• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: MARIANNE KATOPPO

B. Pemikiran Marianne Katoppo

Perempuan Indonesia menurut Marianne berada dalam posisi yang sangat dilematis. Perempuan seakan diharuskan untuk terus mengikuti struktur sistem sosial yang ada tanpa mempertimbangkan hak-haknya. Struktur atau sistem sosial yang dimaksud ialah sistem sosial yang menempatkan satu-satunya kodrat perempuan sebagai istri/ibu dan hidup terbatas ruang domestik. Perempuan yang mencoba untuk bersikap rasional, mengedepankan hak-haknya, baik dalam pergaulan, pendidikan, maupun karir, ia tidak akan diakui oleh masyarakat jika belum menikah (baca: menjadi istri).

Pandangan masyarakat yang begitu pesimis terhadap perempuan pada akhirnya membuat perempuan yang mencoba membela haknya merasa serba salah. Marianne menggambarkan problematika perempuan ini,

21 Op.Cit., Arif Firmansyah, h. 71.

dengan contoh temannya yang seorang doktor perempuan, ahli kimia yang baru menikah di usia 40 tahun. Orang lain tidak peduli dengan gelar dan sumbangsihnya dalam bidang keilmuannya, yang dilihat hanya status perawan tuanya. “Tetapi di masyarakat Indonesia, karena dia belum kawin dan punya anak, orang-orang merasa kasihan padanya. Dengan sendirinya wanita ini juga akan ikut goncang. Dia bertanya, ‘Ph.D saya itu apa artinya?’ Ini yang sukar diatasi oleh banyak wanita Indonesia yang karena pendidikan

atau pergaulan mereka menjadi berpikiran modern.”23

Marianne memang merupakan seorang perempuan yang menyadari lingkungan dan kaumnya. Beranjak dari problematika tersebut, ia berusaha meningkatkan harkat dan martabat perempuan di Indonesia, melalui karya-karyanya. Marianne, meskipun demikian, tidak setuju apabila konsep emansipasi ditafsirkan bahwa perempuan harus setara dalam segala-galanya

dengan laki-laki.24 Pemikiran-pemikiran ekstrem tersebut memang ada dan

banyak berkembang di barat, tetapi perempuan di Indonesia sendiri berbeda. Perjalanannya keliling dunia membuat Mariane paham akan perbedaan perempuan Barat dan perempuan Timur, khusunya Indonesia. Sebagai sesama perempuan, Mariane berpendapat bahwa meskipun perempuan Barat sudah berkawan lama, masih kerap dapat menyinggung perasaan kita. Hal ini tidak lain karena budaya sosialnya yang amat berbeda di sana. Soal ambisi dalam kesetaraan gender memang perempuan barat sangat kuat, seakan-akan mereka siap membantai laki-laki yang ada di hadapannya. Itu yang di Barat dikenal sebagai feminis ekstrem anti-pria. “Saya rasa itu salah. Dan saya melihat, umumnya teman-teman saya di Indonesia, biarpun feminis, toh tidak seperti itu mereka mengerti bahwa ruang hidup ini harus

diisi oleh laki-laki dan perempuan,” komentar Marianne. 25

Feminisme di Indonesia mampu berjalan ke arah lain, yang lebih harmonis dan membumi-pertiwi. Alam Indonesia sebenarnya sangat

23 Op.Cit., Femina, No. 78, 17 Februari 1976, h. 37

24 Loc.Cit., Yuyu A.N. Krisna, “Marianne Katoppo: Wanita Lembut tetapi Berhati Keras”, artikel dalam Mutiara, Rabu, 13 Oktober 1982, No. 279, h. 6, kol. 1.

mendukung feminisme, Marianne melihat ini dari kata “perempuan” dan “wanita” yang digunakan di Indonesia. Kata “wanita” memiliki makna feminin yang berarti “dia yang dipuji seluruh dunia”, sedangkan kata “perempuan” memiliki arti “dia yang dihormati” tidak hanya secara feminin tetapi juga kualitas. Kedua kata tersebut sebenarnya telah menunjukkan bagaimana perempuan dihargai di Indonesia.

“Wanita”, an imported, Sanskirt word with the lofty meaning, ‘she whom the world praises’, bears connotations of refinement and feminine grace. The indigenous Indonesian “perempuan” is more direct and earthy, but also more dynamic. It contains with in it the root empu, ‘sage’; it suggests woman’s qualities, not just the fact that she too is be praised.26

Pandangan Marianne terhadap perempuan banyak tertuang dalam karyanya, Compassionate and Free: An Asian’s Theology. Pada buku tersebut Marianne menjelaskan bagaimana agama memiliki peran dalam menciptakan ketimpangan gender di Indonesia. Agama yang sejak lama didominasi laki-laki membentuk suatu sistem hak istimewa yang timpang,

dan membatasi seorang liyan27 untuk menjadi manusia yang utuh. Baginya

perempuan seharusnya diberikan kesempatan yang sama dalam menentukan pilihan-pilihan hidup yang dianggapnya penting.

Novelnya sendiri mengisahkan perempuan-perempuan bebas, tetapi teralienasi oleh dunia laki-laki yang terkungkung adat, sosial, maupun agama. Anitra dan Manen adalah perempuan bebas tetapi terikat pada pasangan mereka, lelaki yang tunduk pada agama dan adat. Swasti, Pingkan, dan Tessie adalah perempuan bebas yang tabah, luwes, dan bijaksana dalam menghadapi tekanan-tekanan sosial yang ada. Perempuan pada novel-novelnya adalah katak yang jauh meninggalkan tempurung kelapa, pengembaraan yang jauh secara intelektual dan raga.

26 Barbara Hatley, “Marianne Katoppo: Her own Woman”, artikel dalam Inside Indonesia, No. 18, April 1989, h. 16.

27 Liyan yang dimaksud di sini adalah perempuan rasional. Klasifikasi gender dalam gereja hanya ada dua yaitu laki-laki dengan kodrat memimpin dan perempuan dengan kodrat patuh. Perempuan yang bersikap rasional dengan menagih hak-haknya sebagai sesama manusia kerap dipandang serba salah. Perempuan rasional mengalami alienasi, karena ia tidak dipandang perempuan jika belum memenuhi kodratnya sebagai perempuan, yaitu menjadi istri/ibu.

Marianne Katoppo believed that the liberation of women led to the liberation of men, and ultimately, to the “liberation of all to become full members of society.”28

2. Sastra Pop

Pada era 80-an, perkembangan dunia penulisan menciptakan satu buah aliran baru dalam sastra, yaitu sastra popular. Sastra popular atau yang lebih dikenal dengan sebutan sastra pop, ialah karya sastra yang esensinya dipandang lebih rendah dari sastra non-pop. Sastra pop dipandang demikian karena cerita, pemaknaan, dan gaya bahasanya yang dinilai sederhana bahkan dangkal. Tidak seperti sastra non-pop, sastra pop cenderung lebih mengutamakan permintaan pasar daripada keindahan estetik yang tersaji

lewat penyampaian maupun makna yang tersirat di dalam karya tersebut.29

“Situasi dunia ini sangat kompleks. Saya sering kesal, misalnya di sastra atau buku modern saat ini, seakan-akan hidup ini begitu sederhana. Sebenarnya hidup ini tidak sekadar pengejaran terhadap simbol status, tetapi ada tali-tali halus yang menghubungkan manusia yang satu

dengan yang lainnya,” tutur Marianne.30

Marianne sendiri, meskipun dikategorikan sebagai penulis sastra pop

oleh Yakob Sumarjo31, ia tidak terima jika sastra menyajikan kisah-kisah

yang dangkal, mengangkat masalah-masalah permukaan seperti status atau seks saja. Ia mengakui memang kisah dalam novel-novelnya adalah masalah cinta, tetapi masalah tersebut dipandang sebagai medium untuk melihat posisi perempuan Indonesia. Tema perempuan Indonesia yang ia gumuli

28 Norman Erikson Pasaribu, “Marianne Katoppo: The Frog Who Left the Coconut Shell Far Behind”, artikel dalam Jurnal Asymptote, https://www.asymptotejournal.com/blog/2017/09/28/ marianne-katoppo-the-frog-who-left-the-coconut-shell-far-behind/#more-14278, diakses pada 25 Desember 2020, pukul 15.00 WIB.

29 Rismawati, Perkembangan Sejarah Sastra Indonesia, (Banda Aceh Darussalam: Bina Karya Akademika, 2017), h. 134.

30 Op.Cit., Mutiara, h. 6.

31 Yakob Sumarjo dalam bukunya menulis bahwa novel Marianne Katoppo yang bernama

Raumanen dapat dikatakan sebagai bacaan populer demikian. Sumarjo, meskipun demikian,

menambahkan catatan bahwa karya Marianne merupakan karya yang melebihi harapan dari jenisnya (novel pop), karena memiliki bobot intelektualitas, ketajaman masalah dari keterampilan teknik bercerita dan perasaan halus seorang wanita. [Lihat: Jakob Sumardjo, Novel Indonesia Mutakhir:

ialah konfliknya, penderitaannya, kenikmatan-kenikmatannya, dan

perwatakannya, bagaimana perempuan mencari kepribadiannya.32

Bagi Marianne, sastra harus bisa menyampaikan suatu pesan dan realitas sosial kepada pembacanya. Hal ini diungkapkan melalui kekagumannya pada N.H. Dini,“... Dini bisa membawakan suasana tertentu. Misalnya novel Dini Sebuah Lorong di Kotaku, betul-betul menggambarkan,

menampilkan, seorang anak kecil di tahun-tahun 1950-an di Semarang.”33

Tokoh penulis lain yang dikagumi Marianne, lebih identik dengan realisme sosial, ialah Pramodya Ananta Toer. Marianne sangat menyukai tulisan-tulisan Pram, terutama Gadis Pantai. Novel Gadis Pantai tersebut menurut Marianne, “Nevertheless this book provides a model of a fictional work where the author’s skill and talent is used not just to entertain but to impart a message”.34

Marianne sangat menyesal jika bahasa dan sastra Indonesia harus menjadi korban dari orang-orang yang menulis novel pop. Ia merasa sayang jika para penulis membatasi dirinya demi kepentingan bisnis, dari para penerbit yang memanfaatkan tren. “Sekarang saya melihat ada novel bukan ibarat anak yang dilahirkan, tetapi ibarat orang mencret, banyak tetapi tidak

karuan saja arahnya.”35

Dokumen terkait