• Tidak ada hasil yang ditemukan

POKOK PEMIKIRAN C.S.PEIRCE TENTANG BAHASA ILMIAH

B. Pemikiran C.S Peirce Tentang Logika

Pemikiran Peirce tentang tanda terkait dengan logika, karena menurut pendapatnya logika dalam pengertian yang paling luas merupakan hal yang berlangsung hanya dalam tanda. Peirce mengungkapkan bahwa Istilah ‘logika’ diletakkan secara tidak ilmiah dalam dua pengertian yang berbeda. Dalam arti sempit, logika adalah ilmu tentang kondisi yang diperlukan dalam pencapaian kebenaran. Dalam arti yang lebih luas, logika merupakan ilmu dari hukum pemikiran, atau, karena pikiran selalu muncul melalui makna tanda-tanda, merupakan semiotik umum, tidak hanya memperlakukan kebenaran, tetapi juga kondisi umum dari tanda menjadi tanda. Metode semiotika harus mengamati bagaimana logika mengharuskan seseorang untuk berpikir dan berorientasi untuk mencari alasan, dan untuk menghubungkan pada konsepsi dari dua sifat tersebut yang harus dimiliki untuk menjawab persyaratan logika (Peirce, 1998, Volume 1: 242).

Tanda terkait dengan logika, karena tanda merupakan sarana pikiran manusia sebagai artikulasi bentuk-bentuk logika. Peirce menegaskan bahwa satu-satunya pikiran yang mungkin bisa dipikirkan adalah pikiran yang ada dalam tanda. Tanda yang tidak bisa dipikirkan tidak mungkin ada. Semua pikiran haruslah ada dalam bentuk tanda. Peirce mengungkapkan bahwa Jika seseorang mencari penjelasan tentang fakta-fakta eksternal, maka kasus pemikiran yang bisa ditemukan hanyalah pikiran dalam tanda-tanda. Jelas, tidak ada pikiran lain dapat dibuktikan oleh fakta-fakta eksternal. Tapi seseorang telah melihat bahwa hanya dengan fakta-fakta eksternal saja sebuah pemikiran dapat dikenal luas. Pemikiran lain yang mungkin dapat dipikirkan adalah pemikiran dalam tanda-tanda. Pemikiran yang tidak dapat dipikirkan itu sebenarnya tidak eksis. Semua pemikiran, oleh karena itu, harus berada dalam tanda" (Peirce,

66 1998, Volume 5: 151). Disinilah pentingnya peranan logika untuk memberikan pendasaran atas seluruh struktur pemikiran manusia dalam kehidupan, terlebih lagi dalam bidang ilmiah.

Peran logika dalam pemikiran Peirce tentang tanda dapat diibaratkan oksigen bagi kehidupan manusia. Penafsiran atas tanda tak terpahami tanpa ada landasan logika di dalamnya. Landasan logis tanda artinya setiap tanda dapat dipahami, dinalar, dan memiliki dasar-dasar logis. Bentuk- bentuk logika induksi, deduksi, dan hipotesis (abduksi) merupakan pemahaman manusia tentang cara melakukan penalaran dan penyimpulan secara sintesis dan analitis. (Lihat Deledalle, 2000: 4; Peirce, 1998, Volume 2: 372-380). Dalam hal ini Peirce mengembangkan model logika Aristotelian dan menggabungkannya dengan klasifikasi Kantian. Skema bentuk penyimpulan model Peircean menurut Deledalle dapat digambarkan sebagai berikut (Peirce, 1998, Volume 2: 375; Deledalle, 2000: 4). Inference Deductive Synthetic or Analytic Induction Hypothesis

Berdasarkan skema di atas, maka terlihat bahwa penyimpulan logika deduktif merupakan bentuk analitis yang banyak diterapkan penganut rasionalisme, sedangkan sintesis yang meliputi induksi dan hipotesis banyak diterapkan oleh penganut empirisisme. Bentuk kebenaran analitis atau deduktif ini bersifat mutlak, sedangkan bentuk kebenaran induksi dan hipotesis bersifat relatif. Peirce menguraikan masing-masing model logika itu dalam penjelasan sebagai berikut. Deduction:

Rule.—All the beans from this bag are white Case.—These beans are from this bag.

Result.—These beans are white (Deledalle, 2000: 4; Peirce, Volume 2, 1998: 373). (“Aturan-Semua kacang dari tas ini berwarna putih

67 Hasil-Kacang tersebut berwarna putih”).

Bentuk penyimpulan deduksi sebagaimana yang dikemukakan di atas kebenarannya bersifat pasti, karena Case merupakan sub klas dari Rule, sehingga Result hanya merupakan penjabaran dari Rule. Peirce sendiri menegaskan bahwa bentuk penyimpulan deduktif ini didasarkan pada silogisme yang dinamakan Barbara dalam contoh berikut: S is M, M is P; Hence, S is P. Atau bila diletakkan dalam bentuk kalimat dapat dikatakan sebagai berikut:

Adam adalah manusia Manusia adalah fana, Jadi Adam adalah fana.

Penalaran deduktif menurut Peirce terdiri atas Rule, Case, dan Result, namun menurut Peirce, sifat kepastian penyimpulan deduksi akan berubah manakala contoh yang diterapkan pada Rule hanya diambil secara random, bukan keseluruhan, maka menurut Peirce terlihat dalam contoh berikut:

Rule.—The beans in this bag are 2/3 white

Case.—This bean has been drawn in such a way that in the long run the relative number of white beans so drawn would be equal to the relative number in the bag.

Result.—This bean has been drawn in such a way that in the long run it would turn out white 2/3 of the time (Peirce, 1998, Volume 2: 373).

(“Aturan- Dua per tiga kacang di dalam tas ini berwarna putih

Kasus-Kacang ini diambil sedemikian rupa, sehingga dalam waktu yang panjang jumlah relatif kacang putih yang diambil akan sama dengan jumlah relatif yang ada di dalam tas. Hasil-Kacang ini telah diambil sedemikian rupa sehingga dalam waktu tertentu akan mendapatkan kacang putih 2/3 dari waktu yang digunakan”).

Apabila penggambaran tentang segenggam kacang berdasarkan random dan menyimpulkan bahwa kira-kira 2/3 kacang itu kemungkinan berwarna putih, maka penalaran itu termasuk jenis yang sama. Namun apabila seseorang tidak mengetahui proporsi kacang putih yang ada di dalam tas itu, maka ketika ia menggambarkan segenggam kacang sebagai random dan menemukan 2/3 kacang dalam tas itu berwarna putih, sesungguhnya orang tersebut sedang mempermasalahkan bentuk penyimpulan deduktif, dan sedang menyimpulkan suatu hukum berdasarkan observasi dari suatu result dalam kasus yang pasti. Bentuk penyimpulan yang berdasarkan observasi itu

68 dinamakan induksi. Peirce memberi contoh berikut (Peirce, 1998, Volume 2: 374; Deledalle, 2000: 4).

Induction

Case—These beans are from this bag. Result—These beans are white.

Rule—All beans from this bag are white.(Peirce, 1998, Volume 2: 375).

(“Kasus-Kacang ini berasal dari tas ini. Hasil-Kacang ini berwarna putih.

Aturan-Semua kacang dari tas ini berwarna putih’).

Hasil penyimpulan berupa rule dalam hal ini mengandung kemungkinan, sehingga kebenarannya relatif. Induksi adalah suatu bentuk penyimpulan di mana seseorang menggeneralisasi sejumlah kasus yang benar, dan menyimpulkan bahwa hal yang sama adalah benar seluruhnya. Atau bilamana seseorang menemukan sesuatu yang pasti menjadi benar berdasarkan proporsi kasus yang pasti, maka orang tersebut menyimpulkan bahwa hal itu benar dari proporsi yang sama secara keseluruhan. Peirce menegaskan bahwa induksi adalah ketika sejumlah kasus yang benar digeneralisasi, dan disimpulkan bahwa hal yang sama juga berlaku bagi seluruh kelas. Atau, ketika seseorang menemukan suatu hal yang benar dari proporsi tertentu dari keseluruhan kelas (Peirce, 1998, Volume 2: 375).

Wasito Poespoprodjo menegaskan bahwa suatu jalan pikiran dinamakan induksi manakala berupa penarikan kesimpulan yang umum –berlaku untuk semua – atas dasar pengetahuan tentang hal-hal khusus, beberapa, sedikit. Wasito menengarai ada kelemahan yang terdapat pada jalan pikiran induksi, yakni seseorang terlalu cepat menarik suatu kesimpulan umum, tanpa cukup memperhatikan apakah cukup ada dasar untuk itu, atau seringkali menganggap bahwa kesimpulan itu sudah pasti, padahal sama sekali belum pasti, ini merupakan bentuk generalisasi yang tergesa-gesa. Misalnya: ada ucapan yang mengatakan bahwa pemuda berambut gondrong itu tidak sopan; orang desa itu kolot, pegawai negeri itu malas. Ucapan semacam itu dikemukakan seolah-olah berlaku umum, padahal mungkin hanya segelintir orang yang berkelakuan demikian (Wasito & Gilarso, 1985: 17-18).

Bentuk penyimpulan ketiga yang dinamakan hipotesis atau abduksi adalah ketika seseorang menemukan beberapa hal yang sangat ingin diketahui, yang kemudian akan dijelaskan melalui dugaan bahwa hal itu merupakan sebuah kasus berdasarkan aturan umum yang pasti, dan oleh

69 sebab itu mengambil dugaan tersebut. Atau disaat seseorang menemukan bahwa dalam hal yang pasti pada dua objek mengandung suatu kemiripan yang kuat, dan menyimpulkan bahwa keduanya itu mirip satu sama lain secara kuat dalam hal yang lain. Peirce memberikan contoh tentang hipotesis sebagai berikut (Peirce, 1998, Volume 2: 374; Deledalle, 2000: 4).

Hypothesis (Abduction)

Rule—All beans from this bag are white. Result—These beans are white.

Case—The beans are from this bag.

(“Aturan-Semua kacang dari tas ini berwarna putih. Hasil-Kacang ini berwarna putih.

Kasus-Kacang itu berasal dari tas ini”).

Hipotesis sebagai aturan umum menurut Peirce, merupakan jenis argumen yang lemah, karena hal itu merupakan suatu bentuk putusan yang sifatnya meremehkan (slightly). Seseorang tidak dapat mengatakan bahwa ia mempercayai hasil kesimpulan yang muncul itu benar, ia hanya menduga atau mengira bahwa hal itu memang demikian. Peirce menegaskan bahwa hipotesis adalah ketika seseorang menemukan beberapa situasi yang sangat sulit untuk dimengerti, yang dapat dijelaskan dengan anggapan bahwa itu adalah kasus dari aturan umum tertentu, dan kemudian mengadopsi anggapan tersebut. Atau, ketika seseorang menemukan bahwa dalam hal tertentu ada dua objek yang memiliki kemiripan yang kuat, dan menyimpulkan bahwa mereka saling menyerupai dalam hal-hal lain (Peirce, 1998, Volume 2: 375).

Eco menjelaskan bahwa istilah hipotesis atau abduksi merupakan bentuk penyimpulan, inferensi khusus yang memiliki pengertian yang kurang lebih sama dengan interpretasi. Ilustrasi yang diajukan Peirce adalah sebagai berikut: Ketika seseorang masuk ke dalam sebuah kamar dan ia mendapatkan beberapa kantong yang berisi berbagai macam kacang, di atas meja terdapat segenggam kacang berwarna putih. Orang tersebut kemudian memeriksa kantong-kantong berisi kacang itu dan menemukan hanya satu kantong yang berisi kacang putih. Pada saat itu lah orang tersebut menyimpulkan sebagai sebuah probabilitas atau terkaan bahwa segenggam kacang putih di atas meja itu berasal dari kantong tersebut. Jenis penyimpulan semacam inilah yang dinamakan membuat sebuah hipotesis atau abduksi. Berbeda halnya dengan metode deduksi dalam penerapan kasus di atas yang berbunyi sebagai berikut: Semua kacang yang berasal dari kantong itu berwarna putih. Kacang-kacang ini berasal dari kantong itu. Maka kacang-kacang

70 itu berwarna putih. Kebenarannya tidak perlu diragukan, karena hanya bersifat penegasan. Kaidah dalam kasus induksi dari kasus tersebut berbunyi sebagai berikut: Kacang-kacang ini berasal dari kantong itu. Kacang-kacang ini berwarna putih. Maka semua kacang yang berasal dari kantong yang itu merupakan kacang berwarna putih. (Peirce, 1998, Volume 2: 374; Eco, 1979: 131). Solomon menegaskan tentang hipotesis dalam pernyataan berikut:”hypothesis is a provisional suggestion that must be confirmed (or falsified) through experience. Hypotheses are the bulwark of all empirical knowledge and the end point of all inductive reasoning” (Solomon, 1992 :331). Sebuah hipotesis merupakan sebuah bentuk penalaran sekaligus benteng pertahanan dari seluruh pengetahuan empiris dan titik akhir dari seluruh penalaran induktif.

Berdasarkan bentuk penyimpulan yang dikemukakan Peirce di atas, maka bentuk penyimpulan deduktif mengandung kepastian yang tinggi, karena hasil kesimpulannya dijabarkan dari rule yang memiliki kepastian, dan case merupakan bagian dari rule, sehingga result hanya merupakan bentuk penegasan. Berbeda halnya dengan induksi dan hipotesis, keduanya lebih bersifat probabilitas dan perkiraan atau dugaan. Bentuk penyimpulan dalam dunia ilmiah yang berdasarkan fakta empiris justeru lebih banyak didasarkan pada penyimpulan induksi dan hipotesis. Memang ada kemungkinan hal baru yang dimunculkan dalam bentuk penyimpulan induksi dan hipotesis, namun tidak ada jaminan bahwa kebenarannya bersifat seratus persen (100%). Logika tanda lebih banyak terletak pada induksi dan hipotesis, karena bertitik tolak dari pengalaman (induksi), kalau pun bertitik tolak dari aturan umum (rule) sedangkan mediumnya adalah hasil (result), maka temuan kasus (case) juga hanya bersifat dugaan atau perkiraan, seperti dalam metode hipotesis atau abduksi. Peirce menegaskan bahwa abduksi merupakan kasus inferensi sintetis, ketika seseorang menemukan beberapa situasi tertentu yang mengundang rasa ingin tahu, yang bisa dijelaskan dengan cara mengandaikan bahwa situasi tersebut adalah salah satu kaidah umum (rule), karena itu dapat sesuai dengan pengandaian tersebut (Peirce, 1998, Volume 2: 375).

Abduksi menurut Eco, merepresentasikan langkah pertama operasi metalinguistik dalam rangka memperkaya kode. Abduksi adalah model terbaik dari produksi sebuah fungsi tanda. Apabila terjadi ambiguitas, pernyataan yang bermakna ganda, maka seseorang perlu terus melakukan interpretasi, sehingga melahirkan sebuah konvensi, sejauh dapat diterima masyarakat. Eco menegaskan sebuah teori semiotika tidak seharusnya menampik adanya aktus interpretasi yang konkret yang menghasilkan makna, namun tidak dapat ditangkap oleh kode, kecuali

71 memang seseorang tidak mengindahkan prinsip fleksibilitas dan kreativitas bahasa (Eco, 1979: 133). Zoest menegaskan bahwa dalam abduksi ada dugaan-dugaan, titik tolak, aturan umum yang menjadi dasar pada hampir setiap proses interpretasi. Dasar yang dimaksud adalah ideologi, yaitu titik tolak perorangan untuk interpretasi. Setiap tindakan interpretasi diawali dari titik tolak ideologis, sehingga ideologi merupakan dasar untuk kode-kode yang memungkinkan terjadinya proses abduksi. Ideologi berperan utama dalam proses lambang, meskipun peran itu biasanya bersifat tersembunyi. Ideologi menurut Zoest merupakan harta terpendam dalam proses semiotis (Zoest, 1996: 103). Msalnya peran ideologi dalam dunia pendidikan yang dewasa ini dikaitkan dengan pendidikan berbiaya mahal, sehingga ada ideologi kapitalis yang tersembunyi di balik pendidikan di Indonesia.

Peirce sendiri menganggap bahwa logika dapat membentuk penalaran dan dugaan yang terdapat dalam pemikiran manusia, keduanya dibutuhkan untuk memahami makna suatu tanda. Seseorang yang mempelajari logika, ujar Peirce, akan memiliki keyakinan dalam menalar sesuatu sebagaimana halnya seseorang yang memperoleh pengetahuan tentang kebenaran. Penalaran memang berbeda dari persepsi inderawi tentang fakta, karena penalaran pada hakikatnya merupakan suatu tindakan yang disengaja (voluntary act) sebagai wahana bagi seseorang melatih diri untuk mengendalikan pemikirannya. Logika itu ada dalam pemikiran, karena membentuk sebuah sikap kritis penalaran tentang baik atau buruknya sesuatu (Peirce, 1998, Volume 2: 76).