• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lebih dari dua dekade, angka pemenjaraan telah meningkat di banyak negara maju, namun hal ini berbeda dengan tingkat pemenjaraan Jerman yang justru

591 Ibid.

592 Ibid.

berada di bawah negara-negara lain.594 Negara-negara seperti Belanda, Spanyol, Prancis, dan terutama Inggris Raya mempunyai pengalaman dengan naiknya populasi narapidana di rentang waktu sekitar 1980-an.595 Akan tetapi, dalam enam tahun terakhir, Belanda telah berhasil mengurangi angka pemenjaraan hingga menutup beberapa penjara yang dimilikinya.596 Hal ini justru berbeda dengan Prancis yang justru mengalami peningkatan tingkat pemenjaraan sejak lahirnya kebijakan untuk menghentikan pemberian grasi.597 Di sisi lain, Jerman tidak mengalami kenaikan maupun penurunan yang begitu berarti dalam dua dekade terakhir. Tren ini menimbulkan pertanyaan tersendiri dari Michael Tonry, yaitu “mengapa kebijakan pemidanaan Jerman tidak bersifat keras dan mempunyai

tingkat pemenjaraan yang rendah?”.598

Gambar 4.10

Angka Pemenjaraan dan Kriminalitas di Jerman 1961-2010599

Dalam grafik tersebut terlihat secara jelas angka kriminalitas tidak berkorelasi kuat dengan tingkat pemenjaraan yang ada di negara Jerman (korelasi Pearson menunjukkan koefisen -0,54).600 Dari tahun 1960 hingga 1970-an, tingkat pemenjaraan turun sedangkan angka kriminalitasnya meningkat secara

594 Ibid., hlm. 216. 595 Ibid. 596 Ibid 597 Ibid 598 Ibid 599 Ibid., hlm. 218. 600 Ibid.

signifikan.601 Selanjutnya, sejak pertengahan 1970-an sampai dengan awal 1980-an terdapat peningkat1980-an sedikit peningkat1980-an di 1980-angka kriminalitas maupun tingkat pemenjaraan.602 Pada tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an, tingkat pemenjaraan mengalami penurunan, tetapi angka kriminalitas kembali meningkat tajam.603 Dalam perkembangan terakhirnya dari tahun 1990-an sampai dengan sekarang, angka kriminalitas dengan tingkat pemenjaraan cenderung stabil dan tidak ada peningkatan maupun penurunan yang begitu berarti.604

Menurut Hans Jorg Albrecht, tingkat pemenjaraan di negara Jerman tidak selalu mengikuti angka kriminalitas, namun lebih mengikuti pada reformasi kebijakan hukum pidana yang dimunculkan pada saat itu.605 Sebagai contoh, turunnya tingkat pemenjaraan pada pertengahan tahun 1960an disebabkan oleh diperkenalkannya bentuk pemidanaan denda dan penggunaan konsep margin/leeway theory dalam mempertimbangkan suatu kasus.606 Pada sisi lain, penurunan yang terjadi pada tahun 1980an disebabkan oleh penggunaan average cases dan diubahnya KUHP Jerman yang mempermudah penjatuhan bentuk pemidanaan bersyarat.607

Apabila dilakukan penelitian komparatif dengan negara lain di Eropa Barat dan Amerika Serikat, angka pemenjaraan Jerman berada di lima negara terendah setelah negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Finlandia) dan Swiss.608

Empat negara teratas yang mempunyai angka pemenjaraan yang paling tinggi adalah Amerika Serikat, Inggris Raya, Spanyol, dan Prancis.609

601 Ibid. 602 Ibid. 603 Ibid. 604 Ibid. 605 Ibid., hlm. 217. 606 Ibid. 607 Ibid. 608 Ibid. 609 Ibid.

Gambar 4.11

Angka Pemenjaraan dan Angka Kejahatan 1961-2009

Selain itu, hakim di Jerman memang menggunakan pendekatan yang tidak keras dalam penjatuhan hukumannya. Dari tabel x di bawah, terlihat bahwa mayoritas perkara pidana yang dijatuhi hukuman penjara pada tahun 2010 diberikan hukuman antara rentang 0-2 tahun. Di saat yang bersamaan, jumlah perkara yang hukumannya di atas 5 tahun justru berada di bawah 50% dari total perkara.

Tabel 4.5

Distribusi Lama Hukuman di Jerman610

Apabila melihat data distribusi lamanya hukuman, dapat dikatakan bahwa penerapan pendekatan average/normal cases memang benar menjadi acuan bagi para hakim di Jerman dalam menjatuhkan pidana. Dari rentang lamanya ancaman pemidanaan dari suatu delik, hakim seringkali menjatuhkan pidana yang berada pada rentang di bawah 1/3 dari ancaman hukuman maksimum. Oleh karenanya, keinginan Mahkamah Agung Jerman supaya para hakim menerapkan pendekatan average/normal cases terlihat telah diterapkan. Selain itu, data ini juga

menunjukkan bahwa sistem peradilan Jerman telah menjaga rentang hukuman putusan, yakni dalam rentang 0-2 tahun.

Penggunaan konsep average/normal cases juga terjadi di perkara kekerasan seksual terhadap anak. Dalam jenis perkara ini, ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim berada di antara 6 bulan-10 tahun. Dengan rentang hukuman selebar itu, sekitar ¾ dari total perkara kekerasan seksual terhadap anak dijatuhi hukuman antara 0-2 tahun. Hanya 17 perkara yang hukumannya dijatuhkan antara 5-10 tahun. Kondisi ini menggambarkan diterapkannya pendekatan average cases oleh hakim dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak dimana hukuman yang dijatuhkan sebagian besar berada dalam area 1/3 dari total ancaman hukuman. Oleh karenanya, sekalipun pengaturan dari delik ini mempunyai tujuan untuk dapat menjatuhkan hukuman yang berat kepada pelaku, tetapi hakim memandang tidak perlu menjatuhkan hukuman yang demikian.

Tabel 4.6 Distribusi Lama Pemidanaan (Penjara) pada Kekerasan Seksual terhadap Anak611

Selanjutnya, pada tindak pidana pornografi anak, kondisi penggunan hukuman yang rendah (1/3 dari ancaman hukuman) juga terjadi. Lebih dari itu, bukan lagi penjara dalam waktu pendek yang menjadi mayoritas hukuman, akan tetapi 50% dari total perkara dijatuhi dengan bentuk pemidanaan berupa pidana denda. Di sisi lain, tidak ada perkara yang pernah dijatuhi hukuman dari lima hingga sepuluh tahun. Padahal, pembuat undang-undang memberikan ruang diskresi bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara hingga maksimum 10 tahun.

Tabel 4.7 Distribusi Lama Pemidanaan (Penjara) pada Pornografi Anak

Sistem pemidanaan yang digunakan oleh Jerman merupakan salah satu model yang menawarkan stabilitas tingkat hukuman yang rendah dan menciptakan paritas dalam pemidanaan, yang diperolehnya tanpa menggunakan pedoman pemidanaan. Berdasarkan pembahasan di atas, Jerman mempunyai beberapa cara untuk menjaga paritas pemidanaannya serta menjaga ancaman hukuman untuk tetap berada di rentang bagian bawah, yakni:

1. Variabel penjatuhan hukuman pada Pasal 46 KUHP (terkait hal-hal apa yang harusnya dipertimbangkan oleh Majelis Hakim);

2. Margin/Leeway Theory (Spielraumtheorie);

3. Average/Normal Cases (Regelfall);

4. Memprioritaskan bentuk pemidanaan denda dan pidana bersyarat; 5. Penyebaran informasi putusan dan mengkomunikasikannya, baik

secara formal maupun informal;

6. Terdapatnya pengarsipan dokumen putusan tentang putusan-putusan sebelumnya dan hakim maupun jaksa dimungkinkan untuk mengakses dokumen-dokumen tersebut;

7. Adanya prinsip self-control dari hakim ketika menjatuhkan putusan, sehingga putusan yang diberikan cenderung tidak reaktif.

Namun demikian, keberadaan paritas pemidanaan juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa catatan. Paritas tidak dapat dilihat hanya sekedar memperbandingkan berapa perkara yang dijatuhi hukuman sama, namun harus dilihat pula apakah perkara yang dijatuhi hukuman sama memang mempunyai karakteristik yang serupa pula. Dengan cakupan average/normal cases yang begitu luas, hakim justru menjatuhkan hukuman yang sama (dalam rentang 1/3 dari ancaman maksimum hukuman) untuk kasus-kasus yang tidak memiliki karakteristik perbuatan pidana serupa.

Sebenarnya kondisi Jerman saat ini bertolakbelakang dengan alasan yang diberikan oleh Jerman ketika menolak menggunakan pedoman pemidanaan, dengan dasar prinsip individualisasi pemidanaan serta Pasal 46 KUHP Jerman. Pada satu sisi, Jerman mengatakan bahwa penjatuhan hukuman harus melihat keunikan dari setiap kasus sesuai dengan Pasal 46 KUHP dan memandang membuat pedoman hakim yang bersifat numerikal tidak sesuai dengan prinsip individualisasi. Bahkan pada saat memberlakukan margin/leeway theory, Mahkamah Agung Jerman menolak untuk memberikan penjelasan untuk mengkuantifisir pertimbangan hakim menjadi besaran ancaman hukuman yang seharusnya dijatuhkan.

Akan tetapi, di sisi lainnya, pendekatan ini bermasalah ketika Jerman memasukkan

normal/average cases untuk menjaga paritas pemidanaan dan hukuman yang tidak

keras. Paritas pemidanaan yang dibesar-besarkan sebenarnya menimbulkan pertanyaan dan kritik mengenai cara pandang hakim pengadilan pertama dalam

mengkualifikasikan perbuatan pidana sebagai average/normal cases. Pada akhirnya, hakim di Jerman memperluas cakupan average/normal cases pada berbagai bentuk/corak perbuatan pidana yang terjadi dan menganggapnya masuk sebagai golongan average/ normal cases, padahal mekanisme ini bertentangan dengan semangat awal Jerman untuk menjaga prinsip individualisasi pemidanaan. Oleh karenanya, sistem pemidanaan Jerman juga tidak sesempurna yang dicita-citakan. Walaupun demikian, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui lebih mendalam apakah sistem pemidanaan yang dimiliki oleh Jerman saat ini memang berjalan dengan baik.

BAB V