• Tidak ada hasil yang ditemukan

Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Militer Kabinet Hatta

BAB I PENDAHULUAH

C. Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Militer Kabinet Hatta

Latar belakang munculnya program Reorganisasi dan Rasionalisasi militer pada masa pemerintahan Perdana Menteri Hatta disebabkan karena kondisi politik dan ekonomi yang terjadi setelah Perjanjian Renville. TNI pada saat itu terbagi menjadi dua bagian yaitu tentara regular dan non-regular. Tentara regular adalah kelompok tentara yang berasal dari orang-orang yang pernah mendapat pendidikan militer dari Belanda (eks-KNIL). Mereka sebagian besar berada dalam pasukan Divisi VI Siliwangi. Sedangkan tentara nonregular adalah kelompok tentara yang berasal dari sipil dan hanya bersifat spontan dalam menanggapi masa Revolusi. Mereka biasanya

tergabung dalam kesatuan laskar-laskar rakyat. Menurut M. C. Riclef perbandingan jumlah antara tentara regular dan nonregular adalah 350.000 orang tentara regular dan 470.000 orang tentara non-regular. Program Re-Ra ini bagi pemimpin-pemimpin tentara non reguler sangat merugikan karena sebagian besar dari mereka yang terkena dampak pemotongan jabatan. Salah satunya yang terjadi pada letkol. Sutarto Sebagai pimpinan Divisi IV Senopati. 97

Pada tanggal 27 Februari 1948, Program Re-Ra ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 9 dan diperkuat dengan Penetapan Presiden No. 14 tanggal 14 Mei 1948. Isi penetapan tersebut lebih pada pelaksanaan teknis dari program rasionalisasi. Setelah Keputusan Presiden tersebut ditetapkan Puncuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf dibubarkan dan digantikan di dalam Kementerian Pertahanan segera dibentuk gabungan Staf Umum yang dipimpin oleh Komodor Suryadarma sebagai kepala staf Angkatan Perang dan Kolonel Simantupang sebagai wakilnya. Sementara itu Jendral Sudirman ditetapkan sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Mobil dan Jendral Mayor A. H. Nasution sebagai wakilnya.98 Alasan pengangkatan Jendral Sudirman sebagai Panglima Besar sesungguhnya sangat politis, karena diharapkan apabila Sudirman diangkat sebagai pemimpin, ia yang berasal dari kelompok laskar-laskar rakyat akan mampu menetralkan reaksi-reaksi yang timbul dalam kelompok tentara nonregular.

97 M.C. Riclef. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. Hlm: 458.

Dalam Penetapan ini di tegaskan bahwa Wilayah RI memiliki dua wilayah komando militer yaitu: wilayah Komando Tentara dan Terotoriun Djawa (KTTD) dan wilayah Komando Tentara dan Terotorium Sumatara (KTTS). Dalam program Re-Ra ini Jawa yang semula terdapat tujuh divisi ketetaraan diperkecil menjadii empat divisi ketentraan. Penggabungan itu untuk tujuan efektifistas dari sistem komando terpusat. Proses reoganisasi kesatuan divisi dan eselon-eseolon dii bawahnya dilaksakan oleh Nasution sendiri. 99

2. Reaksi Laskar-Laskar Rakyat Tehadap Program Reorganisasi dan Rasionalisasi Militer.

Program Re-Ra yang di tetapkan oleh Hatta ternyata menimbulkan kekecewaan dari sebagian besar dari laskar-laskar rakyat. Hal tersebut berasal dari dampak program Re-Ra yang lebih berpengaruh kepada sebagian besar pemimpin-pemimpin dari laskar-sakar rakyat tersebut. Divisi VI Narotama dari Jawa Timur dan Divisi IV Panembahan Senopati dari Surakarta menentang pelaksanaan program Re-Ra ini. Mereka berpendapat bahwa Re-Ra merupakan sebuah kesalahan karena pada saat itu Indonesia sedang menghadapi ancaman agresi militer Belanda. Menurut mereka memperkecil angkatan perang berarti mempermudah Belanda untuk masuk ke wilayah RI. Isu yang muncul kemudian adalah bahwa program Re-Ra ini adalah salah satu taktik Belanda untuk memecah kekuatan TNI. 100

99 Himawan Soetanto. Op. Cit. Hlm: 61

100 Pandangan laskar-laskar rakyat ini berasal dari hasil perundingan pasca perjanjian Renville. Antara Indonesia dan Belanda sempat kembali melakukan perundingan pada

Sebagai eksekutor dalam program Re-Ra ini, Nasution merencanakan untuk menggabungkan Divisi IV Panembahan Senopati dengan Divisi VI Narotama. Tujuannya adalah mebentuk kembali satu kesatuan baru yang cukup solid. Dari awak Divisi IV Panembahan Senopati merupakan salah satu target dari program Re-Ra. Nasution melihat bahwa pengaruh yang paling kuat dari FDR ada di dalam Pasukan Divisi IV Penembahan Senopati. Sebab divisi ini memiliki hubungan dekat dengan FDR dan Pesindo.101

Kedekatan Divisi IV Panembahan Senopati adalah karena pimpinan divisi ini yaitu Sutarto memiliki kedekatan aktivitas dengan gerakan kiri sajak ia aktif dalam kegiatan politik. Sutarto semenjak muda telah aktif dalam gerakan kegiatan kiri seperti menjadi ketua Suluh Pemuda Indonesia (SPI). Pada tahun 1930 dan pada masa pendudukan Jepang ia juga aktif dalam gerakan bawah tanah anti Jepang di Wonogiri. Setelah menjadi komadan Divisi IV Senopati ia memiliki hubungan yang luas dengan organsasi-organsasi pemuda di Solo, Angkatan Muda Tentara dan Pesindo. Posisi

bulan Juni 1948. Suasana semakin memanas antara kedua negara ini setelah Suprino menendatangain persetujauan konsuler dengan Pemerintahan Uni Soviet yang berisi akan diadakan tukar menukar pejabat konsuler atara Moskow danYogyakarta. Hal ini membuat Belanda bereaksi. Van Mook segera mendesak Perdana Menteri Belanda untuk membatalkan perjanjian tersebut. Belanda mengancam apabila RI tidak mengindahkan hal itu maka Belanda mengancam akan menghentikan perundingan-perundingan. Himawan Soetanto. Op. Cit. Hlm 52-53.

Pesindo dalam Divisi IV Panembahan Senopati tersebut yang menyebabkan kedekatan FDR dengan organisasi ketentaraan tersebut.102

Pada tanggal 20 Mei 1948, di Surakarta terjadi demonstrasi protes menentang program Re-Ra. Demonstrasi ini dilakukan dengan cara melakukan demo senjata dari beberapa batalyon bersenjata yang dilakukan oleh Pesindo dan Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI).103 Setelah demonstrasi tersebut dalam Divisi IV Panembahan Senopati melakukan perubahan organisasi dengan berganti nama Divisi IV Pertempuran Panembahan Senopati (DPPS). Hal tersebut dilakukan karena kepemimpinan DPPS tetap berada di tangan Mayor Jendral Sutarto.104

Proses reorganisasi Divisi IV Senopati menjadi DPPS ini tidak merubah kedudukan Sutarto sebagai pimpinan kesatuan. Hal ini tentu saja menyebabkan Pemerintahan Pusat gusar, pada apa yang dilakukan Divisi IV Panembahan senopati di Surakarta telah dianggap sebagai usaha penentangan kedudukan Angkatan Bersenjata pusat. Kedudukan DPPS di Surakarta semakin kuat, setelah Pesindo menjadi bagian dari FDR yang berpusat di Madiun. Tentu saja hal ini kemudian memperkuat keinginan Nasution dan Hatta untuk segera melakukan program Re-Ra tersebut.

102 David Charles Anderson. 2003. Peristiwa Madiun 1948. Kudeta atau Konflik Internal Tentara. Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo. Hlm: 22. Lihat juga Imam Soedjono. Op. Cit. Hlm: 214

103 Imam Soedjono. Log. Cit. Hlm: 214.

104 David Charles Anderson. Op. Cit. Hlm: 25. Lihat juga: Imam Soedjono. Op. Cit. hlm: 215.

Dokumen terkait