dilakukan dalam surat perjanjian dengan tujuan utama menghadapi tantangan dari luar, yaitu Belanda. Dalam perjanjian itu ditetapkan bahwa suku bangsa Melayu sebagai Sultan dan suku bangsa Bugis sebagai Yam Tuan Muda. Untuk lebih memupuk ikatan persaudaraan sebagai suatu keluarga, Sultan Sulaiman melakukan politik perkawinan antara saudaranya dengan keturunan Bugis.18

Kesatuan kedaulatan dan wilayah kesultanan Melayu mulai terpecah sejak dipusatkannya pemerintahan oleh Raja Kecil di Buatan Siak Sri Indrapura dan sejak memerintahnya Sultan Sulaiman Badrul

Alamsyah di Riau – Johor pada tahun 1722. Sejak pemerintahan Sultan

tersebut, kekuasaan kesultanan sudah berbagi dengan Yam Tuan Muda dari keturunan Bugis. Pada akhir-akhir kekuasaan Sultan, ia hanya merupakan simbol saja dan kekuasaan sehari-hari dilaksanakan oleh Yam Tuan Muda. Suardi berpendapat, hal seperti ini karena kuatnya tekanan Belanda, kemudian menjadikan Sultan sebagai tangan pe-merintahan belanda.19

16 Virginia Matheson, Op.Cit, hal., 2.

17 “Kedaulatan Melayu di Riau: Kesatuan dalam Keragaman”, Suwardi,

Pertemuan Ilmiah Kebudayaan Melayu, Op.Cit, hal., 4.

18 Ibid. 19 Ibid, hal., 6.

(53)

Dalam kesultanan kerajaan Melayu Riau (Riau-Lingga) sejak abad ke-18 ada dua etnik yang memegang peranan, yaitu etnik Melayu dan etnik Bugis. Kedua etnik ini selalu bersaing untuk dapat memegang dominasi dalam pemerintahan kesultanan. Persaingan untuk men-dapatkan kekuasaan ini menimbulkan keretakan diantaranya sehingga terjadi peperangan. Perang antara etnik Bugis melawan Raja Kecil yang berasal dari keturunan etnik Melayu yang menjadi raja di kerajaan Siak pada tahun 1717-1726.20

Dapat dikatakan bahwa sebagian besar penduduk yang menem-pati daerah Riau adalah etnik Melayu Riau. Meskipun banyak suku bangsa yang dapat dikatakan sebagai etnik Melayu dalam pengertian umum, karena perbedaan latar belakang sejarah, mereka ini dianggap sebagai kelompok etnik non-Melayu atau sebagai etnik pendatang.

Berbagai kelompok etnik pendatang yang ada di Riau telah berbaur dengan masyarakat Melayu dimana mereka pertama kali bermukim. Etnik minangkabau banyak ditemui disekitar pesisir timur sumatera bagian tengah, etnik Bugis terlihat banyak menyebar dan membaur dengan masyarakat Melayu yang hidup di Riau Kepulauan. Etnik Bugis ini diperkirakan telah memasuki daerah Riau sejak

ke-kuasaan kerajaan Riau – Lingga.

Etnik lainnya yang dominan dan berperan dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau, yaitu etnik Jawa dan Banjar. Kedatangan etnik Jawa dan Banjar tersebut sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda bahkan sebelumnya.

Diantara berbagai kelompok etnik pendatang yang mewarnai sistim sosio-kultural masyarakat Melayu Riau, dalam kehidupan politik, etnik Bugis terlihat lebih banyak ambil bagian memperebutkan ke-kuasaan dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau. Ini dapat ditelusuri

(54)

sejak duduknya elite dari etnik Bugis dalam struktur kekuasaan kera-jaan Melayu Riau yang menempati kedudukan Perdana Mentri (Yam Tuan Muda).

Dalam hal ini, Hamidi dan Achmad berpendapat bahwa etnik Bugis memperoleh kedudukan yang kuat dan mendapat tempat yang baik dalam masyarakat Melayu semasa kerajaan Melayu Riau, bukan semata-mata karena faktor politis dan berbaurnya mereka dalam proses perkawinan dengan etnik Melayu, tetapi adanya semacam integrasi sosial etnik Bugis ke dalam budaya masyarakat Melayu. Etnik Bugis yang datang itu meninggalkan bahasa dan kebudayaan yang dianutnya, kemudian lebur sepenuhnya dalam bahasa dan kebudayaan Melayu Riau.21

Pengaruh kekuasaan Bugis di daerah Riau pertama kali adalah pada tahun 1679 atas undangan Sultan Ibrahim yang diusir dari Johor dan lari ke Riau. Sejak itu sejarah Riau dan sekelilingnya terikat dengan kekuatan Bugis yang muncul dengan pesatnya di perairan Malaka. Khususnya dominasi Bugis ini terlihat pada krisis monarchi Melayu Johor ketika rajanya Sultan Machmud sebagai pengganti Sultan Ibrahim dibunuh dalam tahun 1699 dan digantikan oleh dinasti bendahara. Dengan adanya kejadian ini memberikan kesempatan kepada Raja Kecil seorang petualang dari Minangkabau untuk merebut tahta kera-jaan Johor yang diperintahnya dari Riau.22

Raja Kecil yang menjadi raja di kerajaan Melayu Riau akhirnya digulingkan oleh etnik Bugis pada tahun 1722 yang menempatkan anak bendahara Johor yang mengkhianati dan membunuh Sultan Machmud yang merupakan raja terakhir dari dinasti Malaka Johor, sebagai cikal

21 UU Hamidi dan Mochtar Ahmad, Op.Cit, hal., 27.

22 Onghokham, Pemikiran Tentang Sejarah Riau, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Jakarta, 1985, hal., 7.

(55)

bakal dinasti Johor. Dinasti bendahara ini menjadi dinasti syah raja-raja di banyak Kesultanan Sumatera dan Semenanjung Melayu dan akhirnya dari Singapura.23

Perebutan kekuasaan antar etnik tersebut, dipertegas oleh

Matheson dalam makalahnya berjudul “Suasana Budaya Riau dalam Abad Sejarah ke-19: Latar Belakang dan Pengaruh”, Matheson

meng-gambarkan bahwa sejarah orang melayu sama seperti orang Eropa dan Cina. Selama abad ke-16 hingga 19 penuh dengan perubahan, pengaruh dan kekerasan. Dikatakannya, di Riau pernah terjadi per-selisihan antara etnik Bugis dan Minangkabau yang berakhir pada tahun-tahun 1740-an24 ketika masuknya pengaruh Aceh. Disamping

itu, di dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau sudah melaksanakan sistim nilai yang diberikan oleh agama Islam seperti Aceh.

Walaupun banyak suku bangsa yang turut menanamkan penga-ruhnya di kawasan ini pada masa lalu, dilihat dari struktur masyarakat Melayu pada saat ini terlihat dua pola yang berkembang, yaitu masya-rakat Melayu yang mengikuti pola struktur masyamasya-rakat Minangkabau dan masyarakat Melayu yang mengikuti pola masyarakat Melayu Riau. Kenyataan ini diduga karena pengaruh dari kekuasaan Minangkabau pada masa lalu yang membaur dengan masyarakat setempat, dan membentuk struktur sosial seperti yang terdapat di Minangkabau.

Diantara sub-etnik yang membentuk etnik Melayu Riau telah merasa satu etnik. Ini karena adanya beberapa persamaan diantara mereka, yaitu bahasa, agama, dan tradisi. Walaupun banyak etnik pendatang yang bertempat tinggal di daerah itu, seperti Minangkabau pada prinsipnya termasuk dalam lingkungan dunia Melayu tetapi dalam pergaulan masyarakat di daerah Riau mereka ini dipandang sebagai

23 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui kegiatan pembelajaran daring menggunakan model discovery learning tentang sistem pencernaan pada manusia peserta didik diharapkan mampu menganalisis hubungan antara

Hasil pewarnaan (berwarna ungu : gram positif, berwarna merah : gram negatif). Penyimpanan isolat pada media MRS Agar Satu isolate bakteri yang dipilih dari cawan petri

Perlakuan campuran pupuk organik cair sampah pasar dengan air berpengaruh terhadap parameter pertambahan tinggi bibit, pertambahan diameter bonggol, pertambahan jumlah

Berdasarkan pengamatan dan pengumpulan data yang telah dilakukan pada laporan keuangan PT Hoge Honjo Halamea yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba

Menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE GROUP INVESTIGATION UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP GLOBALISASI (Penelitian

 Pada Februari 2015, pekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 8 jam perminggu memiliki porsi yang relatif kecil yaitu, 7.142 orang (1,06 persen) dari total penduduk 15 tahun

Proses pemberdayaan masyarakat berarti kemampuan seseorang untuk memahami dan mengendalikan keadaan sosial, ekonomi dan kemampuan politiknya yang sangat diperlukan dalam