• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENGANTAR Permasalahan Bahasa Ilmiah - Bahasa Ilmiah dalam Perspektif Charles Sanders Peirce - repository civitas UGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENGANTAR Permasalahan Bahasa Ilmiah - Bahasa Ilmiah dalam Perspektif Charles Sanders Peirce - repository civitas UGM"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENGANTAR

Permasalahan Bahasa Ilmiah

Bahasa merupakan salah satu sarana yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki kemampuan akal, rasa, dan cipta yang berkembang dan dapat dikembangkan melalui sarana bahasa. Manusia hanya dapat menguji dan memeriksa potensi akal, rasa, dan ciptanya melalui bahasa, meskipun adakalanya bahasa tidak cukup memadai untuk mengakomodasi seluruh realitas yang ada dalam kehidupannya. Kendatipun demikian bahasa merupakan sarana komunikasi yang sangat diperlukan untuk membuka cakrawala pemikiran manusia , demikian pula halnya dalam dunia ilmiah. Manusia tanpa bahasa tidak akan mampu mengembangkan kemampuan intelektualnya, sebab bahasa sebagai simbol menggerakkan seluruh komponen pemikiran manusia ke arah kemajuan peradaban dan kebudayaan. Ada dua hal yang menjadikan manusia mampu mengembangkan peradaban dan pengetahuannya, yaitu pertama; bahasa yang mampu untuk mengomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi itu; kedua adalah kemampuan berpikir menurut suatu alur dan kerangka pikir tertentu, flow of thinking and frame of thinking (Lubis, 2012: 12). Kedua hal tersebut saling memengaruhi, karena bahasa dapat mengembangkan kemampuan berpikir, sebaliknya kemampuan berpikir dapat menciptakan bahwa yang teratur.

(2)

2 ilmiah tidak mengandung muatan pathos dan ethos sama sekali, namun paling tidak diminimalisasikan.

Bahasa dalam dunia ilmiah memiliki karakteristik yang khas, yakni sarana untuk mengungkapkan realitas yang telah teruji, baik secara akal maupun berdasarkan pengalaman, eksperimen. Bahasa ilmiah dituntut kejernihan dan kelogisannya dalam mengungkapkan realitas dengan berbagai metodologi yang dipersyaratkan. Bahasa ilmiah memiliki aturan main yang harus dipatuhi oleh komunitas ilmiah, karena aturan merupakan sistem yang menentukan bahasa ilmiah sebagai bahasa hukum di kalangan dunia ilmiah. Bahasa ilmiah adalah penggunaan ungkapan dalam dunia ilmiah yang memiliki standar tertentu, baik dalam hal penggunaan kosa kata yang tepat maupun dalam hal struktur bahasa yang logis sesuai dengan gramatika. Bahasa ilmiah menurut Badudu ialah bahasa yang digunakan untuk mengkaji ilmu, dapat digunakan untuk mengutarakan pikiran dan gagasan yang tinggi dan rumit, baik lisan mapupun tulisan. Bahasa ilmiah mempunyai ciri: jelas, teratur, tepat, namun juga estetis artinya bahasa ilmiah haruslah bagus, tersusun dengan baik serta menggunakan kata dan istilah yang tepat. Bahasa ilmiah yang ditulis dengan baik tidak akan membosankan pembaca dan memudahkan pembaca memahaminya (Badudu: 1985: 19-20). Disinilah letak persoalannya, karena untuk menyusun bahasa ilmiah yang baik dan indah memerlukan kepiawaian tersendiri.

(3)

3 Perbedaan cara pandang dalam pengungkapan bahasa ilmiah lantaran dilatarbelakangi oleh dasar epistemologis yang berbeda inilah yang kadangkala menimbulkan beberapa kubu yang berbeda satu sama lain. Kubu pertama beranggapan bahwa bahasa ilmiah harus didasarkan pada aturan logis yang ketat agar tidak menimbulkan multi tafsir. Kubu kedua beranggapan bahwa bahasa ilmiah harus bersifat komunikatif, sehingga mudah dipahami oleh orang lain. Kubu ketiga menggarisbawahi kubu pertama dan kedua dalam arti logis namun juga komunikatif. Dimana posisi C.S. peirce tentang bahasa ilmiah dilihat dari tiga titik pandang tersebut, hal inilah yang menjadi dasar penelitian ini.

Problem lain yang acapkali muncul dalam bahasa ilmiah adalah persoalan pemilihan kata yang tepat bagi pengungkapan ide-ide ilmiah. Locke mengatakan bahwa penggunaan kata merupakan markah gagasan yang dapat diindera, dan gagasan itu berpihak pada pengertian yang tepat dan langsung. The use, then, of words, is to be sensible marks of ideas; and the ideas they stand for are their proper and immediate signification, ujar Locke (Locke, 1910: 251). Locke menyatakan bahwa kata-kata atau ungkapan bahasa itu sesungguhnya merupakan tanda-tanda yang dapat diinderai dari gagasan yang menggunakannya. Seseorang yang menggunakan tanda bahasa itu merekam gagasan tentang tanda itu dalam pikirannya. Ketika seseorang mengungkapkan kata-kata kepada orang lain sesungguhnya orang tersebut bermaksud menyampaikan gagasan yang diketahuinya kepada pihak lain. Oleh karena itu muncul persoalan di saat seseorang menggunakan kata yang tidak tepat untuk mengungkap sebuah gagasan, sehingga menimbulkan tanda tanya atau ketidakjelasan bagi pihak yang menangkap pesan gagasan melalui ungkapan tersebut. Salah satu bentuk pemilihan kosa kata yang tidak tepat dalam dunia ilmiah dikenal dengan istilah salah kaprah. Contoh: kata geming yang artinya terdiam, bergeming artinya tidak bergerak sedikit juga, sering dipakai dalam artinya sebaliknya seperti tidak bergeming untuk maksuk tidak berubah (Kamus Besar Bahasa Indonesia,2008: 437). Demikian pula kata carut marut yang artinya bermacam perkataan yang keji, sering dipakai untuk maksud lain, yaitu karut marut yang artinya kacau tidak karuan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008: 629). Dalam hal ini penulis karya ilmiah sering mengabaikan penggunaan kosa kata yang standar seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

(4)

4 menimbulkan frase dan kalimat yang kacau. Contoh: bentuk mengesampingkan (meng- + kesamping + kan) acapkali ditulis keliru mengenyampingkan. Ada kalimat yang berbunyi:”Anak-anak dilarang merokok”. Atau “anak-anak tidak boleh merokok”. Kedua kalimat tersebut betul, tetapi ada yang menulis “Anak-anak dilarang tidak boleh merokok”. Ini bentuk yang keliru, karena terjadi pengulangan bentuk larangan, yaitu dilarang dan tidak boleh. Ada lagi gejala pleonasme dalam berbagai tulisan ilmiah, yaitu bentuk pengungkapan yang berlebihan. Misalnya: Sejak dari tadi ia menonton film, padahal ujian tinggal beberapa hari lagi. Kata-kata yang sudah jelas, ditegaskan lagi sehingga terksan berlebih-lebihan (misalnya: para ibu-ibu, beberapa negara-negara) (Badudu, 1986: 38-39).

Problem berikutnya yang sering terjadi dalam bahasa ilmiah adalah penulisan ide ilmiah dalam bentuk kalimat-kalimat panjang. Badudu (1985: 46) memberikan contoh kalimat panjang dalam bahasa hukum yang termasuk kategori bahasa ilmiah sebagai berikut.

1). Barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan, atau untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum, membuat, memasukkan ke dalam negeri, mengirim terus di dalam negeri , mengeluarkan dari negeri atau menyimpan, atau dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan menawarkan tidak atas permintaan orang, atau menunjukkan bahwa boleh didapat tulisan yang diketahuinya isinya, atau gambar atau barang yang dikenalnya, melanggar kesusilaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah.

2). Barangsiapa yang menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum, menempelkan atau untuk disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, memasukkan ke dalam negeri, mengirim terus di dalam negeri, mengeluarkan dari negeri atau menyimpanatau dengan terang-terangan menyiarkan tulisan menawarkan tidak atas permintaan orang atau menunjukkan bahwa boleh di dapat: tulisan, gambar atau barang itu melanggar kesusilaan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ribu rupiah (KUHP,XIV:282,1).

(5)

5 yang melanggar kesusilaan) sebaiknya langsung mengikuti kata kerja-kata kerja tersebut. Kata kerja transitif menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan yang tiba-tiba diikuti kata kerja berawalan di (disiarkan, dipertunjukkan) yakni kata kerja yang memunyai subjek penderita, padahal belum dikemukakan dalam kalimat itu sebelum kata kerja bentuk di- itu sendiri. Kemudian setelah kedua kata kerja berawalan di- itu menyusul lagi kata kerja-kata kerja bentuk me (membuat, memasukkan, mengirim, mengeluarkan, menyimpan, menyiarkan, menawarkan, menunjukkan). Struktur kalimat seperti ini menurut Badudu terlihat kacau dan tidak teratur, sehingga sukar untuk segera menangkap arti dan jalan pikiran yang terkandung di dalamnya (Badudu, 1985: 47). Kesulitan-kesulitan semacam ini juga dirasakan di kalangan ahli hukum, sehingga perdebatan tentang kebenaran hukum terganggu oleh pemahaman atas makna bahasa hukum yang sulit dimengerti. Bahkan boleh jadi perbedaan cara pandang ahli hukum yang satu dengan ahli hukum yang lain terjadi karena ketidaksamaan dalam memahami makna bahasa hukum tersebut.

Tulisan ini dimaksudkan untuk mengungkapkan pemikiran seorang filsuf terkenal, Charles Sanders Peirce, terutama pemikirannya tentang bahasa ilmiah. Peirce yang dikenal sebagai filsuf pragmatis menyodorkan konsep tentang semiotika, klasifikasi ilmiah, dan logika sebgai sarana berpikir ilmiah yang dapat dipergunakan untuk membentuk bahasa ilmiah yang lebih mudah dimengerti, tanpa menghilangkan unsur komunikatif dalam berbahasa. Tulisan ini dimaksudkan untuk menelusuri posisi bahasa ilmiah dalam pemikiran Peirce. sehingga permasalahan yang diangkat terletak pada bagaimana langkah bagi terciptanya bahasa ilmiah dalam lingkungan komunitas ilmiah; apa karakter utama bahasa ilmiah itu; dan apa karakter bahasa ilmiah yang muncul dalam pemikiran Peirce.

(6)

6 Penelitian yang menggambarkan tentang tulisan ilmiah berbahasa baku dengan penekanan pada macam-macam ragam bahasa dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam tulisan ilmiah. Dalam dunia filsafat, Ayer tahun 1956 menulis Language, Truth and Logic yang menekankan prinsip verifikasi untuk menguji keimiahan suatu pernyataam, sehingga dapat dikategorikan sebagai bahasa ilmiah.

(7)

7 (Honderich, 1995: h. 937).

The Philosophy of Language

Presuppositions of Language

Nature of Language

Semiotics

The Possibility Of Private Language

Innate of Ideas

Intentionality: Language and: Animals; Machine; People

Grammar

Language & Other Symbolic

Systems

Language & Interpretation

Syntax:

Formal Logic

Semantics

Theory of Meaning: 1. Meaning & Truth; 2. Names, Descriptions, and Indexical Signs; 3. Subject & Predicates

Pragmatics:

Types of Implication

(8)

8 Berdasarkan alur pemikiran Honderich di atas, maka problem bahasa ilmiah melibatkan presupposition of language, nature of language, dan Semiotics. Dalam konteks Presupposition of language aspek intensionalitas terletak pada language and people. Dalam konteks Nature of Language tidak hanya melibatkan grammar, tetapi juga bahasa dan sistem simbol lainnya (Language and other symbolic systems) – terutama yang terkait dengan objek yang dibicarakan—juga bahasa dan interpretasi (Language and Interpretation). Dalam konteks semiotika, keempat aspek yang mencakup: sintaksis, semantis, pragmatis, dan hermeneutis diperlukan secara simultan bagi pemahaman dan pengayaan bahasa ilmiah. Kendatipun demikian aspek semantis pada umumnya lebih besar porsinya, karena unsur-unsur yang terkait dengan teori arti (Theory of Meaning) merupakan basis utama untuk memahami makna bahasa ilmiah, sehingga memerlukan dukungan makna dan kebenaran (Meaning & Truth); nama, deskripsi dan tanda-tanda indeks (Names, Descriptions, and Indexical Sign); serta relasi subjek dan predikat (Subject & Predicates).

(9)

9 BAB II

PEMIKIRAN BEBERAPA FILSUF TENTANG BAHASA ILMIAH

Pemikiran tentang bahasa ilmiah menarik minat beberapa filsuf dan ahli linguistik, karena mereka menyadari bahwa bahasa ilmiah memiliki kekhasan yang berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bahasa ilmiah lebih dominan pada ranah kognitif daripada ranah afektif, meskipun cita rasa bahasa yang mengeksprseikan suasana hati sulit untuk dihindari, namun paling tidak diminimalisasikan. Para filsuf yang akan dibahas di bawah ini mencoba menyusun kerangka bahasa ilmiah menurut cara pandangnya masing-masing sesuai dengan latarbelakang filosofis yang mereka miliki.

1. Ferdinand de Saussure

Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi (semiology), sedangkan Peirce menamakan studi tentang tanda dengan istilah semiotika. Peirce mengatakan bahwa tanda dihubungkan dengan objeknya melalui kemiripan (iconic), hubungan kausal (indexical), atau lantaran adanya kesepakatan yang mengikat (symbol). Saussure menegaskan dua kata kunci sebagai cara analisis semiologi, yakni penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (signifier) artinya sesuatu yang digunakan untuk memberi tanda, sedangkan petanda (signified) artinya sesuatu atau hal yang ditandai. Saussure melihat tanda sebagai oposisi biner, yaitu bentuk yang tersusun atas dua bagian yang saling terkait, yakni penanda dan petanda (Danesi, 2010: 36). Pendekatan Peirce bersifat trikotomi, sedangkan pendekatan Saussure bersifat diadis ((Berger, 1989:11-12). Kedua pendekatan tersebut berkembang dalam tradisi yang berbeda, pendekatan Saussure selanjutnya dikenal sebagai pendekatan struktural, sedangkan pendekatan Peirce lebih dikenal sebagai pendekatan pragmatis.

(10)

10 dan kaidah yang mengatur tanda tersebut. Ilmu tersebut dinamakan Saussure, semiologi. Semiologi itu didasarkan pada asumsi bahwa selama perbuatan manusia membawa dan mengandung makna dan berfungsi sebagai tanda, maka di belakangnya ada sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu terjadi. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Harimurti, 1996: 26). Interkoneksi antara tanda yang satu dengan tanda yang lain akan membentuk sistem, sistem yang dimaksudkan Saussure di sini adalah sistem kebahasaan, linguistik.

Saussure mendefinisikan semiologi sebagai bidang studi yang meliputi seluruh persoalan linguistik sebagai suatu kasus yang khusus (Sowa, 2000: 1). Saussure menurut Georges Mounin, dapat dipandang sebagai tokoh dalam bukunya Cours de linguistique generale, karena Saussure telah membaptis dan mendefinisikan secara garis besar ilmu umum tentang semua sistem tanda (atau tentang semua simbol), sistem-sistem itu membuat manusia bisa berkomunikasi di antara mereka” (Martinet, 2010:2). Ada lima pokok pikiran penting Saussure yang perlu mendapat perhatian, yakni pandangan tentang (1) signifier (penanda) dan signified (petanda); (2) form (bentuk) dan content (isi); (3) langue (bahasa) dan parole (tuturan, ujaran); (4) synchronic dan diachronic; (5) Syntagmatic dan associative (paradigmatik). Kelima hal tersebut terkait dengan sistem kebahasaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama; bahasa sebagai sistem tanda yang terdiri atas dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Signifier (penanda) adalah aspek material bahasa berupa bunyi dan coretan yang bermakna, apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran, konsep dari bahasa. Kedua unsur tersebut saling terkait dalam sistem bahasa, penanda dan petanda merupakan kesatuan ibarat dua sisi dari sehelai kertas. Hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda) menurut Saussure bersifat arbitrer, semena, sebarang atau berubah-ubah. Setiap tanda dalam jaringan system diibaratkan dua sisi pada selembar kertas (Sobur, 2009 :46). Hubungan penanda dan petanda secara bersamaan membentuk tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain, sehingga keduanya membentuk suatu kesatuan, yaitu tanda, yang seringkali dinamakan struktur (Hoed, 2008: 90).

Kedua; bahasa sebagai sistem nilai terdiri atas bentuk dan materi atau isi. Bentuk

(11)

11 Contoh: penumpang yang biasa naik bis Trans Yogya setiap hari akan menganggap dan mengatakan bahwa ia naik bis yang sama, meskipun bis lainnya, dan sopirnya berbeda. Bentuk atau wadah bis itu sama, yakni Trans Yogya, tapi isinya berubah-ubah. Contoh lain: kata “perang” misalnya dapat diucapkan secara berlainan oleh orang yang berbeda (presiden, Panglima ABRI, politikus, orang awam), meskipun demikian kata tersebut “perang” sebagai bagian dari suatu sistem bahasa, pada hakikatnya tetap sama, yang berbeda hanyalah isi atau materi psikologis si penyampainya.

Ketiga; ada tiga istilah dalam bahasa Perancis yaitu langage, langue, parole. Langage adalah kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia sebagai pembawaan, meskipun pembawaan ini harus dikembangkan dalam lingkungan masyarakat pengguna bahasa dan stimulus yang mendukungnya. Langage ini mengacu pada bahasa pada umumnya yang terdiri atas langue dan parole. Langue merupakan sistem sosial, bukan tindakan yang direncanakan sendiri, karena langue merupakan bentuk perjanjian bersama. Langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya. Langue merupakan tataran konsep dan kaidah. Langue dapat dibandingkan dengan permainan catur. Seseorang yang ingin bermain catur tidak harus mengetahui bahwa permainan tersebut berasal dari Persia. Orang tersebut juga tidak perlu mengetahui buah catur itu terbuat dari gading, kayu, plastik. Asal-usul permainan dan bahan untuk membuat catur itu tidak relevan untuk memahami permainan catur, yang penting adalah aturan permainannya sebagaimana halnya bahasa. Unit dasar langue adalah kata. Parole adalah bahasa yang hidup (living speech), bahasa sebagaimana yang terlihat dalam penggunaannya. Parole adalah tataran praktek berbahasa dalam masyarakat. Parole lebih terarah pada faktor pribadi pengguna bahasa, unit dasarnya adalah kalimat, bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual, karena memungkinkan subjek (penutur) sanggup menggunakan kode bahasa untuk mengungkapkan pikiran pribadinya (Sobur, 2009: 51-52; Hoed, 2008: 49-50). Parole adalah aktivitas berbicara, sedangkan langue lebih merupakan sistem abstrak yang mendasari parole. Keduanya memiliki hubungan yang erat dan komplementer, parole sebagai implementasi terus-menerus dari sistem dasar yang ada dalam langue (Hartley, 2010: 222).

Keempat; studi bahasa ada dua, yaitu synchronic dan diachronic. Synchronic adalah

(12)

12 mempersoalkan urutan waktu. Diakronis artinya menelusuri waktu, sehingga studi diakronik atas bahasa adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah bahasa tertentu dari masa ke masa (Bertens, 2001: 184). Sinkronis merupakan telaah tentang tanda pada suatu saat di dalam waktu, biasanya saat ini. Diakronis merupakan telaah tentang bagaimana perubahan makna dan bentuk tanda dalam perkembangan waktu. Danesi mencontohkan analisis diakronis dengan melihat kata person (pribadi). Kata person pada zaman Yunani Kuno, ada hubungannya dengan topeng yang dipakai seorang aktor pada saat ia sedang bermain di atas panggung. Selanjutnya kata person berubah maknanya menjadi karakter si pemakai topeng, dan makna ini dipertahankan dalam dunia teater dengan istilah dramatis personae, karakter pelaku drama. Dewasa ini, kata person memiliki makna seorang manusia yang hidup, berinteraksi, mengungkapkan perasaan, mengatur rona wajah yang sesuai, dan seterusnya (Danesi, 2010: 36).

Kelima; hubungan kata sebagai rangkaian bunyi dan konsep bersifat syntagmatic dan associative. Sintagmatis artinya kumpulan tanda yang tersusun secara logis sehingga membentuk makna. Contoh: Seekor ayam bertengger di atas pagar. Kata “ayam” dikombinasikan dengan “seekor”, “bertengger”, “di atas”, “pagar” sehingga membentuk rangkaian yang membentuk sintagma. Asosiatif atau paradigmatis artinya hubungan yang saling menggantikan dalam kaitannya dengan sintagmatik. Misalnya: “ayam” bisa digantikan dengan “burung”, “itik”, namun pengubahan itu tidak mempengaruhi hubungan sintagmatik, sehingga rangkaian bunyi atau konsep itu adalah:”seekor burung bertengger di atas pagar” (Sobur, 2009: 54-55). Relasi yang bersifat sintagmatik menurut Saussure adalah relasi antara sejumlah unsur yang berkaitan satu sama lain dalam ruang dan waktu yang sama, biasa dinamakan in praesentia. Relasi yang bersifat asosiatif merupakan relasi antara unsur dengan unsur lain yang diasosiasikan, sehingga tidak terletak dalam ruang dan waktu yang sama, biasa juga dinamakan relasi in absentia (Hoed, 2008: 51).

(13)

13 2. John Dewey (1859-1952)

William James, Peirce, dan John Dewey adalah tokoh pragmatisme yang hidup sezaman, meskipun usia Dewey lebih muda daripada Peirce dan James, namun sumbangsih Dewey terhadap pemikiran pragmatisme tidak perlu diragukan. Charles Sanders Peirce dalam Collected Papers Volume 8 mengemukakan pokok pemikiran Dewey tentang hakikat logika dalam kaitannya dengan sains. Dewey sendiri pernah menulis surat pada tanggal 11 Januari tahun 1904 dari Universitas Chicago yang menyebutkan bahwa ia pernah mengirimkan sebuah buku dan mengungkapkan rasa terimakasih dan utang budinya kepada Peirce (Peirce, Volume 8, 1998: 180). Hubungan ilmiah di antara kedua filsuf pragmatisme ini dapat dikatakan saling mempengaruhi.

Minat Dewey terhadap filsafat menjadikannya menggagas rekonstruksi dalam filsafat. Filsafat itu timbul dari suatu situasi sosial tertentu yang didasarkan pada tiga tesis utama. Pertama, hasrat manusia untuk memperoleh dan memenuhi kebutuhan pokok seperti: makanan dan tempat berteduh akan mewarnai cara hidup dan tradisi kelompok. Kedua, manusia tidak selalu hidup di dunia sesuai dengan hasrat-hasratnya, sehingga dibutuhkan pengetahuan positif tentang fakta-fakta. Ketiga, di saat pengetahuan manusia meningkat, maka kepercayaan-kepercayaan tradisional akan ditentang atau dilawan. Pada akhirnya filsafat berubah menjadi kebenaran positif dan empiris (Mudhofir, 2001: 128-129).

Dewey secara sistematis membedakan antara pengetahuan sebagai keluaran (outcome) dari penelitian khusus dan kecerdasan (intelligence) sebagai produk dan ungkapan kumulatif makna yang diperoleh dalam kasus-kasus khusus. Fungsi pengetahuan bagi Dewey adalah menyusun suatu pengalaman yang secara bebas dapat digunakan dalam pengalaman-pengalaman lain. Istilah bebas digunakan Dewey untuk membedakan fungsi pengetahuan dengan kebiasaan (habit), Dewey menegaskan dalam pernyataan berikut:”The function of knowledge is to make one experience freely available in other experiences” (Dewey, 1951: 521).

(14)

14 proper being defined in terms of physics” (Dewey, 1951: 528). Donald A.Piatt memandang Dewey sebagai seorang filsuf yang kompleks dalam arti, di satu pihak bisa dikatakan sebagai seorang filsuf empiris dan naturalis karena menjabarkan peran pemikiran atas dasar materi, namun di pihak lain dapat dipandang seorang filsuf rasionalis karena menekankan peran kecerdasan dalam perilaku hidup manusia. Persoalan yang timbul menurut Piatt ialah; bagaimana mungkin seorang filsuf instrumentalis, eksperimentalis, bahkan empiris dapat sekaligus menjadi seorang filsuf rasionalis? Piatt menjawab bahwa Dewey lebih tepat dianggap sebagai seorang filsuf kontekstualis yang menempatkan pemikirannya sebagai pengantar ke dalam eksistensi alami, di mana alam itu sendiri diberi penjelasan melalui pemikiran. Apa yang dikatakan sebagai pengantar itu menurut Piatt tidak lebih dari sekadar instrumen, alat yang sifatnya melayani penjelasan ilmiah tentang realitas (Piatt, 1951: 110). Instrumen inilah yang diperlukan bagi informasi sekaligus komunikasi dalam dunia ilmiah.

Dewey menyatakan ada dua sifat pengetahuan sains yang sangat penting yaitu,

pertama bahwa pengetahuan sains jauh lebih dapat diandalkan daripada pengetahuan manusia dalam bidang-bidang lain; kedua sains juga lebih bermanfaat bagi manusia dalam membuat perbedaan bagi kehidupan manusia sehari-hari. Dewey dalam kapasitasnya sebagai sorang tokoh pragmatis berpandangan bahwa segala jenis kegiatan mengetahui pada hakikatnya merupakan suatu kegiatan khas manusiawi. Sains bagi Dewey merupakan bentuk penyelidikan kritis terhadap diri sendiri serta berdisiplin tinggi, dengan struktur logika yang dapat diterapkan dan membawa manfaat bagi sebagian besar penyelidikan lainnya. Pada awal menghadapi masalah, maka tuntutan pertama yang diperlukan ialah menjernihkannya dengan cara merumuskan masalah tersebut. Setelah itu barulah memikirkan cara pemecahan atau solusi yang mungkin bagi permasalah itu. Tahap berikutnya adalah menguji solusi tersebut secara eksperimental, manakala melalui berbagai macam bentuk pengujian terbukti bahwa solusi yang diajukan itu salah, maka ilmuwan harus berpikir ulang dari awal. Sebaliknya manakala ternyata solusi itu berhasil, berarti ilmuwan yang bersangkutan dapat menyelesaikan masalah, sehingga dapat melangkah lebih lanjut (Magee, 2001: 190-191).

(15)

15 untuk alam sebagai latarbelakangnya (Dewey, 1951: 529). Meskipun titik tolak pemikirannya adalah pengalaman, namun aspek empiris diolah melalui pemikiran yang kritis, sehingga kebenaran terpatri pada kemampuan pikir manusia dalam mengolah pengalaman yang ada di luar dirinya.

Peirce sendiri mengomentari pemikiran Dewey sebagai hal yang sangat mengesankan dalam pernyataan berikut:

I will therefore write to express how your position appears as viewed from mine. I am struck with the literary tone of your men, a sort of maturity which bespeaks the advantage

of studying under you and thoroughly applaud your efforts to set them on their legs. But I must say to you that your style of reasoning about reasoning has to my mind. The usual fault that when men touch on this subject, they seem to think that no reasoning can be too loose, that indeed there is a merit in such slipshod arguments as they themselves would not dream of using in any other branch of science” (Peirce, Volume 8: 180).

(“Karena itu saya akan menulis untuk mengekspresikan bagaimana posisi anda muncul seperti yang saya lihat. Saya terkesan dengan nada sastra anda yang bersemangat, semacam kematangan yang mengindikasikan keuntungan dari belajar di bawah pengawasan anda dan memuji upaya anda untuk mengatur mereka. Tapi saya harus mengatakan kepada anda bahwa gaya penalaran anda tentang penalaran merasuk ke pikiran saya. Kesalahan standar ketika laki-laki menyentuh persoalan ini, mereka tampaknya berpikir bahwa penalaran tidak dapat terlalu longgar, bahwa memang ada manfaat dalam argumen serampangan seperti mereka sendiri tidak akan bermimpi untuk menggunakannya di setiap cabang ilmu pengetahuan lainnya”).

(16)

16 orang lain (Fisher, 2008: 2). Ada semacam kegelisahan yang bergolak dalam pemikiran dan perasaan orang yang berpikir kritis, sehingga ia berusaha memperoleh lebih banyak pengetahuan tentang objek yang menjadi sumber kegelisahannya itu. Mereka yang berpikir kritis akan mengembangkan sikap tidak tergesa-gesa dalam mengambil kesimpulan atau menerima pendapat orang lain. Mereka yang berpikir kritis akan selalu aktif, berperanserta dalam memasuki wilayah yang menjadi materi perbincangan tentang suatu objek.

Peirce mengomentari pandangan Dewey tentang landasan logis dalam metode ilmiah sebagai berikut. Pertama; tidak ada suatu perintang jalan yang permanen bagi penyelidikan atas kebenaran, sehingga dalam perkembangan ilmiah memperlihatkan bahwa metode genetik mengarah pada kesimpulan yang salah, sedangkan metode lain yang dipandang rendah justeru lebih berharga. Kedua; lantaran cara Dewey yang memperdebatkan bahwa setiap penyelidikan yang harus dilakukan secara genetik adalah metode yang buruk, maka perlu adanya pertimbangan penting dalam kesimpulan akhir yang akan diperoleh. Ketiga; Peirce mempertimbangkan adanya beberapa premis yang saling bertentangan dengan keyakinan studi sejarah selama beberapa tahun dan juga pengalaman pribadinya, maka menurutnya ada beberapa bidang ilmu yang dapat eksis dan harus dipelajari secara genetik, sedangkan yang lainnya tidak dapat dilakukan karena gagal total. Contohnya adalah matematika murni, bidang fisika umum dan dinamis, kimia (Peirce, Volume 8, 1998: 183). Pertukaran pikiran dan saling koreksi di antara sesama filsuf merupakan hal yang lazim terjadi, sekaligus menunjukkan adanya saling pengaruh di antara mereka satu sama lain.

(17)

17 kecenderungannya. Atau dengan kata lain, apa hal yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meyakini sesuatu dan implikasi dari keyakinan-keyakinan tersebut (Fischer, 2009: 2-3).

Ide pokok John Dewey tersebut di atas sejalan dengan pemikiran Peirce yang menolak pengetahuan sebagai fakta yang bersifat impersonal. Menurut Peirce, manusia memperoleh pengetahuan dalam kedudukan sebagai partisipan, bukan sekadar sebagai penonton. Ilmuwan merupakan pihak yang berkepentingan, sedangkan pengetahuan lebih merupakan instrumen. Hal terpenting dalam pengetahuan itu adalah kemampuan manusia untuk menjelaskan, sehingga manusia dapat mengandalkan pengetahuan tersebut sejauh ia berfungsi dan memberikan hasil yang akurat. Peirce mengatakan:

“Knowledge is an instrument, perhaps the most important instrument for survival that we have: we use our knowledge. And because the most useful thing about it is its explanatory power we will rely on it, as on any explanation, for only so long as it yields accurate results; ….. This means that scientific knowledge is not a body of certainties but a body of explanations” (Magee, 1998: 187).

(“Pengetahuan adalah alat, mungkin instrumen yang paling penting untuk kelangsungan hidup yang kita miliki: kita menggunakan pengetahuan kita. Dan karena hal yang paling berguna tentang itu adalah kekuatan penjelasan yang akan kita jadikan sebagai pedoman, seperti pada penjelasan apapun, hanya selama itu mendatangkan hasil yang akurat; …. Ini berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah suatu bentuk yang penuh kepastian, melainkan bentuk penjelasan”).

Pengetahuan ilmiah bukanlah merupakan seperangkat kepastian, melainkan seperangkat penjelasan. Penjelasan membutuhkan penalaran dan argumentasi dalam upaya meyakinkan pihak lain atas kebenaran yang diungkapkan seorang filsuf atau ilmuwan.

3. Bertrand Russell

(18)

18 kosong dari kaum Hegelian, akan tetapi Russell juga mencoba untuk membentuk filsafat yang bercorak ilmiah dengan cara menerapkan metode ilmiah pada filsafat (Charlesworth,1959 : 49). Russell menegaskan bahwa dalam percobaan yang dilakukan secara serius, tidaklah selayaknya seorang filsuf menggunakan bahasa biasa, sebab susunan bahasa biasa itu selain buruk (abominable), juga merupakan penghalang besar bagi kemajuan filsafat (Charlesworth,1959 : 51-52). Berbagai bentuk kalimat menurut Russell mengungkapkan pertanyaan (interogative), mengungkapkan harapan (optative), kalimat seru (exclamatory), dan menunjukkan perintah (imperative) mengandung maksud-maksud tertentu, bersifat indikatif, sehingga masing-masing mengandung logika tersendiri (Russell,1980: 30).

Russell berupaya menentukan titik-tolak pemikirannya berdasarkan bahasa logika, sebab Russell berkeyakinan bahwa teknik analisis yang didasarkan pada bahasa logika itu dapat menjelaskan struktur bahasa dan struktur realitas. Persoalan logis menjadi sangat penting bagi Russell, karena hal itu merupakan kondisi terbentuknya simbolisme yang akurat, artinya setiap kalimat mengandung arti yang terbatas dan pasti, meski dalam kenyataannya, bahasa biasanya kabur, sehingga apa yang disampaikan tidak pernah benar-benar tepat. Salah satu hal yang penting menurut Russell adalah kondisi simbolisme terhadap keunikan makna atau acuan dalam simbol atau kombinasi simbol. Sebuah bahasa logis yang sempurna harus mengandung aturan sintaksis yang dapat mencegah bahasa yang tidak bermakna, dan salah satu langkah yang tepat adalah dengan meletakkan simbol tunggal yang memiliki makna unik dan terbatas (Russell, 1995: 8).

(19)

19 Analisis logis di sini mengandung pengertian, suatu upaya untuk mengajukan alasan a priori yang tepat bagi pernyataan, sedangkan sintesis logis berarti menentukan makna pernyataan atas dasar empirik atau pengalaman. Cara yang demikian itu menurut Russell merupakan upaya untuk menerapkan teknik analisis bahasa dalam rangka memecahkan masalah filsafat. Namun Russell lebih mendahulukan analisis logis daripada sintesis logis, karena teori yang bersifat empiris semata atau hanya didasarkan atas fakta, tidak dapat menjangkau hal-hal yang bersifat universal. Kebenaran yang bersifat logis dan matematis menurut Russell manakala diungkapkan melalui analisis logis akan dapat meyakinkan seseorang untuk mengakui kepribadian sifat-sifat universal yang tak terubahkan, padahal banyak teori yang bersifat empiris murni tidak dapat mempertanggungjawabkan hal seperti itu (Charlesworth,1959: 50). Russell menganjurkan untuk mencari teori ilmiah yang lain, lebih daripada sekadar empiris murni. Pandangan yang demikian inilah yang agaknya membuat Russell lebih mencurahkan pemikirannya untuk membentuk suatu bahasa ideal bagi filsafat dengan didasarkan pada bahasa logika.

Russell menyusun sebuah konsep Atomisme Logis, artinya melalui titik tolak bahasa logika ia menjalankan teknik analisis bagi bahasa filsafat untuk memperoleh apa yang disebutnya dengan atom-atom logis. Hal yang menyebabkan ajarannya itu dinamakan doktrin Atomisme Logis ialah karena atom-atom yang ingin diperolehnya sebagai hasil analisis terakhir bukan merupakan atom fisik, melainkan atom logis; artinya filsafat pertama-tama harus merupakan suatu bentuk analisis logis apabila filsafat akan dikategorikan sebagai kegiatan ilmiah. Filsafat Atomisme Logis yang diajukan Russell ini bertitik tolak dari prinsip isomorfi, kesepadanan, sehingga pengetahuan itu merupakan sejumlah pernyataan yang tersusun membentuk suatu sistem yang mengacu pada unsur pada realitas. Kesepadanan atau prinsip isomorfi merupakan kesesuaian struktur antara bahasa logis dengan realitas (Toety Herati, 1984: 85-86).

(20)

20 dalam bahasa filsafat itu lebih banyak ditimbulkan oleh ketidakpahaman terhadap bahasa logika. Russell menengarai adanya perbedaan corak logis ini melalui perbedaan antara dua kalimat yang struktur bahasanya sama, namun memiliki struktur logis yang berbeda (Charlesworth, 1959 : 52). Penjelasan Russell mengenai suatu pengertian atau istilah yang memiliki corak logis yang sama diungkapkan melalui contoh berikut: “A dan B hanya dapat dikatakan memiliki corak logis yang sama, jika unsur A mengandung kesesuaian dengan unsur B, sehingga akibat yang berlaku atau unsur lawan bagi B dapat digantikan pada A. Hal ini dapat dilustrasikan sebagai berikut: Socrates dan Plato dianggap memiliki corak yang sama, sebab “Socrates adalah seorang filsuf” dan “Plato seorang filsuf”, keduanya mengandung fakta yang sama, yakni sama-sama berperan sebagai filsuf” (Charlesworth,1959: 53).

Setiap kata itu mempunyai fungsi logis yang berbeda; kata kerja misalnya, tidak dapat dipergunakan sebagai kata benda, dan kata sifat tidak dapat dipergunakan sebagai kata penghubung. Hal yang penting menurut Russell adalah, kesimpulan logis secara umum itu digambarkan berdasarkan fakta (Charlesworth,1959 : 53). Ini berarti dua istilah yang dianggap memiliki corak logis yang sama, bukan lantaran istilah tersebut dipandang menurut berbagai penafsiran yang mungkin dikenakan bagi istilah itu, tetapi yang lebih banyak ditonjolkan di sini adalah aspek logis yang didukung oleh fakta tertentu, sehingga dapat ditarik kesimpulan yang logis pula bagi istilah yang diperbandingkan. Jadi kalau dikatakan “Socrates” dan “Plato” adalah dua nama yang memiliki corak logis yang sama, kesimpulan itu didasarkan pada kenyataan bahwa keduanya termasuk atau digolongkan ke dalam kelas atau kategori sebagai filsuf. Pemahaman corak logis yang terkandung dalam ungkapan menurut Russell akan dapat membedakan antara bentuk tatabahasa berupa penampakan bentuk logis dengan bentuk sintaksis berupa bentuk logis yang nyata dari sebuah kalimat.

(21)

21 logika, maka akan mampu memecahkan persoalan filsafat. Kecenderungannya untuk menerapkan metode ilmiah –dengan bertitik tolak pada prinsip logika itu— pada bidang filsafat inilah yang merupakan inti pemikiran dari Atomisme Logis. Upaya untuk mengungkapkan pengetahuan yang benar ke dalam bentuk pernyataan yang benar –atas dasar prinsip logika— telah membawa Russell memasuki wilayah analisis bahasa.

Analisis bahasa yang benar itu dapat menghasilkan pengetahuan yang benar pula tentang dunia, karena unsur paling kecil dari bahasa (proposisi atomis) merupakan gambaran unsur paling kecil dari dunia fakta atau fakta atomis (Hamersma, 1983 : 135). Atau dengan kata lain, ada kesamaan antara struktur dunia fakta atau realita di satu pihak dan dunia kata atau simbol di pihak lain: ada isomorfi, kesepadanan antara unsur bahasa dan unsur kenyataan (Toety Herati, 1984 : 75). Prinsip isomorfi ini berkaitan erat dengan dasar acuan bagi suatu kata atau ungkapan, sehingga dengan memberikan dasar acuan itu Russell menganggap telah ”mengisi” setiap pernyataan dengan fakta.

Gambaran yang jelas tentang pemberian dasar acuan (reference) bagi kata atau istilah sebagai unsur-unsur bahasa itu dapat dilihat pengelompokan sebagai berikut.

Pertama; Nama Diri (proper names), yaitu jenis-jenis kata yang mengacu pada nama pengganti diri atau sesuatu yang ditunjuk oleh nama diri tersebut. Misalnya; si Badu, Jawa, kuda. Kedua; Nama Diri Logis, yaitu jenis-jenis kata deiktik atau jenis-jenis kata yang mempunyai acuan lebih dari satu arti / maknanya sangat tergantung pada si penutur atau situasi penuturannya. Misalnya jenis kata penunjuk, ”ini”, ”itu”, dan jenis kata ganti, ”aku”, ”dia”, ”engkau”, dan lain-lain. Ketiga; Deskripsi Batas Penunggal, yaitu rangkaian kata atau gatra yang mengacu pada seseorang atau sesuatu menurut batasan yang telah ditentukan dalam deskripsi tersebut. Contoh: –’Pemenang piala Dunia Sepak Bola 2010 di Afrika Selatan’. Deskripsi ini mengacu pada Kesebelasan Spanyol” (Toety Herati, 1984 : 75).

(22)

22 tidak termasuk ke dalam kategori logis, sehingga diragukan apakah kata-kata itu meliputi kata-kata untuk sikap proposisional seperti: percaya, hasrat, kesangsian, dan lain-lain. Demikian pula halnya kesulitan atas bentuk partikular egosentris seperti: aku, disini, sekarang. Kata-kata sifat proposisional dan partikular egosentris menurut Russell harus dipertimbangkan sebagai nama diri logis (Russell, 1980: 94).

Hal lain yang tak kalah pentingnya sehubungan dengan prinsip isomorfi ini adalah, kecenderungan pandangan Russell ke arah metafisika, sebab mengatakan bahwa dunia dapat diasalkan kepada fakta atomis, jelas sekali merupakan suatu pendapat metafisis (Bertens, 1981 : 31, Wittgenstein,1995: 31). Inilah sesungguhnya tujuan utama yang terkandung dalam prinsip isomorfi itu. Metafisika yang terdapat dalam teori Russell ini merupakan suatu “Pluralisme radikal” (Bertens, 1981 : 31), sebab realitas atau dunia fakta itu dipecah menjadi fakta atomis. Corak pandangan metafisis yang didasarkan atas analisis bahasa itu merupakan ciri khas yang menandai kaum Atomisme Logis yang diteruskan dan diperkuat dalam pemikiran Wittgenstein I melalui karya monumentalnya yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus..

Pandangan Russell mengenai analisis bahasa dapat diperkuat dengan dasar-dasar logika, salah satu diantaranya ialah fungsi kebenaran. Analisis logis terhadap bahasa akan menempatkan studi tentang tatabahasa yang mampu menjelaskan secara lebih terang persoalan-persoalan filsafat ketimbang sesuatu yang biasanya dianggap sudah benar oleh kebanyakan filsuf. Russell mengajukan contoh tentang pernyataan yang terkait dengan kalimat yang bertatabahasa tunggal, namun struktur logisnya jamak, sebagai berikut:

(23)

23 yang kompleks dibentuk melalui penggunaan pernyataan tunggal yang merupakan fungsi kebenaran dari unsur-unsur pernyataan yang kompleks. Russell menegaskan bahwa sebuah kalimat merupakan bentuk atomis bilamana tidak mengandung kata-kata logis dan bukan kalimat subordinat. Bentuk atomis tidak mengandung ”atau”, ”semua” atau hal yang sama dengan itu. Sebagai contoh: ”Saya kira hari akan hujan”, kalimat ini mengandung kalimat subordinat yaitu ”hari akan hujan”. Sebuah kalimat merupakan bentuk atomis jika ia mengandung satu relasi kata dan sejumlah kata lain yang terkecil (Russell, 1980: 95).

Pembahasan tentang proposisi atomis dan proposisi majemuk ini dapat ditemukan pada bagian awal Tractatus, hasil karya Wittgenstein, yang pengantarnya ditulis oleh Russell. Pembahasan Russell tentang proposisi atomis dan proposisi majemuk ini berkaitan erat dengan upayanya untuk menjelaskan kesepadanan antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Sebab bahasa yang dianggap sebagai keseluruhan dari proposisi atomis itu tidak hanya mengacu pada fakta atomis yang merupakan unsur yang membentuk realitas, tetapi bahasa itu juga merupakan bidang atau yang akan digarap melalui teknik analisis logis. Bahasa, khususnya bahasa filsafat dapat mencerminkan realitas sejauh dapat dilakukan analisis logis yang diikuti dengan sintesis logis, sehingga diperoleh proposisi yang paling sederhana yang mengacu pada fakta yang paling sederhana pula –fakta atomis— yaitu proposisi atomis. Setiap proposisi itu pada hakikatnya mengacu pada dua hal yaitu data inderawi (particularia) yang merupakan hasil persepsi konkret individual, dan sifat atau hubungan (universalia) dari data inderawi itu tadi (Toeti Heraty, 1984 : 86).

Suatu proposisi (dapat bernilai benar atau salah) yang menjelaskan suatu fakta atomis itu dinamakan proposisi atomis (Russell, 1995: 13). Proposisi atomis ini merupakan bentuk proposisi yang paling sederhana, karena sama sekali tidak memuat unsur-unsur majemuk. Misalnya; x adalah y (ini adalah putih) atau xRy (ini berdiri disamping itu) (Bertens, 1981 : 29). Setiap proposisi atomis itu mempunyai arti / makna sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain. Pemberian kata penghubung seperti ”ada”, atau ”atau”, maka seseorang dapat membentuk suatu proposisi majemuk. Russell mengajukan contoh untuk menjelaskan proposisi atomis dan proposisi majemuk itu sebagai berikut:

(24)

24 Wittgenstein a Sachverhalt. This is the same thing that calls an atomic fact. An atomic fact, although it contains no parts that are facts, nevertheless does contain parts” (Russell, 1995: 12).

(“Kalimat ‘Socrates adalah warga Athena yang bijaksana’, terdiri dari dua fakta, yaitu ‘Socrates adalah orang yang bijaksana’ 'dan' Socrates adalah warga Athena’. Menurut Mr. Wittgenstein, sebuah fakta yang tidak memiliki bagian-bagian yang berupa fakta disebut Sachverhalt. Hal ini sama dengan ‘fakta atomik’. Sebuah ‘fakta atomik’, meskipun tidak berisi bagian-bagian yang merupakan fakta, namun tetap mengandung bagian-bagian”).

Kedua proposisi atomis itu membentuk proposisi majemuk setelah dihubungkan dengan kata “yang/dan”. Kebenaran atau ketidakbenaran suatu proposisi molekuler atau proposisi majemuk ini tergantung pada kebenaran atau ketidakbenaran proposisi atomis yang terdapat di dalamnya. Atau dengan kata lain, proposisi molekuler atau majemuk itu merupakan fungsi ketidakbenaran dari proposisi-proposisi atomis, sebab tidak ada fakta molekuler atau fakta majemuk, yang ada hanyalah fakta atomis (Russell, 1995: 13-17).

Suatu proposisi atomis menurut Russell dalam kata pengantar Tractatus Logico-Philosophicus, mempunyai arti tertentu karena mengacu pada fakta atomis. Fakta atomis itu sendiri tidak dapat dikatakan benar atau salahnya, sebab ia tidak dapat mengungkapkan dirinya sendiri. Hanya bahasa –proposisi atomis— yang merupakan sarana untuk mengungkapkan perihal fakta atomis itulah yang dapat dinilai benar atau salahnya; sedangkan unsur yang terdapat dalam proposisi atomis seperti; Socrates, bijaksana, dan lain-lain disebut objek (Russell, 1995: 12).

Konsep Atomisme Logis Russell inilah yang akan dilanjutkan dan dikembangkan oleh Wittgenstein dalam Tractatus Logico-Philosophicus.

4. Ludwig Wittgenstein I (1889 – 1951)

(25)

25 pada 1921 dalam edisi bahasa Jerman, Logisch Philosophische Abhandlung. Setahun kemudian barulah dipublikasikan dalam bahasa Inggris, dengan judul Tractatus Logico-Philosophicus. Konsep Atomisme Logis Wittgenstein hampir sejalan dengan pemikiran Russell, meskipun ada beberapa perbedaan istilah yang berbeda di antara keduanya. Wittgenstein menggunakan istilah Sachverhalten yang dalam bahasa Inggeris diterjemahkan ke dalam dua istilah yaitu atomic fact dan state of affairs, sedangkan Russell ebih menyukai penggunaan istilah atomic fact. Kendatipun Wittgenstein termasuk salah seorang mahasiswa Russell sewaktu kuliah di Cambridge, namun banyak para pengamat Filsafat Analitis yang mengakui bahwa Tractatus mengandung penguraian yang paling kuat dan rinci mengenai Atomisme Logis. Akan tetapi baik dalam pemikiran Russell maupun dalam pemikiran Wittgenstein, pemikiran tentang Atomisme Logis terletak dalam satu arah yang sama, yaitu menekankan pada analisis bahasa melalui teknik analitika, bukan membahas tentang fakta atau realitasnya sendiri.

Filsafat Wittgenstein dibagi menjadi dua periode, periode pertama filsafatnya (Wittgenstein I), dikenal melalui karyanya Tractatus Logico-Philosophicus, sedangkan periode kedua filsafatnya (Wittgenstein II), termuat dalam karyanya Philosophical Investigations. Khusus pembahasan mengenai konsep Atomisme Logis ini dapat ditemukan dalam periode pertama filsafatnya, sekaligus Wittgenstein I ditempatkan sebagai tokoh utama Atomisme Logis. Pembahasan mengenai konsep Atomisme Logis dari Wittgenstein ini dikaitkan langsung dengan karya besarnya, Tractatus Logico-Philosophicus.

Tractatus Logico-Philosophicus merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan secara padat, dan disusun berdasarkan berbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali dalil ketujuh atau penutup. Dalil utama yang ditandai dengan bilangan bulat (1, 2, 3, dan seterusnya) dijelaskan oleh dalil di belakangnya yang ditandai dengan pecahan desimal (1.1, 1.11, 1.12, dan seterusnya). Kurang lebih ada lima ratus dua puluh lima (525) dalil yang termuat dalam 189 halaman minus index dalam buku versi bahasa Inggris dan bahasa Jerman tersebut.

(26)

26 dikenal dengan nama filsafat analitis. Sejak dipublikasikannya buku ini untuk pertama kali (1921), hampir dapat dipastikan, metode analisis bahasa telah mendapatkan tempat yang cukup terhormat di gelanggang filsafat, terutama di Inggris. Nama besar Wittgenstein mulai dikenal peminat filsafat sebagai seorang tokoh utama Atomisme Logis disamping Russell yang telah lebih dahulu dikenal sebagai seorang filsuf.

Tractatus Logico-Philosophicus ditulis pada saat Perang Dunia I berisikan 7 dalil utama sebagai berikut.

1. The world is everything that is the case (Wittgenstein, 1995: 31). (“Dunia adalah segala sesuatu yang sedemikian”).

2. What is the case, the fact, is the existence of atomic facts ((Wittgenstein, 1995: 31). (“Apakah yang sedemikian itu, fakta, yaitu keberadaan fakta-fakta atomis”).

3. The logical picture of the facts is the thought ( Wittgenstein, 1995: 43). (“Gambaran logis fakta adalah pikiran”).

4. The thought is the significant proposition (Wittgenstein, 1995: 61). (“Pikiran adalah proposisi yang bermakna”).

5. Proposition is a truth-functions of elementary propositions.

(“Proposisi adalah suatu fungsi kebenaran proposisi-proposisi elementer”).

(An elementary proposition is a truth-function of itself) Wittgenstein, 1995: 103).

(“Sebuah proposisi elementer adalah suatu fungsi kebenaran dari dirinya sendiri”). 6. The general form of truth-function is proposition (Wittgenstein, 1995: 153).

(“Bentuk umum fungsi kebenaran adalah proposisi”).

7. Whereof one cannot speak, thereof one must be silent (Wittgenstein, 1995: 189). (“Sesuatu yang tidak dapat dibicarakan atau dipikirkan sebaiknya dibiarkan dalam keheningan”).

(27)

27 terdahulu bahwa dunia atau realitas itu adalah segala sesuatu yang sedemikian. Istilah “yang sedemikian (case)” dimaknai dalam dalil berikutnya. Dalil pertama ini menggambarkan tentang realitas atau dunia yang terdiri atas berbagai fakta (case). Hal ini menunjukkan bahwa Wittgenstein memulai pernyataan filosofis dari hal-hal sederhana dunia atau realitas yang meliputi berbagai fakta. Ia menegaskan bahwa keseluruhan realitas itu merupakan dunia, the total reality is the world” (Wittgenstein, 1995: 39).

Dalil kedua What is the case, the fact, is the existence of atomic facts, menegaskan tentang keberadaan state of affairs. Apa yang dimaksud dengan yang sedemikian itu, tak lain adalah fakta, yaitu keberadaan fakta-fakta atomis (state of affairs). Dalam dalil 2.01, Wittgenstein menegaskan bahwa yang dimaksud dengan fakta atomis adalah kombinasi objek-objek, An atomic fact is a combination of objects (entities, things) (Wittgenstein, 1995: 31). Lebih lanjut Wittgenstein menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek, sesuatu, entitas disini adalah pengetahuan manusia tentang kualitas internal yang mencakup ruang, waktu, warna yang merupakan bentuk-bentuk objek (Wittgenstein, 1995: 33). Objek-objek itulah yang mengandung kemungkinan semua bentuk peristiwa, states of affairs (Wittgenstein, 1995: 35).Totalitas keberadaan fakta atomis itulah yang dinamakan dunia, The totality of existent atomic facts is the world (Wittgenstein, 1995: 37). Bertens mengomentari bahwa state of affairs merupakan sebuah keyakinan metafisis yang bercorak pluralistis (Bertens,1981: 43-44), karena mengandaikan dunia terdiri atas fakta atomis jelas merupakan sikap dan pandangan metafisis yang pluralistis.

Dalil ketiga, “The logical picture of the facts is the thought” menegaskan bahwa gambaran logis fakta itu adalah pikiran, atau bisa dikatakan bahwa pikiran itu mencerminkan gambaran logis fakta. Dalil ketiga ini pula yang kemudian dikembangkan menjadi teori gambar (The Picture Theory). Teori gambar adalah sebuah pandangan yang menegaskan adanya paralelitas antara dunia dengan bahasa. Pikiran merupakan cerminan gambaran logis fakta, sedangkan bentuk pikiran diungkapkan ke dalam bahasa. Wittgenstein menggambarkan tentang gambaran fakta dalam pikiran untuk kemudian diungkapkan ke dalam bahasa sebagai berikut:

(28)

28 The picture consists in the fact that its elements are combined with one another in a definite way. In the picture and the pictured, there must be something identical in order that the one can be a picture of the other at all” (Wittgenstein, 1995: 39-41).

("Kami membuat penggambaran fakta-fakta untuk diri kami sendiri. Untuk objek sesuai dengan unsur-unsur gambar. Unsur-unsur gambar berdiri, dalam gambar, untuk objek. Gambar terdiri dalam kenyataan bahwa unsur-unsur itu dikombinasikan satu sama lain dalam cara yang pasti. Pada gambar dan foto, harus ada sesuatu yang identik agar salah satu dapat menjadi gambar dari lain secara keseluruhan").

Dalil-dalil inilah yang kemudian dikenal sebagai teori gambar atau teori cermin.

Dalil keempat The thought is the significant proposition menyatakan bahwa pikiran itu adalah proposisi yang mengandung makna, artinya hasil pikiran yang baik dapat disusun ke dalam suatu proposisi. Wittgenstein menegaskan bahwa keseluruhan proposisi adalah bahasa. Manusia memiliki kemampuan untuk membentuk bahasa, sehingga setiap pengertian manusia tentang sesuatu hal dapat diungkapkan ke dalam bahasa. Bahasa sehari-hari atau bahasa percakapan menurut Wittgenstein merupakan bagian kehidupan manusia, dengan demikian proposisi merupakan gambar realitas. Proposisi adalah model realitas sebagaimana manusia memikirkannya. Bahasa dapat dipergunakan untuk menyembunyikan pikiran seseorang, sehingga dari bentuk penampilan eksternal seseorang melalui bahasa tidak dapat disimpulkan begitu saja apa yang sedang ia pikirkan (Wittgenstein, 1995: 63).

(29)

29 keberadaan suatu fakta atomis atau setiap proposisi elementer selalu mengacu pada fakta atomis, sehingga kebenarannya dapat diterima secara logis. Oleh karena itu analisis logis berfungsi untuk melacak keberadaan proposisi elementer.

Dalil keenam The general form of truth-function is proposition; bentuk umum fungsi kebenaran merupakan proposisi yang mengungkapkan bahwa proposisi adalah elemen atau anggota dari seluruh pernyataan, yaitu bahasa. Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi logika itu merupakan tautologis, sehingga tidak mengatakan tentang sesuatu, karena itu dinamakan proposisi analitis. Fakta bahwa proposisi logika merupakan tautologis menunjukkan sifat-sifat formal dari bahasa, sehingga menurut Wittgenstein agar proposisi-proposisi dihubungkan bersama dalam suatu cara yang terbatas untuk membentuk suatu tautologi, maka proposisi tersebut harus memiliki sifat struktur yang terbatas. Proposisi-proposisi itu membentuk suatu tautologi ketika mereka dihubungkan satu sama lain menunjukkan bahwa proposisi itu memiliki sifat-sifat struktur (Wittgenstein, 1995: 155-157). Tautologi merupakan bentuk pengulangan gagasan atau kata berlebih yang tidak diperlukan. Misalnya: pria duda, wanita janda. Proposisi logika tidak dapat diuji secara empirik, karena itu para logikus menjadikannya sebagai postulat (Wittgenstein, 1995: 163).

(30)

30 karena kematian tidak dilalui dalam kehidupan. Death is not an event of life. Death is not lived through (Wittgenstein, 1995: 6.4311).

Unsur the Mystically ketiga yang dicap Wittgenstein sebagai sesuatu yang bersifat inexpressible adalah Tuhan yang tidak pernah menampakkan dirinya di dunia, God does not reveal himself in the world. (Wittgenstein, 1995: 6.432), karena itu mengungkapkan tentang keberadaan Tuhan dalam bahasa yang logis merupakan sesuatu yang tidak bermakna (senseless). Ketiga hal tersebut tidak dapat dibicarakan dan diungkapkan ke dalam proposisi yang logis, oleh karena itu sesuatu yang tidak dapat dipikirkan secara logis sebaiknya didiamkan saja. Inilah makna pernyataan Wittgenstein dalam dalil penutupnya yang berbunyi:”Whereof one cannot speak, thereof one must be silent”(Wittgenstein, 1995: 189).

Ada beberapa butir pemikiran Wittgenstein dalam Tractatus yang membicarakan tentang masalah tanda. Pertama; dalil 3.327 yang berbunyi:”The sign determines a logical form only together with its logical syntactic application” (Wittgenstein, 1995: 57). Tanda menentukan sebuah bentuk logis hanya bersama dengan aplikasi sintaksis logis, artinya sebuah tanda dalam pemikiran Wittgenstein I merupakan sesuatu yang mengandung struktur logis, sehingga dalam penerapannya dapat dipahami manusia secara logis pula. Pandangan ini sama halnya dengan mengatakan bahwa bahasa sebagai tanda dalam kehidupan manusia mengandung struktur logis, sehingga membuka peluang bagi orang lain untuk memahami apa yang ingin disampaikan.

(31)

31 tentang sesuatu hal kepada pihak lain, maka belum tentu ia memikirkan makna tanda yang diungkapkannya. Hal yang dipentingkan bagi si penutur adalah bagaimana mengungkapkan tanda itu kepada pihak lain. Di sini terjadi proses dinamika tanda yang lebih mengutamakan teknik pengungkapan, sedangkan pemahaman atas makna tanda merupakan hal yang muncul kemudian.

Ketiga; dalil 3.3442 yang berbunyi:”The sign of the complex is not arbitrarily resolved in the analysis, in such a way that its resolution would be different in every propositional

structure” (Wittgenstein, 1995: 61). (“Tanda kompleks tidak serta-merta diselesaikan dalam

analisis, sedemikian rupa sehingga resolusinya akan berbeda dalam setiap struktur proposional"). Tanda yang kompleks dalam hal ini mengacu pada proposisi majemuk yang dapat dipecah ke dalam proposisi yang lebih kecil, yakni proposisi elementer melalui teknik analisis. Contoh: “Habibi yang mantan Menristek pada zaman pemerintahan Soeharto dan mantan presiden RI ke-3 berpidato pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila” terdiri atas dua proposisi elementer, yaitu (1) Habibi mantan Menristek pada zaman pemerintahan Soeharto berpidato pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila, (2). Habibi mantan presiden RI ke-3 berpidato pada peringatan Hari Lahirnya Pancasila.

Sebagaimana halnya dengan Russell, Wittgenstein juga bertitik-tolak pada bahasa logika untuk merumuskan persoalan filsafat. Wittgenstein dalam pendahuluan Tractatus mengatakan bahwa cara merumuskan persoalan filsafat oleh para filsuf terdahulu terbentur pada kesalahpahaman mengenai bahasa logika (Wittgenstein, 1995: 27). Pengamatan yang cermat terhadap struktur logis proposisi, serta kesimpulan logis mengenai realitas, dimaksudkan untuk menjernihkan kesalahpahaman yang diperbuat para fisuf terdahulu. Penyebab utama kekacauan bahasa dalam filsafat bagi Wittgenstein, lantaran tidak ada tolok ukur yang dapat menentukan apakah suatu ungkapan bermakna atau tidak, oleh karena itu agar tidak terjerumus dalam kesalahan serupa, perlu disusun kerangka bahasa logika bagi filsafat. Ini merupakan langkah awal yang diperlihatkan dalam bukunya Tractatus, sehingga dalil yang dimuat dalam bukunya itu disusun berdasarkan konsep logika. Hacker, salah seorang penulis artikel tentang Ludwig Wittgenstein dalam A Companion to Analytic Philosophy mengatakan bahwa menurut Tractatus fungsi bahasa yang mendasar adalah

(32)

32 Peranan proposisi, yaitu kalimat yang mengandung pengertian, adalah menggambarkan berbagai bentuk peristiwa. Jika bentuk peristiwa digambarkan melalui suatu proposisi, maka hasilnya ada dua kemungkinan, yaitu proposisi itu benar atau sebaliknya proposisi itu salah (Hacker, 2001: 72). Peran proposisi untuk menggambarkan bentuk-bentuk peristiwa (state of affairs) inilah yang merupakan sentral pemikiran Wittgenstein dalam Tractatus. Tugas utama filsafat adalah menggambarkan realitas sebagaimana adanya melalui ungkapan yang tepat dan logis, karena itu pemikiran filsafat terdahulu perlu diklarifikasi dan dianalisis secara kritis.

Proposisi dan persoalan utama yang terdapat dalam filsafat terdahulu itu bukannya salah, melainkan tidak terpahami, oleh karena itu, seseorang tidak dapat memberikan jawaban terhadap persoalan serupa itu, selain hanya membiarkannya dalam bentuk semula yang tidak terpahami. Persoalan dan proposisi yang diajukan para filsuf terdahulu itu tidak dapat dipahami karena mereka tidak mengerti bahasa logika (Wittgenstein, Ludwig, 1995 : 63). Seseorang tidak dapat memikirkan sesuatu yang tidak logis, karena hal itu akan membuat orang itu berpikir tidak logis pula (Wittgenstein, Ludwig, 1995: 43).

Penggunaan bahasa logika yang sempurna berarti pemakaian alat-alat bahasa –kata dan kalimat— secara tepat, sehingga setiap kata hanya mempunyai suatu fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya “mewakili” suatu keadaan faktual saja. Suatu bahasa logika yang sempurna mengandung aturan sintaksis sehingga mencegah ungkapan tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas. salah Satu fungsi filsafat menurut Wittgenstein, adalah menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan (atau dipikirkan) dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dapat dikatakan (Edwards, Paul, 1967 : 331). Suatu karya filsafat bagi Wittgenstein seharusnya mengandung penjelasan. Apa yang dihasilkan dari suatu karya filsafat bukan melulu sederetan ungkapan filsafati, melainkan membuat ungkapan itu menjadi jelas. Wittgenstein menegaskan pandangannya sebagai berikut:

”The object of philosophy is the logical clarification of thoughts. Philosophy is not theory but an activity. A philosophical work consists essentially of elucidations. The

(33)

33 (“Objek filsafat adalah klarifikasi logis pikiran. Filsafat bukanlah teori melainkan suatu aktivitas. Suatu karya filsafat pada hakikatnya berisikan penjelasan-penjelasan. Hasil filsafat bukan lah sejumlah proposisi filsafati, melainkan membuat proposisi-proposisi tersebut menjadi jelas”).

Upaya yang ditempuh Wittgenstein untuk membuat jelas ungkapan atau bahasa dalam filsafat ini serupa pula halnya dengan Russell, yaitu menentukan kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Pandangan ini lebih dikenal dengan nama teori gambar (the picture theory). Teori gambar adalah suatu pandangan yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas atau dunia fakta. Teori ini serupa dengan prinsip isomorfi (kesepadanan) dari Bertrand Russell. Memang di sinilah letak kesamaan yang paling jelas antar kedua tokoh Atomisme Logis ini. Kendatipun dalam penguraian selanjutnya akan dijumpai beberapa titik perbedaan di antara keduanya. Namun pada prinsipnya keduanya sependapat bahwa ada paralel mutlak antara bahasa dengan realitas.

Unsur mutlak yang diperlukan untuk mendukung sebuah ungkapan yang bermakna – dengan sendirinya merupakan proposisi— adalah suatu bentuk peristiwa ataupun suatu keadaan faktual (states of affairs). Wittgenstein menegaskan bahwa proposisi adalah gambaran realitas, jika seseorang memahami proposisi itu berarti ia mengetahui bentuk peristiwa atau keadaan faktual yang dihadirkan melalui proposisi tersebut. Seseorang dengan mudah dapat memahami proposisi itu tanpa perlu diberitahu lagi pengertian yang terkandung di dalamnya (Wittgenstein, 1995: 67).

(34)

34 pandangan Wittgenstein, pengertian sebuah proposisi terletak pada situasi yang digambarkan atau dihadirkan di dalamnya (Pitcher, 1964 : 45).

G.H. Von Wright, salah seorang sahabat Wittgenstein, memberikan penjelasan tentang ”teori gambar”. Fungsi teori gambar terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan sesuatu dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga seseorang dapat mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi, struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu suatu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau bentuk suatu peristiwa (Pitcher, 1964 : 78).

Unsur-unsur gambar adalah alat-alat dalam bahasa, seperti kata dalam kalimat, sedangkan unsur realitas adalah suatu keadaan faktual yang merupakan objek perbincangan dalam bahasa. Dengan demikian ada dua faktor utama yang mendukung teori gambar ini, yaitu proposisi yang menggunakan alat dalam bahasa filsafat dan fakta yang ada dalam realitas. Jenis proposisi yang paling sederhana dinamakan proposisi elementer yang merupakan penjelasan keberadaan suatu bentuk peristiwa. Keseluruhan proposisi elementer itu tadi merupakan bayangan seperangkat benda atau hubungan antar-benda di dunia, dan bayang-bayang itu kemudian mengiring benda atau hubungan antar-benda itu menjadi suatu gambar timbul (Sokolowski, 1964 : 179).

(35)

35 meyakini adanya proposisi elementer, sebab tanpa adanya proposisi elementer tidak mungkin realitas dapat diungkapkan ke dalam bahasa. Analogi tentang listrik ini hanya untuk memudahkan seseorang mengetahui mengapa Wittgenstein tidak pernah memberikan contoh mengenai proposisi elementer dalam bukunya Tractatus Logico-Philosophicus.

Proposisi elementer tidak dapat diajukan contohnya, maka keberadaan suatu bentuk peristiwa yang dungkapkan melalui proposisi elementer itu pun tidak diberikan contohnya oleh Wittgenstein. Proposisi elementer hanya mengatakan suatu bentuk peristiwa merupakan suatu gabungan objek atau sesuatu yang konkret (Wittgenstein, 1995: 31). Bentuk peristiwa itu merupakan bagian terkecil (elementer atau atomis) yang sesuai dengan proposisi elementer (Pitcher, 1964: 46). Wittgenstein sendiri mengatakan bahwa jenis proposisi yang paling sederhana –suatu proposisi elementer— menjelaskan keberadaan suatu bentuk peristiwa (Wittgenstein,1995: 89).

Suatu bentuk peristiwa yang dianggap sebagai suatu situasi atomis tidak mengandung kemungkinan untuk benar atau salah, tetapi proposisi elementer sebagai alat bahasa yang menghadirkan bentuk peristiwa itu kepada seseorang, dapat diperiksa benar atau salahnya. Setiap proposisi pada hakikatnya bersifat benar atau salah, sehingga sebuah proposisi mempunyai dua kutub dalam arti ia mengandung kebenaran jika bersesuaian dengan suatu peristiwa dan mengandung kesalahan jika tidak bersesuaian dengan suatu peristiwa.

Pengertian situasi atomis dianggap sebagai suatu bentuk peristiwa, karena Wittgenstein sendiri tidak menjelaskan secara lebih rinci tentang apa yang dimaksudkannya dengan situasi atomis tersebut. Sokolowski menafsirkan tentang situasi atomis bahwa istilah ’atom’ dipergunakan Wittgenstein serupa halnya dengan istilah ’Archai’ yang dipakai para filsuf Yunani, yaitu suatu keharusan prinsip filsafat. Alasan Wittgenstein, sesuai dengan apa yang disimpulkannya bahwa seseorang mengalami realitas material sebagai bentuk keluasan, oleh karena itu harus ada beberapa bagian benda yang sifatnya terbatas, yakni atom, yang dapat memperluas dirinya sendiri dan sebagai komponen dasar bagi pembentukan benda dalam lingkup yang luas (Sokolowski, 1964: 179).

(36)

36 berarti kedua filsuf tersebut telah mengasalkan dunia dari fakta atomis. Bahkan dalil pertama dan kedua yang termuat dalam Tractatus pun sesungguhnya merupakan titik-tolak pemikiran Wittgenstein untuk menyusun pandangan metafisis. ”The world is everything that is the case. The world is the totality of facts, not of things. What is the case, the fact, is the existence of atomic facts” (Wittgenstein, 1995: 31). (”Dunia adalah segala sesuatu yang sedemikian. Dunia adalah keseluruhan fakta, bukan benda-benda. Apa yang sedemikian itu, fakta, yaitu keberadaan fakta atomis”).

(37)

37 5. A.J.Ayer

Aliran yang semula dikenal dengan nama Lingkungan Wina ini didirikan pada 1922 oleh Moritz Schlick. Tokoh yang tergabung dalam aliran ini adalah para ahli matematik, logika, dan sains, sehingga dapat diduga bagaimana corak pemikiran aliran ini pada umumnya. Kecenderungan terhadap sesuatu yang bersifat positif dan pasti, serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah merupakan corak pandangan aliran yang khas dari kaum Positivisme Logis ini. Aliran ini secara nyata dipengaruhi oleh pemikiran Moore dan Atomisme Logis Russell dan Wittgenstein, terutama dalam penerapan teknik analisis bahasa. Namun dalam hal tertentu penganut Positivisme Logis bahkan lebih tegas dalam pendirian mereka menolak metafisika. Teknik analisis bahasa dari kaum Atomisme Logis yang telah diwarnai corak positif oleh kaum Positivisme Logis ini, menimbulkan perbedaan yang hakiki di antara kedua aliran ini.

Kendati demikian menurut komentar Charlesworth, sejarah filsafat mencatat tradisi analisis bahasa yang sesungguhnya terdapat dalam pemikiran Moore-Russell-Wittgenstein. Positivisme Logis hanya dianggap sebagai suatu penyelangan dari tradisi analisis yang sesungguhnya dari ketiga tokoh Analitika bahasa tersebut. Corak positif yang diterapkan dalam teknik analisis bahasa oleh kaum Positivisme Logis begitu ketat dan kaku, sehingga ada kecenderungan untuk menilai bahwa kaum Positivisme Logis ini telah membekukan metode filsafat Moore dan Wittgenstein itu menjadi suatu dogma (Charlesworth, 1959: 127). Salah satu jasa kaum Positivisme Logis adalah menjadikan filsafat analitis lebih dikenal di kalangan filsafat di luar Inggris. Salah satu butir pemikiran Ayer yang dikenal luas adalah prinsip verifikasi.

Referensi

Dokumen terkait

Mediasi bisa jadi salah satu metode penyelesaian sengketa yang terbaik, karena didasarkan pada kesepakatan para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan secara

Jurnalisme Berspektif Gender dan Etika Jurnalisme dalam Jurnalisme Online (Analisis Isi Penerapan Jurnalisme Berspektif Gender dan Etika Jurnalisme pada Berita

The problem of the study is what are the types of the research problems of the theses of the English department students at IAIN Palangka Raya who graduated 2012

Penelitian ini dilaksanakan atas asumsi bahwa pembangunan karakter siswa dapat dilaksanakan melalui Pembelajaran Pendidikan Kewargangaraan dan proses habituasi, sehingga

Pilot plant ThO2 dari tailing pengolahan monasit kapasitas 100 kg/hari merupakan proses untuk mengambil thorium dalam bentuk oksida ThO2 yang terdiri dari 3 tahap

Taraf perlakuan frekuensi dengan penurunan jumlah total bakteri terbanyak dan tidak memengaruhi kualitas fisik dan kimia susu kambing, terpilih untuk tahap perlakuan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Suami Tentang Alat Kontrasepsi di Dusun Soreang Desa Jipang Kecamatan Bontonompo

Hasil penelitian menunjukkan bahwa status hara di bawah tegakan mahoni lebih baik dibandingkan denganstatus haradi bawah tegakan uru, kecuali kalium tanah.Kriteria