• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAH

A. Kondisi politik Indonesia setelah perjanjian Renville 1948

2. Pemerintahan Hatta dan Perpecahan Partai Sosialis

Setelah Amir Syarifudin mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri. Sukarno sebagai kepala negara pada tanggal 29 Januari 1948 segera menunjuk

64 George Mc Truman Kahin. 1995. Nasionalime dan Revolusi di Indonesia. Semarang: Univesitas Negeri Semarang Press dan Pustaka Sinar Harapan. Hlm: 291.

65 Imam Soedjono. 2006. Yang Berlawan. Membongkar Pelmasuan Tabir Sejarah PKI. Yogyakarta: Resist Book. Hlm: 205.

Mohammad Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden untuk membentuk kabinet baru. Alasan memilih Hatta sebagai formatur pemerintahan adalah Hatta yang tidak berasal dari partai dan golongan tertentu dapat membentuk sebuah pemerintahan koalisi yang kuat. Untuk melaksanakan kesepakatan itu dibutuhkan sebuah koalisi yang kuat antara Parlemen dan pemerintahan. Apabila kondisi politik yang stabil tidak tercipta maka akan memberikan kesempatan kepada Belanda untuk ikut campur dalam urusan pemerintahan RI.

Kabinet baru yang dibentuk oleh Hatta dalam perkembangannya tidak mengikut sertakan Partai Sosialis. Hal ini disebabkan karena tuntutan partai ini adalah agar Amir Syarifudin menduduki jabatan sebagai Menteri Pertahanan. Hal ini ditentang oleh Masjumi yang tidak menyetujui permintaan tersebut. Posisi Menteri Pertahanan pada masa revolusi memang menduduki tempat yang paling strartegis selama masa revolusi. Selain alasan posisi strategis tersebut, penolakan Masjumi terhadap permintaan Sayap Kiri tersebut adalah dikarenakan track record Amir selama menjabat menteri pertahanan antara tahun 1947 sampai tahun 1948. Amir dipandang sebagai seorang tokoh Sayap Kiri yang radikal oleh PNI dan Masjumi, sehingga apabila kedudukan Menteri Pertahanan diserahkan kepada Amir maka yang akan terjadi adalah pelanggaran Perjanjian Renville. Dalam hal ini Amir tentu saja menguasai hampir sebagian besar kekuatan laskar-laskar rakyat yang ada di wilayah

Jawa. Akhirnya posisi Menteri Pertahanan diberikan kepada Hatta yang juga merangkap sebagai Perdana Menteri.66

Akhirnya pada tanggal 29 januari 1948 Kabinet Hatta terbentuk dengan hanya memasukan PNI, Masjumi, Partai Katholik, Partai Kristen, Persatuan Guru Republik Indonesia, dan beberapa tokoh yang tidak berasal dari partai manapun. Komposisi ini dapat dilihat dari tabel berikut:

STRUKTUR PEMERINTAHAN KABINET HATTA 67

29 JANUARI 1948

Jabatan Nama Partai

Perdana Menteri Drs. Mohammad Hatta Non-partai

Pertahanan* Drs. Mohammad Hatta Non-partai

Dalam Negeri* Dr. Sukiman Wiryosandjojo Masjumi

Luar Negeri* Hadji Agoes Salim Non-partai

Kehakiman* Mr. Susanto Tirtoprodjo PNI

Keuangan * Mr. A. A. Maramis PNI

Perekonomian* Mr. Sjafrudin Parwiranegara Masjumi

Pangan* Kasimo Partai Katholik

Pendidikan dan Kebudayaan* Mr. Ali Sastroamidjojo PNI

Kesehatan* Dr. Johanses Leimena PKRI

Agama* Kiaji Hadji Maskoer Masjumi

Sosial* Koesnan PGRI

Pembangunan dan kepemudaan* Supeno PSI

Perhubungan* Ir. Djuanda Non-partai

Pekerjaan umum* Ir. Laoh PNI

Penerangan* Mohammad Natsir Masjumi

Postfolio Hamengku Buwono IX Non-partai

*Jabatan Menteri

66 Mohammad Hatta. 2002. Bung Hatta Menjawab. Jakarta: PT Toko Gunung Agung Tbk. Hlm: 16.

Dari kepengurusan yang tercantum di atas dapat dilihat bahwa Partai Sosialis Amir Syarifudin tidak masuk dalam kabinet.

Dalam kabinet Hatta terdapat 4 program pokok yang harus dijalankan. Keempat program pokok itu adalah sebagai berikut: pertama menjalankan Perjanjian Renville yang telah disepakati serta melakukan gencatan senjata dan prinsip-prinsip politik untuk melanjutkan perundingan dengan Belanda melalui komisi jasa baik. Kedua

mempercepat pembentukan suatu Republik Indonesia Serikat. Ketiga rasionalisasi ekonomi dan angkatan perang republik dan keempat adalah perbaikan kerusakan yang ditimbulkan akibat perang dan pendudukan Jepang. Butir ke tiga dan keempat program utama pemerintahan Hatta itulah yang kemudian menyebabkan Hatta melaksakan proses Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara 68

Sebagai seorang tokoh politik, Hatta memang berada di luar kelompok baik itu sayap Kiri atau Sayap Kanan. Akan tetapi secara politik ia tidak menyukai keberadaan Sayap Kiri. Hatta melihat bahwa sifat radikal yang dimiliki oleh kelompok ini dapat membahayakan salah satu program pokok pemerintahannya yaitu program pelaksanaan Perjanjian Renville. Hatta memiliki pandangan bahwa proses revolusi bukan hanya permasalahan soal pertempuran fisik saja dengan Belanda, akan tetapi permasalahan perjuangan juga termasuk permasalahan di luar sektor militer. Dalam pandangan Hatta jumlah anggota kesatuan yang ada di dalam TNI

terlalu banyak dan tidak rasional sebab pada saat itu dengan kondisi Indonesia yang begitu sulit. Dalam hal ini Hatta tidak menyukai keberadaan komunis di Indonesia.69

Pemikiran Hatta tersebut mendapat dukungan dari kelompok-kelompok yang tidak menyukai keberadaan Sayap kiri dalam Tubuh TNI. Salah satu tokohnya adalah Nasution yang pada saat itu menjabat sebagai pimpinan pasukan Divisi VI Siliwangi. Akan tetapi walau mereka memiliki kesamaan konsep pemikiran, Nasution memiliki tujuan yang berbeda. Nasution memiliki rasa ekslusif dan memandang kelompok laskar-laskar yang ada di dalam TNI tidak memiliki disiplin militer dibandingkan kesatuan-kesatuan yang pernah mendapat pendidikan militer dari Belanda (kesatuan-kesatuan eks-KNIL). Akhirnya Hatta menerapkan Program Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) militer terhadap TNI yang kemudian menjadi pemicu konflik Madiun 1948. Pada Bulan Februari tahun 1948 akhirnya Hatta mulai melaksankan program Re-Ra dalam tubuh TNI.

Tokoh sipil dan militer yang paling berperan dalam pelaksanaan program Re-Ra pada saat itu adalah Hatta dan Nasution. Kesamaan visi antara Hatta dan Nasution ini menurut Ann Swift dalam bukunya The Road to Madiun merupakan sebuah hubungan yang paling jelas dalam konspirasi pengahcuran Sayap Kiri PKI-FDR di Madiun. Swift mengatakan:

“...The Sayap kiri was adamant that it be given the ministry, and the Masyumi was equally adamant in it is opsition to the Sayap kiri demands. In addition, Hatta may have been under pressure from friends in the Army ( such

69 Soe Hog Gie. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang. Hlm:160.

as Nasution) who had no love for Amir and wished to check the growing politization, left wings influence, in the armed forces”

[Sayap kiri bersikeras supaya diberi posisi dalam kemeterian dan Masjumi sama kerasnya dalam menentang tuntutan Sayap Kiri. Selain itu mungkin hatta mungkin berada di bawah tekanan teman-temannya di Angkatan Darat (Seperti Nasution) yang juga tidak menyukai Amir dan berharap dapat mencegah tumbuhnya politik Sayap Kiri dalam tubuh angkatan bersenjata.]70

Konsep Re-Ra Nasution dan Hatta secara garis besar menginginkan sebuah sistem ketentaraan yang memiliki satu komando dan memilki satu komando penuh yang dibagi menjadi dalam dua tahap. Pertama, reorganisasi kesatuan-kesatuan dan pucuk pimpinan TNI. Kedua, reorganisasi yang meliputi daerah-daerah dan pasukan-pasukan yang memiliki posisi strategis dalam perang gerilya. Selain itu Nasution memiliki tujuan untuk membentuk tentara yang bersifat elit, berdisiplin dalam hal persenjataan, keahlian, serta dalam hal kepercayaan. Hal ini sesuai dengan konsep pemikiran Hatta. 71

Dalam pernyataan resmi di depan BP-KNIP Hatta mengatakan hal yang sama dengan pemikiran Nasution. Hatta mengatakan bahwa rasionalisasi harus dilakukan dengan tegas dan nyata sebagai pedoman yang dipakai adalah sebuah cita-cita “satu tentara, satu komando dalam bentuk susunan yang efektif”. Hal itu harus diciptakan dengan cara melakukan pengurangan jumlah anggota tentara.72 Pada tanggal 8 Maret

70 Ann Switt.1989. The Road to Madiun: The Indonesiam Communist Uprising of 1949. New York: Cornell Modern Indonesia Project Hlm: 19.

71 Dr. A.H. Nasution. 1978. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, jilid 7. Bandung: Penerbit Angkasa. Hlm: 128.

1948 Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No. 9/ 1948 yang berisi mengenai keputusan program Re-Ra dan penyusutan staf Angkatan Perang dalam Kementerian Pertahanan, Markas Besar Angkatan Perang Mobil, Kesatuan-kesatuan tentara dan susunan teritorial. Hal tersebut kemudian menimbulkan reaksi dari divisi VI Panembahan Senopati di Surakarta yang mayoritas anggota kesatuannya adalah laskar-laskar rakyat yang salah satunya adalah Pesindo.73

Tujuan lain dari program Re-Ra ini adalah untuk menekan pengaruh keberadaan Sayap Kiri dalam angkatan bersenjata yang semakin kuat sejak Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan tahun 1947. Saat ia menjabat sebagai Menteri pertahanan ia telah membangun Biro Perjuangan di Madiun yang bertujuan untuk menyatukan keberadaan laskar-laskar rakyat yang ada. Untuk membentuk biro perjuangan ini Amir mengeluarkan biaya yang cukup besar. Bagi Amir sendiri Madiun adalah basis pertahanan RI terakhir di wilayah timur Ibu Kota RI. 74

Pembentukan Biro Perjuangan tersebut ternyata telah mencemaskan beberapa tokoh RI baik itu tokoh-tokoh sipil dan para perwira yang ada dala tubuh TNU. Pengaruh gerakan kiri yang kuat ini memimbulkan sebuah kecemasan dimana apabila suatu hari terjadi clash antara elit (pemerintahan) dengan rakyat, maka

73 Dr. A. H. Nasution. Op. Cit. Hlm: 129.

mereka kawatir bahwa Angkatan Bersenjata akan memihak rakyat dan bukannya melindungi pemerintah.75

b. Perpecahan Partai Sosialis dan Pembentukan Front Demokrasi Rakyat. Sementara itu di dalam tubuh Partai Sosialis sendiri terjadi perpecahan antara Amir Syarifudin dan Sjahrir. Kedua pemimpin tinggi PS ini memiliki perbedaan pandangan mengenai permasalahan Perjanjian Renville. Pada tanggal 28 Januari 1948, di dalam tubuh Partai Sosialis mengalami perdebatan panjang antara mendukung atau menolak perjanjian Renville, sehingga Partai Sosialis terpecah menjadi dua yaitu: Partai Sosialis yang tetap dipimpin oleh Amir Syarifudin dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh Sjahrir. Partai Sosialis memilih menjadi pihak yang menolak Perjanjian Renville sedangkan Partai Sosialis Indonesia memilih mendukung pemerintah dan mendukung Perjanjian Renville. 76

Setelah perpecahan tersebut akhirnya Partai Sosialis dan beberapa organisasi kiri yang berada di bawah Sayap Kiri membubarkan diri dan kemudian membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Pergantian dari Sayap Kiri menjadi FDR tersebut terjadi pada tanggal 26 Februari 1948 dalam kongres di Surakarta. FDR terdari tiga organisasi partai utama yaitu Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia (PKI) dan

75 Imam Soedjono. Op. Cit. Hlm: 218.

76 George Mc Truman Kahin. Op. Cit. Hlm: 327. lihat juga M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hlm: 341.lihat juga Imam Soedjono. Op. Cit. Hlm: 206.

Partai Buruh Indonesia (PBI). Selain itu juga di dalam FDR juga terdapat beberapa organisasi non-partai yaitu: Sentral Organisasi Buruh Indonesia (SOBSI) dan Persatuan Pemuda Indonesia (Pesindo).77 Pembentukan FDR memiliki tujuan umum yaitu menentang Perjanjian Renville dan menolak perundingan-perundingan dengan Belanda. Selain itu juga fDR menuntut supaya kabinet parlementer Hatta dibubarkan dan diganti dengan kabinet yang sifatnya presidenisal. 78

Dalam kongres di Surakarta tersebut, FDR Memperbaharui garis perjuangan berdasarkan instropeksi Sayap Kiri atas Perjanjian Renville. Hal itu dilakukan untuk kembai memikirkan ulang strategi perjuangan Sayap Kiri. Dalam instropeksi tersebut FDR berpendapat Perjanjian Renville merupakan salah satu kesalahan Revolusi dan mereka akan melanjutkan perjuangan dengan menolak serta tidak akan mendukung politik Hatta. Hal ini memperlihatkan bahwa Amir Syarifudin dan FDR hendak memilih jalan perjuangan yang lebih agresif dan revolusioner.79

FDR menjadi sebuah pihak oposisi yang radikal, sebab seperti yang telah ditulis oleh Kahin bahwa FDR memiliki tujuan jangka panjang yaitu mendominasi kekuasaan pemerintahan dan apabila perlu semua diselesaikan lewat jalur revolusioner. Organisasi ini memiliki dua kekuatan penyolong utama yaitu angkatan perang san di kalangan buruh. Kedekatan FDR dengan angkatan perang yaitu dimulai

77 George Mc Truman Kahin. Op. Cit. Hlm: 210.

78 Himawan Soetanto. Op. Cit. Hlm: 6

sejak Amir Syarifudin menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada tanggal 3 Januari 1947 sampai 28 Januari 1948. Selama mejabat sebagai Menteri pertahanan Amir telah mengeluarkan sebuah kebijakan mengenai pembentukan Biro perjuangan di Madiun. Biro tersebut dimaksudkan untuk memperkuat laskar-laskar rakyat dan krops-krops tentara yang semula tidak terkoordinir dengan rapi dalam kemeterian petahanan. Sejak saat itu, Amir secara pribadi semakin dekat dengan tentara.80 Sementara itu, dalam hal perburuhan FDR mendukung para buruh melalui organisasi SOBSI. Salah satu contoh dukungan FDR terhadap gerakan buruh adalah pada peristiwa pemogokan buruh di Delanggu pada bulan Mei 1948 yang kemudian berkembang menjadi konflik angakatan bersenjata di Surakarta dan akhirnya berkembang di Madiun pada bulan September 1948.

Kegiatan FDR setelah kongres besar bulan Februari 1948, adalah melakukan usaha-usaha pertama yaitu mengadakan turne yaitu kampanye keliling kedaerah-daerah. Kegiatan ini dilakukan oleh Amir Syarifudin (Partai Sosialis), Luat Siregar (PKI), Stiadjit (PBI) dan Krisubanu (Pesindo). Dalam rapat-rapat umum yang diadakan oleh wakil-wakil FDR ini mencoba mejelaskan kepada masyarakat tentang asas tujuan politik FDR dan menjelaskan kepada masyarakat alasan mengapa mereka menolak kabinet yang dibentuk oleh Hatta. Isu utama selain permasalahan hasil Perjanjian Renville, FDR juga mengangkat isu Re-Ra sebagai masalah utama.81

80 Imam Soedjono. Op. Cit. Hlm: 216.

Dokumen terkait