• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periode Tahun 1985-1990

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 62-74)

Untuk mengetahui mekanisme pengendalian penyelenggaraan pemerintah pusat dan daerah, perlu diketahui tentang mekanisme Pemerintahan Republik Indonesia yang merupakan sumber mekanisme pemerintahan di daerah. Mekanisme penyelenggaraan pemerintah pusat di daerah, pada hakekatnya merupakan dasar dari pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu tujuan, sasaran, dan fungsi yang dilaksanakan di daerah juga merupakan pelaksanaan tujuan, sasaran, dan fungsi yang dilaksanakan di pusat.

Sebagai penyelenggara fungsi negara, Sistim Pemerintahan Republik Indonesia dilaksanakan secara presidensiil, dalam arti kekuasaan penyelenggaraan negara berada di tangan presiden, selaku pelaksana fungsi negara, dalam arti eksekutif merupakan

concen-tration and centralization of power and authority. Adapun di

dae-3 Nasikun, Sistim Sosial Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1988, hal., 32. 4 Geertz, dalam Nasikun, Op.Cit, hal., 36.

rah kemanunggalan tersebut direfleksikan dalam ciri Gubernur Kepala Daerah di tingkat provinsi.5

Untuk melaksanakan tugas yang ada pada Gubernur Kepala Daerah, ia harus dapat bekerja sama dengan seluruh pejabat instansi vertikal yang ada di daerahnya. Disamping itu ia harus dapat bekerja sama dengan DPRD sebagai patner-nya dalam membuat peraturan daerah dan anggaran belanja daerah. Undang-undang No. 5/1974 pasal 13 menyatakan bahwa Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dalam kedudukannya sebagai kepala daerah, pelaksanaan pernbangunan baik sektoral manpun regional merupakan tanggung jawabnya. Hal yang demikian itu dinyatakan dalam penjelasan Undang-undang No. 5/1974, dikatakan bahwa Gubernur Kepala Daerah sebagai penguasa tunggal di daerah, dalam arti penanggung jawab utama dalam bidang pemerintahan, bidang pembangunan, dan kemas-yarakatan.6

Tugas pembangunan yang dilaksanakan Gubernur Kepala Daerah kelihatannya merupakan tugas yang paradoksal, di satu pihak ia harus berhasil dalam melaksanakan pembangunan di daerah, mulai dari proyek yang menggunakan dana pembangunan Lima Tahun (Pelita) maupun yang dibiayai dengan dana Intruksi Presiden (Inpres). Di pihak lain ia harus dapat memasukkan dana yang sebesar-besarnya ke kas negara membiayai pembangunan secara nasional.

Berhasil atau gagalnya Gubernur Kepala Daerah dalam melak-sanakan tugas pembangunan di daerah tidak terlepas dari

kemam-5 Yosef Riwu Kaho, Pemerintahan di Daerah dan Beberapa Segi

Hubungannya di Bawah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974,

Fisipol-YGM, Yogyakarta, 1981.

6 UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Ghalia, Jakarta, 1982.

puannya dalam mengkoordinasikan kegiatan berbagai instansi vertikal yang ada di daerah. Disamping itu ia juga harus dapat bekerjasama dengan DPRD sebagai kedudukannya selaku kepala daerah. Oleh karena dianutnya azas demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia, kedudukan DPRD sangat menentukan kedudukan kepala daerah, karena pemilihan kepala daerah dilaksanakan dalam lembaga tersebut.

Sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat1, dalam melaksanakan tugas pembangunan di daerah, pemerintah telah menempatkan aparatnya di daerah untuk melaksanakan pembangunan yang tumbuh dari aspirasi daerah serta pembangunan nasional yang dilaksanakan di daerah. Dalam melaksanakan fungsi ganda ini Undang-undang No. 5/1974 telah meletakkan kedua fungsi ini kepada seorang Gubernur Kepala Daerah. Fungsi ganda tersebut, yaitu sebagai aparat pusat di daerah dan sebagai kepala daerah. Sebagai aparat di daerah ia harus mendapatkan pengesahan dari pemerintah pusat, dan sebagai kepala daerah ia harus mendapat dukungan dari masyarakat di daerahnya.

Fungsi ganda yang dimiliki gubernur tersebut menunjukkan suatu keseimbangan antara pelaksanaan asas dekonsentrasi dan azas desen-tralisasi. Dalam jabatannya sebagai Gubernur Kepala Daerah, ia mem-punyai tugas pembangunan yang berat, di satu pihak ia harus dapat melaksanakan tugas pembangunan yang ditugaskan dari pusat. Di pihak lain ia harus dapat melaksanakan pembangunan yang merupakan ini-siatif daerah.

Undang-undang No. 5/1974 menyebutkan, dalam rangka me-lancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok negara dan membina kestabi1an politik serta kesatuan bangsa, hubu-ngan yang serasi antara pusat dan daaerah atas dasar keutuhan negara kesatuan, diarahkan kepada pelaksanaan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab yang dapat menjamin perkembangan pemba-ngunan daerah dan dilaksakan bersama-sama dengan dekonsentrasi.

Kedudukan pemerintah daerah di Indonesia bersifat subordinatif terhadap pemerintah pusat. Kekuasaan kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah berasal penyerahan pemerintah pusat, karena itu pemerintah daerah berada dalam pengawasan dan pengendalian pe-merintah pusat.7

Dalam pengangkatan Gubernur Kepala Daerah, Undang-undang No. 5/1974 menyatakan terdapatrrya keserasian antara asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi sebagai pelaksanaan asas de-konsentrasi. Ia merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, karena itu ia harus mempunyai pengetahuan tentang pemerin-tahan. Sebagai pelaksanaan asas desentralisasi harus didukung oleh masyarakat di daerahnya.

Seperti di daerah tingkat lainnya di Indonesia satu diantaranya yang melaksanakan pemilihan calon kepala daerah yang berpedoman kepada ketentuan terdapat dalam Undang-undang No. 5/1974 beserta penjelasannya. Dalam pemilihan calon Gubernur Kepala Daerah, DPRD Riau telah melakukan pemilihan terhadap tiga orang. Ketiga calon yang akan dipilih terdiri dari: calon pertama merupakan calon yang dicalon-kan pusat dan calon kedua serta calon ketiga merupadicalon-kan calon pen-damping dari daerah. Ketiga calon tersebut masing-masing, yaitu: 1) H. Imam Munandar, 2. H. Abd. Rakhman Hamid, dan 3. Drs. H. Ismail Suko.8

Dari posisi ketiga calon yang akan dipilih, calon pertama merupa-kan calon yang diandalmerupa-kan pusat untuk dapat memperoleh suatu terbanyak dalam pemilihan. Sebelum diadakan pemilihan terhadap ketiga calon, DPP Golkar telah memberikan petunjuk kepada DPD Golkar Riau, khususnya Fraksi Karya Pembangunan untuk tetap mem-berikan dukungannya kepada calon yang direstui pusat.9

7 Alfian, (Ed.), Op.Cit, hal, 377. 8 Tempo, 14 September 1985.

HasiI pemi1ihan menunjukkan lain dari yang diinginkan pusat. Calon yang direstui pusat tidak didukung penuh oleh elite di Fraksi Karya Pembangunan untuk menjadi Gubernur Kepala Daerah. Ini terjadi, karena mereka menilai pembangunan yang dilaksanakan di Riau tidak mengangkat kepentingan rakyat dan hasilnya tidak dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat. Berbagai proyek pemba-ngunan yang dilaksanakan, tidak sedikit yang mengancam kehidupan masyarakat setempat.

Garis-Garis Besar Besar Haluan Negara ditegaskan pembangu-nan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran rakyat, oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dinikmati oleh seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir batin secara adil dan merata. Sebalik-nya berhasilSebalik-nya pernbangunan tergantung kepada partisipasi seluruh rakyat, karena pembangunan harus dilaksanakan oleh segenap lapisan masyarakat.10

Dalam rangka melaksanakan pembangunan yang dimaksudkan di atas, diharapkan tidak menimbulkan akses yang tidak sejalan dengan usaha membina kesatuan bangsa. Hubungan antara pelaksana pemba-ngunan daerah harus berjalan, serasi atas dasar perkembangan yang selaras. Dengan demikian, otonomi daerah yang dinamis dan ber-tanggung jawab diharapkan akan tumbuh.

Terjadinya masalah dalam pemilihan calon Gubernur Kepala Daerah di Riau diduga karena belum terpenuhinya apa yang menjadi tujuan pembangunan tersebut. Kebijaksanaan pemerintah yang meng-utamakan komiditi ekspor, tidak banyak mengangkat kepentingan masyarakat, malahan sering mengancam sumber penghidupan mas-yarakat setempat.

Beberapa kasus yang diketengahkan dalam tulisan ini merupakan

sebab timbulnya masalah dalam rekrutmen politik di Riau. Proyek perkebunan baik milik swasta maupun milik negara yang membuka arealnya di Riau selalu mengancam sumber penghidupan masyarakat. Perluasan areal perkebunan selalu mendapat tantangan dari masyarakat dengan alasan tidak ada lagi sumber tempat mereka mencari kebutuhan hidup. Masalah yang menyangkut dengan penguasaan tanah ini mereka ajukan ke dewan perwakilan rakyat untuk dapat diatasi. Keberatan masyarakat setempat terlihat cukup beralasan, karena demikian ke-nyataannya.

Dilihat dari sisi lain, kebijaksanaan pemerintah pusat untuk menjadikan areal yang tidak produktif menjadi produktif merupakan tindakan yang mempunyai alasan yang kuat dan dapat diterima semua pihak. Dalam hal ini, yang selalu dipersoalkan elite lokal kepada kepala daerah selaku penguasa tunggal di daerah adalah, dalam meletakkan areal yang tidak mengganggu mata pencarian pokok masyarakat se-tempat, sedangkan usaha untuk memenuhi kebutuhan itu dengan cara lain belum mereka dapatkan.

Mengenai persoalan separti di atas, Gubernur Kepala Daerah tidak dapat memenuhi tuntutan masyarakat setempat, karena tanah yang menjadi areal tersebut sudah ditentukan sebelumnya. Masalah seperti ini terjadi hampir di setiap pembuatan areal perkebunan di Riau. Selain masalah yang menyangkut tentang penguasaan tanah, masalah pemanfaatan hasil hutan juga menyebabkan timbulnya kere-sahan masyarakat di Riau. Beberapa pengusaha yang mendapat izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) selalu melampaui batas kuasa yang dimilikinya. Dalam hal keleluasaan para pemegang HPH ini, tidak terlihat adanya tindakan yang tegas dari pemerintah daerah. Keadaan seperti ini timbulnya kelompok yang setuju dan yang tidak setuju de-ngan sikap Gubernur Kepala Daerah, khususnya wakil rakyat di Fraksi Karya Pembangunan.

Hutan yang merupakan sumber mata pencarian sebagian besar masyarakat telah dikuasai oleh penguaaha-pengusaha yang memiliki HPH. Pengusaha yang bergerak dalam penebangan hutan ini kurang memperhatikan nilai- nilai yang berlaku bagi masyarakat setempat atas keberadaan hutan yang diolahnya. Oleh karena itu, tidak saja mas-yarakat yang menggantungkan hidupnya terhadap hutan yang merasa dirugikan, tetapi mereka yang tergolong elite lokal pun merasa kebe-ratan terhadap pengusaha tersebut .

Kasus penebangan Hutan Kepungan Sialang yang merupakan sumber mata pencarian dan sebagai lambang nilai budaya Melayu Riau, merupakan satu diantara sebab terjadinya konflik antara elite yang ada di DPRD dengan elite lokal di daerah. Keadaan seperti itu mereka tunjukkan dalam bentuk memberi dukungan kepada elite sebagai kepala daerah.

Masalah seperti di atas tidak dapat dibebankan keseluruhannya kepada pengusaha, tetapi juga kepada instansi pemerintah yang mem-berikan izin HPH. Kawasan Hutan Bukit Suligi ditetapkan sebagai hutan lindung, tetapi dalam kawasan yang sama pengusaha diberikan HPH untuk mengolah hutan tersebut.11Meskipun demikian, pemegang HPH di Riau tetap paling semrawut, mereka selalu tidak memperhatikan ketentuan tebang pilih.12 Akibatnya terjadi pemborosan terhadap keka-yaan hutan di Riau.

Untuk daerah Riau, hasil yang diperoleh dari hutan untuk Ang-garan Pendapatan Belanja Daerah cukup besar, tetapi kerusakan ling-kungan yang ditimbulkannya tidak dapat terpenuhi dari hasil tersebut. Hasil seperti ini disampaikan oleh Anggota DPRD Riau dalam forum dewan tersebut. Pemberian HPH kepada pengusaha untuk mengolah

11 Klipping & Dokumentasi Pers, 2 Desember 1988. 12 Berita Yudha, 4 Agustus 1988.

hutan Bukit Suligi mengakibatkan musnahnya hutan lindung di kawasan tersebut.13

Kasus lain yang turut mendorong terjadi konflik antar elite pusat di daerah dengan elite yang ada di dewan, yaitu dalam hal tindakannya terhadap pengusaha yang tidak mematuhi ketentuan yang dikeluarkan pemerintah daerah. Rusaknya jalan provinsi yang menghubungkan daerah yang satu dengan lainnya oleh angkutan dan beberapa peru-sahaan yang beroperasi di Riau mengakibatkan tidak berfungsinya jalan tersebut sebagai sarana transportasi. Jalan tersebut rusak karena muatan yang melebihi ketentuan daya tahan jalan, sehingga menghambat kelancaran hubungan darat di beberapa daerah. Hampir seluruh ang-kutan yang melebihi ketentuan daya tahan jalan tersebut dikelola oleh pengusaha besar yang bergerak dalam mengolah hasil hutan dan ang-kutan perusahaan perkebunan.

Terjadinya beberapa kasus seperti di atas menimbulkan keresa-han pada masyarakat. Hal ini karena menyangkut kebutukeresa-han pokoknya dan mereka yang terlibat langsung kepentingannya dengan kasus ter-sebut, menyampaikan keluhan itu kepada DPRD untuk dapat diatasi. Dalam usahanya untuk mengatasi masalah yang dihadapi mas-yarakat tersebut, dalam Fraksi Karya Pembangunan terjadi perpe-cahan antara elite antara elite yang mendukung langkah-langkah yang ditempuh kepala daerah dengan yang tidak mendukung. Karena dominannya kewenangan kepala daerah, DPRD tidak berhasil mem-buat keputusan yang dapat mencegah sumber keresahan masyarakat tersebut.

Implikasi dari ketegangan antara kepala daerah dan Anggota DPRD, khususnya di Fraksi Karya Pembangunan, menyebabkan tim-bulnya dua kelompok dalam fraksi itu, yaitu kelompok elite yang

dukung dan yang tidak mendukung kepala daerah. Dampak per-pecahan dalam Fraksi Karya Pembangunan tersebut terlihat dari duku-ngan yang diberikan elite itu dalam pemilihan calon Kepala Daerah Riau.

Sehubungan dengan masalah ini, walaupun lembaga DPRD telah melaksanakan pemilihan sesuai dengan petunjuk pemilihan, namun pusat lebih menentukan diterima atau tidak hasil pemilihan tersebut. Ini karena, dalam penilaian pusat, pemilihan yang dilaksanakan di Riau tidak sesuai dengari aturan mainnya, calon dari daerah didukung oleh mereka yang berorientasi kepada kepentingan kedaerahan.

Bila kita ingin memberikan analisis terhadap perpecahan dalam Fraksi Karya Pembangunan di DPRD, sehingga mereka cenderung untuk memberikan dukungannya kepada calon dari daerah. Menurut penilaian mereka, kepala daerah yang dicalonkan pusat itu dianggap memberikan keleluasaan bergerak kepada pengusaha yang datang dari luar daerah Riau. Akibatnya sumber penghidupan masyarakat setempat semakin sempit dan pengusaha daerah semakin tidak men-dapat tempat dalam pembangunan yang dilaksanakan. Keadaan seperti itulah yang menjadikan elite lokal tidak sejalan dengan langkah-langkah yang ditempuh kepala daerah, sehingga mereka tidak puas dengan kepemimpinan elite pusat yang ditempatkan di daerah.

Ketidakpuasan elite lokal terhadap Gubernur Kepala Daerah, karena dianggapnya kurang memperhatikan kepentingan sebagian besar masyarakat Riau. Ketidakpuasan ini memperuncing suasana konflik antara Gubernur Kepala Daerah dengan elite lokal, khususnya elite lokal yang ada dalam lembaga DPRD.

Selain elite lokal di DPRD yang selalu memperjuangkan kepen-tingan daerah sebagai penyebab tumbuhnya konflik dalam tubuh Gol-kar, juga karena adanya pertentangan pendapat antara Gubernur Ke-pala Daerah dengan beberapa elite lokal dalam birokrasi pemerintah

daerah. Perpecahan ini timbul dari strategi gubernur dalam menata jabatan-jabatan yang ada dalam struktur pemerintah daerah. Menurut beberapa orang senior yang berperan dalam birokrasi Pemda tersebut, jabatan itu ditempati oleh seseeorang yang lebih senior dan sesuai menurut kecakapan yang dimilikinya, tetapi gubernur tidak meng-hendaki hal yang seperti itu. Karena yang dianggap lebih senior dan mempunyai kecakapan itu dianggap berpihak kepada kepentingan daerah dan mereka ini merupakan kelompok yang menjadi saingannya. Berkaitan dengan dukungan elite lokal terhadap elite pusat di daerah, di satu pihak gubernur menjauhi elite lokal yang dianggapnya tidak mendukung pelaksanaan tugasnya di daerah. Di pihak lain ia bekerja sama dengan elite lokal yang dianggapnya mendukung kelan-caran tugasnya. Keadaan yang demikian dapat dilihat dalam usahanya untuk meningkatkan pendidikan di Riau dengan mendirikan Universitas Lancang Kuning yang berada di bawah naungan Yayasan Raja Ali Haji. Universitas yang baru berdiri tersebut pada mulanya dipercaya-kan pengelolaannya pada elite lokal yang dipimpin oleh Wakil Gubernur Kepala Daerah, juga penjabat sebagai DPD Golkar Riau.

Untuk mengoperasionalkan universitas tersebut, dalam mengisi jabatan struktur di Universitas Lancang Kuning, elite lokal yang diper-cayai gubernur sebagai pimpinan harian itu merekrut elite lokal lainnya. Rekrutmen yang dilakukan pimpinan harian terlihat mengarah pada dasar pertimbangan loyalitas kedaerahan. Dalam perkembangannya terlihat beberapa kelemahan dalam pergelolaan universitas itu, ter-jadinya unjuk rasa oleh sebagian besar mahasiswa yang menuntut kepada yayasan agar fasilitas dan mutu pendidikan yang mereka terima seimbang dengan besarnya biaya yang mereka keluarkan.

Melihat suasana yang demikian, Gubernur Kepala Daerah yang merupakan Ketua Yayasan Raja Ali Haji mengadakan pembaruan kepenguruan Universitas Lancang Kuning untuk menggantikan

kepe-nguruan yang lama yang dianggap gagal. Gubernur sebagai ketua yayasan merekrut elite lokal lainnya untuk mengisi jabatan kepe-ngurusan yang baru. Mereka yang direkrut untuk mengelola universitas tersebut juga melakukan rekrutmen terhadap elite lokal lainnya menga-rah kepada pertimbangan yang didasarkan pada loyalitas kedaemenga-rahan. Sampai pada tahap ini Gubernur Kepala Daerah telah kehila-ngan dukukehila-ngan dari elite lokal dalam dua kelompok. Pertama, duku-ngan dari elite lokal yang ada dalam lembaga DPRD yang dianggapnya berorientasi kepada kepentingan daerah. Kedua, elite lokal yang ter-singkir dari kepengurusan Universitas Lancang Kuning, yang sebagian besarnya pegawai senior pada birokrasi pemerintah daerah dan elite politik di DPRD.

Dilihat dari sisi dukungan elite pusat di daerah, elite pusat di daerah didukung oleh sebagian elite lokal di DPRD dan elite lokal ya-ng direkrut sebagai peya-ngganti kepeya-ngurusan Universitas Lancaya-ng Kuning yang dianggap gagal.

Implikasi dari rekrutmen yang dilakukan Gubernur Kepala Daerah terhadap elite lokal lainnya, terjadi konflik sesama elite lokal. Sebagian elite lokal mendapat kesempatan dalam jabatan politik dan yang 1ainnya tertutup kemungkinan untuk berpartisipasi dalam politik, konflik sesama elite ini terlihat di dalam pemilihan calon gubernur untuk periode 1988-1992.

Bersamaan dengan dimulainya kepengurusan baru yang me-ngelola Universitas Lancang Kuning, masa jabatan Gubernur Kepala Daerah berakhir. Dalam pemilihan berikutnya, gubernur sebelumnva dicalonkan kembali sebagai calon yang mendapat restu dari pusat dan dua orang calon dan daerah sebagai calon pendamping.

Dilihat dari suasana di daerah sebelum dilaksanakan pemilihan, terlihat suasana yang memungkinkan terjadinya perpecahan suara

da-lam tubuh Golkar Riau. Gejala akan terjadinya perpecahan tersebut sudah diketahui oleh pemerintah pusat, kemudian melalui Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, pemerintah pusat memberikan pe-ngarahan kepada DPD Golkar Riau agar dapat memberikan dukungan penuh kepada calon yang mendapat “restu” pusat. Tetapi hasil pemi-lihan menunjukkan lain, calon yang mendapat restu pusat tidak men-dapat dukungan penuh dari Golkar, khususnya anggota DPRD dari Fraksi Karya Pembangunan.

Menurut penulis, kekalahan yang dialami calon yang mendapat restu pusat dapat dikaitkan dengan dua peristiwa sebelumnya. Pertama, berkurangnya dukungan dari kelompok elite lokal di DPRD yang sudah bertentangan dengan elite pusat di daerah semasa menjabat Gubernur Kepala Daerah periode sebelumnya. Kedua, peran dari Ketua DPD Golkar Riau dalam mengkoordinir anggota DPRD yang sebelumnya merasa tidak puas dengan kepemimpinan elite pusat di daerah.

Kalau memang dugaan ini benar, maka kasus pemilihan Calon Gubernur Kepala Daerah Riau pada tahun 1985 merupakan konflik antara elite pusat di daerah dengan kelompok elite lokal yang ber-sumber dari benturan kepentingan dalam menempatkan kepentingan masyarakat daerah dalam pembangunan yang telah dilaksanakan periode sebelumnya.

Dalam pemilihan itu, aktor lokal tidak mendapat restu dari pusat, tetapi memperoleh dukungan terbanyak dari anggota dewan. Mengapa terjadi hal yang demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilihat dari dua pandangan. Pertama, dilihat dari struktur atas bahwa kemena-ngan aktor lokal dalam pemilihan tersebut karena didukung oleh ke-lompok elite lokal yang memperjuangkan kepentingan daerah, termasuk peran dari ketua DPD Golkar Riau dalam mengkoordinasikan anggota dewan, khususnya dari Fraksi Karya Pembangunan untuk mendukung aktor dari daerah. Kedua, gaya kepemimpinan elite pusat di daerah

itu sendiri dianggap kurang cocok untuk memimpin masyarakat Riau yang masih diwarnai nilai-nilai tradisi, agama, dan adat dalam tin-dakannya.

Dalam dokumen POLITIK LOKAL & INTEGRASI NASIONAL (Halaman 62-74)

Dokumen terkait