• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PKI DAN PERISTIWA MADIUN 1948

B. Usaha Penghancuran Orang-Orang Kiri

2. Usaha Pertahanan Laskar-Laskar Rakyat dan

Sementara itu, di Madiun pada tanggal 21 September 1948 beberapa perwira Sub Teritorial Distrik (STD) di bawah kepemimpinan Joyokusumo mengadakan pertemuan darurat. Hasil dari pertemuan tersebut adalah meminta pemerintah pusat melihat kebijakannya tentang situasi Madiun kembali. Akan tetapi reaksi yang diperlihatkan markas besar Angkatan Bersenjata tidak sesuai dengan harapan. Bahkan Markas besar Angkatan Bersenjata memberikan instruksi bahwa siapa saja yang

151 David Charles Anderson. Op. Cit. Hlm: 77.

mengikuti konferensi tersebut akan dianggap sebagai pemberontak dan sama bersalahnya dengan FDR-PKI.153

Hal itu tentu saja membuat posisi laskar-laskar rakyat, FDR PKI semakin terjepit baik secara teritorial dan politik. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk melakukan konsesi dan pembelaan dalam hal ini. Instruksi dari pemerintahan pusat dan strategi yang telah disusun oleh Nasution telah menyebabkan FDR PKI tidak dapat membela diri. Posisi kekuatan laskar-laskar rakyat dan FDR PKI sangat sulit dengan strategi pengepungan yang dipimpin oleh Nasution. Terdapat perbedaan perbandingan kekuatan antara pasukan pro-pemerintah dan lakar-laskar rakyat. Baik itu secara persenjataan dan juga secara posisi. Menyikapi keadaan tersebut, pada akhirnya para pimpinan Pesindo serta laskar-laskar rakyat membuat dua pertimbangan pokok pertama, tidak bertindak berarti membiarkan pasukan pemerintah melucuti kekuatan pasukan laskar-laskar rakyat. Kedua, melucuti pasukan Siliwangi dan Brimob yang ada di Madiun dan mengambil alih pemerintahan karisidenan Madiun dengan tujuan agar FDR dan laskar dapat bertahan dari operasi militer pasukan Siliwangi.154

Pada tanggal 30 September 1948 pasukan pro-pemerintah yang dipimpin oleh Yon Sambas berhasil merebut kota Madiun. Kondisi ini memaksa laskar-laskar rakyat serta anggota FDR PKI mundur ke arah timur yaitu di daerah Dungus dan

153 David Charles Anderson. Op. Cit. Hlm: 94.

Ponorogo. Beberapa anggota FDR PKI yang ikut dalam pelarian tersebut antara lain adalah Musso, Amir Syarifudin, Maruto, Suripno, Djokosudjono. Akan tetapi pengejaran pasukan propemerintah tetap berlanjut. Bentrok senjata terjadi pada tanggal 31 September di wilayah Tegalombo. Dalam pertempuran inilah yang kemudian menyebakan tewasnya Musso.155

Sementara itu, terdapat beberapa pasukan laskar-laskar rakyat yang semakin terdesak masuk ke wilayah Belanda. Laskar-laskar yang masuk ke wilayah Belanda tersebut ditangkap atas tuduhan telah melanggar batas wilayah kesepakatan perjanjian Renville dan membawa senjata secara ilegal. Masuknya laskar-laskar yang terdesak di Wilayah Belanda diakibatkan beberapa faktor, Pertama akibat posisi pertahanan yang semakin lemah serta semakin lemahnya dukungan rakyat Indonesia. Pada masa revolusi peran Sukarno memiliki citra revolusi yang tinggi. Sehingga mau tidak mau rakyat yang masih memiliki sifat politik “kebapakan” lebih memilih jalur aman untuk mendukung Sukarno. Selain itu tekanan dari pasukan pro-pemerintah yang mengancam apabila ada masyarakat yang menyembunyikan laskar-laskar dan FDR-PKI juga akan ikut dituduh sebagai penghianat negara.156

Sementara itu pengejaran para tokoh-tokoh FDR-PKI yang tersisa terus dilakukan. Pada tanggal 1 Desember 1948 Amir Syarifudin tertangkap di desa Klambu yang jaraknya sekitar 10 km dari Purwodadi. Sebelumnya pada tanggal 29

155 Imam Soedjono. Op. Cit. Hlm: 237.

November 1948 Djoko Kosoejono, Maroeto Daroesman dan Sardjono ditangkap di desa Penawang yang jaraknya sekitar 19 km dari Purwodadi. Sampai pada tanggal 7 Desember 1948 menurut catatan Markas Besar Angkatan Bersenjata telah dilaporkan sebanyak 35.000 orang ditangkap dan dipenjara.157

Setelah Amir Syarifudin di tangkap, di Yogyakarta diadakan rapat kabinet pada tanggal 8 Desember 1948. Rapat ini dihadiri 12 orang Menteri dan Sukarno. Dalam rapat ini sidang putusan mengenai nasib Amir medapat 4 menteri setuju Amir di eksekusi, 4 menteri menolak untuk menghukum mati dan 4 menteri abstein. Dalam sidang ini Sukarno melakukan veto atas nasib Amir yaitu dengan tidak menghukum mati Amir Syarifudin. Alasan dari veto Sukarno tersebut karena Amir Syarifudin dianggap pernah berjasa kepada RI sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan. 158

Terjadi perbedaan antara hasil sidang dalam pemerintahan dengan kebijakan Angkatan Bersenjata. Pada tanggal 19 Desember 1948 Amir Syarifudin dieksekusi tanpa ada keputusan resmi dari pengadilan. Terdapat beberapa orang-orang kiri yang juga ikut di eksekusi. Pada malam pengeksekusian, terdapat 11 orang yang ikut di eksekusi termasuk Amir. Beberapa diantaranya adalah para pejabat FDR PKI. Mereka adalah:Maroeto Daroesman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono,

157 Hersri Setiawan. Op. Cit. Hal:

158 Suar Suroso, Fariz Hasyim (ed). 2001. PKI Korban Pertama Perang Dingin. Sejarah Peristiwa Madiun 1948. Jakarta: Era Publisher. Hlm: 76.

Sukarno, Katamhadi, Rono Marsono dan D. Mangku. Proses pengeksekusian tersebut dilaksanakan di desa Ngaliyan di wilayah Surakarta.159

Proses eksekusi Amir Syarifudin yang tidak mengikuti prosedur hukum ini oleh tentara sesungguhnya memiliki permasalahan khusus. Sejak ia menjabat sebagai Menteri Pertahanan pada tahun 1945. Pemikirannya mengenai pembentukan tentara rakyat dan pembentukan Badan Koordinasi Kelaskaran (Biro Perjuangan) di bawah kementerian Pertahanan dan bukan di bawah Markas Besar Angkatan Bersenjata telah menimbulkan konflik dan kecurigaan di dalam tubuh tentara. Selain itu juga, keberadaan Amir Syarifudin yang begitu dekat posisinya dengan laskar-laskar rakyat membuat cemas sebagian pimpinan militer tinggi pada saat itu tidak suka akan kekuatan Sayap kiri. Apabila Amir Syarifudin dibiarkan hidup maka secara otomatis pengaruhnya akan tetap ada dalam gerakan kiri yang saat itu lemah maka suatu saat akan bergerak kembali. Jadi keputusan untuk melakukan hukuman mati kepada Amir adalah untuk menghilangkan pengaruh politiknya terhadap tubuh ketentaraan.

Setelah bulan Desember 1948 secara otomatis kekuatan FDR-PKI dan laskar-laskar-laskar rakyat yang berafiliasi semakin lemah. Sebagian besar dari para petinggi PKI ditembak mati dan sejak saat itu aktivitas gerakan kiri dapat ditekan dan dikontrol oleh kabinet Hatta. Akan tetapi pada tanggal 19 Desember 1948, agresei militer Belanda kedua kembali menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta. Sejak itu selama hampir satu tahun sampai KMB ditandatangai, peran

orang-orang kiri dalam proses revolusi tidak bagitu dominan lagi dalam tubuh ketentaraan atau politik sipil.

Dokumen terkait